Tuesday, 22 September 2020

PUISI-PUISI M. RAUDAH JAMBAK

MEMBACA AWAN MENGHITUNG RINTIK HUJAN Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Bukan karena rintik itu berderai atau pecah maka kau mengundang pesta ke dendam hatimu yang sewarna pinggul kuali. Aku memahami irama didih hujan di bilik panci-panci. Atau awan wedang panas yang mengepul pada puncak gelas. Alahai, bukankah kau sendiri yang menciptakan dansa caca pada sepasang sendok dan garpu? Jangan pernah merasa bahagia atau sedih, karena ia semacam sarapan pagi yang menggigilkan dingin. Pun, barangkali matahari yang dihanguskan bara api. Bekunya kau pahat menjadi patung para peri, abunya kau jadikan kaligrafi. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur “Jangan buang. Jual saja,” ujar kekasihmu yang tengah mengunyah desau angin. Entah mengapa, ia tak pernah berhenti mengidam. Padahal niatmu hendak memilah hujan, lalu menyematkannya di sudut matamu Dan ketika kau meninabobokkan malam, gerimis meringis. Tanpa kau sadari, ia berkali-kali mengetuk jendela kamarmu. Ia menggigil melihat kau menyetubuhi mimpi. Sementara di sudut kelam dapurmu ada yang diam-diam menyulut dendam. Gelas-gelas panas. Piring-piring sinting. Sendok-sendok sengok. Kompor-kompor menjelma provokator. Mereka sepakat mengobarkan perang dengan kesaksian kucing renta yang tak henti mengibaskan ekornya. Mereka bersorak persis disaat siaran televisi kehilangan imajinasi. Ah, katanya, baru saja perutnya mual, lalu mulutnya memuntahkan telenovela bersama suara sirene di kepalamu. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Betapa luka perasaannya, seandainya kau tahu tidak ada apa-apa yang terhidang di sana. Pun, termasuk ketika kau selesai menikmati hidangan awan penuh selera. Tetesan sambal, serpihan tulang-tulang, ataupun tumpahan jus anggur yang tak kau sadari memerihkan hatinya. Walau kau lapis wajahnya dengan beludru merah jambu. Seperti geliat rayap di lendir banjir, seekor tikus mendengus. Ia mengutil rimah-rimah semur kambing, kemudian diam-diam membungkusnya dalam kantong plastik untuk orang-orang tercinta. Dan menghidangkannya kembali pada seriuh meja dapur dengan keropos-lapuk di kakinya. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Anak-anak hujan berebut telur rebus terakhir yang sebenarnya sengaja kau sisakan untuk sarapan kucing setiamu. Padahal sebelumnya awan sengaja menghadiahkan mendung untukmu, sebab seekor ayam betina yang tersesat di dapur diam-diam bertelur di ujung garpu. Entah mengapa kelebatan meteor di matamu, menjelma setengah kehidupan yang menyembul di serpihan telur rebus yang jatuh berantakan terinjak tapak-tapak kaki hujan. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Persis siang ini, ketika hujan perlahan beranjak pergi. Kau biarkan sunyi diam-diam menghitung rintiknya. Mungkin yang tertinggal hanya gelisah barang pecahbelah. Yang tertinggal aroma rindu terasi ibu. Yang tertinggal cerita masa kanak. Yang tertinggal kesumat keringat para lelaki.Yang tertinggal sesak dada senja. Yang tertinggal tentang kisah kucing renta yang tak henti mengibaskan ekornya. Ah, semoga ia tak lupa mengirimkan surat-surat kerinduan tanpa baris-baris kecemasan. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur KOMUNITAS HOME POETRY, 020612 MEMBACA TONGGING Acapkali rasaku menjelma siluet pepohonan, yang berdiri kokoh, berharap sekelebat bayangmu menjejakkan aroma wewangian dupa di antara bisik daun-daun: Bias langkahmu semakin temaram di sela peluh rerumputan. Gumpalan awan berebut menggantungi matahari ketika kau hibuk menancapkan tapak-tapak kaki, lalu kuraut wajahmu sehalus guci: Laiknya seniman yang mengabadikan karya seni sejati. Lalu kuhadirkan pelangi di kanvas hati, melintas batas-menembus dimensi tempat kau terbiasa menari Abadikan harum aroma tubuhmu: Entahlah, debur jantungku berdegap berkali-kali. Lalu, akupun menjelma terompa di tapak kakimu yang lembut, bergesekan bilah kaca atau hunus duri mereguk alir peluhmu: Mewaspada tubuhmu yang memaku dan bias matahari yang beringsut memohon diri Dan senja membawamu mengajakku menuju malam, mengurai kembali segala kenangan di pinggir Toba: Persis dibebatuan-di kawalan rerumputan, kau terdiam, menikmati remang cahaya matahari yang perlahan terbenam, aroma tuak melintas sekilas dari lapo Amang yang setengah tumbang di belakang kita. Laksana perwira yang berjaga di perbatasan alis tipismu, di perbukitan mancung hidungmu, di seputar telaga matamu. Di ranum senyummu, kau aromakan beragam hidangan dongeng dan legenda Di depan kita berloncatan riak-riak kata, berlatar sibuk kunyahan kacang sihobuk. Sebuah nostalgia menari-nari di layar mata tentang temaram Tongging yang sejuk-yang bersahaja di jumpa pertama: Sebungkus ombus-ombus kau tawarkan sekadar hambarkan gemetar lapar pada ceritamu tentang beban yang terjejak sepanjang perjalanan dari kampung halaman, keluarga yang ditinggalkan. Ruap asap jagung bakar, yang mengisahkan persawahan, ladang dan hutan-hutan Awan hitam membuka lembaran laklak pada barisan kata yang berjatuhan Adat seolah memperkenan pemberian marga antara kepentingan dan kebanggaan Hidup sekarang hanya memenuhi kebutuhan antara perut dan mulut, ujarmu Siang dan malam seolah tak pernah ada sebab derita yang tak jelas ujungnya Malam mencapai puncak kelam, kita perlahan mencari hangat dalam diam Pada bahuku yang aduh, engkau pun luruh. Adakah isyarat yang dapat terbaca dalam kelam, bisikmu bergetar. Jika aksara lahir dari hati, maka biarkan ia mengalir laksana air. Dan seandainya kata hadir dari segala tipu daya, maka enyahkanlah segera sebelum kita terjerat di dalamnya. Malam bukanlah kanvas kebimbangan, tetapi ia adalah keyakinan dan harapan tentang sebuah kepastian. Dan engkau pasti sudah membaca aksara jiwaku: Mendengar debur ombak di dadaku. Membariskan irama beribu bintang tentang senandung rembulan. Aku adalah matahari di hujan dadamu yang melahirkan pelangi, bukan sekadar melukis mimpi-mimpi, tetapi aku ingin kau terus menjadi seorang penari dengan irama paling setia: Embun lalu luruh dari dedaunan dan gigil beban Pada bentangan langit paling luas kuajak kau terbang sambil menyanyikan semesta. menggugurkan berjuta irama dengan sempurna: belahan rasaku yang akan memberikanmu sayap berjuta warna, dan kita arungi semesta, bersama Medan, 08-10 AKULAH WAKTU, KAULAH MASA, KITA CATAT SEJARAH /1/ Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya sesungging senyum Tongging Akulah Waktu yang kehilangan makna beban Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan Sebab ia adalah cermin buat berdandan Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah. Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak /2/ Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi. perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara. mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta! Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari di seputar wajah danau toba Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut. Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa yang berburu zikir bersama Khaidir lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa! Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad! Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah! /3/ Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian. di aliran waktu di aliran rindu di aliran cemburu sederas sipiso-piso sedingin sidompak Komunitas Home Poetry, 2008-2010 DI POJOK RUMAH SAKIT BERLANTAI TIGA : fragmen-fragmen penyembuhan Di pojok rumah sakit berlantai tiga Detik maut pelan-pelan mengukir nisan memipih-pipih umur kami Setiap tetes air mata yang jatuh adalah harapan yang perlahan menjauh Sakit kami seolah menghunuskan napas yang semakin aus Berharap izrail menunda waktu melepas sauh Berharap tuhan masih berumah di tubuh Jika ternyata hidup hanya di genang air mata Biarlah jiwa yang lara tenggelam di dasarnya Melumpurkan debu-debu kesakitan yang meradang Pada raga di kurung masa ke masa Jika ternyata hidup hanya di genang air mata Biarlah angin mengirimkan lembut lengannya Membawa segala aroma-aroma telaga surga Dari kepedihan seluas samudera Jika tenyata hidup selalu di genang air mata Maka hapuslah lara kami, hanguskan duka kami Biar jadi debu, biar jadi abu yang dihanyutkan Sungai-sungai hati menuju muara cinta Jika ternyata hidup selalu di genang air mata Adakah tempat untuk membangun dermaga Tempat kapal-kapal kami membangun rumah Menyusun segala rencana menuju ke pulau bahagia Padahal pernah kami serahkan utuh-utuh hati kami, padamu Tetapi kau balur jiwa kami sepenuh empedu Mata kami yang berpijar, berbinar Tetapi padamu kau susun kelam, buram Kami berpikir kau adalah pengobat hati Ternyata kau bakteri yang menanam nyeri Aduh, ibu Bersebab narkoba kami celaka Aduh, bapak Bersebab narkoba kami merana Aduh, tuhan kami Kami terlanjur lupa memaknai diri Dulu ketika hidup kami di belenggu ragu Siapa lawan dan kawan kami tak tahu Dulu ketika cinta di gunting putus asa Tak ada tempat berbagi suka dan duka Dulu ketika segalanya hilang entah ke mana Psikotropika seolah sahabat berbagi duka Ternyata setelah berbagi setia berlama-lama Lara hati membara sepanjang usia Membelenggu jiwa Menumpuk derita Membisa racunnya Di pojok rumah sakit berlantai tiga semoga maut enggan menjemput umur kami Setiap tetes do’a membasuh adalah harapan yang berlabuh Sakit kami adalah sampan-sampan sebuah pengakuan Berharap izrail menunda waktu melepas sauh Berharap tuhan masih berumah di tubuh Medan, 01-09 SAJAK SAYANG NA SIPUANG Tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri Tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki Kami gualkan Kami tarikan Untukmu kekasih hati O, Na sipuang, Na sipuang (Sonaha...i huda-hudai do namatei....) Engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan kasih Engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan sayang Melalui kibasan enggang doa-doa dilayangkan Melalui hembusan angin harapan diterbangkan Adakah yang lebih indah dari cinta seorang ibu Sejak kandungan harapan ditasbihkan Setelah lahir kasih mengalir seperti air Ketika dewasa menggudang segala cita O, Na sipuang, Na sipuang (Sonaha...i toping-toping do namatei....) Ditalun-talun kisahmu tersiar Ditalun-talun kisahmu terkabar Di tanah ini kami mengobar mandillo tonduy Di tanah ini kami senandungkan urdo-urdo i Adakah yang lebih sedih dari tetes tangis ibu Yang tak sempat tasbihkan harapan Yang tak sempat mengalirkan kasih Yang tak sempat membaca cita-cita O, Na sipuang, na sipuang Kami tabuh gonrang Demi menjeput Segala riang Tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri Tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki Kami gualkan Kami tarikan Untukmu kekasih hati KOMUNITAS HOME POETRY, 06-12 MAKA BATU SEHINGGA LUBANG pada lorong ini kata-kata berlumut di dinding-dinding gua suara-suara beradu teriak di gendang telinga entah mengapa desing peluru itu tak juga enyah ia menyusup terus pada kisi-kisi pikir pendatang yang datang dan pergi pada lorong ini saudara tua pernah mencatat kuasa di dinding-dinding gua ada sejarah yang mengering tapi kemanakah halaman lembar-lembar yang terkoyak dari buku pelajaran sekolah? Ah, mungkin ia sekadar singgah di negeri entah pada lorong ini batu-batu mengeraskan kata-kata saudara tua di dinding-dinding gua mewartakan sejarah dan kisah-kisah lama adakah luka tercatat pada peta atau lubang yang semakin meruang? Lalu kemana pendatang yang datang dan pergi? Mungkinkah mereka sekadar singgah di negeri entah, ah komunitas home poetry, 2012 PORTIBI sesekali kutelusuri bilik sempit sudut kusam, cagar sejarah dan relief dingin memaknai kediamanmu yang berdebu dan gosong pengetahuan tak ada catatan yang tertinggal selain kegalauan merubung dada dan kanak berebut benang putus layang serta sorak kegembiraan yang menyusup di dinding-dinding senyap komunitas home poetry, 2012 TUGU GURU PATIMPUS ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan yang terlepas hurup-hurupnya dari paragraf-paragraf usang sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan perjalanan, mengekalkan peradaban urban di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya diam-diam pada bulan ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari menghibur para petualang yang sejenak datang mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain membenam teriak segala pongah, mencampak derak suara ke langit terbelah di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara percik riwayat kisah-kisah semangat juang di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula pemancakan gedung-gedung nan gagah dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang, yang entah kapan pergi Komunitas HP, Medan, 10-1 KOLOLI KIE Mengelilingi Gamalama adalah menyulam sebuah kelahiran Berhenti dari satu jagoru lamo ke jere lain seolah ziarah Ke makam nabi-nabi Mengelilingi Gamalama adalah menghirup nafas kehidupan Memberangus satu bencana menjeput gairah-gairah seolah Melontar jumrah Mengelilingi Gamalama adalah mewariskan kasihsayang Menikmati kelembutan toma nyolo, mendekap kehangatan Toma nyiha Mengelilingi Gamalama Aku dodoki ali Aku dodoki mari komunitas home poetry, 2012 SUNGAI SIAK Dari jembatan letong kukunyah riak air menitip intip patin-patin. Entahlah, mungkin muntah pasar bawah mungkin batuk tanjung datuk dari jembatan letong kuhapus tetes air merayap jatuh di pipinya yang keruh. Entahlah, mungkin gertak tongkang Mungkin gerah limbah Dari jembatan letong kusaksikan peluh air terkenang sejarah sirih yang pedih. Entahlah, mungkin sejarah pohon-pohon batu mungkin rerak sendi tanah-tanah retak dari jembatan letong siak begitu kepompong rumbai, 10-11 SEBAB AKU PEREMPUAN Gerai rambutku Binar mataku Mancung hidungku Tipis bibirku Maka, Membara kelelakianmu Tunduk kepalaku Terbungkus tubuhku Terbata mulutku Perlahan langkahku Maka, Surut perasaanmu Selalu Hawa yang dipersalahkan Ketika Adam mencicipi buah keabadian Sebagai penyebab sebuah ketelanjangan Bibit huruhara persengketaan Yang memabukkan Selalu Cleopatra menjadi cibiran Ketika lelaki harus menghunus senjata Membunuh saudara sendiri Demi sebuah pengakuan Dan cinta Selalu aku merelakan pengorbanan Untuk sebuah ketidakpastian Dari janjijanji bersayap cumbu Bagi kumbang Penghisap madu Sebab aku perempuan Maka, perasaanku Kau permainkan BUKAN KARENA, TETAPI Bukan karena hiba Dan tetes air mata melukis pilu segala warna duka Menggores di kanvas segala luka penuh amarah yang memerah atau pedih segala perih memudarkan rona memudarkan rasa Bukan karena apatis hingga hasrat harus teriris Meninggalkan catatan Sebuah kenangan Di buku harian Pada halaman-halaman tertinggal Tetapi, karena aku perempuan Yang merawat segala cinta Dan kasih sayang Di hatimu MEMBACA POTRET KARTINI Membacamu adalah menerjemahkan makna Alis yang bertengger di atas bening binar matamu Yang mengisyaratkan cita-cita Dan cinta Membacamu adalah mencatat patahan Pada sketsa hidungmu yang membaui Aroma segar nurani Murni Membacamu adalah menafsirkan hakikat Keperempuanan yang disalahartikan Tentang kesamaan Dan kesetaraan MENGHITUNG LANGKAH sepanjang trotoar usang peradaban kuhitung langkahmu sampai ke ujung jalan kuhirup aroma tubuhmu yang melayang dan terbang bersama debu jalanan komunitas home poetry, 2012 SAJAK KEDIAMAN rasuk aku pada kata-kata usang pada baris-baris puisimu yang sungsang goresan rindu dendam telah kusyairkan pada lirik-lirik kalimat lantam ia menyelinap disela-sela pesan baris syair tentang matahari dan bulan membawa ingatan pada catatan-catatan terakhir tentang siang dan malam komunitas home poetry, 2012 MEMBACA BIAS SILAU MATAHARI membaca bias silau matahari seperti melangkah di gurun padang pasir tetabuh kegalauan meraung di pucuk gunung menancapkan tegak siang yang gersang komunitas home poetry, 2012 MEMBACA SERIMBUNAN AKAR membaca serimbunan akar yang menembus kedalaman bumi menusuk di jengah ceruk-ceruk tanah mengundang sedak dan terdesak komunitas home poetry, 2012 MEMBACA ASPAL Mungkin banyak yang belum mengerti Mengapa aspal selalu memaknai kerebahannya Ada yang datang dan pergi Ada yang disambang dan terbuang Ada yang menjelang dan menghilang Ah, andai saja ia bercerita tentang kita, tentu Kau dapat menebak ke mana arahnya Tetapi, ia lebih memilih kebungkaman Baginya hal itu lebih indah ketika menikmati Segala kebisingan dan kecemasan kita Serta kerahasiaan yang sampai saat ini Belum dapat kita pecahkan, walaupun Sesekali waktu kita mencoba membongkarnya Lalu menutupnya kembali sambil membawa Rasa kecewa sekaligus rasa lega dan bagi kita Pun tidak faham ke mana muaranya (tentang sebuah kelemahan adalah kekuatan) MEMBACA USIA mungkin aku yang terlalu bernafsu mencumbui waktu padahal jalanan ini masih seperti yang kemarin, tempat kita selalu menghitung jumlah tapak kaki yang kita jejakkan dan cuaca selalu bercanda dengan kita membiarkan kita blingsatan membaca usia, lalu ia tertawa diam-diam sambil melangkah pergi tapi, hari ini aku hanya bisa mengutuki uban yang tak pernah pergi walaupun sesaat PIRING Bukan karena piring itu kosong atau berisi lalu kau merasa bahagia atau sedih. Tetapi, ia juga mampu menjerumuskanmu ke penjara. Bersebab karena perutmu yang kosong, atau malah kekenyangan. “Jangan buang. Jual saja,” ujar istrimu yang tengah hamil tua. Entah mengapa, ia tak pernah berhenti mengidam. Padahal niatmu hendak memberikan piring usang itu ke tetangga dan ingin menggantikannya dengan yang baru. Dan ketika makan malam bersama wajah istri dan anakmu berbunga-bunga melihat kilau piring baru. Mereka bersorak persis disaat siaran televisi menyiarkan sekumpulan bocah di penampungan mengangkat tinggi-tinggi piring kaleng di tangannya. ....perutmu mual bersama suara sirene di kepalamu. MEJA MAKAN Betapa luka perasaannya, seandainya kau tahu tidak ada apa-apa yang terhidang di sana. Pun, termasuk ketika kau selesai menikmati hidangan penuh selera. Tetesan sambal, serpihan tulang-tulang, ataupun tumpahan jus anggur yang tak kau sadari memerihkan hatinya. Walau kau lapis wajahnya dengan beludru merah jambu. Untung saja pembantu setiamu segera menyadari itu, sambil sesekali mengutil rimah-rimah semur kambing kemudian diam-diam dibungkusnya dalam kantong plastik yang memang sudah dipersiapkan dari rumah, untuk suami dan anak-anaknya. Dan menghidangkannya kembali di atas meja makan dengan keropos-lapuk di kakinya. TELUR REBUS Anak-anakmu berebut telur rebus terakhir yang sebenarnya sengaja kau sisakan untuk sarapan pembantu setiamu. Padahal sebelumnya pembantumu sengaja menghadiahkan untukmu karena rasa bahagia, sebab seekor ayam betina yang tersesat di dapurnya diam-diam bertelur di atas bantal tempat tidurnya yang beralaskan jerami penuh rayap. Entah mengapa kau begitu murka, begitu tahu ada setengah kehidupan yang menyembul di serpihan telur rebus yang jatuh berantakan dari tangan anak-anakmu. SAMBAL TERASI Pembantumu begitu gembira begitu sambal terasi asli buatannya kau lahap begitu saja. Padahal bau busuk yang enggan singgah dari mulut dan tanganmu membuat anak-anakmu kehilangan selera. Sayang kau tak menyadari makna hakiki sebenarnya dari bau busuk dan pedasnya. LOTUS Mungkin setelah lotus bertunas pada hati kita Tak ada ketakutan selain cinta berwarna merah muda Yang terus membawa harumnya kemana-mana Ia menjadi sebuah kekuatan yang mengagumkan Ia menjadi keberuntungan yang menyadarkan Dan ia menjadi hidup di setiap kematian kita Maka, setelah lotus lahir dari hati kita Kemanapun melangkah tak ada lagi jarak Ruang maupun waktu yang berdetak Sedegup jantung. Selalu berbinar Seterang matahari, seindah bulan TERATAI MERAH Lalu, apa arti cinta sesungguhnya bagimu Apakah ia laksana kuda jantan yang terengah-engah, Ataukah ia seindah kelopak teratai merah yang terbuka? MAWAR MERAH Dengan segenap keyakinan, aku bertandang Kuharap kau sedang menungguku di ruang tamu Tempat biasa kita berbagi cerita dan cinta Jangan lagi kau sulam amarah, dari sisa kebencian Sehabis hujan deras semalam. Sebab, aku sendiri Gamang apakah itu yang dinamakan cinta Aduh. Getar dada ini semakin debar. Tetapi, Dengan setangkai mawar ini kita akan raup Aroma rindu di taman hatimu yang penuh warna SYAIR SAJADAH Mungkin zikirku zikir kayu hanyut yang terombang-ambing Di permainkan laut. Kadang terdampar di pasir, kadang tenggelam dalam air. Tak seperti perahu walau senantiasa basah, senantiasa pula ia belayar Tapi tahu kemana harus terdampar mengenyahkan segala gigil Menghalau segala debar Amboi, adakah do’a ku kan sampai padamu Tuhanku Seperti Nuh yang memutuskan tali-tali kufur dari tonggak-tonggak rapuh Seperti Ibrahim yang mendinginkan bara-bara angkara api Seperti Muhammad yang menebar maklumat sepenuh hikmat Mungkin zikirku zikir debu dari rapuh kayu-kayu yang dihembuskan Angin bisu. Semacam lagu-lagu rindu, semacam pilu kelu Dan kemudian tersangkut entah kemana, entah dimana pula berimba. Padahal syair-syairku adalah syair-syair sajadah Syair-syair basah Amboi, adakah zikirku zikir rindu atau zikir-zikir ragu padamu Tuhanku Seperti kabil yang menghilangkan jejak-jejak habil Seperti zulaikha yang menyusupkan syahwat di dada Yusuf Seperti Syekh Sibli yang merampungkan cinta Al-Halaj dengan bunga Mungkin zikirku zikir airmata yang mengalirkan Syair-syair sajadah basah yang bermuara pada entah KOMUNITAS HOME POETRY, 2012 MENYUSURI KOTA KOTA SUNGAI 1. Menyusuri sungai, ketekketek bersin Menggeram pada isak gemuruh mesin riakriaknya menari pada perih segala sedih rindu muara penawar tubuh segala ringkih di gemuruh hati yang gaduh ada luka membawa cerita di sepanjang alirannya ada sesuatu yang belum terbaca tentang sebuah pemandian putriputri raja yang menari melintasi perkampungan dan pabrikpabrik yang berdiri bagai raksasa pada tepiannya, serta sejarah terkubur yang tersusun sempurna menutupi kubangan lumpur di bawah kayukayu penyangga dari kidung buaian ah, apakah dayangdayang tengah menarikan tarian selamat datang atau sekelebat ibuibu yang tengah mencuci di depan jamban kayu sepanjang tepian perigi segala sepi Eit, sepasang camar saling bertatap mesra, di atas sampan yang melintas pelan. Wajah mereka terlihat kelelahan. Angin berhembus sangat lamban mengantar ke sebuah kota yang bernama kenangan setua usia benda-benda purbakala Sambil meneguk setetes air membawa ingatan tertahan dari sebuah perjalanan pergi dan kembali sebuah kenangan sepanjang hari awan merangkak pelan mengabarkan permulaan salam perjumpaan 2. Menyusuri sungai, terbayang segala kenang tongkang menerjang. Berlari kencang garang Permukaannya membelah memberi jalan Musa dari kejaran raja Fir’aun yang memendam luka Pada peta hayalku yang aduh terdaftar ragam cinderamata. Serta hadiah perpisahan upah sebuah pelukan sepanjang kota . Warnanya menggambar sebuah kecemasan juga rahasia yang belum sempat terpecahkan semesta laksana kendaraan Musa, lajunya menikam-tikam terjebak monopoli minyak Fir’aun sepenuh dendam yang usianya melampaui batas keserakahan tentang sebuah keimanan dan keyakinan anak angkat kepada Tuhan yang terpendam nyaman kerakusan ayah angkat yang ingin melampaui kekuasaan saat gelombang terbawa pulang. Riaknya yang tenang begitu meninabobokkan. Di depan terpampang kenang sebuah kanvas perjalanan yang kita susuri. yang bergoyang kita seolah diajak menari 3. Menyusuri sungai, pengeruk klutuk pasir menyisir Laiknya seorang gadis yang menunggu penyair permukaanya menggelombang sesekali di tepiannya bocahbocah telanjang menari Menyusuri sungai, kota-kota seolah menyendiri Menyusuri sungai, kota-kota seperti sepi SUARA MENYERUAK DARI DASAR SUNGAI 1. pada aliran sungai bangkai melintasi bebatu tak kuharap kau senandungkan debu-debu pun mungkin ceracau bajaj yang berlari hiruplah aroma kesumat birahi ini di hirukpikuk pengendara atau pengguna jalan raya 2. disesaki asongan dan gelandang kau bukanlah pemakaman tanpa kenang hanya saja kau selalu hembuskan aroma bangkai pada air menggenang aku haru pada pekat airmu, haru pada senandung lapar zikir terbuang menarikan sampan sampah bersama goyang riak pelepah yang menghanyutkan suara-suara dari mulut penuh serapah 3. dan rauplah cuka lalulalang aroma segala pembusukkan segala pembusukkan 2008 UJUNG PENA SUNGAI TINTA 1. Sepenuh musim kugali kata dari ujung pena sungai tinta. Sepanjang musim itu pula kusemai lembar kota, menusuk--merasuk di rampak tik tak tik tak jarum jam yang berdetak. Seutuh musim ke musim mewarta dendam peta sengketa, menceracau bak pemabuk berdiplomasi. Menguras sumur alkisah dengan segala menu basi, berakhir suka atau duka. Seluas musim- musim melayarkan perahu galau, pulau demi pulau, bersama kemudi kecemasan. Menembus segala musim membebas ruang kuli tinta, menggali sumur kata-kata pengab rahasia. dan, di titik penentuan, beragam ujung pena- musafir, mereguk cinta dari sumur kata-kata. 2. Setelahnya prosesi sunyi. Kemudian kehadiranmu persis sekadar kemunculan yang tak beraturan di setiap desis Menunggumu pun tercipta ritual ujung pena. sebuah pesta dari segala napas peristiwa cahaya matahari menghadirkan madu makna menetes dari mata air jiwa dan para kuli tinta terus menguras sumur kata pada lembah segala wacana, menyisir-ranjaunya di setiap titik perhentian langkah pena Yang tertinggal mungkin tapak-tapak kaki juru bicara, bertopengkan segala wawancara para dasamuka Pun lenyapkan segala jejak tapak-tapak para musafir gagak yang berwajah kuda berbulu serigala. Lesapkan segala gerak 3. langkah yang mengonak Pada tubuh, peluh mulai terasa membasuh lesatkan aroma sesak segala muak ke udara. Lalu orkestra zaman menggumuli musim berkali, meninabobokkan sepenuh istirah. Lalu sunyi, lalu sepi, menutup diri. Bibirpun meloncatkan segala rahasia sumur kata, ladang menggemuruh-hutan belantara Para pemburu sempat kehilangan panah dan busurnya, memburu di setiap perhentian kata menggumulinya untuk kemudian dilahirkan pada cerita gerbang penghabisan para jagal maupun casanova. Pada ujung pena kuli tinta menggali sumur kata-kata. Ada mata air yang terus melimpahkan peristiwa. 4. Pada limpahan peristiwa, orasi kata menghambur makna. Sumur kata-kata adalah petanya. Menetapkan warta Kita pun dapat memahat atau mengukir wajah kita, mengukur seberapa bersihnya. Di pisau bedah, kata Juru bicara pun mengukir abadi rasa, membulat harap pada keyakinan menyimpannya-menumpuk dekap di etalase kaca bersama sekumpulan perompak yang lupa membajak, ketika kita membaca rahasia cuaca. Cermin-cermin retak merupakan sekumpulan arak-arakan yang melontar, menghunus, menghujat dan meninabobokkan Yakinku mewarna rindu, bersimpul pena, para kuli tinta Dengan ujung pena, para kuli tinta menggali sumur kata-kata, Mewarta segala peristiwa. Mewarta segala cuaca 2008 DOA SUNGAI KESEPIAN 1. Di dalam ruang dadaku ada irama degup yang menarikan jantung dengan irama tertahan. Mendesah seperti tangkai ranting patah. Irama itu kadang naik-kadang turun menembus lorong-lorong di ujung telinga mengiringi larik terakhir sebelum senandung yang lesap terbawa angin. Irama itu berhamburan pada sesak irama pada degup dada yang menembus lorong di ujung telinga yang berseberangan. Ada isak yang mendesak butir embun jatuh pada lembar waktu dan cucaca. Lalu suhu udara yang berbeda membawa irama itu seolah nyanyian nina-bobo yang akan mengantarkanmu pada alam, alam yang sulit kau baca. Dan akhirnya seperti yang telah kau duga sebelumnya irama itu adalah lagu dengan irama tembang kenangan sebagai sebuah salam perpisahan. 2. Aku tersedak dadaku menafsirkan detak seluruh irama dari degup yang berbeda menyatukan irama debar pada tembang yang hampir tak terbaca Aku tersedak merindukan lagu sukacita memenuhi segala rasa bahagia yang pernah dipenuhi irama dari degup yang tertahan. Dan aku ingin membisikkan sesuatu, tapi irama kelumu menghardik harapku, aku ingin membisikkan ke telingamu, tapi mulutku begitu kaku. Aku hilang suara. Aku hilang cahaya. 3. Tubuhku tak berasa, udara dingin yang kau kabarkan seperti sekawanan daun yang gugur ke bumi. udara dingin itu melahirkan beribu gunung es di sekujur tubuhku, menutupi rongga pori kulitku yang pernah mengalirkan ribuan sungai-sungai kecil tempat para nelayan menebarkan jala untuk menangkap ikan-ikan kecil yang pernah kau pelihara. Lalu bongkahan es itu perlahan mencair Dihancurkan ceracau kemarau yang menghambur Dari mulutmu. Laut matamu membuncah. Sungai-sungaimu pecah. Irama lain memainkan sendiri nadanya dari degup yang lain. Menghantarkan suara lain ke langit yang lain. Membawa cahaya yang lain ke negeri yang lain. Entahlah, aku tak tahu apakah irama yang lahir dari degupmu adalah doadoa sebagai penghantar tidur abadiku. Atau doa-doaku yang menghantarkannya pada degup isak dari irama kebadian. LELAKI RENTA DENGAN SUNGAI MELEPUH 1. Lelaki renta berbalut rapuh, kabarkan lara sepi berbaris sendiri tanpa suara ah, kota-kota telah lama menelan harapannya yang terus luluh seringan debu menari di antara raungan oplet tua berebut stasiun dan hari terasa kian menjauh lelaki renta berbalut rapuh, tebarkan cuka peluh menerus jatuh mengaduh entahlah, mungkin di atas sajadah telah hadirkan taman berisi bunga zaman seindah sayap kupu-kupu yang menggambar warna pelangi di hati, dan hari biarlah terasa kian menjauh 2. searah pergi begitu pula kembali tidak ada yang berubah selain sepi aroma luka setua usia dari stasiun yang tak pernah sunyi masih juga terdengar nyanyian jalanan masih juga terdengar rintihan lapar tertahan masih juga terdengar muslihat dan akal-akalan searah pergi begitu pula kembali tubuh renta itu berganti bayi tawarkan aroma peluh dari jepitan hidup yang kisruh mengaduh-aduh o, adakah yang lebih sakit selain dari jerit yang dibungkam? 3. Apalagi guna hujan tangis pada tubuh penuh peluh bara melepuh sudahlah simpan saja segala rayuan yang selalu kau hidangkan di atas meja bersama aroma pembusukkan di ringkih renta merapuh DAN ANGINPUN MENAMPAR SUNGAI DIAM-DIAM 1. di tepi jalan daun-daun berguguran terhimpit debu pada langkah-langkah kaki yang berseliweran, warnanya coklat kekuningan melukiskan kegetiran di atas tanah yang bungkam aku memandang geram mengunyah napsu tertahan alamat nurani semakin mengabur, semakin terkubur di tepi jalan daun-daun berguguran, debu-debu bertumbangan tertikam tapak kaki yang menghunjam tajam aku terpaku pada alamat dedaunan yang terbenam pada tanah yang bungkam dan angin yang menampar diam-diam 2. begitulah pantai yang menyimpan rahasia badai kita tak pernah jua jera berlayar pun mengumbar setiap pulau selalu disinggahi tebarkan bau tubuh dan tanamkan peluh-peluh membiarkan segala penantian yang tidak pernah usai pada dermaga kita titipkan kapal yang merumput pada istirah lelah dan laut menari-nari pada kediaman pulau-pulau dimana tubuh kita siap direbahkan ah, ternyata diam-diam kita pahami juga rahasia badai dari bibir pantai pada pulau-pulau yang terkulai bau tubuh dan peluh-peluh pun telah tertanam jauh lalu laut yang menari pun perlahan menawarkan aroma nisan, dan anginpun menampar diam-diam 3. Pada resah daun jendela Wajahmu bergambar duka Sedari pagi matamu menikam langit Sampai matahari lari bersembunyi Yang tertinggal hanya senyap Yang tertinggal hanya gelap Sekadar hanya menyisakan kenangan Tertutup debu tertahan Di saat angin menampar diam-diam Pada resah daun jendela Ada gairah yang tak kunjung Nyala rindu bocah yang menangis Manja Mdn,2007 LELAKI SUNGAI MENGUTIP RIMAH SUARA 1. Di pintu pemilihan suara Seorang bocah mencatatkan sejarah Sebab banyak kata-kata yang ia dapatkan Entah muntahan yang ke berapa Serapah yang ia rasakan Di pintu pemilihan suara Seorang bocah mengutip sampah kata-kata Pada pilu hati yang kuyu, lugu Entah ngilu yang ke berapa Sendu memalu 2. Alangkah, ah Hati kami memilin luka luka Orasi itu menombak batin menganga Dan kami masih tak berdaya Mengunyah sejuta janji Jadi air mata 3. Di belahan peradaban yang mana Kata-kata paling setia tidak lagi menggema Selamat datang wahai pemimpin Kami sambut engkau dengan segala Suka cita Di belahan kemanusiaan yang mana Janji-janji paling pasti tidak lagi dipungkiri Selamat datang wahai pemimpin Kami jemput engkau dengan segala Keyakinan cinta 4. Di sepanjang jalan ini Seorang lelaki tua duduk sendiri Menatap setumpuk umbul umbul pemilihan Di bayang matanya, anak dan istrinya Tak lagi meneguk air mata Sementara waktu terus berpacu Kendaraan terus melaju Saling berburu deru Lelaki tua terduduk sendiri Membenahi luka luka segala nestapa Membenahi banjir peluh mengucur nyeri Membenahi pikiran renta mengusung senja Di simpang nyeri Lalu lalang kata membunuh nurani 5. Pulanglah Esok masih ada cerita yang kita cipta Menjadi bunga atau apa saja yang kita suka Atau kita sihir saja ia menjadi ular kepala dua Debu dan asap knalpot yang menyelimut kata Adalah laksana lumpur yang membenamkan mutiara Di kepala kita, rakyat jelata Pulanglah Masih ada esok yang akan menyulam Wajah buram kita menjadi senyuman 6. Seorang wanita tua tertidur digilas berjuta pulas Dengan kaleng di tangan ia mengayuh angan Berlayar pada perahu sepetak di taman Di atasnya bertuliskan pembelaan Terhadap kaum yang terlantar Umbul umbul pemilihan Laksana prajurit Penjaga dan Lampu Di simpang jalan Menghalau masa lampau Terjerumus arus pikiran renta Yang terbang bersama perih debu Sepanjang trotoar peradaban kota-kota MEMOIR SUNGAI RINDU Begitu teduh wajahmu pada pembaringan yang tak terbaca di kalender dinding kamar kita. Pengembaraanmu akhirnya menemui stasiun yang tak berpenumpang. Kereta yang akan membawamu menuju stasiun berikutnya mulai berderak. Peluit panjang menggariskan senyum pada dingin bibirmu. Air mataku mengalir mencari muara tanpa batas. “Jagalah buah cinta kita!” ujarmu terbata Ah ! TANAH seberat apa beban yang kau timpakan padanya ia tetap memberikan keceriaan pada hijau pepohonan dan kokoh pencakar langit yang acap kau tanam sampai pada jantungya pun sari pati tubuhnya kerap kau hisap sampai pada catatan paling buram ia selalu berusaha memberikan perlindungan pada kediaman abadimu yang paling sunyi dan berbatas beberapa lembar potongan papan atau selembar kain putih dari perjanjianmu di batas pintu kelahiran dan kematian serta tetes air mata yang jatuh lalu musim-musim adalah semacam kepedihan yang acap datang dan pulang kadang berlinang kadang kerontang TENTANG MATAHARI, EMBUN DAN KAU apalah arti matahari pagi bagimu yang menyembul seketika dari detik jarum jam yang berdetak pada dinding rumah kita apalagi yang kau tunggu? Matahari telah pun meninggalkan jejak biasnya pada sisa tangis debu-debu di jendela matamu malam mengintip diam-diam. Gerimis berguguran di rerumputan. apalah arti butiran embun di daun yang menetes di ujung tahun kecipak air comberan dan tarian dedaunan di kejauhan pada halaman samping rumah kita, usah kau hanyut atau kau telah terjerumus dalam limbah berbau? Matahari telah membenam di antara isak tangis menuju peraduan. Meninggalkan sisa biasnya lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak pernah lupa dengan segala riwayat cerita segala derita! komunitas hp, 2012 WAHAI ENGKAU Galau langit telah melahirkan awan Di sudut matamu, wahai engkau Gadis yang berpipi jurang Sebab kata-kata telah lama Dilapuki segala muslihat Entah kali keberapa kegadisanmu Dirayapi matahari yang kau kira Pelindung bumi (ah, ternyata pelan-pelan kau bangun juga hatimu yang setegar karang di lautan) mdn,2010 MULUT tidak hanya bau busuk yang keluar dari tenggorokan maupun dari sela-sela gigi, juga kata-kata bangkai penuh belatung yang di asung, dari pagi sampai ke pagi mungkin hanya air wudhu’ untuk kumur-kumur sebelum menegakkan salat yang dapat menghjilangkan aromanya lalu disemai dengan semerbak bunga-bunga do’a 2007 PULANG dengan derap langkah kakiku dengan tetes keringat dari wajahku dengan riuh suara jalanan, dan dengan recehan yang tergenggam di tangan aku pulang bersama setumpuk debu yang membatu bersama waktu yang melagu rindu bersama harapan hidup demi membahagiakanmu, ibu sawung, sei blutu 2007 MENCARI ARTI HIDUP dalam setahun kuhitung tiga ratus enam puluh lima hari kucari arti hidup ini. entah tarikan nafas ke berapa kuhembuskan kembali udara yang tersimpan entah degup jantung yang ke berapa darah di tubuh ini di alirkan aha, ternyata pada pikiran dan hati kutemukan juga arti hidup ini ialah cinta sejati, ialah rasa syukur pada rahman dan rahiim Illahi Rabbi budi utomo,07 MISTERI MALAM GANJIL ku layangkan mata ke rumpun bambu setangkai ranting kering meneguk kesegaran embun menembus daun-daun yang suka gemerisik bergeming angin memecah hening debu gurun bertiup menyibak malam meremas dan menghunjam telak jiwaku bumi-gunung-laut-langit-awan semua diam bahkan gemuruh dan petir kehilangan pekiknya tak ada yang lebih menggangguku ketika ini selain suara riuh kucing berkelahi memekakkan dan lolongan anjing di kelam malam kemelut sukma merajam jiwa sengketa antar saudara menebar bencana innalillahi wa inna ilaihi roji’un tubuh-tubuh yang terburai tanpa raga mengeram jiwa hatiku sungguh miris dibuatnya rasa haru seketika merayapi relung kalbu astaghfirullah-astaghfirullah-astaghfirullah subhanallah kan kurangkai dalam tasbih walhamdulillah kan kuwiridkan dalam tahmid walailahaillallah Allah hu akbar kan kugemakan dalam takbir ya Robbi terimalah sujud taubatku atas segala dosa-dosa mereka terimalah mereka disisi-Mu terimakasih ku ucapkan amin D O N G E N G hidup seperti dongeng, tak masuk akal kita bangun dari kematian, terus pergi ke sekolah-terus pulang sekolah bisa main-main, menggosip atau nonton tv malammnya setelah menikmati mimpi di televisi kita lalu tidur, lalu mati (…hei bangun kata guru bahasa Indonesia bel sudah berbunyi, dongeng selesai!) KELAS DUA REGULER DUA Di lantai empat segera kulangkahkan kaki, eit aku berhenti, terpaku berdiri belum sempat masuk kelas bebanku kebas pikirku, mungkin kelas dipindah lagi sebab didalam ruangan itu begitu banyak suara burung hantu ah, kuberanikan diri-kubuka pintu hati-hati pantas. Pagi ini beribu burung hantu menetas di kelas padie,2007 PENYAIR ADALAH Penyair bukan sekadar bermain-main di kubangan kata-kata dia lebih kepada pencerahan ruang jiwa bagi peradaban demi peradaban bagi sejarah demi sejarah penyair adalah kamus kesaksian dari berjuta macam derita sepanjang bencana yang selalu datang bertandang tidak hanya di pusat- pusat peradaban manusia tetapi juga pusat jiwa penyair adalah sang pembawa pencerahan bagi siapa saja untuk siapa saja bukan sekadar bermain-main kata atau sekadar mengusung slogan-slogan yang beraura murka penyair adalah kita! SEPASANG CICAK Sepasang cicak kedapatan bersetubuh di atas periuk dapurku, sekali waktu ketika tutup tutupnya terbuka dia menjatuhkan kotorannya disaat istriku menjaring airmatanya yang mengalir deras untuk menghilangkan dahaga anakanakku sepasang cicak kedapatan bersetubuh di atas kuali tungku dapurku, sekali waktu ketika kutanak airmata istriku, dia terjatuh dan jadi lauk bagi anakanakku sepasang cicak yang pernah kedapatan bersetubuh di dapurku telah menjadi darah telah menjadi daging bagi lumat jiwa kami medan, 2009 26 januari MATI LAMPU menunggu mati lampu seperti minum obat menunggu mati lampu bertambah jerawat menunggu mati lampu gen- set pun bikin ampun ada yang mati tiba-tiba ada yang tak sengaja rekening listrik wajib dibayarkan tiap bulan kalau tidak, pemutusan dilakukan tanpa belas kasihan atau rekening meledak tak sesuai meteran ah, menunggu mati lampu tidurpun jadi kecepatan apapun tak bisa dilakukan, sebab aku ketakutan rumahku,2007 REMEDIAL hari ini ujianku gagal lagi guruku menyuruh membeli bunga sebab sesuai pelajaran, ada estetika bernilai sastra padahal setahuku pelajaran itu sekadar bunga-bunga kata ya, sudah besok pasti kuserahkan sekalian dengan vas-nya kamar imajinasi, 010507 BUNGA-BUNGA ulang tahunku dua hari lalu begitu berkesan ibu membelikan aku bunga segera kuberi nama “steffany” tapi, anehnya di sekolah teman-teman juga memberi bunga aku bingung memberi tanda selalu saja kuberi nama “steffany” Aku jadi lupa yang mana melati, lily Atau mawar berduri Semuanya jadi kuberi nama “steffany” Medan, 25 Mei 2007 JENDELA TAK BERDAUN inilah catatan yang memang tak pernah selesai tentang perjalanan angin pengembara. bergerak layaknya penari telanjang tak jelas kapan datang kapan pulang dalam kediaman, debu-debu berkumpul menghalau segala dingin. kesunyian begitu membuncah dittingkahi titik air yang jatuh dari sisa hujan separuh malam inilah catatan tentang karat kemarau yang tak sempat dibersihkan dari sisa keping daun jendela yang jatuh terlelap di atas batu cadas berjambang lumut di bawah jendela rumah kita maka entah kapan lagi angin, debu, dan kemarau mencatatkan kembali segala kisah yang tak sempat terbaca pada rumah, pada sejarah perjalanan SEBAB ANGIN YANG MENGGUGURKAN DAUN-DAUN entah daun yang ke berapa jatuh ke bumi dari pohon setua hembusan sedingin angin warna buramnya sesunyi kalender yang kelelahan disetubuhi beribu rayap pengab ! waktu melesat begitu cepat berkeliling merengsek masuk di celah-celah reranting dan cabang. Begitu gagap entah daun yang ke berapa gugur di diri memilah warna matahari yang menembus ke segala ruang dan lorong sesunyi titik air yang menitis di atas lantai lunglai sansai ! tanjung karang, 09 PADA PAGI YANG MENUNGGU DI DEPAN PINTU anggap saja setiap kali bertemu, kita jarang bertegur sapa bukan karena aku tidak mengerti bahasa matahari yang sempat meninggalkan sisa jejak langkah pagi. anggap saja kau selalu menemani sepanjang perjalan matahari. mengikuti setiap detik langkah-langkah pergesaran dari waktu ke waktu anggap saja kita masih punya debar sewarna hati dengan irama degup-degup beribu jantung yang menyerbu maka, anjurkanlah tenhtang sebuah perdamain yang tak akan pernah suai sepanjang zaman MUNGKIN KAU PERNAH mungkin kau pernah membaca tentang sebuah kisah yang kau sendiri tak faham kemana arahnya. Sebenarnya ia seperti sebuah sungai dengan mataair deras, mengalir dengan cabang berjuta dalam kepala kita mungkin kau pernah membangun kota-kota yang gemerlapan penuh cahaya dengan deru irama knalpot bersahutan, seperti sebuah irama orkestra pada panggung pertunjukan akbar ditingkahi adegan-adegan sedih-gembira, dalam kepala kita mungkin kau pernah merasakan bagaimana menjelma sebuah pohon layu, pohon tak berbunga. kau tebarkan akar kemana-mana meraup perdaban yang kau hisap dalam-dalam melewati lorong tenggorokan yang kering, lalu sebuah buldozer raksasa tiba-tiba menelanmu bulat-bulat mungkin kau pernah menjelma aku mungkin aku pernah menjelma dirimu dalam kepala usang kita TENTANG SEBUAH KISAH /1 ada yang terlupa tentang kicau burung di balik rimbunan hijau pepohonan tentang kisah daun-daun gugur tentang cerita akar di perut bumi tentang hikayat air mengalir mungkin karena kita selalu disibukkan dengan dongeng pencakar langit, pun rumah-rumah kaca, atau anak-anak yang sering lupa kisah-kisah pengantar sebelum tidur waktu sepertinya memang ujung anak panah yang melesat secepat kilat, lalu menancap entah ke dada siapa dan burung-burung yang telah lama kehilangan kicaunya bersebab bumi dan udara berlomba menghadirkan bara pada anak cucu kita TENTANG SEBUAH KISAH /2 kita tidak tahu memang apa yang akan terjadi esok tetapi hari ini sudah memberikan tanda-tanda bahwa kita harus selalu membawa cermin ke mana pun berada, sekadar memberi kabar tentang sebuah kesadaran dan penyadaran garis-garis wajah yang sering kita abaikan kita tidak tahu memang apa yang akan terjadi esok tetapi anak cucu kita akan bercerita tentang sebuah kisah entah berakhir sedih dan bahagia. Atau sebuah penyesalan sepanjang umur yang mungkin di wariskan ke anak cucu mereka nanti pada setiap sejarah yang terus berulang kita tidak tahu memang apa yang akan terjadi esok tetapi hari ini hidup akan terus bercerita pada lembar sejarah di setiap episodenya, maka cerminan kita hari ini adalah masa depan anak-cucu kita kemana mereka harus melangkah, bagaimana harus berbenah TENTANG SEBUAH KISAH /3 aku bukanlah kau, anakku tetapi kau adalah darah dagingku yang harus kuajari bagaimana harus menata hidup. Bukan dengan larik setiap puisi yang kulahirkan, tetapi dengan hati dan cinta pada sesama aku bukanlah kau, anakku sebab kau punya hak untuk melangkah ke arah mana yang akan kau tuju, tetapi aku adalah anakku yang harus kuperjuangkan dari setiap titik keringatku bagaimana kau harus mencatat sejarah dalam setiap lembar kehidupan aku bukanlah kau kau bukanlah aku tapi aku wariskan cinta maka, jagalah, anakku TENTANG SEBUAH KISAH / 4 Mungkin setelah lotus bertunas pada hati kita Tak ada ketakutan selain cinta berwarna merah muda Yang terus membawa harumnya kemana-mana Ia menjadi sebuah kekuatan yang mengagumkan Ia menjadi keberuntungan yang menyadarkan Dan ia menjadi hidup di setiap kematian kita Maka, setelah lotus lahir dari hati kita Kemanapun melangkah tak ada lagi jarak Ruang maupun waktu yang berdetak Sedegup jantung. Selalu berbinar Seterang matahari, seindah bulan Lalu, apa arti cinta sesungguhnya bagimu Apakah ia laksana kuda jantan yang terengah-engah, Ataukah ia seindah kelopak teratai merah yang terbuka? TENTANG SEBUAH KISAH / 5 Dengan segenap keyakinan, aku bertandang Kuharap kau sedang menungguku di ruang tamu Tempat biasa kita berbagi cerita dan cinta Jangan lagi kau sulam amarah, dari sisa kebencian Sehabis hujan deras semalam. Sebab, aku sendiri Gamang apakah itu yang dinamakan cinta Aduh. Getar dada ini semakin debar. Tetapi, Dengan setangkai mawar ini kita akan raup Aroma rindu di taman hatimu yang penuh warna SIANG INI KITA BERCERITA TENTANG WAKTU tadi pagi huruf-huruf luka jatuh dari catatanku tentang sebuah kisah yang sempat utuh antara kita dan ingatanku kembali dari kembara masa lalu mengetuk pintu kenangan segala kata setia siang ini bangunan paragraf itu telah kurubuhkan dari halaman hatiku yang penuh dengan taman kecemasan padahal ketika itu aku merasa di sinilah tempat kita melahirkan waktu-waktu buah cintamu mungkin malam nanti wacana itu memiliki kisah lain pada halaman-halaman yang menunggu di taman walau semacam kecemasan tak juga beranjak ia mendebu, memenuhi kilah pintu dan jendela kata-kata Medan, 2011 LOTUS Mungkin setelah lotus bertunas pada hati kita Tak ada ketakutan selain cinta berwarna merah muda Yang terus membawa harumnya kemana-mana Ia menjadi sebuah kekuatan yang mengagumkan Ia menjadi keberuntungan yang menyadarkan Dan ia menjadi hidup di setiap kematian kita Maka, setelah lotus lahir dari hati kita Kemanapun melangkah tak ada lagi jarak Ruang maupun waktu yang berdetak Sedegup jantung. Selalu berbinar Seterang matahari, seindah bulan TERATAI MERAH Lalu, apa arti cinta sesungguhnya bagimu Apakah ia laksana kuda jantan yang terengah-engah, Ataukah ia seindah kelopak teratai merah yang terbuka? MAWAR MERAH Dengan segenap keyakinan, aku bertandang Kuharap kau sedang menungguku di ruang tamu Tempat biasa kita berbagi cerita dan cinta Jangan lagi kau sulam amarah, dari sisa kebencian Sehabis hujan deras semalam. Sebab, aku sendiri Gamang apakah itu yang dinamakan cinta Aduh. Getar dada ini semakin debar. Tetapi, Dengan setangkai mawar ini kita akan raup Aroma rindu di taman hatimu yang penuh warna KEMANA KITA MELANGKAH Jangan katakan lelah Sebab kau belum menemukan jalan Yang sebenarnya Rumah bukanlah bangunan Yang kita kenal selama ini Ia ada di sini di hati Jalanan pun hanya fatamorgana Yang memang harus ditempuh Menguji sejauh mana cinta menjaganya Jangan katakan lelah Kemanapun kita melangkah Sebab hati adalah cahaya penuntun kita Menempuh jalan menuju rumah merindu ibunda kita MASIH ADA YANG MENUNGGU Tak ada yang usai Jika kita masih punya tekad Untuk berbenah Untuk melangkah Harapan lebih berharga Dari apapun Tak ada yang usai Itu hanyalah gumaman Orang-orang yang kalah Dalam hidup Semangat lebih bernilai Dimanapun Tak ada yang usai Jika kita masih punya bara Dan belum berniat memadamkannya FAJAR Selalu kita terbangun dalam kenyamanan luar biasa pada fajar yang mencampakkan segala sepi ke dunia paling hitam suara burung adalah pertanda bagaimana kita memaknai pagi sampai ke dasarnya tentang kebahagiaan yang lebih mahal dari permata selalu kita terbangun dalam gigil tulang pada retak-retak di dinding kamar berselimut hambar waktu tapi, bersebab cinta hati kita fajar selamanya dengan segala suka-citanya CINTA IBU mungkin. karena aku hanya mengenal ibu maka, aku tak mengenal diriku. walau ibu selalu membisikkan padaku kalau aku benar-benar mirip ayah ah, kurasa ibu salah aku tak mengenal diriku, bagaimana aku mengenal ayah lelaki yang telah lama disunting tuhan dari sisi ibu dan persis tengah malam diam-diam aku mendatangi tuhan agar ia berkenan memperkenalkan ayah padaku sebelum ibu terbangun dari tidurnya aku akan menghadirkan ayah pada sisa hidupnya CINTA AYAH aku ingat ketika ayah bercerita tentang malam dengan seribu lengan. aku hanya mampu menyembunyikan segala penasaran. aku ingat ketika ayah menutup pintu rumah dari kedatangan malam. aku hanya mampu sembunyi di segala kegetiran selebihnya, kelam DENGAN CINTA usah resah maupun gundah tentang sebuah perbedaan antara kita. Apa itu salah? justru itulah kebanggaan adanya kesungguhan bukan topeng dari cinta yang dipaksakan kita memang lahir dari keluarga berbeda kita memang lahir dengan warna kulit berbeda kita memang lahir pada lingkungan budaya berbeda tahukah kau bahwa kita masih punya hati menyatukan segala beda antara kita dengan cinta CINTA MALAM malam seperti hutan belantara dalam semak pikirku entah hati yang tak mampu membaca tanda, atau jiwa yang seangkuh baja dosa-dosa seperti tak memberi kesempatanku untuk memeluk taubat ampun aku malu pada putih rambutku berkembang biak laksana danau yang berkecambah meliuk ke sana ke mari dipermainkan air digoda kesiur angin entah karena maut yang enggan memelukku, atau tuhan sengaja memberi ruang untukku menghitung jatuh air mata pada malam separuh ini aku mengadu pada-Mu izinkan aku masuk ke rumah-Mu 2010 KOTA CINTA di kota ini, para migran menyulam hidup dari sejarah paling dingin di kota ini, cahaya temaram dalam diam orang-orang kerontang berebut air sampai tetes paling akhir di kota ini, tahun bersambut pada suasana yang paling haru, rumah-rumah merapat mencari hangat Juli 2010 SELAMAT KEPADA YANG BERBAHAGIA selamat kuucapkan bagi angin yang terlanjur membuncah dari lorong yang paling sempit, sebab jika kau menetap derita yang ke sekian takkan pernah lelah dari kesengsaraan selamat kuucapkan bagi air yang akhirnya mengental dan mengalir begitu saja, walau terkadang tumpah menyembur kemana-mana, sebab jika kau tetap berdiam maka bukan hanya dada yang terlanjur sesak. Tetapi hidup akan segera mengembara selamat kuucapkan bagi kalian yang mengunyah-kunyah bahagia seperti hari ini tidak ada derita seperti angin atau juga air. tetapi, ia juga bukan api yang terlalu membara. Ia adalah si pengembara sukacita yang kita tidak pernah tahu dimana berumah SILAHKAN MASUK BAGI YANG BERTAMU senyum adalah sambutan pertama sebelum kuulurkan tangan ini dalam detik waktu yang lupa kita hitung. Karena memang kita tak akan pernah punya waktu untuk menghitungnya. salam adalah ucapan yang paling berkah sambil mengulurkan tangan ini seperti waktu sebelumnya kita pernah saling mengepalkan tangan dan menjunjungnya ke udara, tenang kisah yang sebenarnya harus dilupakan maka, masuklah sebelum segalanya seperti tanpa kesan dan hambar dari senyum yang pura-pura atau erat jabat tangan yang masih menyimpan bara api di dada dan masuklah dalam lingkaran seorang raja KEPADA YANG MENGAKU MERDEKA sudahlah tak usah kau ingat lagi tentang luka yang sampai saat ini belum mengering di dadamu. Lepaskan ia bersama kesiur angin. biarkan ia dibawa ke negeri entah hapuslah catatan-catatan hitam di buku pikiranmu. Biarkan ia terhapus hujan yang senantias mengguyurnya dalam setiap kesempatan. Lalu, menguburnya ke dalam tanah yang mari, kita duduk satu meja. Menikmati hidangan yang tersedia sesuai selera yang pernah kau catatakan dalam buku keinginanmu di halaman pertengahan. Dan teguklah segelas air beraroma sukacita jika memang kita sudah merdeka BIAS MATAHARI PAGI apalah arti matahari pagi bagimu yang menyembul seketika dari detik jarum jam yang berdetak pada dinding rumah kita apalagi yang kau tunggu? Matahari telah pun meninggalkan jejak biasnya pada sisa tangis debu-debu di jendela matamu malam mengintip diam-diam. Gerimis berguguran di rerumputan. apalah arti butiran embun di daun yang menetes di ujung tahun kecipak air comberan dan tarian dedaunan di kejauhan pada halaman samping rumah kita, usah kau hanyut atau kau telah terjerumus dalam limbah berbau? Sementara ia membenam di antara isak tangis menuju peraduan. Meninggalkan sisa biasnya SEPERTI ANGIN, SEPERTI GUNUNG seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra rasanya terlalu cepat, terlalu ringkas perjumpaan ini padahal dada ini masih penuh dengan ungkapan rindu masih penuh pesan-pesan harap untuk-Mu berapa gunung yang didaki, berapa lembah yang dituruni berapa samudra yang direnangi, rasanya baru inilah perjumpaan kita yang pertama kali seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra sampai juga percakapan kita, walau seperti meneguk embun dari gelas sebesar angan yang telah lama terletak di atas meja perjamuan sekian lama sempat tertinggal MERDEKA HARI RAYA Satu Dua Tiga Teriakan Ada kue Ada lontong Ada kantong PERSIS PAGI INI persis pagi ini kau terbangkan sebuah sms untukku, membuat vibra jantungku semakin debar dan denging di telingaku jadi irama kerinduan kau ingin memetik embun di pucuk daun itu dan menyelipkannya di karang air mataku aku mengantuk kau mengutuk lalu, kau kirim angin yang paling belati menebas setiap titik pori-pori di tubuhku dan suara emak dari dapur semakin memerihkan lukanya yang paling asam persis pagi ini persis YANG TIBA-TIBA PERGI entah mengapa kau tiba-tiba begitu saja pergi meninggalakan setumpuk debu di biji mataku “beli saja kelereng paling baru.” aku berfikir kau pasti bercanda dengan wajah yang entah warna apa “aku merasa sulit membedakan kerbau yang sebenarnya.” aku tersadar pikirku berputar sekelebat cepat kuraih tanganmu kuharap kau mau bertahan walau sesaat MEMBACA USIA mungkin aku yang terlalu bernafsu mencumbui waktu padahal jalanan ini masih seperti yang kemarin, tempat kita selalu menghitung jumlah tapak kaki yang kita jejakkan dan cuaca selalu bercanda dengan kita membiarkan kita blingsatan membaca usia, lalu ia tertawa diam-diam sambil melangkah pergi tapi, hari ini aku hanya bisa mengutuki uban yang tak pernah pergi walaupun sesaat GEMA WAKTU apakah itu yang berbunyi sepenuh gema? jantungkukah atau suara tetes air yang selalu lupa kuhentikan dengan sempurna ? kalau kuceritakan padamu, tentu kau hanya bisa tertawa dengan pertahanan gigimu yang tak seberapa persis sama tetapi, jika aku hanya memeti kata kau katakan masih ada cahaya di sela-sela kehidupan dunia ah, entahlah mengapa waktu harus berwarna putih? PADA HARI YANG TERASA KIAN MENJAUH Lelaki renta berbalut rapuh, kabarkan lara sepi berbaris sendiri tanpa suara ah, kota-kota telah lama menelan harapannya yang terus luluh seringan debu menari di antara raungan oplet tua berebut stasiun dan hari terasa kian menjauh lelaki renta berbalut rapuh, tebarkan cuka peluh menerus jatuh mengaduh entahlah, mungkin di atas sajadah telah hadirkan taman berisi bunga zaman seindah sayap kupu-kupu yang menggambar warna pelangi di hati, dan hari biarlah terasa kian menjauh SEARAH PERGI BEGITU PULA KEMBALI searah pergi begitu pula kembali tidak ada yang berubah selain sepi aroma luka setua usia dari stasiun yang tak pernah sunyi masih juga terdengar nyanyian jalanan masih juga terdengar rintihan lapar tertahan masih juga terdengar muslihat dan akal-akalan searah pergi begitu pula kembali tubuh renta itu berganti bayi tawarkan aroma peluh dari jepitan hidup yang kisruh mengaduh-aduh o, adakah yang lebih sakit selain dari jerit yang dibungkam? APALAGI GUNA HUJAN TANGIS Apalagi guna hujan tangis pada tubuh penuh bara sudahlah simpan saja segala rayuan yang selalu kau hidangkan di atas meja bersama aroma pembusukkan SEPERTI ANGIN YANG MENYISIR seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra rasanya terlalu cepat, terlalu ringkas perjumpaan ini padahal dada ini masih penuh dengan ungkapan rindu masih penuh pesan-pesan harap untuk-Mu berapa gunung yang didaki, berapa lembah yang dituruni berapa samudra yang direnangi, rasanya baru inilah perjumpaan kita yang pertama kali seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra sampai juga percakapan kita, walau seperti meneguk embun dari gelas sebesar angan yang telah lama terletak di atas meja perjamuan sekian lama sempat tertinggal SEPERTI PERJUMPAAN LAUT PADA PANTAI seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku sedetikpun tak melupakan-Mu, walau terkadang angin menghempaskanku ke samudera luas, tersangkut di sela-sela karang seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah harapku tak ada waktu melalaikan perintah-Mu, walau terkadang riak menggelombang ciutkan nyali yang sempat mengombak seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku, begitulah harapku pada-Mu, walau terkadang melambai di tepi pantai yang landai DAUN-DAUN BERGUGURAN di tepi jalan daun-daun berguguran terhimpit debu pada langkah-langkah kaki yang berseliweran, warnanya coklat kekuningan melukiskan kegetiran di atas tanah yang bungkam aku memandang geram mengunyah napsu tertahan alamat nurani semakin mengabur, semakin terkubur di tepi jalan daun-daun berguguran, debu-debu bertumbangan tertikam tapak kaki yang menghunjam tajam aku terpaku pada alamat dedaunan yang terbenam pada tanah yang bungkam dan angin yang menampar diam-diam PANTAI YANG MENYIMPAN RAHASIA BADAI begitulah pantai yang menyimpan rahasia badai kita tak pernah jua jera berlayar pun mengumbar setiap pulau selalu disinggahi tebarkan bau tubuh dan tanamkan peluh-peluh membiarkan segala penantian yang tidak pernah usai pada dermaga kita titipkan kapal yang merumput pada istirah lelah dan laut menari-nari pada kediaman pulau-pulau dimana tubuh kita siap direbahkan ah, ternyata diam-diam kita pahami juga rahasia badai dari bibir pantai pada pulau-pulau yang terkulai bau tubuh dan peluh-peluh pun telah tertanam jauh lalu laut yang menari pun perlahan menawarkan aroma nisan RESAH DAUN JENDELA Pada resah daun jendela Wajahmu bergambar duka Sedari pagi matamu menikam langit Sampai matahari lari bersembunyi Yang tertinggal hanya senyap Yang tertinggal hanya gelap Sekadar hanya menyisakan kenangan Tertutup debu tertahan Pada resah daun jendela Ada gairah yang tak kunjung Nyala rindu bocah yang menangis Manja Mdn,2010 RINDUKU MENGERING Ah, kau lagi tak bosan-bosannya menanam pikiranku dengan bunga-bunga Padahal sudah kukatakan padamu Rinduku telah lama mengering Tersengat matahari Baranya menyalakan kesumat Dengan apa hendak kau suburkan? Dengan sungai abu atau laut nafsu? Biarkan bumiku mengadopsi taman-taman Yang menyegarkan Yang menentramkan Ah, kau lagi…! Lelaki yang senang menghidang berang YANG MENGETUK DAUN PINTU Selalu ada saja yang mengetuk-ketuk daun pintu Tapi nyatanya hanya angin yang mengelus wajahku perlahan Dan malam sekadar meninggalkan rimah-rimah kalam Dengan setengah butir bulan Di sebelah rumah Anak tetangga mengaji Merapal doa sepanjang magrib tiba Selalu saja ada yang mengetuk-ketuk pintu Kaukah itu atau Jantungku yang Bertalu-talu Menggemuruhkan irama rindu? Ibu… WAHAI ENGKAU Galau langit telah melahirkan awan Di sudut matamu, wahai engkau Gadis yang berpipi jurang Sebab kata-kata telah lama Dilapuki segala muslihat Entah kali keberapa kegadisanmu Dirayapi matahari yang kau kira Pelindung bumi (ah, ternyata pelan-pelan kau bangun juga hatimu yang setegar karang di lautan) mdn,2010 MULUT tidak hanya bau busuk yang keluar dari tenggorokan maupun dari sela-sela gigi, juga kata-kata bangkai penuh belatung yang di asung, dari pagi sampai ke pagi mungkin hanya air wudhu’ untuk kumur-kumur sebelum menegakkan salat yang dapat menghjilangkan aromanya lalu disemai dengan semerbak bunga-bunga do’a 2007 PULANG dengan derap langkah kakiku dengan tetes keringat dari wajahku dengan riuh suara jalanan, dan dengan recehan yang tergenggam di tangan aku pulang bersama setumpuk debu yang membatu bersama waktu yang melagu rindu bersama harapan hidup demi membahagiakanmu, ibu sawung, sei blutu 2007 MENCARI ARTI HIDUP dalam setahun kuhitung tiga ratus enam puluh lima hari kucari arti hidup ini. entah tarikan nafas ke berapa kuhembuskan kembali udara yang tersimpan entah degup jantung yang ke berapa darah di tubuh ini di alirkan aha, ternyata pada pikiran dan hati kutemukan juga arti hidup ini ialah cinta sejati, ialah rasa syukur pada rahman dan rahiim Illahi Rabbi budi utomo,07 MISTERI MALAM GANJIL ku layangkan mata ke rumpun bambu setangkai ranting kering meneguk kesegaran embun menembus daun-daun yang suka gemerisik bergeming angin memecah hening debu gurun bertiup menyibak malam meremas dan menghunjam telak jiwaku bumi-gunung-laut-langit-awan semua diam bahkan gemuruh dan petir kehilangan pekiknya tak ada yang lebih menggangguku ketika ini selain suara riuh kucing berkelahi memekakkan dan lolongan anjing di kelam malam kemelut sukma merajam jiwa sengketa antar saudara menebar bencana innalillahi wa inna ilaihi roji’un tubuh-tubuh yang terburai tanpa raga mengeram jiwa hatiku sungguh miris dibuatnya rasa haru seketika merayapi relung kalbu astaghfirullah-astaghfirullah-astaghfirullah subhanallah kan kurangkai dalam tasbih walhamdulillah kan kuwiridkan dalam tahmid walailahaillallah Allah hu akbar kan kugemakan dalam takbir ya Robbi terimalah sujud taubatku atas segala dosa-dosa mereka terimalah mereka disisi-Mu terimakasih ku ucapkan amin D O N G E N G hidup seperti dongeng, tak masuk akal kita bangun dari kematian, terus pergi ke sekolah-terus pulang sekolah bisa main-main, menggosip atau nonton tv malammnya setelah menikmati mimpi di televisi kita lalu tidur, lalu mati (…hei bangun kata guru bahasa Indonesia bel sudah berbunyi, dongeng selesai!) KELAS DUA REGULER DUA Di lantai empat segera kulangkahkan kaki, eit aku berhenti, terpaku berdiri belum sempat masuk kelas bebanku kebas pikirku, mungkin kelas dipindah lagi sebab didalam ruangan itu begitu banyak suara burung hantu ah, kuberanikan diri-kubuka pintu hati-hati pantas. Pagi ini beribu burung hantu menetas di kelas padie,2007 PENYAIR ADALAH Penyair bukan sekadar bermain-main di kubangan kata-kata dia lebih kepada pencerahan ruang jiwa bagi peradaban demi peradaban bagi sejarah demi sejarah penyair adalah kamus kesaksian dari berjuta macam derita sepanjang bencana yang selalu datang bertandang tidak hanya di pusat- pusat peradaban manusia tetapi juga pusat jiwa penyair adalah sang pembawa pencerahan bagi siapa saja untuk siapa saja bukan sekadar bermain-main kata atau sekadar mengusung slogan-slogan yang beraura murka penyair adalah kita! SEPASANG CICAK Sepasang cicak kedapatan bersetubuh di atas periuk dapurku, sekali waktu ketika tutup tutupnya terbuka dia menjatuhkan kotorannya disaat istriku menjaring airmatanya yang mengalir deras untuk menghilangkan dahaga anakanakku sepasang cicak kedapatan bersetubuh di atas kuali tungku dapurku, sekali waktu ketika kutanak airmata istriku, dia terjatuh dan jadi lauk bagi anakanakku sepasang cicak yang pernah kedapatan bersetubuh di dapurku telah menjadi darah telah menjadi daging bagi lumat jiwa kami medan, 2009 26 januari MATI LAMPU menunggu mati lampu seperti minum obat menunggu mati lampu bertambah jerawat menunggu mati lampu gen- set pun bikin ampun ada yang mati tiba-tiba ada yang tak sengaja rekening listrik wajib dibayarkan tiap bulan kalau tidak, pemutusan dilakukan tanpa belas kasihan atau rekening meledak tak sesuai meteran ah, menunggu mati lampu tidurpun jadi kecepatan apapun tak bisa dilakukan, sebab aku ketakutan rumahku,2007 REMEDIAL hari ini ujianku gagal lagi guruku menyuruh membeli bunga sebab sesuai pelajaran, ada estetika bernilai sastra padahal setahuku pelajaran itu sekadar bunga-bunga kata ya, sudah besok pasti kuserahkan sekalian dengan vas-nya kamar imajinasi, 010507 BUNGA-BUNGA ulang tahunku dua hari lalu begitu berkesan ibu membelikan aku bunga segera kuberi nama “steffany” tapi, anehnya di sekolah teman-teman juga memberi bunga aku bingung memberi tanda selalu saja kuberi nama “steffany” Aku jadi lupa yang mana melati, lily Atau mawar berduri Semuanya jadi kuberi nama “steffany” Medan, 25 Mei 2007 KEMANA KITA MELANGKAH Jangan katakan lelah sebab kau belum menemukan jalan yang sebenarnya rumah bukanlah bangunan yang kita kenal selama ini ia ada di sini di hati jalanan pun hanya fatamorgana yang memang harus ditempuh menguji sejauh mana cinta menjaganya jangan katakan lelah kemanapun kita melangkah sebab hati adalah cahaya penuntun kita menempuh jalan menuju rumah merindu ibunda kita MASIH ADA YANG MENUNGGU Tak ada yang usai jika kita masih punya tekad untuk berbenah untuk melangkah harapan lebih berharga dari apapun tak ada yang usai itu hanyalah gumaman orang-orang yang kalah dalam hidup semangat lebih bernilai dimanapun tak ada yang usai jika kita masih punya bara dan belum berniat memadamkannya FAJAR Selalu kita terbangun dalam kenyamanan luar biasa pada fajar yang mencampakkan segala sepi ke dunia paling hitam suara burung adalah pertanda bagaimana kita memaknai pagi sampai ke dasarnya tentang kebahagiaan yang lebih mahal dari permata selalu kita terbangun dalam gigil tulang pada retak-retak di dinding kamar berselimut hambar waktu tapi, bersebab cinta hati kita fajar selamanya dengan segala suka-citanya MENGHITUNG BIJI TASBIH kita seperti berjudi dengan waktu mengobral nafas yang keluar dan masuk begitu saja lalu, megap-megap menggelepar seperti mujair kehilangan air ketika sebutir beras nyangkut di bulu hidung yang berlendir kita selalu berfoya-foya dengan hidup menghabiskan semua yang kita punya dan tersimpan rapi sebenarnya namun, ketika yang tersisa tinggal kematian demampun tak berkesudahan menghitung biji tasbih setengah berjudi dan menghaburkan do’ado’a percuma KHP, 2011 DI TENGAH MALAM mungkin. karena aku hanya mengenal ibu maka, aku tak mengenal diriku. walau ibu selalu membisikkan padaku kalau aku benar-benar mirip ayah ah, kurasa ibu salah aku tak mengenal diriku, bagaimana aku mengenal ayah lelaki yang telah lama disunting tuhan dari sisi ibu dan persis tengah malam diam-diam aku mendatangi tuhan agar ia berkenan memperkenalkan ayah padaku sebelum ibu terbangun dari tidurnya aku akan menghadirkan ayah pada sisa hidupnya KHP, 2011 KETIKA MALAM aku ingat ketika ayah bercerita tentang malam dengan seribu lengan. aku hanya mampu menyembunyikan segala penasaran. aku ingat ketika ayah menutup pintu rumah dari kedatangan malam. aku hanya mampu sembunyi di segala kegetiran selebihnya, kelam KHP, 2011 ADA BEDA ANTARA KITA usah resah maupun gundah tentang sebuah perbedaan antara kita. Apa itu salah? justru itulah kebanggaan adanya kesungguhan bukan topeng dari cinta yang dipaksakan kita memang lahir dari keluarga berbeda kita memang lahir dengan warna kulit berbeda kita memang lahir pada lingkungan budaya berbeda tahukah kau bahwa kita masih punya hati menyatukan segala beda antara kita dengan cinta KHP, 2011 PADA MALAM malam seperti hutan belantara dalam semak pikirku entah hati yang tak mampu membaca tanda, atau jiwa yang seangkuh baja dosa-dosa seperti tak memberi kesempatanku untuk memeluk taubat ampun aku malu pada putih rambutku berkembang biak laksana danau yang berkecambah meliuk ke sana ke mari dipermainkan air digoda kesiur angin entah karena maut yang enggan memelukku, atau tuhan sengaja memberi ruang untukku menghitung jatuh air mata pada malam separuh ini aku mengadu pada-Mu izinkan aku masuk ke rumah-Mu KHP, 2011 DI KOTA INI di kota ini, para migran menyulam hidup dari sejarah paling dingin di kota ini, cahaya temaram dalam diam orang-orang kerontang berebut air sampai tetes paling akhir di kota ini, tahun bersambut pada suasana yang paling haru, rumah-rumah merapat mencari hangat KHP, 2011 TERNATE MENJELANG SENJA bukan karena pedagang asongan yang enggan pulang, yang membuat perempuan itu tak beranjak dari bangku batu bukan karena para nelayan yang terlambat menambatkan sampan, maka perempuan itu tak juga beranjak menuju pulang bukan karena hujan yang mengguyur sepanjang jalan, sehingga perempuan itu menyulam catatan diam bukan karena pedagang asongan, nelayan atau hujan lalu perempuan itu menyimpan penyesalan, tapi tuhan telah berbisik pelan-pelan ketika ia berada tepat di persimpangan komunitas home poetry, 2011 NEGERI KEPOMPONG Kali ini ia tidak melahirkan kupu-kupu, tetapi ular bersayap kupu-kupu. Kali ini ia tidak menghisap madu, tetapi darah semanis madu-madu Kali ini ia ia tidak menghadirkan warna-warna, tetapi memuntahkan hitam sepenuh kelam komunitas home poetry, 2011 BULAN bulan seperti belajar menata, tentang bagaimana berselimut cahaya, bagaimana mengintip dari balik jendela, atau bagaimana bersembunyi di balik dedaunan muda bulan seperti belajar menata, tentang keindahan seindah kerdipan mata nyaman senyaman di antara bunga di taman atau merebut hati pemuda-pemuda tampan tapi, bulan sampai sekarang belum faham tentang kerinduan cahaya dan embun yang jatuh dari ujung daun komunitas home poetry, 2011 MANTRA PELAUT Sampan kayu, dayung kayu, kayu segala kayu Janganlah kayu segala tangkapanku Laut asin, keringat asin, asin segala asin Janganlah asin segala tangkapanku Sampan laut, dayung keringat, kayu segala asin Janganlah asin segala kayuku Puah, puah, puah .... komunitas home poetry, 2011 BAJU SERAGAM sewarna baju, mungkin kita sama fisiknya berbaris sewarna garis dan lengkungnya sepola baju, mungkin kita sama bentuknya bergerak dinamis ke depan maupun ke belakang tetapi, hati ia seindah warna bunga di taman ia sedinamis cinta yang tidak dibungkam SUNGAI SIAK Dari jembatan letong kukunyah riak air menitip intip patin-patin. Entahlah, mungkin muntah pasar bawah mungkin batuk tanjung datuk dari jembatan letong kuhapus tetes air merayap jatuh di pipinya yang keruh. Entahlah, mungkin gertak tongkang Mungkin gerah limbah Dari jembatan letong kusaksikan peluh air terkenang sejarah sirih yang pedih. Entahlah, mungkin sejarah pohon-pohon batu mungkin rerak sendi tanah-tanah retak dari jembatan letong siak begitu kepompong rumbai, 10-11 MENGECUP TANJUNG KARANG Pada wajah tanjung karang bias senja menyambut rindu Yang sempat terhanyut di gulungan ombak-ombak awan Raden inten seperti dermaga kapal-kapal yang menghantar tetamu Membagi cerita tentang sebuah kisah pengharapan yang mengharukan Entah angin mana yang mengisahkan ceruk teluk merak belantung merindu Seperti keinginan laut yang menggantungkan harap pantai berpasir putih kenangan Bagus dan sapenan tak kalah gairahnya sebagai rumah kedua dituju Dari kenangan sebuah kelahiran yang juga kembali kepada kenangan Tangkil terlahir dari rahim mutun dengan sejuta gairah yang raru Ah, rindu itu menggumul gairah padang savana dan kembang-kembang setaman Segelas kopi menunggu sepasang bibir, dirimu yang datang menghirup segala kesumat, kerinduan raden inten, 10-11 TUGU GURU PATIMPUS ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan yang terlepas hurup-hurupnya dari paragraf-paragraf usang sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan perjalanan, mengekalkan peradaban urban di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya diam-diam pada bulan ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari menghibur para petualang yang sejenak datang mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain membenam teriak segala pongah, mencampak derak suara ke langit terbelah di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara percik riwayat kisah-kisah semangat juang di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula pemancakan gedung-gedung nan gagah dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang, yang entah kapan pergi Komunitas HP, Medan, 10-11 MEMANEN PEDIH air mata memang tak pernah minta ditumpahkan sederas apapun sebuah kepedihan, bersebab bendungan hati telah lama retak dindingnya menambah deburnya (Sisa-sisa hujan memberikan kabar duka di sudut matamu Dengan sisa-sisa amplop merah jambu di sisa-sisa Perjalanan rindu yang tak sempat kau simpan Pada sisa-sisa lembar diari hatimu yang kosong dan Dikotori sisa-sisa debu cintamu) air mata memang tak pernah ingin dialirkan dari suasana yang bagaimanapun tetapi, nganga luka begitu terasa pedihnya mengiris di jiwa (Sisa-sisa kabar duka memberikan hujan di sudut matamu Dengan sisa-sisa perjalanan rindu yang tak sempat kau Kirimkan lewat sisa-sisa amplop merah jambu dari Kotornya sisa-sisa debu cintamu yang berdebu di lembar Diari hatimu) air mata memang tak pernah ingin lahir dari rahim dendam manapun (Sisa-sisa lembar diari hatimu yang berdebu memberikan sisa-sisa Perjalanan rindu yang tak sempat kau catat pada sudut matamu Yang menyimpan sisa-sisa amplop merah jambu sekotor sisa-sisa Debu cintamu dan tak pernah pernah berhenti menurunkan kabar duka Di sisa-sisa hujan matamu) air mata tak pernah meminta apapun (dan kau bagai petani yang tak pernah letih menghitung keuntungan yang berlebih) Medan, 2011 SOULMATE Selalu saja kau berdiri di depan pintu menatap langit yang tertutup mendung Dan katanya akan segera menumpahkan hujan begitu saja berharap seseorang Akan berlari memelukmu lalu mengajakmu ke peraduan basah sebasah Hasrat penantian namun sedikit berdebu Padahal angin selalu datang dan pergi laksana tetamu yang memeriahkan Sebuah pesta pernikahan dengan hidangan penuh rasa dan aroma, menembus Di setiap pintu dan jendela Selalu saja kau berdiri di depan pintu menikmati hijau daun-daun yang bediri Berbanjar seolah serdadu siap tempur demi sebuah penantian rindu seindah Pelangi di lengkung sunyi Sementara kursi dan meja kau biarkan sendiri, juga lilin melepuh bagai Penari-penari yang kehilangan irama musik dalam setiap nadanya lenyap Perlahan begitu saja tanpa kau sadari Dan selalu saja kau berdiri di depan pintu sampai malam diam-dian datang bertandang lalu mendekapmu tanpa sempat kau memberikan perlawanan Medan, 2011 SEORANG GADIS WARNET Seorang gadis busung dadanya duduk di sebelahku Bajunya berwarna hitam, ketat, dan ah, mengkilat Tatap matanya tajam menembus ruang tanpa batas Kilatan cahaya menerkam-terkam birahi dendam Seorang gadis busung dadanya melirik padaku Bajunya berwarna hitam, tersingkap, dan ah, mengkilat Tatap matanya tajam menembus degup gemas dadaku Kilatan cahaya menggumuli nafsuku diam-diam TIDURLAH PEREMPUANKU Mari kita lumat malam separuh ini, sebab Esok matahari mulai mencubiti kulitmu yang Putih itu, bersama debu yang hibuk menggumuli Tubuhmu yang memadat, menantang, Perempuanku Tidurlah! Usah lagi kau kunyah pikiran itu jadi darah daging Tentang payudara yang dijual setengah harga atau kemaluan Yang terus-menerus disesaki lalat-lalat berkepala hijau Matahari pasti terbit Matahari pasti terbenam Tak usah risau, semua pasti akan berakhir, Perempuanku Malam ini, mari kita cicipi bulan bercahaya garang atau bintang yang sedang berkejar-kejaran dengan mimpi Anak-anak kita tentang nilai raport yang diperjual-belikan Atau kelulusan yang diinstankan Tidurlah, Perempuanku! Kita akan rangkaikan larik-larik puisi abadi dalam rahimmu Sepanjang mati lampu yang tak pernah jemu, dan tak usah Kau risau sebab derasnya arus waktu yang membenamkan Resah sepanjang sejarah sejak Hawa, Zulaikha, atau Cleopatra Digantikan Marlin Monroe,Winnie Mandela atau Madonna Tidurlah! Kita lumat malam separuh ini Matahari pasti terbit Matahari pasti terbenam 2007 PEREMPUAN DI POJOK RUMAH SAKIT BERLANTAI TIGA : fragmen-fragmen penyembuhan Di pojok rumah sakit berlantai tiga Detik maut pelan-pelan mengukir nisan memipih-pipih umur kami Setiap tetes air mata yang jatuh adalah harapan yang perlahan menjauh Sakit kami seolah menghunuskan napas yang semakin aus Berharap izrail menunda waktu melepas sauh Berharap tuhan masih berumah di tubuh Jika ternyata hidup hanya di genang air mata Biarlah jiwa yang lara tenggelam di dasarnya Melumpurkan debu-debu kesakitan yang meradang Pada raga di kurung masa ke masa Jika ternyata hidup hanya di genang air mata Biarlah angin mengirimkan lembut lengannya Membawa segala aroma-aroma telaga surga Dari kepedihan seluas samudera Jika tenyata hidup selalu di genang air mata Maka hapuslah lara kami, hanguskan duka kami Biar jadi debu, biar jadi abu yang dihanyutkan Sungai-sungai hati menuju muara cinta Jika ternyata hidup selalu di genang air mata Adakah tempat untuk membangun dermaga Tempat kapal-kapal kami membangun rumah Menyusun segala rencana menuju ke pulau bahagia Padahal pernah kami serahkan utuh-utuh hati kami, padamu Tetapi kau balur jiwa kami sepenuh empedu Mata kami yang berpijar, berbinar Tetapi padamu kau susun kelam, buram Kami berpikir kau adalah pengobat hati Ternyata kau bakteri yang menanam nyeri Aduh, ibu Bersebab narkoba kami celaka Aduh, bapak Bersebab narkoba kami merana Aduh, tuhan kami Kami terlanjur lupa memaknai diri Dulu ketika hidup kami di belenggu ragu Siapa lawan dan kawan kami tak tahu Dulu ketika cinta di gunting putus asa Tak ada tempat berbagi suka dan duka Dulu ketika segalanya hilang entah ke mana Psikotropika seolah sahabat berbagi duka Ternyata setelah berbagi setia berlama-lama Lara hati membara sepanjang usia Membelenggu jiwa Menumpuk derita Membisa racunnya Di pojok rumah sakit berlantai tiga semoga maut enggan menjemput umur kami Setiap tetes do’a membasuh adalah harapan yang berlabuh Sakit kami adalah sampan-sampan sebuah pengakuan Berharap izrail menunda waktu melepas sauh Berharap tuhan masih berumah di tubuh Medan, 01-09 LING LING NAMAKU Lama sudah kita menjaring cerita Tentang budaya dan perbedaan warna Tapi, tahukah kau hanya hati yang mampu Menyatukan segala-menyatukan rasa Ah, apalah artinya sebuah nama katamu Dengan canda. Tapi, bagiku nama penting adanya Tentang sebuah harkat maupun pembuktian Kesungguhan sebuah cinta. Jangan ragu Aku terlahir di negeri ini Ling Ling namaku 2008-02-07 AKU PENARI To. D. Kemalawati Seulanga, Jeumpa, irisan pandan menyatu dalam perasan jeruk purut. Pada wajahku terpaut Aku telah kalah. Dan tarianku dibusur peracik sirih yang luka Aku memilih seudati gemuruhnya kutepuk ke dada sendiri. Dan tujuh penari dengan sanggul kerucut, dengan riak tumpul dililit melati menganyun puan di resah nganga. Seurune kale dan rapai dabus yang mendayu menawarkan gerak panjang yang gelisah. Para penari meracik sirih, tawarkan ranub masaknya. Aku terpesona pada hijau daun sirih, pada pinang yang terkepit dan pada cengkeh yang memata. tertata dalam ceurana. Entahlah, pinto Aceh angkuh menghalang pandang. Tanpa penyangga. Di lampu hias bergantung, rantai besi menyisip misteri. Seulanga, Jeumpa, irisan pandan menyatu dalam perasan jeruk purut. Pada rahasia terpaut Walau kalah, aku tetap memilih seudati alirnya kukayuh di darah sendiri. Dan tarianku tarian peracik sirih yang bebas pada segala. Ah! Medan , 2007 AH, KEDIAMAN pada matamu yang teduh semesta tersentuh begitu meninabobokkan menetramkan kediaman malam gairah kata berhamburan pada sebuah rahasia yang sulit diterka cuaca laiknya embun yang menitik waktu terasa begitu mengulat perlahan menari bersama irama jarum jam yang patah hausku membuluh mengerang hasrat berabad-abad lalu sepanjang kediaman rasa semakin tersentuh pada tatap matamu yang aduh menghadirkan irama gangga di setiap alirnya lalu, anganku menggemuruh di setiap ukiran senyummu yang ampuh merapalkan segala lena di debur ombak dadaku kau seperti sengaja menyiapkan dermaga tempat berlabuhnya para petualang merapatkan kapal-kapal semegah pesiar dari laut-laut sebuas pemangsa dan, ah, kediaman setelahnya medan, 08 SEBAB HANYA MUAK Dalam mulut kepala telinga hidung mata rambut masuk Terkunyah-kunyah berbau sumur berbangkai Bahu berkaki pada dada berpinggang Pusat punggung masuk ke dalam perut mengunyah usus basi lalu, tapak kaki menempel di jidat tenggelam dalam lumpur telinga di antara tungir penebar aroma dalam mulut bahu berkaki tapak menempel bercampur dubur kadaluarsa meniupkan angin buritan tungkai menari-nari sendi kulit ada pada kelopak kuku jari gigi menyelip di kornea mata lidah melilit sampai membukit sakit tungkai tumit membelit sembelit terkomat kamit pahit terjepit paha selangkangan sepenuh beban kemaluan di seputar buah dada tapak pipi dagu lancip kelopak bibir di bulu mata terdampar di alis rambut yang bertanduk paru-paru jantung menyerbu hati menembus arteri berpeluh limpa sebab kunjungan trombosit berlari sepasang anak rambut tentang perseteruan lengan dan tangan dan kumis berjanggut di najis mulut di najis telinga di najis hidung di najis mata di najis rambut di najis dubur di najis segala najis ah, akulah si bahu berkaki tungkai pada dada berbuah pinggang sebab kawah pusat di muntah punggung di muntah perut di muntah mulut di muntah usus di muntah tapak tapak kaki di muntahan segala muntah lalu, najis memuntahi muntah muntah menajisi najis ah, muak segala muak medan, 08 KURAMBIT LUNDU DI RUANG RINDU Hampir saja kurambit di tanganmu mengukir Peta buta kesejarahan di belukarnya dada Atau sempitnya hati? Siang ini waktu bertubuh lundu Liat melewati lapis demi lapis Tubuh yang berlulut Aha, inikah rantai itu Mengikat gerah yang berdarah-darah? AJARI AKU MELAGU RINDU Maka, kutapaki kesejarahan ini Di antara nyanyian tanpa partitur Tetapi waktu masih saja belum berpihak Ia menina-bobokkan segala lena Pendar cahayapun serasa semakin samar Merayap pelan di lorong-lorong hati, maupun Di ruang-ruang yang kehilangan penghuni Namun, cintaku tak terbuat dari garam Lenyap begitu saja tertimpa hujan SEORANG ANAK BERTANYA PADA IBUNYA “Apakah di luar sana ada perang, Bu?” seorang anak bertanya pada ibunya matanya berwarna suram terpaku pada Ibu yang baru saja kehilangan anak perawan dan suami tercinta “Apakah suara yang memekak itu suara azan, Bu?” seorang anak bertanya pada ibunya wajahnya yang kelam ia sembunyikan pada ketiak ibu yang baru saja bertayamum dari dinding bungker, sebab wudhu’nya telah mengering “Apakah Sharon dan Bush pernah tinggal kelas, Bu?” seorang anak bertanya pada ibunya lengan mungilnya meraih ujung baju sekolahnya menghapus lendir di hidung dan peluh dari panas yang menyepuh “Apakah seterlah ini kita boleh makan, Bu?’ seorang anak bertanya pada ibunya pandangannya meredup, samar-samar ia melihat ibunya bersujud di antara kabut Sampai terlelap tanyanya tak pernah terjawab medan,06 WAKTU BUKANLAH IBU YANG MENGANDUNG, TERNYATA Waktu bukanlah ibu yang mengandung, ternyata Dia adalah ranjau yang ditanam di antara rimbunan Bunga-bunga atau diantara perbukitan pasir dan gurun siap meledakkan kepala siapa saja, mengepung sisa usia lalu setiap rapal do’a-do’a nyatanya hanya sekadar bius yang selalu setia mematikan rasa. Tak ada lagi kepedihan apalagi kesakitan. Antara langkah dan undur hanyalah kelopak mimpi yang telah lama ditiup angin. Sementara jarum kematian masih menggumam, mengancam dengan senyuman dan nyatanya tak sempat lagi mengukir bibir dengan takbir sebab, karat telah lama tengkurap pada hati. Tubuh terasa sehelai benang melayang. Tetapi masih tetap terdengar angin semilir menggilir zikir. Dan pada telinga masih tertangkap sepatah, Allah medan,2007 NAK Sekolah, Nak Jika memang sekolah itu mampu mewujudkan Cita-citamu menjadi dokter yang mengobati Negeri yang sedang sakit ini, pahami semua Mata pelajaran, jangan hanya hitung-hitungan saja Sebab pikiranmu nanti akan tertanam Sekadar keuntunganmu pribadi Buta dengan kerugian orang lain Boleh, Nak Kau boleh jadi jaksa, apalagi jadi hakim Tapi hati-hati, sebab kau akan tergelincir Hanya untuk mempermainkan hati nurani di balik Gelar yang kau pugar, dan jika masih begitu Lebih baik kau jadi pedagang saja yang jelas Ukuran timbangannya, itupun jika kau pedagang kecil Seandainya kau pedagang besar, maka kau akan merepotkan Pemerintah dengan kerugian yang milyaran Siapkan dirimu jadi pemimpin, Nak Sebab banyak pemimpin yang lebih siap Jadi anak buah, pesuruh atau pecundang Dalam pikiran mereka rakyat bukan apa-apa Jika negara adikuasa yang mengerdipkan mata Agama hanya jadi rawa-rawa penghalang Akal bulus keinginan mereka menaikkan tarif Setinggi-tingginya,menghukum maling ayam Dengan cara yang paling jahanam Sementara pelaku korupsi masih diberikan Hukuman bergaransi Sekolah, Nak Jika memang sekolah itu mampu menjadikan kita Manusia berakal budi-berhati mulia dalam setiap detik mengalirlah do’a-do’a memohon kepada sang pencipta karena dialah yang layak sempurna dipercaya PADAMU IBU Padamu aku sampaikan, ibu Bantu aku dengan doaa-doamu Agar mulus jalanku menapaki Hidup yang penuh dengan duri Padamu aku sampaikan, ibu Ikhlaskan aku mencari hidupku Agar lekas langklahku sampai Pada cita-cita yang hendak dicapai DENGAN SEIKAT ZIKIR MAWAR INI apakah yang dapat kukatakan selain mengungkapkannya dengan seikat kembang atau setangkai zikir mawar, Kekasih atau apakah cukup rasa cinta dengan kata-kata berbaur ucapan penghambur bermakna kabur ah, dengan seikat bunga ini kau akan mengerti penanda hati apakah yang dapat kulakukan selain menyusun butir-butir rindu menjadi segunung mengharu-membiru, Kekasih entahlah warna cinta yang bagaimana lagi yang patut kutorehkan di kanvas hati ah, dengan seikat bunga ini kau akan mengerti pecinta sejati medan,08 DALAM DIAM KU TASBIHKAN CINTA mungkin ini hari dan minggu yang kesekian ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal telah disiapkan perahu mengarungi do’a-do’a adakah luka yang begitu menganga sehingga tercipta jurang diantara perbedaan menganga atau aku yang kurang pandai membaca perjalanan cuaca? mungkin ini pasir atau kerikil yang kesekian ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal telah sama berjanji-sama mendaki adakah dendam yang begitu membatu sehingga terpahat lereng terjal dilangkah menganga atau aku yang tak jeli melangkahkan kaki dalam perjalanan hati? Medan,08 AKU RUKUNKAN CINTA KITA BUKAN SESIAPA usah kau sulam segala ragu, sebab aku rukunkan cinta kita bukan sesiapa sebab, kita bukanlah sepasang kekasih seperti Caesar dan Cleopatra tetapi kita adalah sepasang burung dara yang bebas terbang kemana suka aha, aku yakin kau hanya menimbun cemburu di lumbung kasih-sayang yang menggelora, sebab aku hanya cinta kau bukan sesiapa dan kau akan menjadi kekasih abadi bagi para musafir lata yang kehausan cinta dari perjalanan sebuah pencaharian yang tak jemu sudahlah, Kekasih walau aku seorang pecinta, tetapi tetap aku cinta kau bukan sesiapa medan, 08 TATAP MATAKU DENGAN SEGALA CINTA jangan tunduk tatap mataku dengan segala cinta ada rahasia ada segala suka-cita, dan hanya kaulah yang dapat membaca atau mengeja segala makna hapus beribu ragu dengan riasan rasa jangan menghindar tatap mataku dengan segala cinta ada taman yang penuh dengan segala bunga berbagai warna dan hanyalah kaulah yang dapat menikmati-memetiknya hapus segala bau dengan berjuta aroma medan, 2008 AKULAH SANG PENJAGA CINTA akulah itu sang penjaga cinta yang menanam segala bunga penuh warna-sesegar aroma di taman hatimu seteguh asmara akulah sang penjaga cinta yang menyiram segala bunga menghapus kerontang jiwa di taman hatimu yang paling suci medan, 2008 MENJARING TASBIH AIR MATA Telah pun kujaring tasbih air matamu Pada kedalaman laut yang paling haru Gemuruh di dadamu mengundang cemasku Demi menahan terjangan-terjangan gelombang Langit sekadar membagi nasihat Bagaimana cara membaca gerak cuaca Awan adalah musafir yang mencatat angin Sepanjang rahasia kesunyian sebuah perjalanan MEDAN,2008 PELAYARAN SAJADAH Lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah Ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa Malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak Pernah lupa dengan segala riwayat cerita segala derita! Medan, 2008 BIAS MATAHARI PAGI apalah arti matahari pagi bagimu yang menyembul seketika dari detik jarum jam yang berdetak pada dinding rumah kita apalagi yang kau tunggu? Matahari telah pun meninggalkan jejak biasnya pada sisa tangis di jendela matamu malam mengintip diam-diam. Gerimis berguguran di rumputan. apalah arti butiran embun di daun yang menetes di ujung tahun kecipak air comberan dan tarian dedaunan di kejauhan pada halaman samping rumah kita, usah kau hanyut atau kau telah terjerumus dalam kobaran api cemburu? Matahari telah membenam di antara isak tangis menuju peraduan. Meninggalkan sisa biasnya SAJAK JAM DINDING Butir detik jatuh satu-satu di bingkai matamu, melintasi menit yang bertengger di bibirmu. Ada angin mengetuk hatimu Menyesak jantung di ruang rasamu awan enggan berlari, udara berputar-putar sendiri matahari begitu sayu di atas sungai segala luka mengalir sampai muara yang sesak oleh kabar duka cita Butir airmatamu jatuh satu-satu menatap jam dinding pada senja surut perlahan mengaduk-aduk sepi hatimu. Waktu setia menunggu dentam-dentam langkah jam sepanjang almanak. Seperti embun yang menetes menganak sungai pada pualam pipimu berputar mengelilingi waktu mencari celah, berputar pada ruang yang menyimpan segala keabadian itu SUNGAI HATIMU entah langkah keberapa detik kaki menyeret tumpukan cerita berangkai. gunung-gunung sibuk menantang matahari. pohon-pohon risau menghalau cahaya pagi sungai-sungai asyik bermain-main sendiri dan aku ingin sekali merendamkan diri pada sungai hatimu sejenak meninggalkan mimpi sungai hatimu yang sejuk meredam segala dendam membungkam luka segala prasangka segala Di sungai ini. Teduh mendengar tembang irama kenang ada percikan kecipak air. Ada hembusan sesejuk angin dingin menggigil pada bingkai cerita yang belum usai api terbakar pada langkah yang sudah-sudah pada rumah.tak berdinding. Tak berjendela entah langkah kaki ke berapa detik sunyi menyeret ruang di setiap peristiwa rindu yang bermain-main di siang malamnya aliran sungai hatimu MENYENTUH GERAI RAMBUT HUJAN SORE INI Menyentuh gerai rambut hujan sore ini aku kenangkan dirimu, kekasih ada rasa yang tak sempat terkatakan tentang sebuah negeri yang jauh dan di ruang lengang seperti ini kusulam rindu-dendam yang belum sempat terbayarkan PEREMPUAN GULA-GULA terlalu manis hidup yang tercicipi terlalu nikmat hasrat yang terteguk dan sekarang kau pun merasakan kebahagiaan itu hanya batu di dadamu komunitas home poetry, 2009 medan-sumatera utara PAGIPAGI SEKALI EMAK MEMBANGUNKANKU dan pada detik ini rusukku persis patah dan pada detik ini dadaku jelas membelah dan pada detik ini sekujur tubuh rubuh sebab, pada detik ini emak memuntahkan serapah SEORANG GADIS KECIL DAN POLISI YANG BERDIRI DI LAMPU MERAH merah bola matanya naik turun jakunnya komatkamit mulutnya mematung menatap jalan raya lampu merah menyala saatnya bekerja komunitas home poetry, 2009 medan-sumatera utara SEBATANG ROKOK DI ATAS MEJA PADA RUANG BERJELAGA ruang itu sunyi seperti air yang berhenti mengalir meja itu berdebu ada pena tergeletak di atas kertas penyair menyimpan lelap sebatang rokok membakar sajak di atas asbak NENEK JAMILA MENGUNYAH-KUNYAH SIRIHNYA mungkin derak suaranya mungkin derit pintunya mungkin bunyi kentutnya mungkin suara pipisnya mungkin nada dengkurnya mungkin denging telinganya mungkin klutuk periuknya mungkin rerak rumahnya mungkin alunan serapahnya mungkin dentam sunyinya mungkin bara rindunya mungkin pluit ajalnya mungkin runtuh debunya mungkin perih hatinya mungkin deru jantungnya mungkin buram matanya mungkin retak bibirnya mungkin mungkin nenek jamila yang tengah mengunyahkunyah sirihnya alah, mak GADIS KECIL YANG MENUNGGU Di gerbang mesjid Seorang gadis kecil menunggu rindu Kidung takbir di bibir yang getir Entah fitri yang ke berapa Zikir mengalir Di gerbang mesjid Seorang gadis kecil menunggu ragu Pada pilu hati yang kuyu Entah ngilu yang ke berapa Sendu memalu GADIS KECIL PENJUAL KORAN Di simpang sepi gadis kecil duduk sendiri Mendekap setumpuk Koran Di dadanya Sementara senja terus berpacu Kendaraan terus melaju Satu persatu gadis kecil terduduk sendiri Tanpa pembeli Tanpa pembeli Di simpang sepi Lalu lalang tak ada lagi KEPADA ADIK KECILKU Pulanglah, Dik Tinggalkan segala tipu daya dunia yang membujukmu Membawa kepada segala kenistaan Dan persekongkolan Debu dan asap knalpot yang memburumu adalah Ular kepala dua yang siap membenamkan segala rindu Di kepalamu yang murni Pulanglah, Dik Pulang. Masih ada esok yang akan menyulam Wajah burammu menjadi senyuman DI SIMPANG JALAN RAYA gadis kecil bertubuh dekil Dengan kaleng di tangan bernyanyi Lagu anak jalanan Memandang kaca jendela mobil Berhenti di traffic-light Simpang jalan raya Kencringan di tangan kanan Merangkai harapan Di dalam mobil Di balik jendela kaca Gadis kecil bergaya centil Muntahkan donat dari mulutnya Tiba-tiba jendela kaca terbuka Si mami membuang segala sisa Termasuk beberapa receh Dari saku celana Lampu hijau menyala Menghalau masa lampau gadis kecil pinggir jendela Gadis kecil simpang raya Terjebak arus pikiran belia Yang terbang bersama debu Jalan raya AKU CINTA KAU BUKAN SESIAPA usah kau sulam segala ragu, sebab aku cinta kau bukan sesiapa kita bukanlah sepasang kekasih seperti Caesar dan Cleopatra tetapi kita adalah sepasang burung dara yang bebas terbang kemana suka aha, aku yakin kau hanya menimbun cemburu di lumbung kasih-sayang yang menggelora, sebab aku hanya cinta kau bukan sesiapa dan kau akan menjadi ibu dari anak-anak kita yang kelak akan menggantikan kita menjadi pangeran dan putri dari segala kerajaan cinta sudahlah, Kekasih walau aku seorang pecinta, tetapi tetap aku cinta kau bukan sesiapa medan, 08 TATAP MATAKU DENGAN SEGALA CINTA jangan tunduk tatap mataku dengan segala cinta ada rahasia ada segala suka-cita, dan hanya kaulah yang dapat membaca atau mengeja segala makna hapus beribu ragu dengan riasan rasa jangan menghindar tatap mataku dengan segala cinta ada taman yang penuh dengan segala bunga berbagai warna dan hanyalah kaulah yang dapat menikmati-memetiknya hapus segala bau dengan berjuta aroma medan, 2008 AKULAH SANG PENJAGA CINTA akulah itu sang penjaga cinta yang menanam segala bunga penuh warna-sesegar aroma di taman hatimu seteguh asmara akulah sang penjaga cinta yang menyiram segala bunga menghapus kerontang jiwa di taman hatimu yang paling suci medan, 2008 LUKISAN RAMBUTMU PADA KIBAR SENJA ITU lukisan rambutmu merebak rindu di antara lulur debu meretas gairah di antara bilurbilur biru di bawah remang cahaya yang memburu waktu, ah aku seolah menemu lakumu dalam dekapan diam tetapi nganga itu seolah mencair di antara mimpimimpi semu kemarilah ! biar kita kejar bias matahari di antara rintik gerimis senja yang mengucur di kaca jendela menggelitik rasa kita kau tentu mengerti betapa hasrat memiliki tak pernah berhenti dan tembang malam perlahan melintas dari jembatan senja yang berkibar di antara kibar lukisan rambutmu mewarta segala cinta, maka cuaca bukanlah penghalang segala cinta dari segala tariantarian yang meliuk di antara lukisan rambutmu pada tatap mataku yang menunggu KAKIMU YANG MELANGKAH ADALAH kakimu yang melangkah adalah tapaktapak yang membekaskan segala sejarah di atas kering rumputrumput itu menyibak segala rahasia yang tersembunyi di tepian trotoar berdebu dan irama knalpot jalan raya yang menembus telinga para musafir jalanan menembus segala tuju yang masih semu kakimu yang melangkah adalah retakretak dadaku yang rerak di antara tanahtanah membatu mencuri serpihan cinta yang melayang seolah debu menembus dindingdinding angin yang dingin menggigilkan segala hasrat yang sempat membara dan lunglai bersama gugurgugur daun yang jatuh ke bumi kakimu yang melangkah adalah getar segala debar yang terkapar dari resah segala gelisah meliukkan hati yang gundah tentang sebuah hasrat yang terpendam menembus dindingdinding diam yang mewarta segala cerita menembus loronglorong hatimu menembus kisikisi hatiku yang penuh kesumat berdebu SEBAB ANGIN YANG MENGGUGURKAN DAUN-DAUN entah daun yang ke berapa jatuh ke bumi dari pohon setua hembusan sedingin angin warna buramnya sesunyi kalender yang kelelahan disetubuhi beribu rayap pengab ! waktu melesat begitu cepat berkeliling merengsek masuk di celah-celah reranting dan cabang. Begitu gagap entah daun yang ke berapa gugur di diri memilah warna matahari yang menembus ke segala ruang dan lorong sesunyi titik air yang menitis di atas lantai lunglai sansai ! M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Beberapa karyanya masuk dalam beberapa antologi, seperti Tanah Pilih (antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi) dan Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen Temu Sastrawan Indonesia II, Bangkabelitung), Pulau Marwah (TSI Tanjung Pinang), Akulah Musi (Temu Penyair Nusantara, Palembang). Sinetron, Film, maupun IKLAN. Kegiatan yang di kuti selain di Medan-Sumatera Utara, PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif Gedung Kesenian Jakarta Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki, Panggung Idrus Tintin, Riau, Taman Budaya Banda Aceh, Taman Budaya Lampung, Solo, Panggung Penyair Se-Asia Tenggara, Tanjung Pinang,dll. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar/Majalah Nasional/buku di Malaysia, Radio Nederland, Cyber sastra,dll. Sering menjuarai berbagai lomba selain lomba baca/cipta puisi, cerpen, lawak, dongeng, proklamasi dan juga Teater lokal, nasional maupun Asia tenggara. Tarung Penyair Asia Tenggara dinobatkan sebagai unggulan I. Termasuk lima besar Lomba Cipta Puisi Nasional, Bentara Bali Post. Selain masuk sebagai pengurus di beberapa organisasi seni, sastra dan budaya, ia aktif juga dalam kegiatan lainnya termasuk dunia politik. Sering didaulat sebagai Sutradara, juri dan pembicara, atau narasumber terkait. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED, juga sebagai Koordinator Omong-Omong Sastra Sumatera Utara dan Direktur di Komunitas Home Poetry. Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 085830805157 Mail:mraudahjambak@plasa.com, mraudahjambak@yahoo.com

No comments: