Wednesday, 23 September 2020
REMAJA, SANGGAR DAN KARAKTER BUDAYA
REMAJA, SANGGAR DAN KARAKTER BUDAYA
Oleh : M. Raudah Jambak
Remaja identik dengan ceria, hura-hura, dan segudang kegembiraan lainnya. Begitu dinamisnya remaja menjadikan waktu justru merasa kelelahan. Waktu yang duapuluh empat jam seolah tak berlaku lagi bagi remaja. Pagi, siang, maupun malam justru bukan sebagai pembatas atau aturan yang harus dipatuhi oleh remaja. Bukan hanya waktu. Tempat juga atau situasi maupun suasana hanya sekadar tamu yang numpang lewat.
Lihatlah, dengan perkembangan zaman yang semakin moderen ini seolah semakin memberi peluang bagi remaja untuk mempersetankan aturan. Adanya pusat-pusat perbelanjaan, pusat rekreasi, maupun perkembangan teknologi lainnya seperti Face Book, Twitter, dan lain sebagainya semakin memberi peluang bagi remaja untuk ‘berselingkuh’ dengan situasi yang ada. Mirisnya lagi hal ini justru memperlebar jarak antara remaja dengan orang-orang dewasa lainnya. Putusnya benang merah itu membuat remaja tidak begitu risau lagi dengan yang namanya bimibingan.
Bimbingan yang terputus itu disebabkan juga karena remaja lebih lihai dibanding orang dewasa lainnya. Ada pameo yang mengatakan, dan sudah tertanam di kalangan remaja, bahwa moderen itu ikut trend. Kalau persolan trendy yang diikuti itu adalah sesuatu yang positif, mungkin tidak ada masalah, tetapi kalau negatif? Misalnya, kalau tidak pacaran tidak trend. Nggak gaols, wah.
Nah, disinilah peran orang-orang dewasa untuk lebih arif sekaligus proaktif untuk membimbing remaja dalam membuka cakrawala berfikirnya. Memberi penyadaran, bahwa Modren itu identik dengan punya sikap, tidak ikut-ikutan apalagi ikut-ikutan dengan hal yang negatif.
Hal-hal positif yang ditanamkan itu salah satunya tentu dengan prestasi. Di rumah orangtua dan orang-orang dewasa lainnya saling dukung dalam memberi arahan. Di sekolah tentunya guru-guru. Tentunya dengan catatan kita harus pahami dulu dunia remaja itu. Banyaknya beban mata pelajaran yang diberikan justru akan memberikan banyak peluang untuk mengarahkan remaja itu. Salah satunya dengan seni dan sastra.
Berkaitan dengan sastra remaja dan pembelajarannya, Hartley (2007) menjelaskan, bahwa ketika sastra lebih didekati sebagai karya yang penuh dengan pengalaman kehidupan dari pada sebagai pengalaman estetik, akan berpotensi untuk mempengaruhi banyak individu sebagai pembacanya, utamanya remaja. Melalui sastra, pembaca remaja dapat menemukan pengalaman hidup, membuat konkretisasi dan penyadaran melalui kekuatan sebuah bentuk seni yang luar biasa hebatnya. Siswa yang telah membaca sastra dan mampu mengkreasikan kembali teks sastra yang dibacanya itu, akan sulit terlepas dari pengaruhnya.
Asher (2007) menyampaikan, bahwa cerita kehidupan yang disajikan dalam teks
sastra mengenai tempat dan status manusia di tengah masyarakat, juga semua pengalaman manusia tentang dunia, dapat membantu siswa remaja untuk mencapai pemahaman tentang kehidupan dengan lintas ruang, lintas generasi, lintas waktu, dan lintas samudra. Karena itu, menurut Ford (2007), melalui membaca karya sastra remaja, siswa dapat memperoleh pengalaman menarik tentang kehidupan, sekaligus pengetahuan akademik dan konsep disiplin ilmu lain, seperti ilmu pengetahuan alam, matematika, dan ilmu sosial, melalui pendekatan membaca yang berbeda dari yang biasa digunakan, yaitu bentuk bacaan yang lebih familiar. Dengan membaca karya sastra remaja, siswa dapat melihat bagaimana sastra dapat berjalan dan berhubungan dengan bidang ilmu akademik.
Menurut Dail (2007), teks sastra remaja ada beragam jenisnya, mulai dari logo baju, lirik lagu, musik, majalah, bahkan situs atau website. Jakob Sumardjo dan Burhan Nurgiyantoro (1982: 45-48; 2002: 16-22); membagi sastra fiksi menjadi dua jenis, yakni sastra literer dan sastra populer atau sastra serius dan hiburan. Sastra literer adalah sastra yang memiliki bobot literer dan berisi masalah-masalah serius dalam kehidupan manusia, seperti masalah kemanusiaan, politik, moral, agama, sufistik, filsafat, dan sebagainya. Selain itu, pada umumnya sastra literer memiliki fungsi sosial, yaitu memperkaya khasanah batin
pembaca atau penikmatnya.
Adapun sastra populer atau hiburan adalah sastra yang ringan bobot literernya,
dan berisi masalah-masalah yang lebih mengedepankan hiburan belaka. Pada umumnya,
sastra populer mengemukakan kenyataan semu, bahkan fantasi atau cerita yang mengandung kadar emosi berlebihan. Selain itu, sastra populer juga mengetengahkan tema-tema percintaan yang sentimental, kekerasan, pembunuhan, dan sedikit mengarah pada pornografi.
Dail (2007) menjelaskan, bahwa penting bagi guru sastra untuk memahami dan
memperhatikan berbagai ragam jenis sastra, sebagai alternatif materi yang dapat disajikan
dalam pembelajaran di kelas. Berbagai ragam genre sastra yang berbeda, seperti misteri
(horror), fiksi sejarah, fiksi ilmiah, multikultural, dan buku-buku sastra lain yang
berkualitas, merupakan alternatif yang baik untuk dipilih sebagai materi pembelajaran
yang menarik dan mudah untuk ditemukan oleh guru dan siswa.
Materi pembelajaran yang menarik dan mudah itu tentunya akan lebih sempurna jika diaplikasikan. Peluang mengaplikasikan itu tentu bisa secara individu atau kelompok. Untuk kelompok ini bisa di bawah naungan sanggar-sanggar.
Untuk Sumatera Utara sendiri sanggar-sanggar termasuk menjamur. Terutama sanggar-sanggar di bawah naungan sekolah. Sanggar tari, sanggar musik, sanggar pramuka, sanggar teater, maupun sanggar sastra. Dengan adanya sanggar-sanggar ini peluang untuk mengarahkan remaja ke arah yang lebih positif tentu akan lebih mudah.
Kemudahan itu ditambah lagi dengan adanya festival-festival, lomba, audisi, casting dan sebagainya. Ada lomba baca puisi, teater, nyanyi, tari tradisi, dance, audisi, maupun casting film. Termasuk juga di bidang olah raga dan teknologi. Plus lomba wawasan kebudayaan di acara cerdas cermat dan lain sebagainya.
Festivalpun tidak kalah serunya ada puisi pertunjukan, monolog, drama remaja, musikalisasi puisi, tari tradisi dan lain sebagainya.
Untuk audisi dan casting Film ada Amang Parsiunan, Cok Bongak dan sebagainya. Keduanya masih dalam proses penggarapan. Ada yang bercerita dengan mengangkat warna lokal dan ada yang mengangkat persoalan keseharian kota. Cok Bongak misalnya terdiri dari 14 episode. Yang telah digarap tiga episode. Pada episode Menggunjing dalam Lipatan mengisahkan tentang Sanana (Eva Gusmala Yanti) bermaksud mengadu nasib di kota. Sebagai batu loncatan, ia bermukim dan menimbah pengalaman dulu di sebuah desa pinggiran kota.
Sutradara film ini dipercayakan kepada Yan Amarni Lubis, salah seorang tokoh Teater Nasional (Tena). "Ini pengalaman saya menyutradari film," tutur Yan Amarni Lubis pula.
Setting cerita di desa yang dikenal sangat damai, sejuk, dan nyaman. Tenteram, adem, anyem. Karena itulah barangkali desanya diberi nama Desa Suka Terendem.
Namun apa yang terjadi? Kehadiran Sanana di desa itu belakangan dicibir banyak kaum ibu. Gaya dandanan kota yang coba-coba disandangnya, berbuntut gunjingan. Ibu-ibu warga desa menuduh dia mau TePe, alias tebar pesona.
Tok Dayon (Dayon Arora), warga ‘karatan’ desa setempat tak luput jadi korban gunjingan. Karena, beberapa hari belakangan itu Sanana selalu mampir dan ngobrol dengan Tok Dayon, di gubuk kopi milik lelaki parobaya itu. Dan di gubuk kopi itu pulalah si Ucok, alias Cok Bongak selalu nongkrong, lengkap dengan sejuta khayalnya.
Pada akhirnya, banyak upaya yang dapat kita lakukan sebagai orang-orang dewasa yang lebih dahulu merasakan asam garam kehidupan untuk lebih ‘ngeh’ dalam membimbing remaja.
Persoalan lainnya tentu akan muncul ke permukaan, masihkah kita punya energi yang berlebih untuk memperhatikan dan mengarahkan para remaja ke arah yang lebih positif? Remaja yang berarti adalah manusia berusia belasan tahun.Dimana usia tersebut merupakan perkembangan untuk menjadi dewasa. Oleh sebab itu orang tua dan pendidik sebagai bagian masyarakat yang lebih berpengalaman memiliki peranan penting dalam membantu perkembangan remaja menuju kedewasaan.[rujukan?] Remaja juga berasal dari kata latin "adolensence" yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1992). Remaja memiliki tempat di antara anak-anak dan orang tua karena sudah tidak termasuk golongan anak tetapi belum juga berada dalam golongan dewasa atau tua.
Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifattransisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek / fungsi untuk memasuki masa dewasa.Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Sedangkan menurut Zakiah Darajat (1990: 23) remaja adalah: Masa peralihan di antara masa kanak-kanak dan dewasa.
Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003: 26) bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun.[rujukan?]
Mudah-mudahan remaja masa kini akan menjadi orang-orang dewasa yang mumpuni dalam mengawal remaja masa depan ke arah yang lebih positif lagi. Semoga.
Penulis adalah Guru/Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi.
Direktur Komunitas Home Poetry
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment