Wednesday, 23 September 2020
OMONG : SASTRA
MENGAPRESIASI IMUNITAS KOMUNITAS SASTRA
Oleh : M. Raudah Jambak, S. Pd
Sumatera Utara cukup dikenal apresiatif terhadap dunia sastra. Hanya saja memang perhatian secara sungguh-sungguh terhadap sastra dan seni masih penuh dengan tandatanya besar. Artinya, kita telah melahirkan cukup banyak sastrawan dan seniman yang beberapa diantaranya tentu dikenal di seantero Nusantara. Begitu juga Komunitas Sastra di dalamnya.
Untuk Komunitas Sastra, misalnya. Komunitas Sastra Indonesia Sumatera Utara telah melahirkan begitu banyak penulis dan karya yang cukup melegakan hati. Setuju atau tidak setuju. Pun, untuk komunitas sastra yang lain yang menghasilkan calon militansi sastra yang mulai terasah kemampuannya.
Seperti yang pernah kita baca, bahwa Seiring dengan perkembangan zaman, sastra pun terus berkembang mengikuti derap peradaban. Bentuk sastra dengan berbagai “wajah” terus bermunculan, baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Dengan sifatnya yang khas dan unik, sastra terus mewartakan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, hingga mampu menumbuhkan kepekaan nurani pembacanya. Semakin sering membaca karya sastra, batin pembaca akan semakin terisi oleh pengalaman-pengalaman baru dan unik yang belum tentu didapatkan dalam kehidupan nyata. Itu artinya, sastra telah memberikan “asupan” gizi batin yang lezat dan bermakna bagi pembaca.
Di dalam karya sastra, kita akan menemukan nilai hedonik (nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca), nilai artistik (nilai yang dapat memanifestasikan seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan), nilai kultural (nilai yang memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban, atau kebudayaan), nilai etis, moral, agama (nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama), dan nilai praktis (nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari).
Karena banyaknya kandungan nilai yang terdapat dalam teks sastra, sangat beralasan apabila sastra dijadikan sebagai media yang tepat untuk membangun karakter bangsa. Sastra menawarkan ruang apresiasi, ekspresi, dan kreasi dengan berbagai kemungkinan penafsiran, perenungan, dan pemaknaan. Dengan mengakrabi sastra, kita terlatih menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang memiliki kepekaan nurani dan empati, tidak suka bermusuhan, tidak suka kekerasan, tidak suka dendam dan kebencian. Sastra mendorong dan melatih kita untuk: (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Oleh karena itu, upaya mengakrabi sastra perlu dilakukan sejak dini, agar kelak menjadi sosok yang memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga mampu mengatasi berbagai persoalan hidup dan kehidupan dengan cara yang arif, matang, dan dewasa.
***
Persoalannya sekarang, aktivitas apa saja yang perlu dilakukan untuk mengakrabi sastra agar kita mampu menjadi manusia yang berbudaya? Paling tidak, ada tiga aktivitas bersastra yang bisa dilakukan.
Misalnya saja aktivitas apresiasi. Aktivitas ini bisa dilakukan dengan memperbanyak membaca karya sastra, baik prosa maupun puisi. Dengan banyak membaca karya sastra dalam berbagai genre (bentuk), pengalaman batin dan rohaniah kita akan terasupi oleh berbagai macam nilai yang mampu menyuburkan nurani kita. Ini artinya, secara tidak langsung, karya sastra akan mampu membangun basis karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga tidak gampang terpengaruh untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang bisa merusak citra kemanusiaan dan keluhuran budi. Inti kegiatan apresiasi sastra adalah memahami dan menghargai karya sastra melalui proses pendalaman, penafsiran, perenungan, dan pemaknaan nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya.
Karya sastra bisa menjadi saksi dan mata zaman yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu. Ia (karya sastra) mampu mendedahkan berbagai peristiwa masa silam, menyuguhkan peristiwa pada konteks kekinian, sekaligus bisa meneropong berbagai kemungkinan peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang. Ini artinya, semakin banyak membaca dan mengapresiasi sastra, semakin banyak menerima asupan gizi batin, sehingga kita terangsang untuk menjadi manusia berbudaya yang responsif terhadap berbagai persoalan hidup dan kehidupan.
Kemudian aktivitas berekspresi. Kegiatan berekspresi termasuk salah satu kegiatan mengakrabi sastra yang bisa dilakukan dengan mengekspresikan atau mengungkapkan teks sastra ke dalam bentuk pembacaan dan permainan peran. Membacakan puisi, mendongeng, bercerita, atau bermain drama termasuk kegiatan berekspresi. Kegiatan semacam ini melatih kita untuk menumbuhkan kepekaan dalam menangkap nilai keindahan yang terkandung dalam karya sastra secara lisan. Puisi akan terasa lebih indah jika dibacakan dengan penghayatan dan eskpresi yang tepat. Demikian juga halnya dengan mendongeng, bercerita, atau bermain drama. Nilai-nilai dan pengalaman hidup yang terkandung dalam karya sastra jadi terkesan lebih indah dan menyentuh kepekaan estetik kita.
Pada hakikatnya setiap manusia memiliki potensi dasar dalam berkreasi di bidang sastra. Perbedaanya terletak pada tingkat kepekaan pribadi masing-masing. Yang paling besar pengaruhnya adalah faktor minat dan kesungguhan berlatih. Semakin besar minatnya dan semakin serius pula dalam berlatih menulis karya sastra, maka semakin besar pula tantangan-tantangan kreatif yang bisa dilaluinya. Para sastrawan besar pada umumnya lahir karena dukungan dua faktor tersebut. Dengan kata lain, kreativitas atau daya cipta seseorang dapat lahir setelah melalui berbagai tantangan yang dihadapinya, sehingga mampu melahirkan karya sastra yang memiliki nilai lebih. Secara khusus, kreativitas dalam mengakrabi sastra adalah kemampuan menemukan, membuat, merancang ulang, dan memadukan pengalaman masa silam dengan gagasan baru hingga berwujud sesuatu yang lebih baru.
Kreativitas penciptaan karya sastra sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendayagunakan imajinasi dan bahasa. Melalui kekuatan imajinasi, seorang pengarang mampu menjelajahi berbagai pengalaman batin manusia. Ia bisa mengungkapkan berbagai kenyataan dan pengalaman hidup secara imajinatif meskipun pengarang yang bersangkutan tidak harus mengalami secara langsung apa yang dia tulis.
Imajinasi, konon identik dengan mata sang jiwa yang dimiliki oleh setiap orang. Ini artinya, siapa pun orangnya memiliki kemampuan berimajinasi. Yang mungkin berbeda adalah ketajaman seseorang dalam melihat dan menafsirkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di sekelilingnya. Bagi seorang sastrawan, imajinasi merupakan modal kreativitas utama yang terus diasah melalui proses perenungan dan pengendapan. Hal ini menjadi penting, sebab dunia sastra selalu melewati pintu imajinasi ketika seorang sastrawan hendak melahirkan karya sastra. Sastrawan tidak melihat kenyataan hidup dengan menggunakan mata fisik, tetapi menggunakan mata jiwa, sehingga bisa menyajikan kenyataan hidup yang berbeda di dalam karya sastra. Bisa saja apa yang tertuang di dalam karya sastra mencerminkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan lingkungannya.
Namun, kenyataan hidup yang diungkapkan sudah dipadukan dengan kekuatan imajinasi, pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman batin sang pengarang, sehingga karya yang dihasilkan memiliki daya tarik dan daya pikat bagi pembaca. Perpaduan antara kenyataan dan imajinasi itulah yang telah melahirkan karya-karya besar yang tidak pernah bosan dibaca dan diapresiasi dari zaman ke zaman.
Berdasarkan hal ini ada yang menuliskan, bahwa kesuksesan komunitas juga tidak ditentukan oleh figur tokohnya, nama besar organisasinya, terlebih kekuatan dananya. Sehingga pandangan tentang pentingnya faktor sastrawan seniornya, penyandang dana, campur tangan pemerintah, kemampuan lobi untuk menyukseskan acara seremonial, dalam sebuah komunitas hanyalah pemikiran sempit (juga picik). Dalam publik sastra yang menjadi ukuran keberhasilan adalah kualitas karya yang dihasilkan anggota komunitasnya.
Di sini yang sering dilupakan adalah bahwa keberhasilan aktivitas kesastraan tergantung bagaimana masing-masing pribadi berproses kreatif untuk menghasilkan karya. Keberadaan komunitas hanya faktor pendukung dan penyemangat untuk terus berkarya. Sehingga percuma saja menempel di depan kebesaran nama komunitas kalau tidak berbuat apa-apa, tidak menghasilkan karya. Hanya pesta dan hura-hura. Sebab nama besar komunitas bukan menjadi jaminan kualitas karya anggotanya.
Dalam beberapa kali diskusi kadang saya heran terhadap sikap beberapa pegiat komunitas ––terutama pemula.
Baru satu atau dua kali menulis sudah bisa mengukur kualitas karyanya ––tentunya dari sudut pandang pribadi dengan memakai jubah besar nama komunitas. Sehingga menggugat redaktur sastra koran atau majalah, kenapa tidak memuat karya-karyanya. Penilaian-penilaian individu seperti ini sebenarnya sah-sah saja, sepanjang untuk evaluasi terhadap karya yang telah dibuat. Bukan justru menjustifikasi bahwa karya yang telah dihasilkan sudah “luar biasa” sehingga wajib disiarkan kepada publik. Gugatan-gugatan narsisme seperti ini sebenarnya tidak perlu muncul seandainya penulis mau berkaca dengan membaca karya-karya penulis yang benar-benar luar biasa, lalu mengevaluasi karya sendiri. Bukan malah “buruk muka cermin dibelah”.
Masalah lain yang kadang timbul dalam komunitas sastra adalah munculnya virus epigon pada penulis pemula. Kecenderungan “mendewakan” sang senior atau sang guru menyebabkan keseragaman gaya penulisan. Dalam jangka pendek wajar bila murid menirukan gurunya, namun bila berkesinambungan dan menjadi indoktrinasi saya kira membawa masalah. Calon penulis tidak memiliki kebebasan menampilkan gaya atau tidak berani memunculkan karakter kepenulisannya. Inilah bila komunitas menjadi tempurung bagi katak kreativitas, bukan menjadi sungai yang mengalirkan kreativitas. Maka komunitas hanya akan kontraproduktif dan memandulkan proses kreatif anggotanya.
Esensi penting dalam berkomunitas adalah bagaimana individu-individu yang akan berkelompok membawa idealisme dan semangat masing-masing. Sebab komunitas hanya wahana untuk berkreasi, berinteraksi dan berekspresi. Dengan semangat dan idealisme, para pemula tidak terjebak pada bayang-bayang kebesaran komunitas, jumlah anggota komunitas, indoktrinasi komunitas, nama besar figur atau batas-batas kreativitas. Sehingga bisa memilih, menjadi idealis atau elitis. Maka pegiat komunitas sastra, berlomba-lombalah menghasilkan karya, bukan sekadar mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.
Nah, mungkin ini hanya sebuah wacana yang mungkin tidak perlu kita persoalkan tetapi ke depan adalah bagaimana kita mampu dan mau mengasah tidak hanya karya tetapi mental positif (rendah hati) yang kita punya sebagai bagian dari pendidikan, penataan permukiman, dan lingkungan hidup sastra bagi komunitas sastra yang pernah dilakukan oleh teman-teman sastrawan di daerah lain, seperti M. Badri, Sawali, Irmansyah, dll, sebagai bahan perbandingan kita. Terimakasih.
Penulis : Direktur Komunitas Home Poetry
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment