Wednesday, 23 September 2020

OPINI ; MEDAN

SASTRA, MEDAN DAN MASYARAKAT URBAN Oleh : M. Raudah Jambak, S.Pd Kampung Medan dulu/lahir dari kegigihan Guru Patimpus/di antara dua /ertemuan sungai Deli dan Babura/jernih airnya tempat ikan bermesraan orang orang mandi berenangan/sampan dan kapal datang dan pergi Demikian sebuah petikan puisi Kampung Medan yang ditulis oleh Afrion sejatinya bicara tentang ironi keinginan, atau semacam kerinduan. Kegelisahan demi kegelisahan muncul mengejewantah. Lihat saja, bagaimana fenomena hidup dan kebidupan berseliweran di depan mata. Tentang kemacetan kota, gedung-gedung yang menjulang tinggi, atau mungkin gelandangan yang tak pernah habis-habisnya pulang dan pergi. Persoalan-persoalan itu selalu lahir dari ujung pena tidak hanya wartawan tetapi juga sastrawan. Dia tidak pernah habis, pun tak pernah akan selesai. Seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Irmansyah bahwa Urban bukanlah kenyataan yang terbentuk secara kebetulan. Tapi, ia adalah bagian dari apa yang kita kerjakan di masa silam, yang di dalamnya termasuk berbagai kebijakan politik yang tidak adil, konsep dualisme kota-desa, dan kini terhubung dengan pemiskinan masyarakat pedesaan. Sejarah itu, pada ujungnya, melahirkan kenyataan urban yang tidak terlepas dengan kenyataan kemiskinan dan pemiskinan, karena kelahirannya adalah sesuatu yang dikondisikan. Kandungan sastra tentu tak lepas dari ragam persoalan kehidupan manusia dengan segala tetek-bengeknya. Semua terpapar dengan filosofi dan citraannya. Kekayaan pengalaman referensial dan faktual yang dimiliki pengarang dapat mewarnai karya dengan ketajaman pena dan kedalaman makna yang dikandungnya.Sastra urban adalah kebangkitan sastrawan kebangsaan: sastra yang mampu memaknai kata dan menggetarkan kehidupan kemanusiaan. Sastra yang menyentuh dan bukan menyinggung: menghidupkan kembali ruh bangsa yang sekian lama belum terumuskan. Bukankah sesungguhnya usia kebangsaan di negeri ini jauh Iebih tua dari usia negara? Maka sastra urban akan memfungsikan dirinya sebagai sumber perenungan, yang mampu berperan aktif untuk merumuskan kenyataan, mengabarkan keadaan bangsa manusia dimana tanah, sawah dan ladangnya telah berganti rupa, menumbuhkan pabrik-pabrik. Kebiasaan (tradisi) menanam telah lama berganti menjadi keterpaksaan membeli. Konflik internal ini, sesungguhnya, sengaja dikondisikan oleh sebuah desain yang maha besar untuk kepentingan kapital. Akibatnya, sebuah perangkap diciptakan untuk menangkap dan menampung makhluk manusia, kemudian dihabisi tanpa kemanusiaan: dikejar-kejar, ditangkapi dan dimusnahkan daya hidupnya. Tapi, seniman (sastrawan) selalu berusaha untuk menemukan ruangnya karena tuntutan nurani. Menjadikan sastra sebagai media yang selalu merdeka, merangkum persoalan hidup, yang lahir dari kesejatian manusia: layaknya sebuah puisi yang mencitrakan tragik kehidupan yang sesungguhnya. Kota takkan memberi ruang kultural bagi mereka dan mereka dipaksa untuk menjadi konsumer, bukan memproduksi. Tak dapat dibayangkan, dalam hitungan kira-kira, 20 tahun ke depan, generasi (anak cucu) kita akan makin tumbuh invalid karena kehilangan akar budayanya. Seni akan berubah menjadi iven dan ini sudah jelas bukan citraan hidup manusia. Dari sinilah sastra urban 'mengada', menyiapkan perangkat dan fungsinya, menyelamatkan kehidupan kemanusiaan! Coba kita bayangkan bagaimana seorang Gayus Tambunan begitu lihai dalam ’mengolah’ kebijakan pemerintah yang tak jelas menjalankan hukum. Justru lebih asyik mempersoalkan hal-hal kecil yang sebnarnya tidak perlu dipersoalkan apalgi sampai dipublikasikan. Miris memang, tetapi sisi baiknya masyarkat menjadi semakin cerdas dan bernas dalam menanggapi persoalan itu. Walaupun anrkisme mau tidak mau tidak mampu dibendung. Ia begitu padat dan penuh dengan segala kekisruahan. Seperti yang mungkin disimbolkan oleh Ook Nugroho dalam puisinya. Sajak-sajakku telah penuh/Tak tahu di mana lagi mesti menaruh/Harapan dan keluh-kesahmu itu/Kata dan baris begitu berjejal/Ada yang terpaksa berdiri/Bergantungan pada judul di pintu//Seperti bus kota di Jakarta/Banyak impian musti ditinggalkan/Sebagian rencana terpaksa dibatalkan/Beberapa lagi hilang tercopet waktu/Terlantar begitu saja sepanjang jalan/Macet penuh rambu-rambu/ Menunggu seribu tahun lagi/Barangkali saja masih ada/Bus kota lain yang masih kosong//Tujuan masih jauh/Tapi sajak-sajakku telah penuh/Mimpi-mimpimu, keluh-kesahmu itu/Maaf, tak bisa ikut terbawa (Bus kota,2008) B agaimana kota ternyata lebih padat dan pengab dari bus kota itu sendiri. Masyarakat kota terbiasa dan biasa dengan segala ketidakjujuran. Terbiasa memlihara perselingkuhan dan pengkhianatan. Penuh sehingga tak tahu legi harus ditempatkan dan diletakkan. Hm, walau pada akhirnya harapan tak pernah berhenti dilimpahkan yang pada titiknya harus sampai pada pintu kekecewaan. Afrizal Malna justru lebih ekstrim lagi dalam menanggapi persoalan ini. Ia mengatakan: Aku tidur di depan sebuah kulkas. Suaranya berdengung/ seperti kaos kakiku di siang hari yang terik. Di dalam kulkas/ itu ada sebuah negara yang sibuk dengan jas, dari dan/ mengurus makanan anjing./ (puisi ”Persahabatan dengan Seekor Anjing”), atau, Ia baru saja bangun, menggeliat bersama mentega dan telur/ dadar. Pagi ini, ia sangat sibuk membuat tokoh-tokoh baru/ di atas tempat tidur, terdiri dari perempuan dan lelaki./ (puisi ”Aku Lahir dalam Kardus”). Hal itu terjadi dan terus berulang, termasuk di kota besar seperti Medan. Sastrawan, seniman dan budayawan tak pernah luput melahirkan karya-karyanya lewat puisi, cerpen, novel, ataupun esay dalam membicarkan ’meneropong’ kekisruhan sebuah kota mulai dari bawah jembatan atau gedung bertingkan sembilan. Tapi apalah daya seperti kata TS Pinang masyarakat laksana sepasang kaki yang tak pernah memegang kendali, pun ketika bersepeda. Kami ini sepasang kaki, kami mengayuh tungkai sepeda, kiri dan kanan bergantian, sesekali berjeda, semakin laju sepeda kami semakin kami tahu ke mana kami menuju. Kami hanya sepasang kaki, bukan pemegang kendali, yang kami tahu hanya membuat sepeda kami lancer meluncur maju. Kadang kami membawa penumpang, sebongkah pantat, sekarung kentang, atau bebek calon santapan yang dipadatkan didalam keranjang. Kalau kami boleh memilih, kami lebih suka membawa telur. Kami bahagia membayangkan telur itu kelak akan menetas menjadi ayam yang kelak bertelur juga. Scenario lingkar kehidupan, kami tak bahagia membayangkan telur itu busuk atau punah di piring sarapan manusia. Tapi kami tak bias terlalu memilih. Kami ini sepasang kaki. Kami mengayuh tangkal sepeda. Mengayuh saja.(Bersepeda, 2008) Demikian. Semoga sastra (medan) pun demikian tak hanya sebagai kaki, tetapi ia akan menjadi sepasang tangan yang lihai memegang kendali. *Penulis adalah direktur Komunitas Home Poetry

No comments: