Tuesday, 22 September 2020
SAJAK : PELAJARAN DAN PERJALANAN ZIKIR
Sajak Raudah Jambak
ZIKIR SENDAWA GUNUNG
masih juga kita tak mampu membaca getar tanah
yang diam-diam menjalar menanam segala resah
masih juga kita tak bisa melihat gerak angin
yang liar menebar pongah dalam gigil dingin
masih juga kita tak faham pada geliat air
yang memberi tanda paada setiap bibir getir
masih juga kita tak merasakan sengat bara api
yang menghunus lalu membakar segala nurani
masih belumkah terbaca isyarat tanah, angin, air dan api
sehingga kita harus bergumul pada segala muntahan
dari mulut bumi
ZIKIR MERIANG HUTAN
kabut yang perlahan menanak cemas kita
adalah gulali yang kehilangan segala manisnya
dedaunan yang tiba-tiba berwarna senja
adalah gadis jelita yang raib alas bedak wajahnya
para lelaki yang berteriak menghunus senjata
adalah pelukis yang tak jua menemukan kuasnya
maka,
dadapun rapuh
rasapun rubuh
ZIKIR ASAP
aku akan pergi bertandang
membawa segala pulang
aku akan permainkan kabut
membungkus segala jeput
aku akan datang padamu
memulangkan segala tetamu
padamu,
aku selalu
mendendam
rindu
ZIKIR MAWAR
apakah yang dapat kukatakan
selain mengungkapkannya dengan
seikat kembang atau setangkai zikir mawar, Kekasih
atau apakah cukup rasa cinta dengan kata-kata
berbaur ucapan penghambur bermakna kabur
ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti penanda hati
apakah yang dapat kulakukan
selain menyusun butir-butir rindu
menjadi segunung mengharu-membiru, Kekasih
entahlah warna cinta yang bagaimana lagi
yang patut kutorehkan di kanvas hati
ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti pecinta sejati
ZIKIR BATU
Pada sajadah batu menempel lukisan dahiku
Dengan zikir beribu waktu
Rabbi,
Telah meretas air mataku satu satu
Namun rindu begitu kelu
Pada sajadah batu kuukir ayat ayat cinta
Dari waktu ke waktu
ZIKIR KAYU
Walau rayap rayap mengerat gigil tulang
Sujudku pada-Mu
Tapi takkan pernah lapuk sajadah kayu
Yang menjelma perahu
Mengarungi lautan do’a-do’a menuju
Dermaga rindu
Ah, akukah itu
Si penebang kayu yang dahaga
Akan embun rahmat-Mu
ZIKIR API
Ibrahimlah itu yang dikuyupi api api rindu
Menganyam tembikar murka
Abrahah si pengumpul kayu
“Patung besar itulah yang memenggal leher
Tuhan-tuhan mu,” ujarnya berseru
Amuk Abrahah menyulut deru
Dan Ibrahimlah itu yang meng-Imami
Sujud pada sajadah api membiru
ZIKIR TANAH
Sunan Kalijaga membentangkan sajadah
Tanah membasah, menggetarkan dada Syekh Siti Jenar
“Telah menyatu aku dengan Tuhanku!”
Mengutil rimah-rimah amarahnya
yang berdarah darah
O, siapakah yang memautkan
Zikir cacing pada bebal leher terpenggal
Di bujur sujud yang tersungkur?
ZIKIR AIR
Digelembung zikir sajadah air, Musa
Menjambangi Khaidir sebelum menyeberangi
Laut senja, lalu kata-kata dipecah dalam
Bilah bilah
Dan perahu itu
Dan anak itu
Dan rumah itu
Pada sujud air sajadahpun air
Mengalir, membulir
ZIKIR UDARA
Menapaki Haram menuju Aqsa adalah
Hijaiyah bagi hati yang resah
Lalu, memebentanglah sajadah
Pada sujud udara menjemput cinta-Nya
Telah ku salatkan dunia merantai jahiliyah
Yang tak sudah sudah
Ya, Rabbi
ZIKIR SAJADAH
Mungkin zikirku zikir kayu hanyut yang terombang-ambing
Di permainkan laut. Kadang terdampar di pasir, kadang tenggelam dalam air.
Tak seperti perahu walau senantiasa basah, senantiasa pula ia belayar
Tapi tahu kemana harus terdampar mengenyahkan segala gigil
Menghalau segala debar
Amboi, adakah do’a ku kan sampai padamu Tuhanku
Seperti Nuh yang memutuskan tali-tali kufur dari tonggak-tonggak rapuh
Seperti Ibrahim yang mendinginkan bara-bara angkara api
Seperti Muhammad yang menebar maklumat sepenuh hikmat
Mungkin zikirku zikir debu dari rapuh kayu-kayu yang dihembuskan
Angin bisu. Semacam lagu-lagu rindu, semacam pilu kelu
Dan kemudian tersangkut entah kemana, entah dimana pula berimba.
Padahal syair-syairku adalah syair-syair sajadah
Syair-syair basah
Amboi, adakah zikirku zikir rindu atau zikir-zikir ragu padamu Tuhanku
Seperti kabil yang menghilangkan jejak-jejak habil
Seperti zulaikha yang menyusupkan syahwat di dada Yusuf
Seperti Syekh Sibli yang merampungkan cinta Al-Halaj dengan bunga
Mungkin zikirku zikir airmata yang mengalirkan
Syair-syair sajadah basah yang bermuara pada entah
MENJARING TASBIH AIR MATA
Telah pun kujaring tasbih air matamu
Pada kedalaman laut yang paling haru
Gemuruh di dadamu mengundang cemasku
Demi menahan terjangan-terjangan gelombang
Langit sekadar membagi nasihat
Bagaimana cara membaca gerak cuaca
Awan adalah musafir yang mencatat angin
Sepanjang rahasia kesunyian sebuah perjalanan
PELAYARAN SAJADAH
Lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan
Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah
Ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa
Malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak
Pernah lupa
dengan segala riwayat cerita
segala derita!
DALAM DIAM KU TASBIHKAN CINTA
mungkin ini hari dan minggu yang kesekian
ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal
telah disiapkan perahu mengarungi do’a-do’a
adakah luka yang begitu menganga sehingga
tercipta jurang diantara perbedaan menganga
atau aku yang kurang pandai membaca
perjalanan cuaca?
mungkin ini pasir atau kerikil yang kesekian
ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal
telah sama berjanji-sama mendaki
adakah dendam yang begitu membatu sehingga
terpahat lereng terjal dilangkah menganga
atau aku yang tak jeli melangkahkan kaki
dalam perjalanan hati?
M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Direktur Komunitas Home Poetry kegiatan seni digeluti sejak SD yang berkaitan dengan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Juara Unggulan 1 Tarung Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang, Nominasi cipta Puisi nasional Bentara, Bali, dll
email: mraudahjambak@yahoo.com – mraudahjambak@gmail.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment