Tuesday, 22 September 2020
CERPEN : CERITA DARI BUKIT DUA BELAS
CERPEN M. RAUDAH JAMBAK
Cerita dari Bukit Dua Belas
Segayo lari ke bukit, ia jatuh terjerembab. Tangannya menutupi perutnya yang koyak. Berlari menuju sesudungon, pondok dari bangunan kayu, berdinding kulit kayu. Dan beratap daun serdang benal. Matanya masih menatap sekitar hutan yang sepi. Sebagai keturunan langsung orang Maalau Sesat, Segayo harus bertahan.
Hutan inilah negeri kami. Berdinding belantara. Tempat kami dilahirkan. Hitungan ratusan tahun kami mendiami tempat ini. Menghirup segala. Hidupkan segala. Menyatu dengan segala. Bermain dengan angin, dengan akar pepohonan, dengan semak belukar. Anak-anak, kaum perempuan, dan para lelaki telah terbiasa melukis kelam. Berpeluk pengab raya. Sebab kami adalah orang-orang rimba.
Lingkaran api biasa kami sulam pada malam. Memetik kerdipan bintang. Menjaring bulan. Mengunyah pituah para tetua. Menebalkan tambalan sejarah pada jiwa kami. Sesekali menyemai tawa. Sesekali menuai duka ketika memamah sihir kata bak pujangga. Pada akhir sulaman cerita, gederap sukacita menuntun mimpi-mimpi kami menyambut ke pagi yang temaram.
Gubug-gubug kami adalah pepohonan yang bernyanyi. Seolah laut yang berpantai damai. Seperti dermaga sebagai tempat penumpah lelah sehabis memerah tubuh-tubuh basah. O, betapa hidup dari waktu ke waktu selalu mengelus berkah.
Kegelapan inilah selimut hangat yang gemerlap. Mata hati kami adalah sebilah pisau tajam yang selalu terasah. Kelam bukanlah jaring-jaring perangkap yang membekap, tapi ia tapak-tapak kaki kami yang selalu mengatur jarak. Menancapkan jejak. Kami tahu arah langkah kemana hendak berpijak. Pulang dan pergi tak selalu bergantung pada matahari. Tak pula menunggu tuntunan bulan. Bukan berarti kami menafikkan ciptaan Tuhan. Tapi, justru dengan gelap dan kelam anugerah itu didapatkan.
Berjalan dan berlari bagi kami seringan hembusan angin menembus belukar dan semak berduri. Segala telah tersedia dalam rentang waktu yang tak dapat dihitung dengan rumusan angka-angka. Segala telah terjaga dengan aturan adat yang paling beradab. Amboi, masa-masa gemilang itu perlahan di gebuk gelombang. Menusukkan amuk, remuk.
* * *
“Kami bukan anjing. Jangan sebut kami orang kubu. Kami benci sebutan itu.” Segayo berteriak-teriak saat dimasukkan ke dalam sebuah ruangan. Ia disekap di sebuah pabrik pemotong kayu yang ada di tengah hutan. Ia bisa mendengar suara mesin gergaji yang memotong balok-balok kayu dengan jelas. Suara truk-truk yang mengangkut gelondongan kayu juga bisa didengar dari dalam ruangan itu.
Tak ada gunanya lagi berteriak. Jika pun ada yang mendengar, mereka tak akan memperdulikannya. Mereka pun mungkin akan membunuhnya jika ia berusaha melarikan diri. Ia tidak boleh mati. Ia harus terus berjuang.
Dulu ia merasa sangat bebas hidup di hutan. Membangun sesudungon, sebagai tempat berlindung atau rumah tinggal di dalam hutan. Tapi sekarang, ia merasa tidak sebebas dulu. Segayo tak mengerti kenapa bisa begitu. Yang ia tahu, hutan itu bukanlah milik siapa-siapa. Dari dulu ia hidup melangundi seluruh pelosok hutan. Bebas berkelana di dalam hutan. Namun kini kebebasan itu tidak lagi dimiliki, sebab orang kota dan desa adalah orang terang yang merasa mulai berkuasa. Segayo tak tahu sejak kapan orang-orang itu memiliki hutan. Yang ia tahu hutan sebagai anak sulung dari alam semesta adalah milik Tuhan yang harus dimanfaatkan dan dipelihara oleh manusia.
Perlahan Segayo turun dari atas kursi. Tubuhnya terasa lelah, lebih baik menyimpan tenaga yang masih tersisa. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas tikar. Rencananya sudah bulat.Untuk sementara biarlah beristirahat dulu, pikirnya.
* * *
Waktu berjalan meninggalkan petang. Segayo terbangun dari tidurnya. Pintu ruangan dibuka oleh seorang pria. Ia membawakan makanan.
“Ini makananmu. Ingat baik-baik! Jangan coba-coba melarikan diri. Diam saja disini! Kalau tidak tanggung sendiri akibatnya!” Segayo menatap pria itu dalam diam. Ia tidak sanggup lagi melawan. Ia harus mengumpulkan tenaga untuk terus berjuang.
Ditatapnya makanan itu. Sepiring nasi putih dan telur mata sapi. Perih hatinya. Seperti anjing saja, ia diperlakukan seperti itu. Ingin rasanya ia berontak tapi ia sudah tak kuasa. Tak ada yang mengerti perasaan orang rimba. Orang-orang di desa dan di kota menganggap mereka seperti binatang, tak beradab karena tinggal di hutan. Mereka menyebut orang rimba sebagai orang kubu. Padahal kubu itu bermakna terbelakang. Orang rimba tak suka dengan sebutan itu. Apakah hanya karena mereka tinggal di hutan lantas mereka disebut terbelakang? Apakah karena itu orang-orang desa dan kota merasa diri mereka lebih beradab daripada orang rimba?
Sama sekali tidak! Orang-orang rimba juga manusia seperti orang-orang desa dan kota. Hanya cara hidupnya yang berbeda. Orang rimba hidup bergantung pada alam. Mereka beranak pinak di dalam hutan, makan sirih, berburu dan meramu obat alam. Tapi bukan berarti mereka tidak memiliki peradaban. Memang sehari-harinya mereka tak memakai baju kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dindingnya dari kayu. Makan buah-buahan dan berburu kijang, ayam hutan dan rusa. Cara hidup seperti itu memang tidak modern. Tapi apakah salah jika orang rimba memilih cara hidup seperti itu?
Hatinya terus mendera sakit. Dia ingin marah tapi kepada siapa. Kepada orang-orang desa atau kota yang menganggap diri mereka lebih maju dari pada orang rimba? Huffhhh…! Segayo membuang nafas perlahan-lahan. Air matanya mengering karena ia terus membendung perih dalam hatinya.
Ia masih ingat dulu ketika masih kecil ia dibawa ayahnya pergi ke kota. Ayahnya hendak menukarkan rusa dan ayam yang didapatkan dari hutan dengan tembakau. Saat tiba di pasar, banyak orang yang mencemooh mereka. Bahkan ada orang tua yang memegang anaknya erat-erat karena mereka takut anak-anaknya kena guna-guna. Segayo merasa sakit hati sewaktu ia mendekati seorang anak kecil. Anak kecil itu berlari kepada orang tuanya dan mengatakan kalau ia takut diculik oleh orang kubu seperti dirinya. Padahal segayo hanya ingin bermain-main dengan anak itu.
Di pasar itu juga ia melihat ayahnya ditipu oleh pembeli. Ayam hutan dan rusa itu hanya dihargai dua kantung plastik tembakau. Bahkan ayahnya harus memberikan beberapa rupiah untuk membeli tembakau itu. Siapapun tahu, kalau itu tak pantas. Segayo marah, tapi ayahnya menahannya. Ia mengingatkan anaknya tentang seloka adat yang pernah diajarknannya. Tidak lapuk kareno hujan, tidak lekang kareno paneh. Biarlah mereka menipu, tapi kita harus bersabar. Harus kuat menahan cobaan.
Ayahnya banyak mengajarkan seloka adat dan hukum rimba yang harus dipatuhi oleh semua orang rimba. Kata ayahnya, orang rimba memiliki hukum sendiri. Hukum orang rimba tidak jauh berbeda dengan hukum Minang yang disebut Pucuk Undang Nang Delapan. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian dan pemerkosaan. Itulah larangan yang paling berat. Jika orang rimba melanggarnya maka akan dikenai hukuman lima ratus lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat dan sangat sulit disanggupi, karenanya orang rimba berusaha untuk mematuhi. Bagi mereka, mereka cukup bertubuh onggok//berpisang cangko//beratap tikai//berdinding baner//melemak buah betatal//minum air dari bonggol kayu// atau berkambing kijang//berkerbau tenu//bersapi ruso//.
Namun Segayo heran melihat orang-orang desa dan kota. Mereka memiliki hukum yang berbeda dengan orang rimba. Malah lebih lengkap daripada seloka adat. Tapi kenapa banyak dari mereka yang berani melanggar hukum yang dibuatnya sendiri? Mereka yang menganggap dirinya lebih beradab, suka merusak peradaban itu. Bagaimana bisa beradab jika hukumnya sendiri dilanggar?
Dulu pernah ada teman Segayo yang bernama Tebo, memutuskan untuk meninggalkan hutan dan memilih hidup bermasyarakat di desa. Ia memilih hidup sebagai petani. Namun setelah beberapa tahun ia tinggal di desa, sesuatu masalah menimpa dirinya. Ia ditangkap polisi dan dipenjara. Segayo berusaha mencari tahu apa masalahnya. Ternyata Tebo dipenjara karena ia dituduh merusak properti milik sebuah pabrik yang baru dibangun oleh sebuah perusahaan di desa itu. Pabrik itu terletak di dekat ladangnya dan mereka mencaplok sebagian dari ladang milik Tebo. Sebuah papan nama perusahaan itu didirikan di ladangnya. Ia marah lalu mencabut papan nama itu dan membakarnya. Ia pun langsung ditangkap oleh polisi karena perbuatannya itu.
Segayo heran. Padahal pengusaha pabrik itulah yang telah merampas ladang temannya itu. Tetapi kenapa ia tidak ditangkap. Malah temannya yang mengambil haknya kembali, ditangkap dan dipenjara oleh polisi. Ia bingung karena pengusaha itu tidak dihukum. Dimanakah hukum itu sebenarnya? Kenapa orang yang bersalah itu tidak ditangkap? Lagi-lagi Segayo menahan sakit hati karena ternyata orang-orang yang mengaku beradab bisa berbuat biadab.
Rasa sakit hatinya pun larut bersama malam. Gelap sudah menyelimuti hari. Suara-suara mesin gergaji sudah berhenti. Tak ada lagi truk yang mengangkut gelondongan kayu. Sebagian pekerja sudah pulang. Sedangkan yang lainnya menginap di penginapan sekitar pabrik pemotongan kayu. Segayo masih sendirian mengingat-ingat kejadian yang selama ini menimpanya.
* * *
Segayo terkejut saat sekumpulan orang bersenjata menyergap rumahnya. Ia hanya sendiri di rumahnya. Istri dan anak-anaknya sudah mengungsi ke Bukit Duabelas lebih dahulu. Begitu juga dengan tetangganya. Mereka sudah mengetahui bahwa sekelompok orang bersenjata akan datang ke lahan hutan yang baru mereka garap. Orang rimba sudah tahu kalau mereka hanya boleh mendiami hutan di Bukit Duabelas. Jika mereka menggarap hutan di luar kawasan itu, mereka akan disiksa oleh orang-orang bersenjata lalu dikembalikan lagi ke kawasan Bukit Duabelas.
Ia dan keluarganya serta beberapa tetangganya memilih pindah dari bukit itu karena ingin membuka ladang baru. Kebiasaan hidup seminomaden orang rimba itulah yang dianggap merusak hutan. Dengan membuka hutan, maka banyak pohon yang akan ditebang. Padahal orang rimba hanya membuka lahan beberapa hektar saja. Sedangkan orang kota yang sering disebut cukong bisa menebas hutan beribu-ribu hektar. Malah mereka dibiarkan bebas begitu saja.
Orang-orang kota berbuat tidak adil terhadap orang rimba. Mereka menangkapnya. Ia berontak. Tapi berkali-kali pukulan mendarat ditubuhnya. Segayo tak bisa lagi melawan. Dua orang pria mengikat tangannya. Ia akan dibawa ke salah satu pabrik pemotongan kayu. Di sana ada tempat untuk menyekap orang rimba yang keluar dari kawasan Bukit Duabelas.
“Dasar orang kubu! Dibilang berkali-kali supaya jangan pindah dari kawasan Bukit Duabelas itu, tetap saja membangkang. Tempat kalian sudah disediakan disana. Jangan pindah-pindah lagi!” Seorang pria bersenjata memarahinya.
“Tapi hutan itu adalah tempat kami. Tempat kalian itu di desa dan di kota. Kalian orang terang malah merusak tempat kami. Kami saja tak pernah merusak tempat kalian!” Teriak Segayo.
“Sudah! Diam! Ayo terus jalan!” Pria yang lain membentaknya.
Mereka berjalan menyusuri jalan tikus menuju pabrik. Mereka harus menyusuri lembah dan bukit. Jaraknya sekitar tujuh kilometer. Di tengah perjalanan mereka berhenti untuk beristirahat. Segayo meminta izin untuk buang air.
“Baiklah! Kau, Willy! Jaga dia! Jangan sampai dia kabur!” Seseorang yang tampaknya seperti pemimpin dalam kelompok itu memerintahkan anggotanya untuk menjaga Segayo buang air. Seorang anggota yang bernama Willy itu membawanya ke lembah bukit. Di situ ada sebuah telaga kecil. Di sekelilingnya terdapat rimbunan ilalang setinggi orang dewasa. Willy melepaskan ikatan Segayo. Ia berdiri tak jauh dari Sega-yo sambil memegang senjata.
“Sudah, disitu saja. Jangan coba-coba kabur!” Willy memperingatkannya. Namun Segayo melihat ada kesempatan untuk lari. Saat Willy lengah, disitulah diam-diam ia melarikan diri. Tak lama akhirnya Willy sadar kalau tawanannya sudah kabur.
“Kurang ajar! Awas nanti kalau ketemu!” Willy akhirnya kembali ke kelompoknya. Segayo hilang dalam rimbunan ilalang. Sebagai orang rimba ia sudah mengetahui seluk beluk hutan. Ia dapat mengecoh Willy yang menjaganya. Pimpinan kelompok itu pun memarahi anak buahnya. Mereka lalu mencari Segayo lagi.
Segayo mengendap-endap dalam rimbunan ilalang. Setelah posisinya agak jauh, ia berlari dalam rindangnya pohon-pohon di hutan. Ia bersembunyi di bawah pohon besar di balik bukit. Nafasnya terengah-engah. Ia melihat sekelilingnya untuk memastikan keadaan. Ia sudah tak sanggup berlari. Ia memutuskan untuk bersembunyi disitu dulu.
Sementara itu matahari sudah tergelincir ke arah barat. Kelompok orang bersenjata itu mengerahkan bantuan untuk mencari Segayo. Mereka menyusuri seluruh hutan. Menyisir setiap bukit dan lembah. Hari sudah semakin sore dan mereka harus bisa menangkap Segayo kembali.
Derap langkah orang berjalan semakin dekat. Segayo segera berlari.Mereka melihat segayo berlari, lalu segera mengejar.Segayo berlari ke arah bukit. Mereka terus mengejar Mereka akhirnya mengepungnya. Segayo terkepung. Dia mencoba berlari, pukulan hantaman, dan tikaman berkali-kali tak dirasakan lagi. Dia terus saja berlari. Hutan seperti memeluknya. Tangannya membekap perutnya yang sudah tak berasa.
Sepanjang perjalanan ia terus saja merenungkan hal-hal yang menimpa dirinya. Ia hanya ingin pindah dari Bukit Duabelas. Ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Bukankah orang-orang di desa atau di kota juga pernah pindah ke desa atau kota yang lain? Bahkan bisa ke seberang pulau. Tapi mengapa orang rimba tidak boleh pindah ke kawasan hutan yang lain. Segayo merasa orang rimba seperti dikurung dalam Bukit Duabelas. Ia merasa seperti binatang yang dilindungi dalam sebuah cagar alam. Semua orang benar-benar memperlakukan mereka seperti binatang.
Dari dulu memang orang rimba dan orang terang selalu saja bermusuhan. Ia pernah diceritakan ayahnya kalau dahulu sudah pernah terjadi perselisihan antara orang rimba dan orang terang. Pada saat itu nenek moyang orang rimba menderita kelaparan di hutan. Ia lalu mengambil padi di sawah milik penduduk desa. Terjadilah pertengkaran yang berujung pertempuran terbuka. Nenek moyang orang rimba lari ke bukit dan menggulingkan balok-balok kayu, hingga menewaskan penduduk desa. Beberapa penduduk desa yang selamat, membalaskan dendamnya pada suatu kesempatan. Mereka berhasil membunuh orang rimba itu. Sejak saat itu terbentanglah jarak antara orang rimba dan orang desa.
Hingga saat ini permusuhan itu sebenarnya masih terjadi. Orang desa ataupun orang kota merasa hutan itu adalah miliknya. Hingga akhirnya orang rimba disingkirkan. Hutan semakin banyak ditebang. Orang rimba hanya diberikan tempat yang disebut Taman Nasional Bukit Duabelas untuk tempat mereka menjalani kehidupan mereka sehari-hari.
Segayo tak suka diperlakukan tidak adil. Ia mengajak istri dan anak-anaknya serta tetangganya untuk meninggalkan Bukit Duabelas. Mencari kehidupan baru yang lebih baik. Namun ternyata usahanya tidak berhasil. Ia malah ditangkap dan akan dikembalikan ke Bukit itu.
* * *
Malam larut. Udara malam mendinginkan hatinya yang perih. Suara hewan malam memenuhi ruang kepalanya. Dihutanlah kehidupanku, pikirnya. Namun hutan semakin sedikit. Jikalau semua orang rimba dikumpulkan di Bukit Duabelas, pada akhirnya nanti hutan di kawasan itu akan habis juga. Semakin banyak jumlah orang rimba yang akan membuka lahan di kawasan itu. Tak akan ada lagi pohon-pohon rindang yang tumbuh di kawasan itu.
Sebagai orang rimba mereka harus menjaga dan melestarikan hutan. Mereka tidak meninggalkan lahan mereka yang lama begitu saja. Mereka akan menanami bibit-bibit pohon jika lahan itu tak bisa lagi digunakan. Pada akhirnya lahan itu akan rimbun kembali dipenuhi pepohonan.
Tidak seperti cukong kayu. Mereka menebang hutan beribu-ribu hektar. Tapi tak mau menanaminya lagi karena lahan hutan yang gundul membutuhkan begitu banyak bibit pohon dan biaya yang besar. Dasar orang! Segayo mengumpat dalam hatig tera. Hanya mau mengambil untung saja. Tak mau bertanggung jawab atas kerusakan yang dibuatnya.
Mereka tak mau peduli akan banyaknya kehidupan didalam hutan. Dengan rusaknya hutan, akan memusnahkan beragam jenis kehidupan. Entah berapa banyak lagi kehidupan yang akan dimusnahkan oleh mereka. Padahal mereka sudah berpinang gayur//berumah tango//berdusun beralaman//beternak angso//.
Segayo tak tahu sampai kapan keserakahan orang terang itu akan hilang. Ia tak mengerti kenapa seperti itu. Apakah kehidupan di desa atau di kota tidak bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi mereka. Padahal cara hidup mereka lebih maju dari pada orang rimba.
Ia bersyukur karena cara hidup orang rimba ternyata membuat mereka lebih menghargai alam. Cara hidup yang begitu sederhana membuat orang rimba tidak serakah. Mereka hidup dengan pemberian alam yang sudah tersedia di hutan. Dengan hidup seperti itu mereka sudah merasa bahagia.
* * *
Di dalam sesudungon di Bukit Duabelas, istri Segayo menangis terisak-isak. Ia mendapatkan kabar bahwa suaminya disekap di pabrik pemotongan kayu. Semuanya sudah hancur diterjang banjir. Tak ada gunanya mencari suaminya yang sudah tak jelas berimba di mana. Ia hanya bisa pasrah, bersama anak-anaknya kembali melangun.
Orang-orang itu, orang-orang terang. Menghalau tenang. Menyilaukan pandang. Meniupkan seruling kematian, menabuh genderang perang. Dengan rasa kikir mereka sisir semilir batin kami. Mereka koyak peradaban kami. Apakah ini memang garis hidup
Yang dipahat pada nasib kami? Ataukah nisan yang sedia ditanam pada makam kami?
Namun, entah siapa yang silap merangkai do’a. Bala bencana itu datang mengacungkan senjata. Satu persatu kami tenggelam dalam kawasan banjir air mata. Terjerambab pada wajah murka penuh sengsara. Teringat pituah para tetua akan tumbuhnya pohon derita berbuah gundah gulana di masa yang tak sempat tercatat tanggalnya. Pituah tentang sebuah kesetiaan pada keteguhan adat.
“Bacalah denting embun yang menitik dari ujung daun . Dengarlah lantunan angin yang mengalun di sela-sela pepohonan. Simaklah air yang mengalir yang menyibak cengkram-an akar yang tertanam . Atau dengung bebatuan pada geliat tanah di wajah bumi. Serta gema do’a rerumputan pada segala. Jika tidak, terang akan terasa mengahanguskan. Melumat segala peradaban yang telah lama terpelihara dari abad-abad yang telah ter-pahat,” demikian siraman penyejuk jiwa dari tetua di akhir kisah dalam sulaman kelam.
Dan apakah memang suratan badan atau memang kami yang berkhianat dari aturan garis adat yang telah ditancapkan. Orang-orang terang datang mengusung Tuhan pembaharuan. Melelang sejarah peradaban yang memabukkan. Kami terjebak dalam kotak-kotak tak berjejak. Terjerambab dalam lobang-lobang derita.
Hutan kami mulai dilumatkan. Pepohonan tempat kami bernaung direbahkan. Roh-roh yang bersemayam dan jiwa yang tertanam diluluhlantakkan.
“Kami adalah orang-orang dari negeri beribu cahaya yang mengusung peradaban. Dan kalian orang-orang gelap bersiap-siaplah menggali makam sebelum sampai pada zaman keemasan. Sebab, kami adalah penguasa setiap zaman.”
Entahlah itu karena ramalan atau memang nasib yang sudah digariskan, para tetua sudah berkali-kali mengabarkan peringatan. Tentang orang-orang terang yang mengusung matahari. Menghanguskan dan menyilaukan pandang.
“Tanamlah jiwa-jiwa kalian pada setiap pepohonan. Tanam pula jiwa-jiwa anak cucu dan seluruh garis keturunan kalian pada tanah dan air tempat berpijak. Pada akar rerumputan ataupun semak belukar, serta pasir dan bebatuan. Maka yakinlah hidup kalian akan selalu diselimuti ketentraman dan kedamaian. Jika tidak bersiap-siaplah kalian menghuni makam tak bertuan. Kalianlah yang paling mengerti dengan hutan ini, maka pertahankan sampai titik darah penghabisan…”
Dan nujum itu kini telah dimafhumkan. Ramalan itu kini telah ditafsirkan. Tak terbantahkan. Sejarah kami terjarah. Terbakar. Dihanguskan. Jiwa kami tercabik pada senandung gergaji, pada pepohonan yang ditumbangkan.. Buldozer-buldozer pembantai menyemai sangsai.
Lelaki kami satu persatu merapal ajal. Perempuan kami satu persatu dilucuti. Anak-anak dan orang-orang tua kami satu persatu dibutakan dengan terang yang paling menyilaukan. Dari kosong kembali ke kosong. Dari hampa kembali ke hampa. Kami berada dalam ada dan tiada.
Jika malam tiba kami kehilangan mutiara kata-kata. Hanya mampu merangkai lirih air mata tak berjiwa. Kami tangisi diri sendiri. Kami kutuk pengkhianatan kami pada nenek moyang. Kami ratapi jiwa kami yang melayang pada setiap pepohonan yang rebah ditum-bangkan. Tak lagi menyulam api pada kelam malam. Tak lagi memetik bintang dengan nyanyian riang. Tak lagi menjaring bulan lewat tari-tarian kemenangan. Tak lagi me-ngunyah pituah para tetua, sebab terlanjur dimuntahkan. Sejarah tercerabut sampai ke akar-akarnya. Sepanjang malam kami hanya bisa berpelukan, berdo’a agar tak lagi disi-laukan siang benderang, yang menghanguskan harapan. Segala telah dibungkam. Segala suka cita semakin samar. Segala duka lara semakin membara.
Sementara itu udara semakin dingin. Gemuruh langit melenyapkan suara-suara malam. Segayo diam kali ini. Namun tak seperti biasanya. Ia sangat mengenal alam di hutan. Kali ini ia tak mendengar sedikitpun suara-suara binatang malam saat gemuruh terhenti. Ada sesuatu yang sepertinya bakal terjadi. Ia tahu sabda alam akan datang malam ini. Menumpahkan segala kekesalannya yang lama terpendam.
Tak lama hujan lebat turun. Membasahi seluruh kawasan hutan. Ia diam membeku . Ia mengerti. Tak ada gunanya berteriak. Ia pasrah. Ia bisa merasakan getaran tanah. Ia pun dapat mendengar gemuruh yang bukan berasal dari langit. Ia bisa merasakan amarah alam yang sudah memuncak. Ya, perih hati ini telah menyatu dengan amarah semesta yang selama ini terbungkam, batinnya.
Dan malam ini Segayo bertekad bercerai dalam ketiadaan. Menjadi sebatang lara pada sejarah yang terus menerus dijarah. Segayo jatuh terjerembab. Tangannya terus menu-tupi perutnya yang koyak, terasa lelahnya selama berlari menuju sesudungon, pondok dari bangunan kayu, berdinding kulit kayu. Dan beratap daun serdang benal. Matanya terasa semakin samar menatap sekitar hutan yang perlahan menina-bobokkannya.
Medan-Kutubul Amin,2012
sesudungon ) : pondok-pondok, rumah tempat tinggal Orang Rimba (Suku Anak Dalam) yang terbuat dari kayu, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.melangun ) : pindah ke tempat lain karena ada warga yang meninggal, menghindari musuh, atau ingin membuka ladang baru. orang terang ) : orang-orang di luar rimba, orang-orang di desa dan di kota.seloka adat ) : aturan-aturan hidup ( hukum ) rimba yang dipakai Orang Rimba dalam kehidupan mereka sehari-hari.
BIODATA
M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Pernah bersinggungan di Komunitas Forum Kreasi Sastra, Komunitas Seni Medan, Komunitas Garis Lurus, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Komunitas Sastra Indonesia, Seniman Indonesia Anti Narkoba,dll. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK, Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan. Alamat tugas : Jalan Jenderal Gatot Subroto km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Alamat Rumah: Jalan Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E-10 Medan, Sumatera Utara. Hp. 085830805157. Kontak Person TBSU- Jl. Perintis Kemerdekaan, no. 33 Medan. Saat ini sebagai Direktur Komunitas Home Poetry. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pinang. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan dengan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se-Indonesia di Bogor (200&), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta , TSI 1-3, Juara Unggulan 1 Tarung Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang, Nominasi cipta Puisi nasional Bentara, Bali, dll.
No. Rek BNI : 0208306885. a.n. MUHAMMAD RAUDAH JAMBAK. Kancab. USU MEDAN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment