Wednesday, 23 September 2020

RIWAYAT KATA : RIWAYAT MAKNA

RIWAYAT KATA RIWAYAT MAKNA Oleh : M. Raudah Jambak PUISI tentu kita semua mengenalnya. Minimal pernah membacanya. Tapi jangan lupa ada hal-hal terpenting disadari atau tidak harus ada pada puisi. Tema/makna (sense), Rasa (feeling-latar belakang sosial-psikologi), Amanat/tujuan/maksud (itention), dll. Sebagai struktur batinnya. Bangunan puisi secara batin mungkin kurang lengkap rasanya jika tidak dilengkapi secara fisik. Misalnya, tipografi, diksi, imaji, dsb. Karakteristik akan memberi kekuatan-kekuatan lain atau muatan-muatan lain dalam puisi. Bisa saja dalam bentuk muatan lokal, aliran, eksperimen, dst. Selain itu etika, estetika, dinamika, atau logika tidak perlu dipungkiri akan mewarnai puisi itu. Sartre pernah bertutur, seseorang disebut pengarang bukan karena ia telah mengatakan sesuatu, melainkan karena ia telah memilih untuk mengatakan dalam suatu cara tertentu. Seseorang dikatakan pengarang, bila ia telah memilih medium untuk mengatakan sesuatu (ide maupun intuisi). Konsep Horace dulce dan utile merupakan landasan sikap bagi penulis. Para pembaca tidak saja dapat menarik manfaat (utile) dari karya yang dibacanya, juga dapat merasakan nikmat (dulce) – yang menurut saya – tidak sekadar profan. Nikmat di dalam karya itu dapat mencapai puncak imanen karena ia telah melalui proses katarsis. Hal yang terpenting, karya itu dapat menggambarkan banyak hal tanpa harus menghujat. Karya sastra(puisi), meskipun bersifat sosial kontrol, tetap saja dengan pendekatan humanistis, sehingga memungkinkannya jadi universal. Sebab, sesugguhnyalah esensi sastra(puisi) untuk membawa pembacanya kepada proses katarsis (penyucian diri). Membaca puisi-puisi di Goresan Pena Anak Medan, antologi puisi cerpen terbaik dalam lomba cipta karya puisi dan cerpen, IMM FKIP UMSU, saya singkat GORPAN, adalah membaca kata, membaca makna. Kita jenguk puisi Febri Mira Rizki, Sesayat Perjamuan Rindu. Terlepas dari tipografinya yang disengaja atau tidak. Katanya, Kepada sepasang mata yang dipagari bulu dan dipayungi alis. /Sebelum kerling menghujam kedip yang membunuh tatap di pelipis./..... Dari bait pertama dan mewakili bait-bait yang lain saya kira, betapa Febri terkesan memberitahu kepada pembaca, bahwa beliau sangat ‘menguasai’ kata-kata. Dipagari bulu, dipayungi alis, kerling, kedip, tatap, dst.Tetapi, yang perlu diketahui adalah puisi merupakan bagian dari karya sastra, yang menggunakan bahasa yang singkat tepat dan padat serta mengemukakan nilai-nilai yang sangat kuat dengan bahasa yang indah. Sederhananya adalah haruskah kita memaki, membentak, menghardik, atau menampar ketika marah jika dengan diam saja makna sudah sampai? Bagian yang lain, Rinduku pecah menghantam karang, debumannya berberai menusuk jantungmu./ Itu juga agar kau tahu./Betapa sakitnya (merindukanmu)! Pertanyaan sederhana siapa yang lebih sakit? Siapa yang lebih rindu? Ditabrak truk atau biji mata yang dientup tawon? Dan atau yang lain? Hal itu juga terlepas dari makna betapa sucinya sebuah perjamuan. Lain, Febri lain Sri Rahayu Harahap. Jika febri ‘menghamburkan’ peluru kata-katanya, justru Rahayu cenderung ‘menyimpan’ beban. Pesimistis Rahayu secara makna mungkin agak lebih dipahami. Katanya, Telah jauh nasib mengajak kita berkarib. Secara sadar atau tidak Rahayu sudah ‘bermain’ rima di sana, yang akhirnya ditutup, Seberapa lama diri hendak menghuni/ Semua mengatas nama pribadi. Pun, Berilah Sedikit Waktu, Ibu. Karya Leily Nirwani. Betapa imajinya lebih lincah. Dengan kata-kata seperti kuntum, mekar, akar, kumbang, pohon. Sudah sangat mewakili tentang perempuan, yang jika boleh dikatakan sedang menanjak remaja. Simbol-simbol ini sayangnya kurang dipertahankan sehingga muncul kata-kata, dari ribuan kumbang maupun badai. Lompatan yang cukup jauh saya kira. Atau, Biarkan dulu pohonku teguh/agar bermampu/ menyembuh luka dan pilu. Alangkah indahnya kalau seandainya Leily menuangkannya dengan kalimat, Biarkan dulu pohonku teguh/ agar rantingnya tak mudah rapuh (bisa batang, putik, daun, bunga, dst). Pernyataan ini hanya semacam pancingan, bahwa kita tidak ‘mati gaya’ dalam berkarya. Seperti yang selalu kita dengar, bahwa bagaimana caranya sebuah karya mampu menembus ruang dan waktu. Karya selalu bertahan sepanjang zaman. Tentunya karya itu mampu mewakili perasaan semua orang (kelompok maupun lingkungan). Nah, jika hanya mewakili perasaan pribadi, maka tentu ia akan tergerus dengan sendirinya. Apalagi tanpa pertimbangan kadar emosi individunya. Dan jika terjadi hal yang demikian, maka bersiaplah puncak kemunduran yang akan dicapai. Sebagai sebuah karya bermakna ganda, keambiguitasan puisi menjadi tantangan tersendiri bagi pekarya untuk menyampaikannya kepada pembaca. Bagaimana kursi tidak hanya sebagai kursi, tetapi ia bisa menjadi simbol kekuasaan. Atau kita ingin menulis tentang kursi tanpa harus mencatatkan kata-kata kursi di dalamnya. Dan tetap fokus. Begitu juga dengan merah, selain sebagai warna, bisa juga sebagai ungkapan marah, tanda berhenti, semangat, dsb. Coba kita simak penggalan-penggalan puisi Tri Aryani, Duniaku. Duniaku, kenapa kau begitu kejam/ Duniaku/ Kadang engkau baik dan kadang engkau jahat/ .... Hidup di dunia ini /sangat membawakan teka-teki....Duniaku, kami tak tahu diri/ sudah numpang padamu buat marah/terimakasih duniaku/kau telah menyadarkan kami tentang semua hal. Apa yang ingin disampaikan Tri Aryani sebenarnya? Hal Ini bukan ambiguitas, tetapi lebih kepada ‘bingungitas’. Lalu bagiamana dengan Dahlia, Shareza Hafiz, Wiwin Astria, Harne Gitari, Muhammad Ilham, Riyan Pradesyah, Samsinar, Lastri Bako, Dedi Irawan, Nurmala Sari, Afidah Munawwarah N, Muhryati Syafitri, Rifa Atur Ridha, Suriati Dalimunthe, Ummi Habibah Damanik, Indri Wahyuni, sampai Afiv Toni Saragih. Penulis yang tergabung dalam antologi ini (lebih kurang 60 orang), mungkin memiliki situasi pemahaman yang ‘khas’. Hal itu kita maklumi karena tidak terlepas dari psikologi dan latar belakang sosial yang berbeda. Akhirnya, ide yang baik harus tetap didukung. Persoalannya adalah apakah kita lebih memilih berpuas diri dengan apa yang ada, tanpa adanya upaya untuk mengasah segenap kemampuan untuk lagi, lagi, lagi menjadi lebih baik? Atau justru jatuh lebih dalam dan terpuruk dengan kebanggaan nisbi? *Penulis adalah Direktur Komunitas Home Poetry M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Beberapa karyanya masuk dalam beberapa antologi, seperti Tanah Pilih (antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi) dan Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen Temu Sastrawan Indonesia II, Bangkabelitung), Pulau Marwah (TSI Tanjung Pinang), Akulah Musi (Temu Penyair Nusantara, Palembang). Sinetron, Film, maupun IKLAN. Kegiatan yang di kuti selain di Medan-Sumatera Utara, PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif Gedung Kesenian Jakarta Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki, Panggung Idrus Tintin, Riau, Taman Budaya Banda Aceh, Taman Budaya Lampung, Solo, Panggung Penyair Se-Asia Tenggara, Tanjung Pinang,dll. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar/Majalah Nasional/buku di Malaysia, Radio Nederland, Cyber sastra,dll. Sering menjuarai berbagai lomba selain lomba baca/cipta puisi, cerpen, lawak, dongeng, proklamasi dan juga Teater lokal, nasional maupun Asia tenggara. Tarung Penyair Asia Tenggara dinobatkan sebagai unggulan I. Termasuk lima besar Lomba Cipta Puisi Nasional, Bentara Bali Post. Selain masuk sebagai pengurus di beberapa organisasi seni, sastra dan budaya, ia aktif juga dalam kegiatan lainnya termasuk dunia politik. Sering didaulat sebagai Sutradara, juri dan pembicara, atau narasumber terkait. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED, juga sebagai Koordinator Omong-Omong Sastra Sumatera Utara dan Direktur di Komunitas Home Poetry. Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 085830805157 Mail:mraudahjambak@plasa.com, mraudahjambak@yahoo.com

No comments: