Tuesday 22 September 2020

PUISI : O, BATARA GURU

SAJAK RAUDAH JAMBAK SAJAK SAYANG NA SIPUANG Tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri Tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki Kami gualkan Kami tarikan Untukmu kekasih hati O, Na sipuang, Na sipuang (Sonaha...i huda-hudai do namatei....) Engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan kasih Engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan sayang Melalui kibasan enggang doa-doa dilayangkan Melalui hembusan angin harapan diterbangkan Adakah yang lebih indah dari cinta seorang ibu Sejak kandungan harapan ditasbihkan Setelah lahir kasih mengalir seperti air Ketika dewasa menggudang segala cita O, Na sipuang, Na sipuang (Sonaha...i toping-toping do namatei....) Ditalun-talun kisahmu tersiar Ditalun-talun kisahmu terkabar Di tanah ini kami mengobar mandillo tonduy Di tanah ini kami senandungkan urdo-urdo i Adakah yang lebih sedih dari tetes tangis ibu Yang tak sempat tasbihkan harapan Yang tak sempat mengalirkan kasih Yang tak sempat membaca cita-cita O, Na sipuang, na sipuang Kami tabuh gonrang Demi menjeput Segala riang Tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri Tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki Kami gualkan Kami tarikan Untukmu kekasih hati 2013 Pada Langit, Pada Bumi, dan Pada Segala Pada langit. Pada bumi Pada pucuk-pucuk daun hariara Tenunan selesai digelar sepanjang selendang Deak Parujar merengkuh banua ginjang menancap banua tonga mengakar banua toru Pada langit. Pada bumi Pada sayap-sayap hulambujati Kisah telah menjadi hobar Tentang Odap-odap memburu Deak Parujar menyesap dalam darah menembus rongga-rongga menyembul dari mulut dan mata Bakkara, O, Bakkara di timur aku tertancap di segala penjuru aku disergap mulut dibekap, suara disadap Pada langit. Pada bumi Pada titah Ompu Mulajadi Deak Parujar menitipkan benihnya Tuan Mulana mencapai orgasmaya Naga Padoha menggaruk punggungnya 2013 Lelaki Tua Di Tengah Danau O, Batara Guru…. Telah kubuat tuah ni gondang Dengan tujuh kali putaran Dari gondang mula-mula Somba-somba maupun liat-liat Angin mengelus, air mengalir Pada danau segala desau Adakah rahasia pada segala Atau hati sembunyikan misteri Padamu, padaku, atau pada kita O, Batara Guru…. Telah kulakukan mangase homban Agar senang si Boru Saniang Naga Agar senang si Boru Deak Parujar Agar terjaga tanah negeri kami Riak-riak menciptakan irama Para bocah yang berebut mencapai dasar Ah, adakah rindu masih terpaut Atau dendam masih tersudut Padamu, padaku, atau pada kita O, Batara Guru…. Sampaikan kepada Ompu Mulajadi Nabolon Jagalah Bona Ni Pasa segala suka Jagalah Bona Pasogit segala cita Jagalah hati kami dari segala angkara Menarilah dengan penuh sukacita Bernyanyilah dengan segala keindahan nada Angin akan membawa kabar berita Air akan menyatukan segala cinta Padamu, padaku, atau pada kita 2013 Menatap Wajah Danau Ada yang beriak di bola matamu pada setiap sudutnya mengalirkan rindu mengenang hasrat boru deak parujar di bawah pohon hariara Ada yang tergenang di sudut matamu melihat ihan yang menari di dasarnya bukan bersebab tambak-tambak yang membelukar atau kiambang yang membenam segala kenang Ada yang terbaca di kornea matamu mencatat partoba menuliskan setiap harap di antara klutuk-klutuk mengutuk batuk pada sepanjang erang boru saniang naga 2013 Lelaki Tua Di Simpang Raya Seorang lelaki tua terduduk sendiri di simpang sepi Tubuhnya mematung membeku detik-detik pagi Menyimpan dingin embun-embun tiang besi Sementara lampu merah, kuning, hijau Terus berganti Orang-orang masih bergelut mimpi Di kamar-kamar yang menyelipkan lemari besi Pada sudut-sudut tersembunyi diawasi CCTV Memerdekakan diri, memanjakan hati Lelaki tua itu pernah membingkai cita-cita Membangun tangga sejahtera untuk keluarga Berbahagia di dunia, sejati di surga Mencatat euphoria masa ke masa Receh itukah suara riangnya Menahan loncatan kosa kata-kata Berhamburan dari jendela mobil Yang tak jua terbuka Atau deru knalpot memekakkan Rasa merdeka entah di mana Seorang lelaki tua terduduk sendiri di simpang hati Do’anya seakan habis kehilangan cahaya matahari Mengarahkan sepanjang perjalanan menuju Tuhan Di sinilah ia bertahan Menghirup debu jalanan Dan hujan kehilangan pesan 2013 Portibi sesekali kutelusuri bilik sempit sudut kusam, cagar sejarah dan relief dingin memaknai kediamanmu yang berdebu dan gosong pengetahuan tak ada catatan yang tertinggal selain kegalauan merubung dada dan kanak berebut benang putus layang serta sorak kegembiraan yang menyusup di dinding-dinding senyap 2013 Tugu Guru Patimpus ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan yang terlepas hurup-hurupnya dari paragraf-paragraf usang sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan perjalanan, mengekalkan peradaban urban di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya diam-diam pada bulan ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari menghibur para petualang yang sejenak datang mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain membenam teriak segala pongah, mencampak derak suara ke langit terbelah di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara percik riwayat kisah-kisah semangat juang di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula pemancakan gedung-gedung nan gagah dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang, yang entah kapan pergi Langit Menangis Langit menangis, Sigumbang meradang rumah-rumah dan jiwa-jiwa berpeluk lumpur Langit menangis, Sikodon-kodon, Paropo, Silalahi hampir kehilangan segala tondi, kehilangan nyali sejak kelam malam, hingga sunyi pagi Langit menangis, bukan menangisi para pengungsi yang mengais ke dataran yang lebih tinggi atau menyusuri rumah-rumah setelah air surut menuju Silalahi menuju Sikodon-kodon. Langit menangis, sederas tangis si bawang merah Segelisah mas dan nila (ketika itu aku entah berumah dimana) 2013 Tetabuh di Huta Tinggi Laguboti Ku-tabuh gondang Ku-tabuh ogung Pepohonan manortor pada hamparan bumi Menyanyikan turi-turian sebuah kelahiran Angin yang berhembus pertanda pergantian Musim-ke-musim, membawaku ke masa lalu. Hembusannya begitu melenakan, menghantar Pada boru Deak Parujar Dan di sinilah bermula hobarna Berasal dari bumi kembali ke bumi Di Hutatinggi Laguboti, tetabuh gondang-tetabuh Ogung terdengar gaduh mengitari alam menembus Hutan sunyi, tempat persemayaman Sisingamangaraja Yang menjelma Raja Nasiak Bagi, lalu terdengar pula Ruji-ruji dari seorang pangido-ido menuju jabu Dengan cacat kaki Ku-tabuh gondang Ku-tabuh ogung Parmalim marende di Hutatinggi Laguboti Raja Uti melafalkan ruji-ruji 2013 Puisi- Puisi M. Raudah Jambak GADIS KECIL YANG MENUNGGU /1 Di gerbang mesjid Seorang gadis kecil menunggu rindu Kidung takbir di bibir yang getir Entah fitri yang ke berapa Zikir mengalir Di gerbang mesjid Seorang gadis kecil menunggu ragu Pada pilu hati yang kuyu Entah ngilu yang ke berapa Sendu memalu GADIS KECIL YANG MENUNGGU /2 Ya, Allah Hati kami memilin luka luka Takbir itu menombak batin menganga Ah, bocah-bocah itu selalu saja Mengunyah-kunyah do’a Jadi air mata GADIS KECIL YANG MENUNGGU /3 Dibelahan dunia yang mana Takbir takbir tidak lagi menggema Ahlan wa sahlan ya lebaran Kami sambut engkau dengan segala Suka cita Takobalallahu minna wa mingkum Takobbal ya kariim Minal aidin wal faizin Mohon maaf lahir dan batin BOCAH KECIL PENJUAL KORAN Di simpang sepi Bocah kecil duduk sendiri Mendekap setumpuk Koran Di dadanya Sementara senja terus berpacu Kendaraan terus melaju Satu persatu Bocah kecil terduduk sendiri Tanpa pembeli Tanpa pembeli Di simpang sepi Lalu lalang tak ada lagi KEPADA ADIK KECILKU Pulanglah, Dik Tinggalkan segala tipu daya dunia yang membujukmu Membawa kepada segala kenistaan Dan persekongkolan Debu dan asap knalpot yang memburumu adalah Ular kepala dua yang siap membenamkan segala rindu Di kepalamu yang murni Pulanglah, Dik Pulang. Masih ada esok yang akan menyulam Wajah burammu menjadi senyuman DI SIMPANG JALAN RAYA Lelaki kecil bertubuh dekil Dengan kaleng di tangan bernyanyi Lagu anak jalanan Memandang kaca jendela mobil Berhenti di traffic-light Simpang jalan raya Kencringan di tangan kanan Merangkai harapan Di dalam mobil Di balik jendela kaca Gadis kecil bergaya centil Muntahkan donat dari mulutnya Tiba-tiba jendela kaca terbuka Si mami membuang segala sisa Termasuk beberapa receh Dari saku celana Lampu hijau menyala Menghalau masa lampau Lelaki kecil Gadis kecil Terjebak arus pikiran belia Yang terbang bersama debu Jalan raya Laron-laron Membunglon Malam ini gelap merayap Biasanya laron menyebar menawar kabar Hinggap di gedung-gedung pencakar bumi Dan istana pencakar langit Membelit pepohonan dan bunga-bunga Di taman dan pinggir jalan Tapi, kali ini laron-laron membunglon Setelah meneguk bensin gen-set Atau disimpan untuk tabungan Pilkada di tahun-tahun depan Medan, 2007 Pemimpin dan Pemimpi Kita adalah pemimpi yang bebas memintal awan menjadi Bantal, lalu kita bangun kerangka ego menjadi rumah persinggahan Kita adalah pemimpi yang menebarkan kerikil emas pada halaman Rumah kita, lalu kita jejerkan anjing-anjing pemangsa sebagai penjaga Kita adalah pemimpi yang menjadi pemimpin bagi para penjilat,penjahat, Birokrat atau konglomerat, lupa bahwa kita adalah anutan yang menebar Benih-benih manfaat bagi ummat Medan,2007 050108 Tiga puluh enam tahun aku berjalan mundur ke belakang, usiaku serasa berkurang Tiga puluh enam tahun waktu pun mundur ke belakang, usiaku semakin mengerang Tiga puluh enam tahun jarum jam menghunjam dalam-dalam Dan berputar pada jantungku Medan,2007 M. Raudah Jambak RESAH DAUN JENDELA Pada resah daun jendela Wajahmu bergambar duka Sedari pagi matamu menikam langit Sampai matahari lari bersembunyi Yang tertinggal hanya senyap Yang tertinggal hanya gelap Sekadar hanya menyisakan kenangan Tertutup debu tertahan Pada resah daun jendela Ada gairah yang tak kunjung Nyala rindu bocah yang menangis Manja Mdn,2007 RINDUKU MENGERING Ah, kau lagi tak bosan-bosannya menanam pikiranku dengan bunga-bunga Padahal sudah kukatakan padamu Rinduku telah lama mengering Tersengat matahari Baranya menyalakan kesumat Dengan apa hendak kau suburkan? Dengan sungai abu atau laut nafsu? Biarkan bumiku mengadopsi taman-taman Yang menyegarkan Yang menentramkan Ah, kau lagi…! Lelaki yang senang menghidang berang YANG MENGETUK DAUN PINTU Selalu ada saja yang mengetuk-ketuk daun pintu Tapi nyatanya hanya angin yang mengelus wajahku perlahan Dan malam sekadar meninggalkan rimah-rimah kalam Dengan setengah butir bulan Di sebelah rumah Anak tetangga mengaji Merapal doa sepanjang magrib tiba Selalu saja ada yang mengetuk-ketuk pintu Kaukah itu atau Jantungku yang Bertalu-talu Menggemuruhkan irama rindu? Ibu… WAHAI ENGKAU Galau langit telah melahirkan awan Di sudut matamu, wahai engkau Gadis yang berpipi jurang Sebab kata-kata telah lama Dilapuki segala muslihat Entah kali keberapa kegadisanmu Dirayapi matahari yang kau kira Pelindung bumi (ah, ternyata pelan-pelan kau bangun juga hatimu yang setegar karang di lautan) mdn,2007 DI BULAN DESEMBER angin bulan desember adalah lelaki tua yang berjanggut putih yang membagi-bagikan kalaeidoskop pada rumah tak berpintu, tak berjendela pada anak-anak generasi manusia pada pengharapan yang tak berkesudahan diantar kilat langkah dengan alamat nyaris sempurna angin bulan desember adalah ketukan pintu atau bisikan di telinga yang membangunkan kita dari mimpi-mimpi buta dari muslihat dan sengketa dari nina bobo nafsu atau buruk sangka angin bulan desesmber adalah lelaki tua yang mengetuk pintu lalu membisikkan cinta di telinga kita TAHUN KENANGAN tahun-tahun hanya menjaring kenangan dalam bualan angan-angan pagi-pagi sekali kita tidurkan mimpi pergi menjaring matahari, berharap sepotong bintang tak lari sembunyi tahun-tahun hanya menjaring kenangan dalam bius kotak meracun pikiran enggan rasanya meninggalkan hidup yang dirasuk mabuk , mungkin sepotong selimut akan memeluk hangat tahun-tahun hanya mengunyah bulan meracun pikiran, melupakan Tuhan PIKIRAN YANG GERSANG Dalam pikiran yang gersang Pepohonan apa yang hendak ditanam Tak ada bunga Apalagi buah Kutebar bibit di bulan sabit Kutabur harap dalam makrifat Jerit hati yang sakit Berharap menjaring semangat Wahai, Tuhan ada Dalam adaku Dalam tiadaku Dalam pikiran yang gersang Rintik membawa berkah ketenangan Segala kesentosaan PENCARIAN Apalagi yang hendak dicari dalam hidup Jika kita tak lagi berjiwa Tumbuh-tumbuhan masih tetap hijau warnanya Malam masih tetap segelap gulita Sepi merintih sunyi Amboi, biarkan burung-burung menjaring matahari mdn, 2007

No comments: