Tuesday, 22 September 2020
PUISI-PUISI M. RAUDAH JAMBAK
MEMBACA AWAN MENGHITUNG RINTIK HUJAN
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Bukan karena rintik itu berderai atau pecah maka kau mengundang pesta ke dendam hatimu yang sewarna pinggul kuali. Aku memahami irama didih hujan di bilik panci-panci. Atau awan wedang panas yang mengepul pada puncak gelas. Alahai, bukankah kau sendiri yang menciptakan dansa caca pada sepasang sendok dan garpu? Jangan pernah merasa bahagia atau sedih, karena ia semacam sarapan pagi yang menggigilkan dingin. Pun, barangkali matahari yang dihanguskan bara api. Bekunya kau pahat menjadi patung para peri, abunya kau jadikan kaligrafi.
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
“Jangan buang. Jual saja,” ujar kekasihmu yang tengah mengunyah desau angin. Entah mengapa, ia tak pernah berhenti mengidam. Padahal niatmu hendak memilah hujan, lalu menyematkannya di sudut matamu
Dan ketika kau meninabobokkan malam, gerimis meringis. Tanpa kau sadari, ia berkali-kali mengetuk jendela kamarmu. Ia menggigil melihat kau menyetubuhi mimpi. Sementara di sudut kelam dapurmu ada yang diam-diam menyulut dendam. Gelas-gelas panas. Piring-piring sinting. Sendok-sendok sengok. Kompor-kompor menjelma provokator. Mereka sepakat mengobarkan perang dengan kesaksian kucing renta yang tak henti mengibaskan ekornya. Mereka bersorak persis disaat siaran televisi kehilangan imajinasi. Ah, katanya, baru saja perutnya mual, lalu mulutnya memuntahkan telenovela bersama suara sirene di kepalamu.
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Betapa luka perasaannya, seandainya kau tahu tidak ada apa-apa yang terhidang di sana. Pun, termasuk ketika kau selesai menikmati hidangan awan penuh selera. Tetesan sambal, serpihan tulang-tulang, ataupun tumpahan jus anggur yang tak kau sadari memerihkan hatinya. Walau kau lapis wajahnya dengan beludru merah jambu.
Seperti geliat rayap di lendir banjir, seekor tikus mendengus. Ia mengutil rimah-rimah semur kambing, kemudian diam-diam membungkusnya dalam kantong plastik untuk orang-orang tercinta. Dan menghidangkannya kembali pada seriuh meja dapur dengan keropos-lapuk di kakinya.
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Anak-anak hujan berebut telur rebus terakhir yang sebenarnya sengaja kau sisakan untuk sarapan kucing setiamu. Padahal sebelumnya awan sengaja menghadiahkan mendung untukmu, sebab seekor ayam betina yang tersesat di dapur diam-diam bertelur di ujung garpu.
Entah mengapa kelebatan meteor di matamu, menjelma setengah kehidupan yang menyembul di serpihan telur rebus yang jatuh berantakan terinjak tapak-tapak kaki hujan.
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Persis siang ini, ketika hujan perlahan beranjak pergi. Kau biarkan sunyi diam-diam menghitung rintiknya. Mungkin yang tertinggal hanya gelisah barang pecahbelah. Yang tertinggal aroma rindu terasi ibu. Yang tertinggal cerita masa kanak. Yang tertinggal kesumat keringat para lelaki.Yang tertinggal sesak dada senja. Yang tertinggal tentang kisah kucing renta yang tak henti mengibaskan ekornya. Ah, semoga ia tak lupa mengirimkan surat-surat kerinduan tanpa baris-baris kecemasan.
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
KOMUNITAS HOME POETRY, 020612
MEMBACA TONGGING
Acapkali rasaku menjelma siluet pepohonan, yang berdiri kokoh, berharap sekelebat bayangmu menjejakkan aroma wewangian dupa di antara bisik daun-daun:
Bias langkahmu semakin temaram di sela peluh rerumputan. Gumpalan awan berebut menggantungi matahari ketika kau hibuk menancapkan tapak-tapak kaki, lalu kuraut wajahmu sehalus guci:
Laiknya seniman yang mengabadikan karya seni sejati.
Lalu kuhadirkan pelangi di kanvas hati, melintas batas-menembus
dimensi tempat kau terbiasa menari
Abadikan harum aroma tubuhmu:
Entahlah, debur jantungku berdegap berkali-kali.
Lalu, akupun menjelma terompa di tapak kakimu yang lembut,
bergesekan bilah kaca atau hunus duri
mereguk alir peluhmu:
Mewaspada tubuhmu yang memaku dan bias matahari yang beringsut
memohon diri
Dan senja membawamu mengajakku menuju malam, mengurai kembali segala kenangan di pinggir Toba:
Persis dibebatuan-di kawalan rerumputan, kau terdiam, menikmati remang cahaya matahari yang perlahan terbenam, aroma tuak melintas sekilas dari
lapo Amang yang setengah tumbang di belakang kita. Laksana perwira
yang berjaga di perbatasan alis tipismu, di perbukitan mancung hidungmu,
di seputar telaga matamu. Di ranum senyummu, kau aromakan beragam
hidangan dongeng dan legenda
Di depan kita berloncatan riak-riak kata, berlatar sibuk kunyahan kacang sihobuk.
Sebuah nostalgia menari-nari di layar mata tentang temaram Tongging yang sejuk-yang bersahaja di jumpa pertama:
Sebungkus ombus-ombus kau tawarkan sekadar hambarkan gemetar lapar
pada ceritamu tentang beban yang terjejak sepanjang perjalanan dari
kampung halaman, keluarga yang ditinggalkan. Ruap asap jagung bakar,
yang mengisahkan persawahan, ladang dan hutan-hutan
Awan hitam membuka lembaran laklak pada barisan kata yang berjatuhan
Adat seolah memperkenan pemberian marga antara
kepentingan dan kebanggaan
Hidup sekarang hanya memenuhi kebutuhan antara perut dan mulut, ujarmu
Siang dan malam seolah tak pernah ada sebab derita yang tak jelas ujungnya
Malam mencapai puncak kelam, kita perlahan mencari hangat dalam diam
Pada bahuku yang aduh, engkau pun luruh. Adakah isyarat yang dapat terbaca dalam kelam, bisikmu bergetar. Jika aksara lahir dari hati, maka biarkan ia mengalir laksana air. Dan seandainya kata hadir dari segala tipu daya, maka enyahkanlah segera sebelum kita terjerat di dalamnya.
Malam bukanlah kanvas kebimbangan, tetapi ia adalah keyakinan dan harapan tentang sebuah kepastian. Dan engkau pasti sudah membaca aksara jiwaku:
Mendengar debur ombak di dadaku. Membariskan irama beribu bintang tentang senandung rembulan.
Aku adalah matahari di hujan dadamu yang melahirkan pelangi, bukan sekadar melukis mimpi-mimpi, tetapi aku ingin kau terus menjadi seorang penari dengan irama paling setia:
Embun lalu luruh dari dedaunan dan gigil beban
Pada bentangan langit paling luas
kuajak kau terbang sambil menyanyikan semesta.
menggugurkan berjuta irama dengan sempurna:
belahan rasaku yang akan memberikanmu sayap berjuta warna, dan kita
arungi semesta, bersama
Medan, 08-10
AKULAH WAKTU, KAULAH MASA, KITA CATAT SEJARAH
/1/
Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun
yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya
serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging
Akulah Waktu yang kehilangan makna beban
Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan
Sebab ia adalah cermin buat berdandan
Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering
panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku
tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah.
Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama
sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam
sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak
/2/
Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi.
perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara.
mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta!
Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan
Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara
bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba
Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa
yang berburu zikir bersama Khaidir
lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!
/3/
Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah
Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam
yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian.
di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak
Komunitas Home Poetry, 2008-2010
DI POJOK RUMAH SAKIT BERLANTAI TIGA
: fragmen-fragmen penyembuhan
Di pojok rumah sakit berlantai tiga
Detik maut pelan-pelan mengukir nisan memipih-pipih umur kami
Setiap tetes air mata yang jatuh adalah harapan yang perlahan menjauh
Sakit kami seolah menghunuskan napas yang semakin aus
Berharap izrail menunda waktu melepas sauh
Berharap tuhan masih berumah di tubuh
Jika ternyata hidup hanya di genang air mata
Biarlah jiwa yang lara tenggelam di dasarnya
Melumpurkan debu-debu kesakitan yang meradang
Pada raga di kurung masa ke masa
Jika ternyata hidup hanya di genang air mata
Biarlah angin mengirimkan lembut lengannya
Membawa segala aroma-aroma telaga surga
Dari kepedihan seluas samudera
Jika tenyata hidup selalu di genang air mata
Maka hapuslah lara kami, hanguskan duka kami
Biar jadi debu, biar jadi abu yang dihanyutkan
Sungai-sungai hati menuju muara cinta
Jika ternyata hidup selalu di genang air mata
Adakah tempat untuk membangun dermaga
Tempat kapal-kapal kami membangun rumah
Menyusun segala rencana menuju ke pulau bahagia
Padahal pernah kami serahkan utuh-utuh hati kami, padamu
Tetapi kau balur jiwa kami sepenuh empedu
Mata kami yang berpijar, berbinar
Tetapi padamu kau susun kelam, buram
Kami berpikir kau adalah pengobat hati
Ternyata kau bakteri yang menanam nyeri
Aduh, ibu
Bersebab narkoba kami celaka
Aduh, bapak
Bersebab narkoba kami merana
Aduh, tuhan kami
Kami terlanjur lupa memaknai diri
Dulu ketika hidup kami di belenggu ragu
Siapa lawan dan kawan kami tak tahu
Dulu ketika cinta di gunting putus asa
Tak ada tempat berbagi suka dan duka
Dulu ketika segalanya hilang entah ke mana
Psikotropika seolah sahabat berbagi duka
Ternyata setelah berbagi setia berlama-lama
Lara hati membara sepanjang usia
Membelenggu jiwa
Menumpuk derita
Membisa racunnya
Di pojok rumah sakit berlantai tiga
semoga maut enggan menjemput umur kami
Setiap tetes do’a membasuh adalah harapan yang berlabuh
Sakit kami adalah sampan-sampan sebuah pengakuan
Berharap izrail menunda waktu melepas sauh
Berharap tuhan masih berumah di tubuh
Medan, 01-09
SAJAK SAYANG NA SIPUANG
Tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri
Tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki
Kami gualkan
Kami tarikan
Untukmu kekasih hati
O, Na sipuang, Na sipuang
(Sonaha...i huda-hudai do namatei....)
Engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan kasih
Engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan sayang
Melalui kibasan enggang doa-doa dilayangkan
Melalui hembusan angin harapan diterbangkan
Adakah yang lebih indah dari cinta seorang ibu
Sejak kandungan harapan ditasbihkan
Setelah lahir kasih mengalir seperti air
Ketika dewasa menggudang segala cita
O, Na sipuang, Na sipuang
(Sonaha...i toping-toping do namatei....)
Ditalun-talun kisahmu tersiar
Ditalun-talun kisahmu terkabar
Di tanah ini kami mengobar mandillo tonduy
Di tanah ini kami senandungkan urdo-urdo i
Adakah yang lebih sedih dari tetes tangis ibu
Yang tak sempat tasbihkan harapan
Yang tak sempat mengalirkan kasih
Yang tak sempat membaca cita-cita
O, Na sipuang, na sipuang
Kami tabuh gonrang
Demi menjeput
Segala riang
Tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri
Tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki
Kami gualkan
Kami tarikan
Untukmu kekasih hati
KOMUNITAS HOME POETRY, 06-12
MAKA BATU SEHINGGA LUBANG
pada lorong ini kata-kata berlumut di dinding-dinding gua suara-suara beradu teriak di gendang telinga entah mengapa desing peluru itu tak juga enyah ia menyusup terus pada kisi-kisi pikir pendatang yang datang dan pergi
pada lorong ini saudara tua pernah mencatat kuasa di dinding-dinding gua ada sejarah yang mengering tapi kemanakah halaman lembar-lembar yang terkoyak dari buku pelajaran sekolah? Ah, mungkin ia sekadar singgah di negeri entah
pada lorong ini batu-batu mengeraskan kata-kata saudara tua di dinding-dinding gua mewartakan sejarah dan kisah-kisah lama adakah luka tercatat pada peta atau lubang yang semakin meruang? Lalu kemana pendatang yang datang dan pergi? Mungkinkah mereka sekadar singgah di negeri entah, ah
komunitas home poetry, 2012
PORTIBI
sesekali kutelusuri bilik sempit
sudut kusam, cagar sejarah
dan relief dingin memaknai kediamanmu
yang berdebu dan gosong pengetahuan
tak ada catatan yang tertinggal
selain kegalauan merubung dada
dan kanak berebut benang putus layang
serta sorak kegembiraan yang menyusup
di dinding-dinding senyap
komunitas home poetry, 2012
TUGU GURU PATIMPUS
ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan
yang terlepas hurup-hurupnya dari paragraf-paragraf usang
sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus
membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain
dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan perjalanan,
mengekalkan peradaban urban
di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah
di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah
di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki
bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan
kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup
menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi
yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya
diam-diam pada bulan
ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana
bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua
langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari
menghibur para petualang yang sejenak datang
mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus
bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain
membenam teriak segala pongah, mencampak derak suara
ke langit terbelah
di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara
percik riwayat kisah-kisah semangat juang
di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula
pemancakan gedung-gedung nan gagah
dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain
dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua
dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang,
yang entah kapan pergi
Komunitas HP, Medan, 10-1
KOLOLI KIE
Mengelilingi Gamalama adalah menyulam sebuah kelahiran
Berhenti dari satu jagoru lamo ke jere lain seolah ziarah
Ke makam nabi-nabi
Mengelilingi Gamalama adalah menghirup nafas kehidupan
Memberangus satu bencana menjeput gairah-gairah seolah
Melontar jumrah
Mengelilingi Gamalama adalah mewariskan kasihsayang
Menikmati kelembutan toma nyolo, mendekap kehangatan
Toma nyiha
Mengelilingi Gamalama
Aku dodoki ali
Aku dodoki mari
komunitas home poetry, 2012
SUNGAI SIAK
Dari jembatan letong kukunyah riak air
menitip intip patin-patin. Entahlah,
mungkin muntah pasar bawah
mungkin batuk tanjung datuk
dari jembatan letong kuhapus tetes air
merayap jatuh di pipinya yang keruh.
Entahlah, mungkin gertak tongkang
Mungkin gerah limbah
Dari jembatan letong kusaksikan peluh air
terkenang sejarah sirih yang pedih. Entahlah,
mungkin sejarah pohon-pohon batu
mungkin rerak sendi tanah-tanah retak
dari jembatan letong
siak begitu kepompong
rumbai, 10-11
SEBAB AKU PEREMPUAN
Gerai rambutku
Binar mataku
Mancung hidungku
Tipis bibirku
Maka,
Membara kelelakianmu
Tunduk kepalaku
Terbungkus tubuhku
Terbata mulutku
Perlahan langkahku
Maka,
Surut perasaanmu
Selalu Hawa yang dipersalahkan
Ketika Adam mencicipi buah keabadian
Sebagai penyebab sebuah ketelanjangan
Bibit huruhara persengketaan
Yang memabukkan
Selalu Cleopatra menjadi cibiran
Ketika lelaki harus menghunus senjata
Membunuh saudara sendiri
Demi sebuah pengakuan
Dan cinta
Selalu aku merelakan pengorbanan
Untuk sebuah ketidakpastian
Dari janjijanji bersayap cumbu
Bagi kumbang
Penghisap madu
Sebab aku perempuan
Maka, perasaanku
Kau permainkan
BUKAN KARENA, TETAPI
Bukan karena hiba
Dan tetes air mata
melukis pilu segala warna duka
Menggores di kanvas segala luka
penuh amarah yang memerah
atau pedih segala perih
memudarkan rona
memudarkan rasa
Bukan karena apatis
hingga hasrat harus teriris
Meninggalkan catatan
Sebuah kenangan
Di buku harian
Pada halaman-halaman tertinggal
Tetapi, karena aku perempuan
Yang merawat segala cinta
Dan kasih sayang
Di hatimu
MEMBACA POTRET KARTINI
Membacamu adalah menerjemahkan makna
Alis yang bertengger di atas bening binar matamu
Yang mengisyaratkan cita-cita
Dan cinta
Membacamu adalah mencatat patahan
Pada sketsa hidungmu yang membaui
Aroma segar nurani
Murni
Membacamu adalah menafsirkan hakikat
Keperempuanan yang disalahartikan
Tentang kesamaan
Dan kesetaraan
MENGHITUNG LANGKAH
sepanjang trotoar usang peradaban
kuhitung langkahmu sampai ke ujung jalan
kuhirup aroma tubuhmu yang melayang
dan terbang bersama debu jalanan
komunitas home poetry, 2012
SAJAK KEDIAMAN
rasuk aku pada kata-kata usang
pada baris-baris puisimu yang sungsang
goresan rindu dendam telah kusyairkan
pada lirik-lirik kalimat lantam
ia menyelinap disela-sela pesan
baris syair tentang matahari dan bulan
membawa ingatan pada catatan-catatan
terakhir tentang siang dan malam
komunitas home poetry, 2012
MEMBACA BIAS SILAU MATAHARI
membaca bias silau matahari
seperti melangkah di gurun padang pasir
tetabuh kegalauan meraung di pucuk gunung
menancapkan tegak siang yang gersang
komunitas home poetry, 2012
MEMBACA SERIMBUNAN AKAR
membaca serimbunan akar
yang menembus kedalaman bumi
menusuk di jengah ceruk-ceruk tanah
mengundang sedak dan terdesak
komunitas home poetry, 2012
MEMBACA ASPAL
Mungkin banyak yang belum mengerti
Mengapa aspal selalu memaknai kerebahannya
Ada yang datang dan pergi
Ada yang disambang dan terbuang
Ada yang menjelang dan menghilang
Ah, andai saja ia bercerita tentang kita, tentu
Kau dapat menebak ke mana arahnya
Tetapi, ia lebih memilih kebungkaman
Baginya hal itu lebih indah ketika menikmati
Segala kebisingan dan kecemasan kita
Serta kerahasiaan yang sampai saat ini
Belum dapat kita pecahkan, walaupun
Sesekali waktu kita mencoba membongkarnya
Lalu menutupnya kembali sambil membawa
Rasa kecewa sekaligus rasa lega dan bagi kita
Pun tidak faham ke mana muaranya
(tentang sebuah kelemahan adalah kekuatan)
MEMBACA USIA
mungkin aku yang terlalu bernafsu
mencumbui waktu
padahal jalanan ini masih seperti
yang kemarin, tempat kita selalu
menghitung jumlah tapak kaki yang
kita jejakkan
dan cuaca selalu bercanda dengan kita
membiarkan kita blingsatan membaca usia, lalu
ia tertawa diam-diam sambil melangkah pergi
tapi, hari ini aku hanya bisa mengutuki uban
yang tak pernah pergi walaupun
sesaat
PIRING
Bukan karena piring itu kosong atau berisi lalu kau merasa bahagia atau sedih. Tetapi, ia juga mampu menjerumuskanmu ke penjara. Bersebab karena perutmu yang kosong, atau malah kekenyangan.
“Jangan buang. Jual saja,” ujar istrimu yang tengah hamil tua. Entah mengapa, ia tak pernah berhenti mengidam. Padahal niatmu hendak memberikan piring usang itu ke tetangga dan ingin menggantikannya dengan yang baru.
Dan ketika makan malam bersama wajah istri dan anakmu berbunga-bunga melihat kilau piring baru. Mereka bersorak persis disaat siaran televisi menyiarkan sekumpulan bocah di penampungan mengangkat tinggi-tinggi piring kaleng di tangannya.
....perutmu mual bersama suara sirene di kepalamu.
MEJA MAKAN
Betapa luka perasaannya, seandainya kau tahu tidak ada apa-apa yang terhidang di sana. Pun, termasuk ketika kau selesai menikmati hidangan penuh selera. Tetesan sambal, serpihan tulang-tulang, ataupun tumpahan jus anggur yang tak kau sadari memerihkan hatinya. Walau kau lapis wajahnya dengan beludru merah jambu.
Untung saja pembantu setiamu segera menyadari itu, sambil sesekali mengutil rimah-rimah semur kambing kemudian diam-diam dibungkusnya dalam kantong plastik yang memang sudah dipersiapkan dari rumah, untuk suami dan anak-anaknya. Dan menghidangkannya kembali di atas meja makan dengan keropos-lapuk di kakinya.
TELUR REBUS
Anak-anakmu berebut telur rebus terakhir yang sebenarnya sengaja kau sisakan untuk sarapan pembantu setiamu. Padahal sebelumnya pembantumu sengaja menghadiahkan untukmu karena rasa bahagia, sebab seekor ayam betina yang tersesat di dapurnya diam-diam bertelur di atas bantal tempat tidurnya yang beralaskan jerami penuh rayap.
Entah mengapa kau begitu murka, begitu tahu ada setengah kehidupan yang menyembul di serpihan telur rebus yang jatuh berantakan dari tangan anak-anakmu.
SAMBAL TERASI
Pembantumu begitu gembira begitu sambal terasi asli buatannya kau lahap begitu saja. Padahal bau busuk yang enggan singgah dari mulut dan tanganmu membuat anak-anakmu kehilangan selera.
Sayang kau tak menyadari makna hakiki sebenarnya dari bau busuk dan pedasnya.
LOTUS
Mungkin setelah lotus bertunas pada hati kita
Tak ada ketakutan selain cinta berwarna merah muda
Yang terus membawa harumnya kemana-mana
Ia menjadi sebuah kekuatan yang mengagumkan
Ia menjadi keberuntungan yang menyadarkan
Dan ia menjadi hidup di setiap kematian kita
Maka, setelah lotus lahir dari hati kita
Kemanapun melangkah tak ada lagi jarak
Ruang maupun waktu yang berdetak
Sedegup jantung. Selalu berbinar
Seterang matahari, seindah bulan
TERATAI MERAH
Lalu, apa arti cinta sesungguhnya bagimu
Apakah ia laksana kuda jantan yang terengah-engah,
Ataukah ia seindah kelopak teratai merah yang terbuka?
MAWAR MERAH
Dengan segenap keyakinan, aku bertandang
Kuharap kau sedang menungguku di ruang tamu
Tempat biasa kita berbagi cerita dan cinta
Jangan lagi kau sulam amarah, dari sisa kebencian
Sehabis hujan deras semalam. Sebab, aku sendiri
Gamang apakah itu yang dinamakan cinta
Aduh. Getar dada ini semakin debar. Tetapi,
Dengan setangkai mawar ini kita akan raup
Aroma rindu di taman hatimu yang penuh warna
SYAIR SAJADAH
Mungkin zikirku zikir kayu hanyut yang terombang-ambing
Di permainkan laut. Kadang terdampar di pasir, kadang tenggelam dalam air.
Tak seperti perahu walau senantiasa basah, senantiasa pula ia belayar
Tapi tahu kemana harus terdampar mengenyahkan segala gigil
Menghalau segala debar
Amboi, adakah do’a ku kan sampai padamu Tuhanku
Seperti Nuh yang memutuskan tali-tali kufur dari tonggak-tonggak rapuh
Seperti Ibrahim yang mendinginkan bara-bara angkara api
Seperti Muhammad yang menebar maklumat sepenuh hikmat
Mungkin zikirku zikir debu dari rapuh kayu-kayu yang dihembuskan
Angin bisu. Semacam lagu-lagu rindu, semacam pilu kelu
Dan kemudian tersangkut entah kemana, entah dimana pula berimba.
Padahal syair-syairku adalah syair-syair sajadah
Syair-syair basah
Amboi, adakah zikirku zikir rindu atau zikir-zikir ragu padamu Tuhanku
Seperti kabil yang menghilangkan jejak-jejak habil
Seperti zulaikha yang menyusupkan syahwat di dada Yusuf
Seperti Syekh Sibli yang merampungkan cinta Al-Halaj dengan bunga
Mungkin zikirku zikir airmata yang mengalirkan
Syair-syair sajadah basah yang bermuara pada entah
KOMUNITAS HOME POETRY, 2012
MENYUSURI KOTA KOTA SUNGAI
1.
Menyusuri sungai, ketekketek bersin
Menggeram pada isak gemuruh mesin
riakriaknya menari pada perih segala sedih
rindu muara penawar tubuh segala ringkih
di gemuruh hati yang gaduh ada luka membawa cerita
di sepanjang alirannya ada sesuatu yang belum terbaca
tentang sebuah pemandian putriputri raja yang menari
melintasi perkampungan dan pabrikpabrik yang berdiri
bagai raksasa pada tepiannya, serta sejarah terkubur
yang tersusun sempurna menutupi kubangan lumpur
di bawah kayukayu penyangga dari kidung buaian
ah, apakah dayangdayang tengah menarikan tarian
selamat datang atau sekelebat ibuibu yang tengah mencuci
di depan jamban kayu sepanjang tepian perigi segala sepi
Eit, sepasang camar saling bertatap mesra, di atas sampan
yang melintas pelan. Wajah mereka terlihat kelelahan.
Angin berhembus sangat lamban mengantar ke sebuah kota
yang bernama kenangan setua usia benda-benda purbakala
Sambil meneguk setetes air membawa ingatan tertahan
dari sebuah perjalanan pergi dan kembali sebuah kenangan
sepanjang hari awan merangkak pelan
mengabarkan permulaan salam perjumpaan
2.
Menyusuri sungai, terbayang segala kenang
tongkang menerjang. Berlari kencang garang
Permukaannya membelah memberi jalan Musa
dari kejaran raja Fir’aun yang memendam luka
Pada peta hayalku yang aduh terdaftar ragam cinderamata.
Serta hadiah perpisahan upah sebuah pelukan sepanjang kota
.
Warnanya menggambar sebuah kecemasan juga
rahasia yang belum sempat terpecahkan semesta
laksana kendaraan Musa, lajunya menikam-tikam
terjebak monopoli minyak Fir’aun sepenuh dendam
yang usianya melampaui batas keserakahan
tentang sebuah keimanan dan keyakinan
anak angkat kepada Tuhan yang terpendam nyaman
kerakusan ayah angkat yang ingin melampaui kekuasaan
saat gelombang terbawa pulang. Riaknya yang tenang
begitu meninabobokkan. Di depan terpampang kenang
sebuah kanvas perjalanan yang kita susuri.
yang bergoyang kita seolah diajak menari
3.
Menyusuri sungai, pengeruk klutuk pasir menyisir
Laiknya seorang gadis yang menunggu penyair
permukaanya menggelombang sesekali
di tepiannya bocahbocah telanjang menari
Menyusuri sungai, kota-kota seolah menyendiri
Menyusuri sungai, kota-kota seperti sepi
SUARA MENYERUAK DARI DASAR SUNGAI
1.
pada aliran sungai bangkai melintasi bebatu
tak kuharap kau senandungkan debu-debu
pun mungkin ceracau bajaj yang berlari
hiruplah aroma kesumat birahi ini
di hirukpikuk pengendara
atau pengguna jalan raya
2.
disesaki asongan dan gelandang
kau bukanlah pemakaman tanpa kenang
hanya saja kau selalu hembuskan aroma bangkai pada air menggenang
aku haru pada pekat airmu, haru pada senandung lapar zikir terbuang
menarikan sampan sampah bersama goyang riak pelepah
yang menghanyutkan suara-suara dari mulut penuh serapah
3.
dan rauplah cuka
lalulalang aroma
segala pembusukkan
segala pembusukkan
2008
UJUNG PENA SUNGAI TINTA
1.
Sepenuh musim kugali kata dari ujung pena sungai tinta.
Sepanjang musim itu pula kusemai lembar kota,
menusuk--merasuk di rampak tik tak tik tak jarum jam
yang berdetak. Seutuh musim ke musim mewarta dendam
peta sengketa, menceracau bak pemabuk berdiplomasi.
Menguras sumur alkisah dengan segala menu basi,
berakhir suka atau duka. Seluas musim- musim melayarkan
perahu galau, pulau demi pulau, bersama kemudi kecemasan.
Menembus segala musim membebas ruang kuli tinta,
menggali sumur kata-kata pengab rahasia.
dan, di titik penentuan, beragam ujung pena-
musafir, mereguk cinta dari sumur kata-kata.
2.
Setelahnya prosesi sunyi. Kemudian kehadiranmu persis
sekadar kemunculan yang tak beraturan di setiap desis
Menunggumu pun tercipta ritual ujung pena.
sebuah pesta dari segala napas peristiwa
cahaya matahari menghadirkan madu makna
menetes dari mata air jiwa dan para kuli tinta
terus menguras sumur kata pada lembah segala wacana,
menyisir-ranjaunya di setiap titik perhentian langkah pena
Yang tertinggal mungkin tapak-tapak kaki juru bicara,
bertopengkan segala wawancara para dasamuka
Pun lenyapkan segala jejak tapak-tapak para musafir gagak
yang berwajah kuda berbulu serigala. Lesapkan segala gerak
3.
langkah yang mengonak Pada tubuh, peluh mulai terasa
membasuh lesatkan aroma sesak segala muak ke udara.
Lalu orkestra zaman menggumuli musim berkali,
meninabobokkan sepenuh istirah. Lalu sunyi,
lalu sepi, menutup diri. Bibirpun meloncatkan segala
rahasia sumur kata, ladang menggemuruh-hutan belantara
Para pemburu sempat kehilangan panah dan busurnya,
memburu di setiap perhentian kata menggumulinya
untuk kemudian dilahirkan pada cerita
gerbang penghabisan para jagal maupun casanova.
Pada ujung pena kuli tinta menggali sumur kata-kata.
Ada mata air yang terus melimpahkan peristiwa.
4.
Pada limpahan peristiwa, orasi kata menghambur makna.
Sumur kata-kata adalah petanya. Menetapkan warta
Kita pun dapat memahat atau mengukir wajah kita,
mengukur seberapa bersihnya. Di pisau bedah, kata
Juru bicara pun mengukir abadi rasa, membulat harap
pada keyakinan menyimpannya-menumpuk dekap
di etalase kaca bersama sekumpulan perompak yang lupa
membajak, ketika kita membaca rahasia cuaca.
Cermin-cermin retak merupakan sekumpulan arak-arakan
yang melontar, menghunus, menghujat dan meninabobokkan
Yakinku mewarna rindu, bersimpul pena, para kuli tinta
Dengan ujung pena, para kuli tinta menggali sumur kata-kata,
Mewarta segala peristiwa.
Mewarta segala cuaca
2008
DOA SUNGAI KESEPIAN
1.
Di dalam ruang dadaku ada irama degup
yang menarikan jantung dengan irama tertahan.
Mendesah seperti tangkai ranting patah.
Irama itu kadang naik-kadang turun
menembus lorong-lorong di ujung telinga
mengiringi larik terakhir sebelum senandung
yang lesap terbawa angin.
Irama itu berhamburan pada sesak irama
pada degup dada yang menembus lorong
di ujung telinga yang berseberangan. Ada
isak yang mendesak butir embun jatuh
pada lembar waktu dan cucaca.
Lalu suhu udara yang berbeda membawa
irama itu seolah nyanyian nina-bobo yang
akan mengantarkanmu pada alam, alam
yang sulit kau baca.
Dan akhirnya seperti yang telah kau duga
sebelumnya irama itu adalah lagu
dengan irama tembang kenangan
sebagai sebuah salam perpisahan.
2.
Aku tersedak dadaku menafsirkan detak
seluruh irama dari degup yang berbeda
menyatukan irama debar pada tembang
yang hampir tak terbaca
Aku tersedak merindukan lagu sukacita
memenuhi segala rasa bahagia yang pernah
dipenuhi irama dari degup yang tertahan. Dan
aku ingin membisikkan sesuatu, tapi irama
kelumu menghardik harapku,
aku ingin membisikkan ke telingamu, tapi
mulutku begitu kaku.
Aku hilang suara. Aku hilang cahaya.
3.
Tubuhku tak berasa, udara dingin yang kau
kabarkan seperti sekawanan daun
yang gugur ke bumi.
udara dingin itu melahirkan beribu gunung es
di sekujur tubuhku, menutupi rongga pori kulitku
yang pernah mengalirkan ribuan sungai-sungai kecil
tempat para nelayan menebarkan jala untuk menangkap
ikan-ikan kecil yang pernah kau pelihara.
Lalu bongkahan es itu perlahan mencair
Dihancurkan ceracau kemarau yang menghambur
Dari mulutmu. Laut matamu membuncah.
Sungai-sungaimu pecah. Irama lain memainkan
sendiri nadanya dari degup yang lain. Menghantarkan
suara lain ke langit yang lain. Membawa cahaya
yang lain ke negeri yang lain.
Entahlah, aku tak tahu apakah irama yang
lahir dari degupmu adalah doadoa sebagai
penghantar tidur abadiku. Atau doa-doaku
yang menghantarkannya pada degup isak
dari irama kebadian.
LELAKI RENTA DENGAN SUNGAI MELEPUH
1.
Lelaki renta
berbalut rapuh, kabarkan lara
sepi berbaris sendiri tanpa suara
ah, kota-kota telah lama menelan
harapannya yang terus luluh
seringan debu menari di antara
raungan oplet tua berebut stasiun
dan hari terasa kian menjauh
lelaki renta
berbalut rapuh, tebarkan cuka
peluh menerus jatuh mengaduh
entahlah, mungkin di atas sajadah
telah hadirkan taman berisi bunga zaman
seindah sayap kupu-kupu yang menggambar
warna pelangi di hati, dan hari
biarlah terasa kian menjauh
2.
searah pergi begitu pula kembali
tidak ada yang berubah selain sepi
aroma luka setua usia dari stasiun yang
tak pernah sunyi
masih juga terdengar nyanyian jalanan
masih juga terdengar rintihan lapar tertahan
masih juga terdengar muslihat dan akal-akalan
searah pergi begitu pula kembali
tubuh renta itu berganti bayi tawarkan
aroma peluh dari jepitan hidup yang kisruh
mengaduh-aduh
o, adakah yang lebih sakit selain dari
jerit yang dibungkam?
3.
Apalagi guna hujan tangis
pada tubuh penuh peluh bara melepuh
sudahlah simpan saja segala rayuan
yang selalu kau hidangkan di atas meja
bersama aroma pembusukkan
di ringkih renta merapuh
DAN ANGINPUN MENAMPAR SUNGAI DIAM-DIAM
1.
di tepi jalan daun-daun berguguran
terhimpit debu pada langkah-langkah kaki
yang berseliweran, warnanya coklat kekuningan
melukiskan kegetiran di atas tanah yang bungkam
aku memandang geram mengunyah napsu tertahan
alamat nurani semakin mengabur, semakin terkubur
di tepi jalan daun-daun berguguran, debu-debu
bertumbangan tertikam tapak kaki yang menghunjam tajam
aku terpaku pada alamat dedaunan yang terbenam pada
tanah yang bungkam dan angin yang menampar diam-diam
2.
begitulah pantai yang menyimpan rahasia badai
kita tak pernah jua jera berlayar pun mengumbar
setiap pulau selalu disinggahi tebarkan bau tubuh
dan tanamkan peluh-peluh membiarkan segala
penantian yang tidak pernah usai
pada dermaga kita titipkan kapal yang merumput
pada istirah lelah dan laut menari-nari pada kediaman
pulau-pulau dimana tubuh kita siap direbahkan
ah, ternyata diam-diam kita pahami juga rahasia badai
dari bibir pantai pada pulau-pulau yang terkulai
bau tubuh dan peluh-peluh pun telah tertanam jauh
lalu laut yang menari pun perlahan menawarkan
aroma nisan, dan anginpun menampar diam-diam
3.
Pada resah daun jendela
Wajahmu bergambar duka
Sedari pagi matamu menikam langit
Sampai matahari lari bersembunyi
Yang tertinggal hanya senyap
Yang tertinggal hanya gelap
Sekadar hanya menyisakan kenangan
Tertutup debu tertahan
Di saat angin menampar diam-diam
Pada resah daun jendela
Ada gairah yang tak kunjung
Nyala rindu bocah yang menangis
Manja
Mdn,2007
LELAKI SUNGAI MENGUTIP RIMAH SUARA
1.
Di pintu pemilihan suara
Seorang bocah mencatatkan sejarah
Sebab banyak kata-kata yang ia dapatkan
Entah muntahan yang ke berapa
Serapah yang ia rasakan
Di pintu pemilihan suara
Seorang bocah mengutip sampah kata-kata
Pada pilu hati yang kuyu, lugu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
2.
Alangkah, ah
Hati kami memilin luka luka
Orasi itu menombak batin menganga
Dan kami masih tak berdaya
Mengunyah sejuta janji
Jadi air mata
3.
Di belahan peradaban yang mana
Kata-kata paling setia tidak lagi menggema
Selamat datang wahai pemimpin
Kami sambut engkau dengan segala
Suka cita
Di belahan kemanusiaan yang mana
Janji-janji paling pasti tidak lagi dipungkiri
Selamat datang wahai pemimpin
Kami jemput engkau dengan segala
Keyakinan cinta
4.
Di sepanjang jalan ini
Seorang lelaki tua duduk sendiri
Menatap setumpuk umbul umbul pemilihan
Di bayang matanya, anak dan istrinya
Tak lagi meneguk air mata
Sementara waktu terus berpacu
Kendaraan terus melaju
Saling berburu deru
Lelaki tua terduduk sendiri
Membenahi luka luka segala nestapa
Membenahi banjir peluh mengucur nyeri
Membenahi pikiran renta mengusung senja
Di simpang nyeri
Lalu lalang kata membunuh nurani
5.
Pulanglah
Esok masih ada cerita yang kita cipta
Menjadi bunga atau apa saja yang kita suka
Atau kita sihir saja ia menjadi ular kepala dua
Debu dan asap knalpot yang menyelimut kata
Adalah laksana lumpur yang membenamkan mutiara
Di kepala kita, rakyat jelata
Pulanglah
Masih ada esok yang akan menyulam
Wajah buram kita menjadi senyuman
6.
Seorang wanita tua tertidur digilas berjuta pulas
Dengan kaleng di tangan ia mengayuh angan
Berlayar pada perahu sepetak di taman
Di atasnya bertuliskan pembelaan
Terhadap kaum yang terlantar
Umbul umbul pemilihan
Laksana prajurit
Penjaga
dan
Lampu
Di simpang jalan
Menghalau masa lampau
Terjerumus arus pikiran renta
Yang terbang bersama perih debu
Sepanjang trotoar peradaban kota-kota
MEMOIR SUNGAI RINDU
Begitu teduh wajahmu pada pembaringan yang tak terbaca
di kalender dinding kamar kita. Pengembaraanmu akhirnya
menemui stasiun yang tak berpenumpang. Kereta yang akan
membawamu menuju stasiun berikutnya mulai berderak.
Peluit panjang menggariskan senyum pada dingin bibirmu.
Air mataku mengalir mencari muara tanpa batas. “Jagalah
buah cinta kita!” ujarmu terbata
Ah !
TANAH
seberat apa beban yang kau timpakan padanya
ia tetap memberikan keceriaan pada hijau pepohonan
dan kokoh pencakar langit yang acap kau tanam
sampai pada jantungya pun sari pati tubuhnya
kerap kau hisap sampai pada catatan paling buram
ia selalu berusaha memberikan perlindungan pada kediaman
abadimu yang paling sunyi dan berbatas beberapa lembar
potongan papan atau selembar kain putih dari perjanjianmu
di batas pintu kelahiran dan kematian serta tetes air mata yang jatuh
lalu musim-musim
adalah semacam kepedihan
yang acap datang dan pulang
kadang berlinang
kadang kerontang
TENTANG MATAHARI, EMBUN DAN KAU
apalah arti matahari pagi bagimu yang menyembul seketika
dari detik jarum jam yang berdetak pada dinding rumah kita
apalagi yang kau tunggu? Matahari telah pun meninggalkan jejak biasnya
pada sisa tangis debu-debu di jendela matamu
malam mengintip diam-diam. Gerimis berguguran di rerumputan.
apalah arti butiran embun di daun yang menetes di ujung tahun
kecipak air comberan dan tarian dedaunan di kejauhan
pada halaman samping rumah kita, usah kau hanyut
atau kau telah terjerumus dalam limbah berbau? Matahari telah membenam
di antara isak tangis menuju peraduan. Meninggalkan sisa biasnya
lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan
Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah
ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa
malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak
pernah lupa
dengan segala riwayat cerita
segala derita!
komunitas hp, 2012
WAHAI ENGKAU
Galau langit telah melahirkan awan
Di sudut matamu, wahai engkau
Gadis yang berpipi jurang
Sebab kata-kata telah lama
Dilapuki segala muslihat
Entah kali keberapa kegadisanmu
Dirayapi matahari yang kau kira
Pelindung bumi
(ah, ternyata pelan-pelan kau
bangun juga hatimu yang setegar
karang di lautan)
mdn,2010
MULUT
tidak hanya bau busuk yang keluar dari tenggorokan
maupun dari sela-sela gigi, juga kata-kata bangkai penuh
belatung yang di asung, dari pagi sampai ke pagi
mungkin hanya air wudhu’ untuk kumur-kumur sebelum
menegakkan salat yang dapat menghjilangkan aromanya
lalu disemai dengan semerbak bunga-bunga do’a
2007
PULANG
dengan derap langkah kakiku
dengan tetes keringat dari wajahku
dengan riuh suara jalanan, dan
dengan recehan yang tergenggam di tangan
aku pulang
bersama setumpuk debu yang membatu
bersama waktu yang melagu rindu
bersama harapan hidup
demi membahagiakanmu, ibu
sawung, sei blutu 2007
MENCARI ARTI HIDUP
dalam setahun kuhitung tiga ratus
enam puluh lima hari kucari arti
hidup ini. entah tarikan nafas ke berapa
kuhembuskan kembali udara yang tersimpan
entah degup jantung yang ke berapa darah
di tubuh ini di alirkan
aha, ternyata pada pikiran dan hati kutemukan
juga arti hidup ini ialah cinta sejati, ialah rasa
syukur pada rahman dan rahiim Illahi Rabbi
budi utomo,07
MISTERI MALAM GANJIL
ku layangkan mata ke rumpun bambu
setangkai ranting kering meneguk kesegaran embun
menembus daun-daun yang suka gemerisik
bergeming angin memecah hening
debu gurun bertiup menyibak malam
meremas dan menghunjam telak jiwaku
bumi-gunung-laut-langit-awan
semua diam
bahkan gemuruh dan petir kehilangan pekiknya
tak ada yang lebih menggangguku ketika ini
selain suara riuh kucing berkelahi memekakkan
dan lolongan anjing di kelam malam
kemelut sukma merajam jiwa
sengketa antar saudara menebar bencana
innalillahi wa inna ilaihi roji’un
tubuh-tubuh yang terburai
tanpa raga mengeram jiwa
hatiku sungguh miris dibuatnya
rasa haru seketika merayapi relung kalbu
astaghfirullah-astaghfirullah-astaghfirullah
subhanallah kan kurangkai dalam tasbih
walhamdulillah kan kuwiridkan dalam tahmid
walailahaillallah Allah hu akbar kan kugemakan dalam takbir
ya Robbi
terimalah sujud taubatku atas segala dosa-dosa mereka
terimalah mereka disisi-Mu
terimakasih ku ucapkan
amin
D O N G E N G
hidup seperti dongeng, tak masuk akal
kita bangun dari kematian, terus pergi
ke sekolah-terus pulang sekolah
bisa main-main, menggosip atau nonton tv
malammnya setelah menikmati mimpi
di televisi kita lalu tidur, lalu mati
(…hei bangun kata guru bahasa Indonesia
bel sudah berbunyi, dongeng selesai!)
KELAS DUA REGULER DUA
Di lantai empat segera kulangkahkan kaki,
eit aku berhenti, terpaku berdiri
belum sempat masuk kelas bebanku kebas
pikirku, mungkin kelas dipindah lagi
sebab didalam ruangan itu begitu banyak
suara burung hantu
ah, kuberanikan diri-kubuka pintu hati-hati
pantas. Pagi ini beribu burung hantu menetas
di kelas
padie,2007
PENYAIR ADALAH
Penyair bukan sekadar
bermain-main di kubangan kata-kata
dia lebih kepada pencerahan ruang jiwa
bagi peradaban demi peradaban
bagi sejarah demi sejarah
penyair adalah kamus kesaksian
dari berjuta macam derita
sepanjang bencana yang selalu
datang bertandang tidak hanya di pusat-
pusat peradaban manusia tetapi juga pusat jiwa
penyair adalah sang pembawa pencerahan
bagi siapa saja untuk siapa saja
bukan sekadar bermain-main kata
atau sekadar mengusung slogan-slogan
yang beraura murka
penyair adalah kita!
SEPASANG CICAK
Sepasang cicak kedapatan bersetubuh
di atas periuk dapurku, sekali waktu
ketika tutup tutupnya terbuka
dia menjatuhkan kotorannya
disaat istriku menjaring airmatanya
yang mengalir deras untuk menghilangkan
dahaga anakanakku
sepasang cicak kedapatan bersetubuh
di atas kuali tungku dapurku, sekali waktu
ketika kutanak airmata istriku, dia terjatuh
dan jadi lauk bagi anakanakku
sepasang cicak yang pernah
kedapatan bersetubuh di dapurku
telah menjadi darah
telah menjadi daging
bagi lumat jiwa kami
medan, 2009
26 januari
MATI LAMPU
menunggu mati lampu seperti minum obat
menunggu mati lampu bertambah jerawat
menunggu mati lampu gen- set pun bikin ampun
ada yang mati tiba-tiba ada yang tak sengaja
rekening listrik wajib dibayarkan tiap bulan
kalau tidak, pemutusan dilakukan tanpa belas kasihan
atau rekening meledak tak sesuai meteran
ah, menunggu mati lampu tidurpun jadi kecepatan
apapun tak bisa dilakukan, sebab aku ketakutan
rumahku,2007
REMEDIAL
hari ini ujianku gagal lagi
guruku menyuruh membeli bunga
sebab sesuai pelajaran, ada estetika
bernilai sastra padahal setahuku pelajaran itu
sekadar bunga-bunga kata
ya, sudah besok pasti kuserahkan
sekalian dengan vas-nya
kamar imajinasi, 010507
BUNGA-BUNGA
ulang tahunku dua hari lalu
begitu berkesan
ibu membelikan aku bunga
segera kuberi nama
“steffany”
tapi, anehnya di sekolah
teman-teman juga memberi bunga
aku bingung memberi tanda
selalu saja kuberi nama
“steffany”
Aku jadi lupa yang mana melati, lily
Atau mawar berduri
Semuanya jadi kuberi nama
“steffany”
Medan, 25 Mei 2007
JENDELA TAK BERDAUN
inilah catatan yang memang tak pernah selesai
tentang perjalanan angin pengembara. bergerak
layaknya penari telanjang tak jelas kapan datang
kapan pulang
dalam kediaman, debu-debu berkumpul menghalau
segala dingin. kesunyian begitu membuncah
dittingkahi titik air yang jatuh dari sisa hujan
separuh malam
inilah catatan tentang karat kemarau yang tak sempat
dibersihkan dari sisa keping daun jendela yang jatuh
terlelap di atas batu cadas berjambang lumut di bawah
jendela rumah kita
maka entah kapan lagi angin, debu, dan kemarau
mencatatkan kembali segala kisah yang tak sempat terbaca
pada rumah, pada sejarah perjalanan
SEBAB ANGIN YANG MENGGUGURKAN DAUN-DAUN
entah daun yang ke berapa jatuh ke bumi
dari pohon setua hembusan sedingin angin
warna buramnya sesunyi kalender yang
kelelahan disetubuhi beribu rayap
pengab !
waktu melesat begitu cepat
berkeliling merengsek masuk di celah-celah
reranting dan cabang. Begitu gagap
entah daun yang ke berapa gugur di diri
memilah warna matahari yang menembus
ke segala ruang dan lorong sesunyi titik
air yang menitis di atas lantai lunglai
sansai !
tanjung karang, 09
PADA PAGI YANG MENUNGGU DI DEPAN PINTU
anggap saja setiap kali bertemu, kita jarang bertegur sapa
bukan karena aku tidak mengerti bahasa matahari yang
sempat meninggalkan sisa jejak langkah pagi.
anggap saja kau selalu menemani sepanjang perjalan
matahari. mengikuti setiap detik langkah-langkah
pergesaran dari waktu ke waktu
anggap saja kita masih punya debar sewarna hati
dengan irama degup-degup beribu jantung yang menyerbu
maka, anjurkanlah tenhtang sebuah perdamain yang
tak akan pernah suai sepanjang zaman
MUNGKIN KAU PERNAH
mungkin kau pernah membaca tentang sebuah kisah
yang kau sendiri tak faham kemana arahnya. Sebenarnya
ia seperti sebuah sungai dengan mataair deras, mengalir
dengan cabang berjuta dalam kepala kita
mungkin kau pernah membangun kota-kota yang gemerlapan
penuh cahaya dengan deru irama knalpot bersahutan, seperti
sebuah irama orkestra pada panggung pertunjukan akbar
ditingkahi adegan-adegan sedih-gembira, dalam kepala kita
mungkin kau pernah merasakan bagaimana menjelma sebuah
pohon layu, pohon tak berbunga. kau tebarkan akar kemana-mana
meraup perdaban yang kau hisap dalam-dalam melewati lorong
tenggorokan yang kering, lalu sebuah buldozer raksasa tiba-tiba
menelanmu bulat-bulat
mungkin kau pernah menjelma aku
mungkin aku pernah menjelma dirimu
dalam kepala usang kita
TENTANG SEBUAH KISAH /1
ada yang terlupa tentang kicau burung
di balik rimbunan hijau pepohonan
tentang kisah daun-daun gugur
tentang cerita akar di perut bumi
tentang hikayat air mengalir
mungkin karena kita selalu disibukkan
dengan dongeng pencakar langit, pun
rumah-rumah kaca, atau anak-anak
yang sering lupa kisah-kisah pengantar
sebelum tidur
waktu sepertinya memang ujung anak panah
yang melesat secepat kilat, lalu menancap
entah ke dada siapa dan burung-burung
yang telah lama kehilangan kicaunya
bersebab bumi dan udara berlomba
menghadirkan bara pada anak cucu kita
TENTANG SEBUAH KISAH /2
kita tidak tahu memang apa yang akan terjadi esok
tetapi hari ini sudah memberikan tanda-tanda
bahwa kita harus selalu membawa cermin ke mana pun
berada, sekadar memberi kabar tentang sebuah kesadaran
dan penyadaran garis-garis wajah yang sering kita abaikan
kita tidak tahu memang apa yang akan terjadi esok
tetapi anak cucu kita akan bercerita tentang sebuah kisah
entah berakhir sedih dan bahagia. Atau sebuah penyesalan
sepanjang umur yang mungkin di wariskan ke anak cucu
mereka nanti pada setiap sejarah yang terus berulang
kita tidak tahu memang apa yang akan terjadi esok
tetapi hari ini hidup akan terus bercerita pada lembar
sejarah di setiap episodenya, maka cerminan kita hari ini
adalah masa depan anak-cucu kita kemana mereka harus
melangkah, bagaimana harus berbenah
TENTANG SEBUAH KISAH /3
aku bukanlah kau, anakku
tetapi kau adalah darah dagingku yang harus kuajari
bagaimana harus menata hidup. Bukan dengan larik
setiap puisi yang kulahirkan, tetapi dengan hati dan
cinta pada sesama
aku bukanlah kau, anakku
sebab kau punya hak untuk melangkah ke arah mana
yang akan kau tuju, tetapi aku adalah anakku yang
harus kuperjuangkan dari setiap titik keringatku
bagaimana kau harus mencatat sejarah dalam setiap
lembar kehidupan
aku bukanlah kau
kau bukanlah aku
tapi aku wariskan cinta
maka, jagalah, anakku
TENTANG SEBUAH KISAH / 4
Mungkin setelah lotus bertunas pada hati kita
Tak ada ketakutan selain cinta berwarna merah muda
Yang terus membawa harumnya kemana-mana
Ia menjadi sebuah kekuatan yang mengagumkan
Ia menjadi keberuntungan yang menyadarkan
Dan ia menjadi hidup di setiap kematian kita
Maka, setelah lotus lahir dari hati kita
Kemanapun melangkah tak ada lagi jarak
Ruang maupun waktu yang berdetak
Sedegup jantung. Selalu berbinar
Seterang matahari, seindah bulan
Lalu, apa arti cinta sesungguhnya bagimu
Apakah ia laksana kuda jantan yang terengah-engah,
Ataukah ia seindah kelopak teratai merah yang terbuka?
TENTANG SEBUAH KISAH / 5
Dengan segenap keyakinan, aku bertandang
Kuharap kau sedang menungguku di ruang tamu
Tempat biasa kita berbagi cerita dan cinta
Jangan lagi kau sulam amarah, dari sisa kebencian
Sehabis hujan deras semalam. Sebab, aku sendiri
Gamang apakah itu yang dinamakan cinta
Aduh. Getar dada ini semakin debar. Tetapi,
Dengan setangkai mawar ini kita akan raup
Aroma rindu di taman hatimu yang penuh warna
SIANG INI KITA BERCERITA TENTANG WAKTU
tadi pagi huruf-huruf luka jatuh dari catatanku
tentang sebuah kisah yang sempat utuh antara kita
dan ingatanku kembali dari kembara masa lalu
mengetuk pintu kenangan
segala kata setia
siang ini bangunan paragraf itu telah kurubuhkan
dari halaman hatiku yang penuh dengan taman kecemasan
padahal ketika itu aku merasa di sinilah tempat kita
melahirkan waktu-waktu
buah cintamu
mungkin malam nanti wacana itu memiliki kisah lain
pada halaman-halaman yang menunggu di taman
walau semacam kecemasan tak juga beranjak
ia mendebu, memenuhi kilah pintu dan jendela
kata-kata
Medan, 2011
LOTUS
Mungkin setelah lotus bertunas pada hati kita
Tak ada ketakutan selain cinta berwarna merah muda
Yang terus membawa harumnya kemana-mana
Ia menjadi sebuah kekuatan yang mengagumkan
Ia menjadi keberuntungan yang menyadarkan
Dan ia menjadi hidup di setiap kematian kita
Maka, setelah lotus lahir dari hati kita
Kemanapun melangkah tak ada lagi jarak
Ruang maupun waktu yang berdetak
Sedegup jantung. Selalu berbinar
Seterang matahari, seindah bulan
TERATAI MERAH
Lalu, apa arti cinta sesungguhnya bagimu
Apakah ia laksana kuda jantan yang terengah-engah,
Ataukah ia seindah kelopak teratai merah yang terbuka?
MAWAR MERAH
Dengan segenap keyakinan, aku bertandang
Kuharap kau sedang menungguku di ruang tamu
Tempat biasa kita berbagi cerita dan cinta
Jangan lagi kau sulam amarah, dari sisa kebencian
Sehabis hujan deras semalam. Sebab, aku sendiri
Gamang apakah itu yang dinamakan cinta
Aduh. Getar dada ini semakin debar. Tetapi,
Dengan setangkai mawar ini kita akan raup
Aroma rindu di taman hatimu yang penuh warna
KEMANA KITA MELANGKAH
Jangan katakan lelah
Sebab kau belum menemukan jalan
Yang sebenarnya
Rumah bukanlah bangunan
Yang kita kenal selama ini
Ia ada di sini di hati
Jalanan pun hanya fatamorgana
Yang memang harus ditempuh
Menguji sejauh mana cinta menjaganya
Jangan katakan lelah
Kemanapun kita melangkah
Sebab hati adalah cahaya penuntun kita
Menempuh jalan
menuju rumah
merindu ibunda
kita
MASIH ADA YANG MENUNGGU
Tak ada yang usai
Jika kita masih punya tekad
Untuk berbenah
Untuk melangkah
Harapan lebih berharga
Dari apapun
Tak ada yang usai
Itu hanyalah gumaman
Orang-orang yang kalah
Dalam hidup
Semangat lebih bernilai
Dimanapun
Tak ada yang usai
Jika kita masih punya bara
Dan belum berniat
memadamkannya
FAJAR
Selalu kita terbangun dalam kenyamanan
luar biasa pada fajar yang mencampakkan segala sepi
ke dunia paling hitam
suara burung adalah pertanda bagaimana
kita memaknai pagi sampai ke dasarnya
tentang kebahagiaan yang lebih mahal dari permata
selalu kita terbangun dalam gigil tulang
pada retak-retak di dinding kamar
berselimut hambar waktu
tapi, bersebab cinta hati kita
fajar selamanya dengan segala
suka-citanya
CINTA IBU
mungkin. karena aku hanya mengenal ibu
maka, aku tak mengenal diriku.
walau ibu selalu membisikkan padaku
kalau aku benar-benar mirip ayah
ah, kurasa ibu salah
aku tak mengenal diriku, bagaimana aku mengenal ayah
lelaki yang telah lama disunting tuhan dari sisi ibu
dan persis tengah malam
diam-diam aku mendatangi tuhan
agar ia berkenan memperkenalkan ayah padaku
sebelum ibu terbangun dari tidurnya
aku akan menghadirkan ayah pada sisa hidupnya
CINTA AYAH
aku ingat ketika ayah bercerita tentang malam
dengan seribu lengan. aku hanya mampu menyembunyikan
segala penasaran.
aku ingat ketika ayah menutup pintu rumah dari
kedatangan malam. aku hanya mampu sembunyi
di segala kegetiran
selebihnya, kelam
DENGAN CINTA
usah resah maupun gundah tentang sebuah
perbedaan antara kita. Apa itu salah?
justru itulah kebanggaan adanya kesungguhan
bukan topeng dari cinta yang dipaksakan
kita memang lahir dari keluarga berbeda
kita memang lahir dengan warna kulit berbeda
kita memang lahir pada lingkungan budaya berbeda
tahukah kau bahwa kita masih punya hati
menyatukan segala beda antara kita
dengan cinta
CINTA MALAM
malam seperti hutan belantara dalam
semak pikirku
entah hati yang tak mampu
membaca tanda, atau jiwa yang seangkuh baja
dosa-dosa seperti tak memberi kesempatanku
untuk memeluk taubat
ampun
aku malu pada putih rambutku
berkembang biak laksana danau yang berkecambah
meliuk ke sana ke mari dipermainkan air
digoda
kesiur angin
entah karena maut yang enggan
memelukku, atau tuhan sengaja memberi ruang
untukku menghitung jatuh air mata
pada malam separuh ini
aku mengadu pada-Mu
izinkan aku masuk ke rumah-Mu
2010
KOTA CINTA
di kota ini, para migran menyulam
hidup dari sejarah
paling dingin
di kota ini, cahaya temaram dalam diam
orang-orang kerontang berebut air
sampai tetes paling akhir
di kota ini, tahun bersambut pada
suasana yang paling haru, rumah-rumah
merapat mencari hangat
Juli 2010
SELAMAT KEPADA YANG BERBAHAGIA
selamat kuucapkan bagi angin yang terlanjur membuncah
dari lorong yang paling sempit, sebab jika kau menetap
derita yang ke sekian takkan pernah lelah dari kesengsaraan
selamat kuucapkan bagi air yang akhirnya mengental
dan mengalir begitu saja, walau terkadang tumpah menyembur
kemana-mana, sebab jika kau tetap berdiam maka bukan hanya dada
yang terlanjur sesak. Tetapi hidup akan segera mengembara
selamat kuucapkan bagi kalian yang mengunyah-kunyah bahagia
seperti hari ini tidak ada derita seperti angin atau juga air. tetapi,
ia juga bukan api yang terlalu membara. Ia adalah si pengembara
sukacita yang kita tidak pernah tahu dimana berumah
SILAHKAN MASUK BAGI YANG BERTAMU
senyum adalah sambutan pertama sebelum kuulurkan tangan ini
dalam detik waktu yang lupa kita hitung. Karena memang kita tak
akan pernah punya waktu untuk menghitungnya.
salam adalah ucapan yang paling berkah sambil mengulurkan tangan ini
seperti waktu sebelumnya kita pernah saling mengepalkan tangan dan
menjunjungnya ke udara, tenang kisah yang sebenarnya harus dilupakan
maka, masuklah sebelum segalanya seperti tanpa kesan dan hambar dari senyum
yang pura-pura atau erat jabat tangan yang masih menyimpan bara api di dada
dan masuklah dalam lingkaran seorang raja
KEPADA YANG MENGAKU MERDEKA
sudahlah tak usah kau ingat lagi tentang luka yang
sampai saat ini belum mengering di dadamu. Lepaskan
ia bersama kesiur angin. biarkan ia dibawa ke negeri entah
hapuslah catatan-catatan hitam di buku pikiranmu. Biarkan
ia terhapus hujan yang senantias mengguyurnya dalam setiap
kesempatan. Lalu, menguburnya ke dalam tanah yang
mari, kita duduk satu meja. Menikmati hidangan yang tersedia
sesuai selera yang pernah kau catatakan dalam buku keinginanmu
di halaman pertengahan. Dan teguklah segelas air beraroma
sukacita jika memang kita sudah merdeka
BIAS MATAHARI PAGI
apalah arti matahari pagi bagimu yang menyembul seketika
dari detik jarum jam yang berdetak pada dinding rumah kita
apalagi yang kau tunggu? Matahari telah pun meninggalkan jejak biasnya
pada sisa tangis debu-debu di jendela matamu
malam mengintip diam-diam. Gerimis berguguran di rerumputan.
apalah arti butiran embun di daun yang menetes di ujung tahun
kecipak air comberan dan tarian dedaunan di kejauhan
pada halaman samping rumah kita, usah kau hanyut
atau kau telah terjerumus dalam limbah berbau? Sementara ia membenam
di antara isak tangis menuju peraduan. Meninggalkan sisa biasnya
SEPERTI ANGIN, SEPERTI GUNUNG
seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
rasanya terlalu cepat, terlalu ringkas perjumpaan ini
padahal dada ini masih penuh dengan ungkapan rindu
masih penuh pesan-pesan harap untuk-Mu
berapa gunung yang didaki, berapa lembah yang dituruni
berapa samudra yang direnangi, rasanya baru inilah
perjumpaan kita yang pertama kali
seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
sampai juga percakapan kita, walau seperti meneguk embun
dari gelas sebesar angan yang telah lama terletak di atas
meja perjamuan sekian lama sempat tertinggal
MERDEKA HARI RAYA
Satu
Dua
Tiga
Teriakan
Ada kue
Ada lontong
Ada kantong
PERSIS PAGI INI
persis pagi ini kau terbangkan sebuah sms
untukku, membuat vibra jantungku semakin debar
dan denging di telingaku jadi irama kerinduan
kau ingin memetik embun di pucuk daun itu
dan menyelipkannya di karang air mataku
aku mengantuk
kau mengutuk
lalu, kau kirim angin yang paling belati
menebas setiap titik pori-pori di tubuhku
dan suara emak dari dapur semakin memerihkan
lukanya yang paling asam
persis pagi ini
persis
YANG TIBA-TIBA PERGI
entah mengapa kau tiba-tiba begitu saja pergi
meninggalakan setumpuk debu di biji mataku
“beli saja kelereng paling baru.”
aku berfikir kau pasti bercanda dengan wajah
yang entah warna apa
“aku merasa sulit membedakan kerbau yang sebenarnya.”
aku tersadar
pikirku berputar
sekelebat cepat kuraih tanganmu
kuharap kau mau bertahan
walau sesaat
MEMBACA USIA
mungkin aku yang terlalu bernafsu
mencumbui waktu
padahal jalanan ini masih seperti
yang kemarin, tempat kita selalu
menghitung jumlah tapak kaki yang
kita jejakkan
dan cuaca selalu bercanda dengan kita
membiarkan kita blingsatan membaca usia, lalu
ia tertawa diam-diam sambil melangkah pergi
tapi, hari ini aku hanya bisa mengutuki uban
yang tak pernah pergi walaupun
sesaat
GEMA WAKTU
apakah itu yang berbunyi sepenuh gema?
jantungkukah atau suara tetes air yang selalu
lupa kuhentikan dengan sempurna ?
kalau kuceritakan padamu, tentu kau
hanya bisa tertawa dengan pertahanan
gigimu yang tak seberapa persis sama
tetapi, jika aku hanya memeti kata
kau katakan masih ada cahaya di sela-sela
kehidupan dunia
ah, entahlah
mengapa waktu harus berwarna putih?
PADA HARI YANG TERASA KIAN MENJAUH
Lelaki renta
berbalut rapuh, kabarkan lara
sepi berbaris sendiri tanpa suara
ah, kota-kota telah lama menelan
harapannya yang terus luluh
seringan debu menari di antara
raungan oplet tua berebut stasiun
dan hari terasa kian menjauh
lelaki renta
berbalut rapuh, tebarkan cuka
peluh menerus jatuh mengaduh
entahlah, mungkin di atas sajadah
telah hadirkan taman berisi bunga zaman
seindah sayap kupu-kupu yang menggambar
warna pelangi di hati, dan hari
biarlah terasa kian menjauh
SEARAH PERGI BEGITU PULA KEMBALI
searah pergi begitu pula kembali
tidak ada yang berubah selain sepi
aroma luka setua usia dari stasiun yang
tak pernah sunyi
masih juga terdengar nyanyian jalanan
masih juga terdengar rintihan lapar tertahan
masih juga terdengar muslihat dan akal-akalan
searah pergi begitu pula kembali
tubuh renta itu berganti bayi tawarkan
aroma peluh dari jepitan hidup yang kisruh
mengaduh-aduh
o, adakah yang lebih sakit selain dari
jerit yang dibungkam?
APALAGI GUNA HUJAN TANGIS
Apalagi guna hujan tangis
pada tubuh penuh bara
sudahlah simpan saja segala rayuan
yang selalu kau hidangkan di atas meja
bersama aroma pembusukkan
SEPERTI ANGIN YANG MENYISIR
seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
rasanya terlalu cepat, terlalu ringkas perjumpaan ini
padahal dada ini masih penuh dengan ungkapan rindu
masih penuh pesan-pesan harap untuk-Mu
berapa gunung yang didaki, berapa lembah yang dituruni
berapa samudra yang direnangi, rasanya baru inilah
perjumpaan kita yang pertama kali
seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
sampai juga percakapan kita, walau seperti meneguk embun
dari gelas sebesar angan yang telah lama terletak di atas
meja perjamuan sekian lama sempat tertinggal
SEPERTI PERJUMPAAN LAUT PADA PANTAI
seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku
sedetikpun tak melupakan-Mu, walau terkadang angin
menghempaskanku ke samudera luas, tersangkut
di sela-sela karang
seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah harapku
tak ada waktu melalaikan perintah-Mu, walau terkadang riak
menggelombang ciutkan nyali yang sempat mengombak
seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku,
begitulah harapku pada-Mu, walau terkadang melambai
di tepi pantai yang landai
DAUN-DAUN BERGUGURAN
di tepi jalan daun-daun berguguran
terhimpit debu pada langkah-langkah kaki
yang berseliweran, warnanya coklat kekuningan
melukiskan kegetiran di atas tanah yang bungkam
aku memandang geram mengunyah napsu tertahan
alamat nurani semakin mengabur, semakin terkubur
di tepi jalan daun-daun berguguran, debu-debu
bertumbangan tertikam tapak kaki yang menghunjam tajam
aku terpaku pada alamat dedaunan yang terbenam pada
tanah yang bungkam dan angin yang menampar diam-diam
PANTAI YANG MENYIMPAN RAHASIA BADAI
begitulah pantai yang menyimpan rahasia badai
kita tak pernah jua jera berlayar pun mengumbar
setiap pulau selalu disinggahi tebarkan bau tubuh
dan tanamkan peluh-peluh membiarkan segala
penantian yang tidak pernah usai
pada dermaga kita titipkan kapal yang merumput
pada istirah lelah dan laut menari-nari pada kediaman
pulau-pulau dimana tubuh kita siap direbahkan
ah, ternyata diam-diam kita pahami juga rahasia badai
dari bibir pantai pada pulau-pulau yang terkulai
bau tubuh dan peluh-peluh pun telah tertanam jauh
lalu laut yang menari pun perlahan menawarkan
aroma nisan
RESAH DAUN JENDELA
Pada resah daun jendela
Wajahmu bergambar duka
Sedari pagi matamu menikam langit
Sampai matahari lari bersembunyi
Yang tertinggal hanya senyap
Yang tertinggal hanya gelap
Sekadar hanya menyisakan kenangan
Tertutup debu tertahan
Pada resah daun jendela
Ada gairah yang tak kunjung
Nyala rindu bocah yang menangis
Manja
Mdn,2010
RINDUKU MENGERING
Ah, kau lagi
tak bosan-bosannya menanam
pikiranku dengan bunga-bunga
Padahal sudah kukatakan padamu
Rinduku telah lama mengering
Tersengat matahari
Baranya menyalakan kesumat
Dengan apa hendak kau suburkan?
Dengan sungai abu atau laut nafsu?
Biarkan bumiku mengadopsi taman-taman
Yang menyegarkan
Yang menentramkan
Ah, kau lagi…!
Lelaki yang senang menghidang berang
YANG MENGETUK DAUN PINTU
Selalu ada saja yang mengetuk-ketuk daun pintu
Tapi nyatanya hanya angin yang mengelus wajahku perlahan
Dan malam sekadar meninggalkan rimah-rimah kalam
Dengan setengah butir bulan
Di sebelah rumah
Anak tetangga mengaji
Merapal doa sepanjang magrib tiba
Selalu saja ada yang mengetuk-ketuk pintu
Kaukah itu atau
Jantungku yang
Bertalu-talu
Menggemuruhkan irama rindu?
Ibu…
WAHAI ENGKAU
Galau langit telah melahirkan awan
Di sudut matamu, wahai engkau
Gadis yang berpipi jurang
Sebab kata-kata telah lama
Dilapuki segala muslihat
Entah kali keberapa kegadisanmu
Dirayapi matahari yang kau kira
Pelindung bumi
(ah, ternyata pelan-pelan kau
bangun juga hatimu yang setegar
karang di lautan)
mdn,2010
MULUT
tidak hanya bau busuk yang keluar dari tenggorokan
maupun dari sela-sela gigi, juga kata-kata bangkai penuh
belatung yang di asung, dari pagi sampai ke pagi
mungkin hanya air wudhu’ untuk kumur-kumur sebelum
menegakkan salat yang dapat menghjilangkan aromanya
lalu disemai dengan semerbak bunga-bunga do’a
2007
PULANG
dengan derap langkah kakiku
dengan tetes keringat dari wajahku
dengan riuh suara jalanan, dan
dengan recehan yang tergenggam di tangan
aku pulang
bersama setumpuk debu yang membatu
bersama waktu yang melagu rindu
bersama harapan hidup
demi membahagiakanmu, ibu
sawung, sei blutu 2007
MENCARI ARTI HIDUP
dalam setahun kuhitung tiga ratus
enam puluh lima hari kucari arti
hidup ini. entah tarikan nafas ke berapa
kuhembuskan kembali udara yang tersimpan
entah degup jantung yang ke berapa darah
di tubuh ini di alirkan
aha, ternyata pada pikiran dan hati kutemukan
juga arti hidup ini ialah cinta sejati, ialah rasa
syukur pada rahman dan rahiim Illahi Rabbi
budi utomo,07
MISTERI MALAM GANJIL
ku layangkan mata ke rumpun bambu
setangkai ranting kering meneguk kesegaran embun
menembus daun-daun yang suka gemerisik
bergeming angin memecah hening
debu gurun bertiup menyibak malam
meremas dan menghunjam telak jiwaku
bumi-gunung-laut-langit-awan
semua diam
bahkan gemuruh dan petir kehilangan pekiknya
tak ada yang lebih menggangguku ketika ini
selain suara riuh kucing berkelahi memekakkan
dan lolongan anjing di kelam malam
kemelut sukma merajam jiwa
sengketa antar saudara menebar bencana
innalillahi wa inna ilaihi roji’un
tubuh-tubuh yang terburai
tanpa raga mengeram jiwa
hatiku sungguh miris dibuatnya
rasa haru seketika merayapi relung kalbu
astaghfirullah-astaghfirullah-astaghfirullah
subhanallah kan kurangkai dalam tasbih
walhamdulillah kan kuwiridkan dalam tahmid
walailahaillallah Allah hu akbar kan kugemakan dalam takbir
ya Robbi
terimalah sujud taubatku atas segala dosa-dosa mereka
terimalah mereka disisi-Mu
terimakasih ku ucapkan
amin
D O N G E N G
hidup seperti dongeng, tak masuk akal
kita bangun dari kematian, terus pergi
ke sekolah-terus pulang sekolah
bisa main-main, menggosip atau nonton tv
malammnya setelah menikmati mimpi
di televisi kita lalu tidur, lalu mati
(…hei bangun kata guru bahasa Indonesia
bel sudah berbunyi, dongeng selesai!)
KELAS DUA REGULER DUA
Di lantai empat segera kulangkahkan kaki,
eit aku berhenti, terpaku berdiri
belum sempat masuk kelas bebanku kebas
pikirku, mungkin kelas dipindah lagi
sebab didalam ruangan itu begitu banyak
suara burung hantu
ah, kuberanikan diri-kubuka pintu hati-hati
pantas. Pagi ini beribu burung hantu menetas
di kelas
padie,2007
PENYAIR ADALAH
Penyair bukan sekadar
bermain-main di kubangan kata-kata
dia lebih kepada pencerahan ruang jiwa
bagi peradaban demi peradaban
bagi sejarah demi sejarah
penyair adalah kamus kesaksian
dari berjuta macam derita
sepanjang bencana yang selalu
datang bertandang tidak hanya di pusat-
pusat peradaban manusia tetapi juga pusat jiwa
penyair adalah sang pembawa pencerahan
bagi siapa saja untuk siapa saja
bukan sekadar bermain-main kata
atau sekadar mengusung slogan-slogan
yang beraura murka
penyair adalah kita!
SEPASANG CICAK
Sepasang cicak kedapatan bersetubuh
di atas periuk dapurku, sekali waktu
ketika tutup tutupnya terbuka
dia menjatuhkan kotorannya
disaat istriku menjaring airmatanya
yang mengalir deras untuk menghilangkan
dahaga anakanakku
sepasang cicak kedapatan bersetubuh
di atas kuali tungku dapurku, sekali waktu
ketika kutanak airmata istriku, dia terjatuh
dan jadi lauk bagi anakanakku
sepasang cicak yang pernah
kedapatan bersetubuh di dapurku
telah menjadi darah
telah menjadi daging
bagi lumat jiwa kami
medan, 2009
26 januari
MATI LAMPU
menunggu mati lampu seperti minum obat
menunggu mati lampu bertambah jerawat
menunggu mati lampu gen- set pun bikin ampun
ada yang mati tiba-tiba ada yang tak sengaja
rekening listrik wajib dibayarkan tiap bulan
kalau tidak, pemutusan dilakukan tanpa belas kasihan
atau rekening meledak tak sesuai meteran
ah, menunggu mati lampu tidurpun jadi kecepatan
apapun tak bisa dilakukan, sebab aku ketakutan
rumahku,2007
REMEDIAL
hari ini ujianku gagal lagi
guruku menyuruh membeli bunga
sebab sesuai pelajaran, ada estetika
bernilai sastra padahal setahuku pelajaran itu
sekadar bunga-bunga kata
ya, sudah besok pasti kuserahkan
sekalian dengan vas-nya
kamar imajinasi, 010507
BUNGA-BUNGA
ulang tahunku dua hari lalu
begitu berkesan
ibu membelikan aku bunga
segera kuberi nama
“steffany”
tapi, anehnya di sekolah
teman-teman juga memberi bunga
aku bingung memberi tanda
selalu saja kuberi nama
“steffany”
Aku jadi lupa yang mana melati, lily
Atau mawar berduri
Semuanya jadi kuberi nama
“steffany”
Medan, 25 Mei 2007
KEMANA KITA MELANGKAH
Jangan katakan lelah
sebab kau belum menemukan jalan
yang sebenarnya
rumah bukanlah bangunan
yang kita kenal selama ini
ia ada di sini di hati
jalanan pun hanya fatamorgana
yang memang harus ditempuh
menguji sejauh mana cinta menjaganya
jangan katakan lelah
kemanapun kita melangkah
sebab hati adalah cahaya penuntun kita
menempuh jalan
menuju rumah
merindu ibunda
kita
MASIH ADA YANG MENUNGGU
Tak ada yang usai
jika kita masih punya tekad
untuk berbenah
untuk melangkah
harapan lebih berharga
dari apapun
tak ada yang usai
itu hanyalah gumaman
orang-orang yang kalah
dalam hidup
semangat lebih bernilai
dimanapun
tak ada yang usai
jika kita masih punya bara
dan belum berniat
memadamkannya
FAJAR
Selalu kita terbangun dalam kenyamanan
luar biasa pada fajar yang mencampakkan segala sepi
ke dunia paling hitam
suara burung adalah pertanda bagaimana
kita memaknai pagi sampai ke dasarnya
tentang kebahagiaan yang lebih mahal dari permata
selalu kita terbangun dalam gigil tulang
pada retak-retak di dinding kamar
berselimut hambar waktu
tapi, bersebab cinta hati kita
fajar selamanya dengan segala
suka-citanya
MENGHITUNG BIJI TASBIH
kita seperti berjudi dengan waktu
mengobral nafas yang keluar
dan masuk begitu saja
lalu, megap-megap menggelepar
seperti mujair kehilangan air
ketika sebutir beras nyangkut
di bulu hidung yang berlendir
kita selalu berfoya-foya dengan hidup
menghabiskan semua yang kita punya
dan tersimpan rapi sebenarnya
namun, ketika yang tersisa tinggal kematian
demampun tak berkesudahan
menghitung biji tasbih setengah berjudi
dan menghaburkan do’ado’a percuma
KHP, 2011
DI TENGAH MALAM
mungkin. karena aku hanya mengenal ibu
maka, aku tak mengenal diriku.
walau ibu selalu membisikkan padaku
kalau aku benar-benar mirip ayah
ah, kurasa ibu salah
aku tak mengenal diriku, bagaimana aku mengenal ayah
lelaki yang telah lama disunting tuhan dari sisi ibu
dan persis tengah malam
diam-diam aku mendatangi tuhan
agar ia berkenan memperkenalkan ayah padaku
sebelum ibu terbangun dari tidurnya
aku akan menghadirkan ayah pada sisa hidupnya
KHP, 2011
KETIKA MALAM
aku ingat ketika ayah bercerita tentang malam
dengan seribu lengan. aku hanya mampu menyembunyikan
segala penasaran.
aku ingat ketika ayah menutup pintu rumah dari
kedatangan malam. aku hanya mampu sembunyi
di segala kegetiran
selebihnya, kelam
KHP, 2011
ADA BEDA ANTARA KITA
usah resah maupun gundah tentang sebuah
perbedaan antara kita. Apa itu salah?
justru itulah kebanggaan adanya kesungguhan
bukan topeng dari cinta yang dipaksakan
kita memang lahir dari keluarga berbeda
kita memang lahir dengan warna kulit berbeda
kita memang lahir pada lingkungan budaya berbeda
tahukah kau bahwa kita masih punya hati
menyatukan segala beda antara kita
dengan cinta
KHP, 2011
PADA MALAM
malam seperti hutan belantara dalam
semak pikirku
entah hati yang tak mampu
membaca tanda, atau jiwa yang seangkuh baja
dosa-dosa seperti tak memberi kesempatanku
untuk memeluk taubat
ampun
aku malu pada putih rambutku
berkembang biak laksana danau yang berkecambah
meliuk ke sana ke mari dipermainkan air
digoda
kesiur angin
entah karena maut yang enggan
memelukku, atau tuhan sengaja memberi ruang
untukku menghitung jatuh air mata
pada malam separuh ini
aku mengadu pada-Mu
izinkan aku masuk ke rumah-Mu
KHP, 2011
DI KOTA INI
di kota ini, para migran menyulam
hidup dari sejarah
paling dingin
di kota ini, cahaya temaram dalam diam
orang-orang kerontang berebut air
sampai tetes paling akhir
di kota ini, tahun bersambut pada
suasana yang paling haru, rumah-rumah
merapat mencari hangat
KHP, 2011
TERNATE MENJELANG SENJA
bukan karena pedagang asongan yang enggan pulang,
yang membuat perempuan itu tak beranjak dari bangku batu
bukan karena para nelayan yang terlambat menambatkan sampan,
maka perempuan itu tak juga beranjak menuju pulang
bukan karena hujan yang mengguyur sepanjang jalan,
sehingga perempuan itu menyulam catatan diam
bukan karena pedagang asongan, nelayan atau hujan
lalu perempuan itu menyimpan penyesalan, tapi
tuhan telah berbisik pelan-pelan ketika ia berada
tepat di persimpangan
komunitas home poetry, 2011
NEGERI KEPOMPONG
Kali ini ia tidak melahirkan kupu-kupu,
tetapi ular bersayap kupu-kupu.
Kali ini ia tidak menghisap madu,
tetapi darah semanis madu-madu
Kali ini ia ia tidak menghadirkan warna-warna,
tetapi memuntahkan hitam sepenuh kelam
komunitas home poetry, 2011
BULAN
bulan
seperti belajar menata, tentang
bagaimana berselimut cahaya,
bagaimana mengintip dari balik jendela, atau
bagaimana bersembunyi di balik dedaunan muda
bulan
seperti belajar menata, tentang
keindahan seindah kerdipan mata
nyaman senyaman di antara bunga di taman
atau merebut hati pemuda-pemuda tampan
tapi, bulan
sampai sekarang belum faham tentang
kerinduan cahaya dan embun yang jatuh dari
ujung daun
komunitas home poetry, 2011
MANTRA PELAUT
Sampan kayu, dayung kayu, kayu segala kayu
Janganlah kayu segala tangkapanku
Laut asin, keringat asin, asin segala asin
Janganlah asin segala tangkapanku
Sampan laut, dayung keringat, kayu segala asin
Janganlah asin segala kayuku
Puah, puah, puah ....
komunitas home poetry, 2011
BAJU SERAGAM
sewarna baju, mungkin kita sama fisiknya
berbaris sewarna garis dan lengkungnya
sepola baju, mungkin kita sama bentuknya
bergerak dinamis ke depan maupun ke belakang
tetapi, hati
ia seindah warna bunga di taman
ia sedinamis cinta yang tidak dibungkam
SUNGAI SIAK
Dari jembatan letong kukunyah riak air
menitip intip patin-patin. Entahlah,
mungkin muntah pasar bawah
mungkin batuk tanjung datuk
dari jembatan letong kuhapus tetes air
merayap jatuh di pipinya yang keruh.
Entahlah, mungkin gertak tongkang
Mungkin gerah limbah
Dari jembatan letong kusaksikan peluh air
terkenang sejarah sirih yang pedih. Entahlah,
mungkin sejarah pohon-pohon batu
mungkin rerak sendi tanah-tanah retak
dari jembatan letong
siak begitu kepompong
rumbai, 10-11
MENGECUP TANJUNG KARANG
Pada wajah tanjung karang bias senja menyambut rindu
Yang sempat terhanyut di gulungan ombak-ombak awan
Raden inten seperti dermaga kapal-kapal yang menghantar tetamu
Membagi cerita tentang sebuah kisah pengharapan yang mengharukan
Entah angin mana yang mengisahkan ceruk teluk merak belantung merindu
Seperti keinginan laut yang menggantungkan harap pantai berpasir putih kenangan
Bagus dan sapenan tak kalah gairahnya sebagai rumah kedua dituju
Dari kenangan sebuah kelahiran yang juga kembali kepada kenangan
Tangkil terlahir dari rahim mutun dengan sejuta gairah yang raru
Ah, rindu itu menggumul gairah padang savana dan kembang-kembang setaman
Segelas kopi menunggu sepasang bibir, dirimu
yang datang menghirup segala kesumat, kerinduan
raden inten, 10-11
TUGU GURU PATIMPUS
ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan
yang terlepas hurup-hurupnya dari paragraf-paragraf usang
sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus
membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain
dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan perjalanan,
mengekalkan peradaban urban
di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah
di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah
di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki
bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan
kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup
menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi
yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya
diam-diam pada bulan
ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana
bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua
langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari
menghibur para petualang yang sejenak datang
mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus
bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain
membenam teriak segala pongah, mencampak derak suara
ke langit terbelah
di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara
percik riwayat kisah-kisah semangat juang
di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula
pemancakan gedung-gedung nan gagah
dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain
dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua
dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang,
yang entah kapan pergi
Komunitas HP, Medan, 10-11
MEMANEN PEDIH
air mata memang tak pernah minta ditumpahkan
sederas apapun sebuah kepedihan, bersebab
bendungan hati telah lama retak dindingnya
menambah
deburnya
(Sisa-sisa hujan memberikan kabar duka di sudut matamu
Dengan sisa-sisa amplop merah jambu di sisa-sisa
Perjalanan rindu yang tak sempat kau simpan
Pada sisa-sisa lembar diari hatimu yang kosong dan
Dikotori sisa-sisa debu cintamu)
air mata memang tak pernah ingin dialirkan
dari suasana yang bagaimanapun
tetapi, nganga luka begitu terasa pedihnya
mengiris
di jiwa
(Sisa-sisa kabar duka memberikan hujan di sudut matamu
Dengan sisa-sisa perjalanan rindu yang tak sempat kau
Kirimkan lewat sisa-sisa amplop merah jambu dari
Kotornya sisa-sisa debu cintamu yang berdebu di lembar
Diari hatimu)
air mata memang tak pernah ingin lahir
dari rahim dendam manapun
(Sisa-sisa lembar diari hatimu yang berdebu memberikan sisa-sisa
Perjalanan rindu yang tak sempat kau catat pada sudut matamu
Yang menyimpan sisa-sisa amplop merah jambu sekotor sisa-sisa
Debu cintamu dan tak pernah pernah berhenti menurunkan kabar duka
Di sisa-sisa hujan matamu)
air mata tak pernah meminta apapun
(dan kau bagai petani yang tak pernah letih
menghitung keuntungan yang berlebih)
Medan, 2011
SOULMATE
Selalu saja kau berdiri di depan pintu menatap langit yang tertutup mendung
Dan katanya akan segera menumpahkan hujan begitu saja berharap seseorang
Akan berlari memelukmu lalu mengajakmu ke peraduan basah sebasah
Hasrat penantian namun sedikit berdebu
Padahal angin selalu datang dan pergi laksana tetamu yang memeriahkan
Sebuah pesta pernikahan dengan hidangan penuh rasa dan aroma, menembus
Di setiap pintu dan jendela
Selalu saja kau berdiri di depan pintu menikmati hijau daun-daun yang bediri
Berbanjar seolah serdadu siap tempur demi sebuah penantian rindu seindah
Pelangi di lengkung sunyi
Sementara kursi dan meja kau biarkan sendiri, juga lilin melepuh bagai
Penari-penari yang kehilangan irama musik dalam setiap nadanya lenyap
Perlahan begitu saja tanpa kau sadari
Dan selalu saja kau berdiri di depan pintu sampai malam diam-dian
datang bertandang lalu mendekapmu tanpa sempat kau memberikan
perlawanan
Medan, 2011
SEORANG GADIS WARNET
Seorang gadis busung dadanya duduk di sebelahku
Bajunya berwarna hitam, ketat, dan ah, mengkilat
Tatap matanya tajam menembus ruang tanpa batas
Kilatan cahaya menerkam-terkam birahi dendam
Seorang gadis busung dadanya melirik padaku
Bajunya berwarna hitam, tersingkap, dan ah, mengkilat
Tatap matanya tajam menembus degup gemas dadaku
Kilatan cahaya menggumuli nafsuku diam-diam
TIDURLAH PEREMPUANKU
Mari kita lumat malam separuh ini, sebab
Esok matahari mulai mencubiti kulitmu yang
Putih itu, bersama debu yang hibuk menggumuli
Tubuhmu yang memadat, menantang, Perempuanku
Tidurlah!
Usah lagi kau kunyah pikiran itu jadi darah daging
Tentang payudara yang dijual setengah harga atau kemaluan
Yang terus-menerus disesaki lalat-lalat berkepala hijau
Matahari pasti terbit
Matahari pasti terbenam
Tak usah risau, semua pasti akan berakhir, Perempuanku
Malam ini, mari kita cicipi bulan bercahaya garang
atau bintang yang sedang berkejar-kejaran dengan mimpi
Anak-anak kita tentang nilai raport yang diperjual-belikan
Atau kelulusan yang diinstankan
Tidurlah, Perempuanku!
Kita akan rangkaikan larik-larik puisi abadi dalam rahimmu
Sepanjang mati lampu yang tak pernah jemu, dan tak usah
Kau risau sebab derasnya arus waktu yang membenamkan
Resah sepanjang sejarah sejak Hawa, Zulaikha, atau Cleopatra
Digantikan Marlin Monroe,Winnie Mandela atau Madonna
Tidurlah!
Kita lumat malam separuh ini
Matahari pasti terbit
Matahari pasti terbenam
2007
PEREMPUAN DI POJOK RUMAH SAKIT BERLANTAI TIGA
: fragmen-fragmen penyembuhan
Di pojok rumah sakit berlantai tiga
Detik maut pelan-pelan mengukir nisan memipih-pipih umur kami
Setiap tetes air mata yang jatuh adalah harapan yang perlahan menjauh
Sakit kami seolah menghunuskan napas yang semakin aus
Berharap izrail menunda waktu melepas sauh
Berharap tuhan masih berumah di tubuh
Jika ternyata hidup hanya di genang air mata
Biarlah jiwa yang lara tenggelam di dasarnya
Melumpurkan debu-debu kesakitan yang meradang
Pada raga di kurung masa ke masa
Jika ternyata hidup hanya di genang air mata
Biarlah angin mengirimkan lembut lengannya
Membawa segala aroma-aroma telaga surga
Dari kepedihan seluas samudera
Jika tenyata hidup selalu di genang air mata
Maka hapuslah lara kami, hanguskan duka kami
Biar jadi debu, biar jadi abu yang dihanyutkan
Sungai-sungai hati menuju muara cinta
Jika ternyata hidup selalu di genang air mata
Adakah tempat untuk membangun dermaga
Tempat kapal-kapal kami membangun rumah
Menyusun segala rencana menuju ke pulau bahagia
Padahal pernah kami serahkan utuh-utuh hati kami, padamu
Tetapi kau balur jiwa kami sepenuh empedu
Mata kami yang berpijar, berbinar
Tetapi padamu kau susun kelam, buram
Kami berpikir kau adalah pengobat hati
Ternyata kau bakteri yang menanam nyeri
Aduh, ibu
Bersebab narkoba kami celaka
Aduh, bapak
Bersebab narkoba kami merana
Aduh, tuhan kami
Kami terlanjur lupa memaknai diri
Dulu ketika hidup kami di belenggu ragu
Siapa lawan dan kawan kami tak tahu
Dulu ketika cinta di gunting putus asa
Tak ada tempat berbagi suka dan duka
Dulu ketika segalanya hilang entah ke mana
Psikotropika seolah sahabat berbagi duka
Ternyata setelah berbagi setia berlama-lama
Lara hati membara sepanjang usia
Membelenggu jiwa
Menumpuk derita
Membisa racunnya
Di pojok rumah sakit berlantai tiga
semoga maut enggan menjemput umur kami
Setiap tetes do’a membasuh adalah harapan yang berlabuh
Sakit kami adalah sampan-sampan sebuah pengakuan
Berharap izrail menunda waktu melepas sauh
Berharap tuhan masih berumah di tubuh
Medan, 01-09
LING LING NAMAKU
Lama sudah kita menjaring cerita
Tentang budaya dan perbedaan warna
Tapi, tahukah kau hanya hati yang mampu
Menyatukan segala-menyatukan rasa
Ah, apalah artinya sebuah nama katamu
Dengan canda. Tapi, bagiku nama penting adanya
Tentang sebuah harkat maupun pembuktian
Kesungguhan sebuah cinta. Jangan ragu
Aku terlahir di negeri ini
Ling Ling namaku
2008-02-07
AKU PENARI
To. D. Kemalawati
Seulanga, Jeumpa, irisan pandan menyatu dalam perasan jeruk purut.
Pada wajahku terpaut
Aku telah kalah. Dan tarianku dibusur peracik sirih yang luka
Aku memilih seudati gemuruhnya kutepuk ke dada sendiri.
Dan tujuh penari dengan sanggul kerucut, dengan riak tumpul dililit melati menganyun puan di resah nganga. Seurune kale dan rapai dabus yang mendayu menawarkan gerak panjang yang gelisah. Para penari meracik sirih, tawarkan ranub masaknya.
Aku terpesona pada hijau daun sirih, pada pinang yang terkepit dan pada cengkeh yang memata. tertata dalam ceurana.
Entahlah, pinto Aceh angkuh menghalang pandang. Tanpa penyangga. Di lampu hias bergantung, rantai besi menyisip misteri.
Seulanga, Jeumpa, irisan pandan menyatu dalam perasan jeruk purut.
Pada rahasia terpaut
Walau kalah, aku tetap memilih seudati alirnya kukayuh di darah sendiri. Dan tarianku tarian peracik sirih yang bebas pada segala.
Ah!
Medan , 2007
AH, KEDIAMAN
pada matamu yang teduh
semesta tersentuh
begitu meninabobokkan
menetramkan kediaman malam
gairah kata berhamburan
pada sebuah rahasia
yang sulit diterka cuaca
laiknya embun yang menitik
waktu terasa begitu mengulat
perlahan menari bersama irama
jarum jam yang patah
hausku membuluh
mengerang hasrat berabad-abad
lalu sepanjang kediaman
rasa semakin tersentuh pada
tatap matamu yang aduh
menghadirkan irama gangga
di setiap alirnya
lalu, anganku menggemuruh
di setiap ukiran senyummu yang ampuh
merapalkan segala lena
di debur ombak dadaku
kau seperti sengaja menyiapkan dermaga
tempat berlabuhnya para petualang
merapatkan kapal-kapal semegah pesiar
dari laut-laut sebuas pemangsa
dan, ah, kediaman setelahnya
medan, 08
SEBAB HANYA MUAK
Dalam mulut kepala telinga hidung mata rambut masuk
Terkunyah-kunyah berbau sumur berbangkai
Bahu berkaki pada dada berpinggang
Pusat punggung masuk ke dalam perut
mengunyah usus basi
lalu, tapak kaki menempel di jidat tenggelam
dalam lumpur telinga di antara tungir penebar aroma
dalam mulut bahu berkaki tapak menempel
bercampur dubur kadaluarsa meniupkan
angin buritan
tungkai menari-nari sendi kulit ada pada kelopak kuku
jari gigi menyelip di kornea mata lidah melilit
sampai membukit sakit
tungkai tumit membelit sembelit terkomat kamit pahit
terjepit paha selangkangan sepenuh beban kemaluan
di seputar buah dada tapak pipi dagu lancip
kelopak bibir di bulu mata terdampar di alis
rambut yang bertanduk paru-paru
jantung menyerbu hati menembus arteri
berpeluh limpa sebab kunjungan trombosit
berlari sepasang anak rambut tentang
perseteruan lengan dan tangan dan kumis berjanggut
di najis mulut di najis telinga di najis hidung
di najis mata di najis rambut di najis dubur
di najis segala najis
ah, akulah si bahu berkaki tungkai
pada dada berbuah pinggang sebab kawah pusat
di muntah punggung di muntah perut di muntah mulut
di muntah usus di muntah tapak tapak kaki
di muntahan segala muntah
lalu, najis memuntahi muntah
muntah menajisi najis
ah, muak segala muak
medan, 08
KURAMBIT LUNDU DI RUANG RINDU
Hampir saja kurambit di tanganmu mengukir
Peta buta kesejarahan di belukarnya dada
Atau sempitnya hati?
Siang ini waktu bertubuh lundu
Liat melewati lapis demi lapis
Tubuh yang berlulut
Aha, inikah rantai itu
Mengikat gerah yang berdarah-darah?
AJARI AKU MELAGU RINDU
Maka, kutapaki kesejarahan ini
Di antara nyanyian tanpa partitur
Tetapi waktu masih saja belum berpihak
Ia menina-bobokkan segala lena
Pendar cahayapun serasa semakin samar
Merayap pelan di lorong-lorong hati, maupun
Di ruang-ruang yang kehilangan penghuni
Namun, cintaku tak terbuat dari garam
Lenyap begitu saja tertimpa hujan
SEORANG ANAK BERTANYA PADA IBUNYA
“Apakah di luar sana ada perang, Bu?”
seorang anak bertanya pada ibunya
matanya berwarna suram terpaku pada Ibu
yang baru saja kehilangan anak perawan dan
suami tercinta
“Apakah suara yang memekak itu suara azan, Bu?”
seorang anak bertanya pada ibunya
wajahnya yang kelam ia sembunyikan pada ketiak ibu
yang baru saja bertayamum dari dinding bungker, sebab
wudhu’nya telah mengering
“Apakah Sharon dan Bush pernah tinggal kelas, Bu?”
seorang anak bertanya pada ibunya
lengan mungilnya meraih ujung baju sekolahnya
menghapus lendir di hidung dan peluh dari panas
yang menyepuh
“Apakah seterlah ini kita boleh makan, Bu?’
seorang anak bertanya pada ibunya
pandangannya meredup, samar-samar
ia melihat ibunya bersujud di antara kabut
Sampai terlelap tanyanya tak pernah terjawab
medan,06
WAKTU BUKANLAH IBU YANG MENGANDUNG, TERNYATA
Waktu bukanlah ibu yang mengandung, ternyata
Dia adalah ranjau yang ditanam di antara rimbunan
Bunga-bunga atau diantara perbukitan pasir dan gurun
siap meledakkan kepala siapa saja, mengepung sisa
usia
lalu setiap rapal do’a-do’a nyatanya hanya sekadar
bius yang selalu setia mematikan rasa. Tak ada lagi kepedihan
apalagi kesakitan. Antara langkah dan undur hanyalah kelopak
mimpi yang telah lama ditiup angin. Sementara jarum kematian
masih menggumam, mengancam dengan senyuman
dan nyatanya tak sempat lagi mengukir bibir dengan takbir
sebab, karat telah lama tengkurap pada hati. Tubuh terasa
sehelai benang melayang. Tetapi masih tetap terdengar
angin semilir menggilir zikir. Dan pada telinga masih tertangkap
sepatah, Allah
medan,2007
NAK
Sekolah, Nak
Jika memang sekolah itu mampu mewujudkan
Cita-citamu menjadi dokter yang mengobati
Negeri yang sedang sakit ini, pahami semua
Mata pelajaran, jangan hanya hitung-hitungan saja
Sebab pikiranmu nanti akan tertanam
Sekadar keuntunganmu pribadi
Buta dengan kerugian orang lain
Boleh, Nak
Kau boleh jadi jaksa, apalagi jadi hakim
Tapi hati-hati, sebab kau akan tergelincir
Hanya untuk mempermainkan hati nurani di balik
Gelar yang kau pugar, dan jika masih begitu
Lebih baik kau jadi pedagang saja yang jelas
Ukuran timbangannya, itupun jika kau pedagang kecil
Seandainya kau pedagang besar, maka kau akan merepotkan
Pemerintah dengan kerugian yang milyaran
Siapkan dirimu jadi pemimpin, Nak
Sebab banyak pemimpin yang lebih siap
Jadi anak buah, pesuruh atau pecundang
Dalam pikiran mereka rakyat bukan apa-apa
Jika negara adikuasa yang mengerdipkan mata
Agama hanya jadi rawa-rawa penghalang
Akal bulus keinginan mereka menaikkan tarif
Setinggi-tingginya,menghukum maling ayam
Dengan cara yang paling jahanam
Sementara pelaku korupsi masih diberikan
Hukuman bergaransi
Sekolah, Nak
Jika memang sekolah itu mampu menjadikan kita
Manusia berakal budi-berhati mulia
dalam setiap detik mengalirlah do’a-do’a
memohon kepada sang pencipta
karena dialah yang layak sempurna dipercaya
PADAMU IBU
Padamu aku sampaikan, ibu
Bantu aku dengan doaa-doamu
Agar mulus jalanku menapaki
Hidup yang penuh dengan duri
Padamu aku sampaikan, ibu
Ikhlaskan aku mencari hidupku
Agar lekas langklahku sampai
Pada cita-cita yang hendak dicapai
DENGAN SEIKAT ZIKIR MAWAR INI
apakah yang dapat kukatakan
selain mengungkapkannya dengan
seikat kembang atau setangkai zikir mawar, Kekasih
atau apakah cukup rasa cinta dengan kata-kata
berbaur ucapan penghambur bermakna kabur
ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti penanda hati
apakah yang dapat kulakukan
selain menyusun butir-butir rindu
menjadi segunung mengharu-membiru, Kekasih
entahlah warna cinta yang bagaimana lagi
yang patut kutorehkan di kanvas hati
ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti pecinta sejati
medan,08
DALAM DIAM KU TASBIHKAN CINTA
mungkin ini hari dan minggu yang kesekian
ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal
telah disiapkan perahu mengarungi do’a-do’a
adakah luka yang begitu menganga sehingga
tercipta jurang diantara perbedaan menganga
atau aku yang kurang pandai membaca
perjalanan cuaca?
mungkin ini pasir atau kerikil yang kesekian
ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal
telah sama berjanji-sama mendaki
adakah dendam yang begitu membatu sehingga
terpahat lereng terjal dilangkah menganga
atau aku yang tak jeli melangkahkan kaki
dalam perjalanan hati?
Medan,08
AKU RUKUNKAN CINTA KITA BUKAN SESIAPA
usah kau sulam segala ragu, sebab
aku rukunkan cinta kita bukan sesiapa
sebab, kita bukanlah sepasang kekasih
seperti Caesar dan Cleopatra
tetapi kita adalah sepasang burung
dara yang bebas terbang kemana suka
aha, aku yakin kau hanya menimbun cemburu
di lumbung kasih-sayang yang menggelora, sebab
aku hanya cinta kau bukan sesiapa
dan kau akan menjadi kekasih abadi
bagi para musafir lata yang kehausan cinta
dari perjalanan sebuah pencaharian yang tak jemu
sudahlah, Kekasih
walau aku seorang pecinta, tetapi tetap
aku cinta kau bukan sesiapa
medan, 08
TATAP MATAKU DENGAN SEGALA CINTA
jangan tunduk tatap mataku dengan segala cinta
ada rahasia ada segala suka-cita, dan hanya kaulah
yang dapat membaca atau mengeja segala makna
hapus beribu ragu dengan riasan rasa
jangan menghindar tatap mataku dengan segala cinta
ada taman yang penuh dengan segala bunga berbagai warna
dan hanyalah kaulah yang dapat menikmati-memetiknya
hapus segala bau dengan berjuta aroma
medan, 2008
AKULAH SANG PENJAGA CINTA
akulah itu sang penjaga cinta yang menanam
segala bunga penuh warna-sesegar aroma
di taman hatimu seteguh asmara
akulah sang penjaga cinta yang menyiram
segala bunga menghapus kerontang jiwa
di taman hatimu yang paling suci
medan, 2008
MENJARING TASBIH AIR MATA
Telah pun kujaring tasbih air matamu
Pada kedalaman laut yang paling haru
Gemuruh di dadamu mengundang cemasku
Demi menahan terjangan-terjangan gelombang
Langit sekadar membagi nasihat
Bagaimana cara membaca gerak cuaca
Awan adalah musafir yang mencatat angin
Sepanjang rahasia kesunyian sebuah perjalanan
MEDAN,2008
PELAYARAN SAJADAH
Lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan
Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah
Ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa
Malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak
Pernah lupa
dengan segala riwayat cerita
segala derita!
Medan, 2008
BIAS MATAHARI PAGI
apalah arti matahari pagi bagimu yang menyembul seketika
dari detik jarum jam yang berdetak pada dinding rumah kita
apalagi yang kau tunggu? Matahari telah pun meninggalkan jejak biasnya
pada sisa tangis di jendela matamu
malam mengintip diam-diam. Gerimis berguguran di rumputan.
apalah arti butiran embun di daun yang menetes di ujung tahun
kecipak air comberan dan tarian dedaunan di kejauhan
pada halaman samping rumah kita, usah kau hanyut
atau kau telah terjerumus dalam kobaran api cemburu? Matahari telah membenam
di antara isak tangis menuju peraduan. Meninggalkan sisa biasnya
SAJAK JAM DINDING
Butir detik jatuh satu-satu di bingkai matamu, melintasi menit
yang bertengger di bibirmu. Ada angin mengetuk hatimu
Menyesak jantung di ruang rasamu
awan enggan berlari, udara berputar-putar sendiri
matahari begitu sayu di atas sungai segala luka
mengalir sampai muara yang sesak oleh kabar duka cita
Butir airmatamu jatuh satu-satu menatap jam dinding pada senja
surut perlahan mengaduk-aduk sepi hatimu. Waktu setia menunggu
dentam-dentam langkah jam sepanjang almanak. Seperti embun yang menetes
menganak sungai pada pualam pipimu berputar mengelilingi waktu
mencari celah, berputar pada ruang yang menyimpan segala keabadian itu
SUNGAI HATIMU
entah langkah keberapa detik kaki
menyeret tumpukan cerita berangkai.
gunung-gunung sibuk menantang matahari.
pohon-pohon risau menghalau cahaya pagi
sungai-sungai asyik bermain-main sendiri
dan aku ingin sekali merendamkan diri
pada sungai hatimu sejenak meninggalkan mimpi
sungai hatimu yang sejuk meredam segala dendam
membungkam luka segala prasangka segala
Di sungai ini. Teduh mendengar tembang irama kenang
ada percikan kecipak air. Ada hembusan sesejuk angin
dingin menggigil pada bingkai cerita yang belum usai
api terbakar pada langkah yang sudah-sudah
pada rumah.tak berdinding. Tak berjendela
entah langkah kaki ke berapa detik sunyi menyeret ruang
di setiap peristiwa rindu yang bermain-main di siang malamnya
aliran sungai hatimu
MENYENTUH GERAI RAMBUT HUJAN SORE INI
Menyentuh gerai rambut hujan sore ini
aku kenangkan dirimu, kekasih
ada rasa yang tak sempat terkatakan
tentang sebuah negeri yang jauh
dan di ruang lengang seperti ini
kusulam rindu-dendam yang belum sempat
terbayarkan
PEREMPUAN GULA-GULA
terlalu manis hidup yang tercicipi
terlalu nikmat hasrat yang terteguk
dan sekarang
kau pun merasakan
kebahagiaan itu
hanya batu
di dadamu
komunitas home poetry, 2009
medan-sumatera utara
PAGIPAGI SEKALI EMAK MEMBANGUNKANKU
dan pada detik ini
rusukku persis patah
dan pada detik ini
dadaku jelas membelah
dan pada detik ini
sekujur tubuh rubuh
sebab, pada detik ini
emak memuntahkan serapah
SEORANG GADIS KECIL DAN POLISI YANG BERDIRI DI LAMPU MERAH
merah bola matanya
naik turun jakunnya
komatkamit mulutnya
mematung menatap jalan raya
lampu merah menyala
saatnya bekerja
komunitas home poetry, 2009
medan-sumatera utara
SEBATANG ROKOK DI ATAS MEJA PADA RUANG BERJELAGA
ruang itu sunyi
seperti air yang berhenti mengalir
meja itu berdebu
ada pena tergeletak di atas kertas
penyair menyimpan lelap
sebatang rokok membakar sajak
di atas asbak
NENEK JAMILA MENGUNYAH-KUNYAH SIRIHNYA
mungkin derak suaranya
mungkin derit pintunya
mungkin bunyi kentutnya
mungkin suara pipisnya
mungkin nada dengkurnya
mungkin denging telinganya
mungkin klutuk periuknya
mungkin rerak rumahnya
mungkin alunan serapahnya
mungkin dentam sunyinya
mungkin bara rindunya
mungkin pluit ajalnya
mungkin runtuh debunya
mungkin perih hatinya
mungkin deru jantungnya
mungkin buram matanya
mungkin retak bibirnya
mungkin mungkin
nenek jamila yang tengah
mengunyahkunyah sirihnya
alah, mak
GADIS KECIL YANG MENUNGGU
Di gerbang mesjid
Seorang gadis kecil menunggu rindu
Kidung takbir di bibir yang getir
Entah fitri yang ke berapa
Zikir mengalir
Di gerbang mesjid
Seorang gadis kecil menunggu ragu
Pada pilu hati yang kuyu
Entah ngilu yang ke berapa
Sendu memalu
GADIS KECIL PENJUAL KORAN
Di simpang sepi
gadis kecil duduk sendiri
Mendekap setumpuk Koran
Di dadanya
Sementara senja terus berpacu
Kendaraan terus melaju
Satu persatu
gadis kecil terduduk sendiri
Tanpa pembeli
Tanpa pembeli
Di simpang sepi
Lalu lalang tak ada lagi
KEPADA ADIK KECILKU
Pulanglah, Dik
Tinggalkan segala tipu daya dunia yang membujukmu
Membawa kepada segala kenistaan
Dan persekongkolan
Debu dan asap knalpot yang memburumu adalah
Ular kepala dua yang siap membenamkan segala rindu
Di kepalamu yang murni
Pulanglah, Dik
Pulang. Masih ada esok yang akan menyulam
Wajah burammu menjadi senyuman
DI SIMPANG JALAN RAYA
gadis kecil bertubuh dekil
Dengan kaleng di tangan bernyanyi
Lagu anak jalanan
Memandang kaca jendela mobil
Berhenti di traffic-light
Simpang jalan raya
Kencringan di tangan kanan
Merangkai harapan
Di dalam mobil
Di balik jendela kaca
Gadis kecil bergaya centil
Muntahkan donat dari mulutnya
Tiba-tiba jendela kaca terbuka
Si mami membuang segala sisa
Termasuk beberapa receh
Dari saku celana
Lampu hijau menyala
Menghalau masa lampau
gadis kecil pinggir jendela
Gadis kecil simpang raya
Terjebak arus pikiran belia
Yang terbang bersama debu
Jalan raya
AKU CINTA KAU BUKAN SESIAPA
usah kau sulam segala ragu, sebab
aku cinta kau bukan sesiapa
kita bukanlah sepasang kekasih
seperti Caesar dan Cleopatra
tetapi kita adalah sepasang burung
dara yang bebas terbang kemana suka
aha, aku yakin kau hanya menimbun cemburu
di lumbung kasih-sayang yang menggelora, sebab
aku hanya cinta kau bukan sesiapa
dan kau akan menjadi ibu dari anak-anak kita
yang kelak akan menggantikan kita menjadi
pangeran dan putri dari segala kerajaan cinta
sudahlah, Kekasih
walau aku seorang pecinta, tetapi tetap
aku cinta kau bukan sesiapa
medan, 08
TATAP MATAKU DENGAN SEGALA CINTA
jangan tunduk tatap mataku dengan segala cinta
ada rahasia ada segala suka-cita, dan hanya kaulah
yang dapat membaca atau mengeja segala makna
hapus beribu ragu dengan riasan rasa
jangan menghindar tatap mataku dengan segala cinta
ada taman yang penuh dengan segala bunga berbagai warna
dan hanyalah kaulah yang dapat menikmati-memetiknya
hapus segala bau dengan berjuta aroma
medan, 2008
AKULAH SANG PENJAGA CINTA
akulah itu sang penjaga cinta yang menanam
segala bunga penuh warna-sesegar aroma
di taman hatimu seteguh asmara
akulah sang penjaga cinta yang menyiram
segala bunga menghapus kerontang jiwa
di taman hatimu yang paling suci
medan, 2008
LUKISAN RAMBUTMU PADA KIBAR SENJA ITU
lukisan rambutmu merebak rindu di antara lulur debu
meretas gairah di antara bilurbilur biru di bawah remang
cahaya yang memburu waktu, ah aku seolah menemu
lakumu dalam dekapan diam tetapi nganga itu seolah
mencair di antara mimpimimpi semu
kemarilah !
biar kita kejar bias matahari di antara rintik gerimis senja
yang mengucur di kaca jendela menggelitik rasa kita
kau tentu mengerti betapa hasrat memiliki tak pernah
berhenti
dan tembang malam perlahan melintas dari jembatan senja
yang berkibar di antara kibar lukisan rambutmu mewarta
segala cinta, maka cuaca bukanlah penghalang segala cinta
dari segala tariantarian yang meliuk di antara lukisan rambutmu
pada tatap mataku yang menunggu
KAKIMU YANG MELANGKAH ADALAH
kakimu yang melangkah adalah tapaktapak yang membekaskan
segala sejarah di atas kering rumputrumput itu menyibak segala
rahasia yang tersembunyi di tepian trotoar berdebu dan irama
knalpot jalan raya yang menembus telinga para musafir jalanan
menembus segala tuju yang masih semu
kakimu yang melangkah adalah retakretak dadaku yang rerak
di antara tanahtanah membatu mencuri serpihan cinta yang
melayang seolah debu menembus dindingdinding angin
yang dingin menggigilkan segala hasrat yang sempat membara
dan lunglai bersama gugurgugur daun yang jatuh ke bumi
kakimu yang melangkah adalah getar segala debar yang terkapar
dari resah segala gelisah meliukkan hati yang gundah tentang
sebuah hasrat yang terpendam menembus dindingdinding diam
yang mewarta segala cerita menembus loronglorong hatimu
menembus kisikisi hatiku yang penuh kesumat berdebu
SEBAB ANGIN YANG MENGGUGURKAN DAUN-DAUN
entah daun yang ke berapa jatuh ke bumi
dari pohon setua hembusan sedingin angin
warna buramnya sesunyi kalender yang
kelelahan disetubuhi beribu rayap
pengab !
waktu melesat begitu cepat
berkeliling merengsek masuk di celah-celah
reranting dan cabang. Begitu gagap
entah daun yang ke berapa gugur di diri
memilah warna matahari yang menembus
ke segala ruang dan lorong sesunyi titik
air yang menitis di atas lantai lunglai
sansai !
M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Beberapa karyanya masuk dalam beberapa antologi, seperti Tanah Pilih (antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi) dan Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen Temu Sastrawan Indonesia II, Bangkabelitung), Pulau Marwah (TSI Tanjung Pinang), Akulah Musi (Temu Penyair Nusantara, Palembang). Sinetron, Film, maupun IKLAN. Kegiatan yang di kuti selain di Medan-Sumatera Utara, PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif Gedung Kesenian Jakarta Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki, Panggung Idrus Tintin, Riau, Taman Budaya Banda Aceh, Taman Budaya Lampung, Solo, Panggung Penyair Se-Asia Tenggara, Tanjung Pinang,dll. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar/Majalah Nasional/buku di Malaysia, Radio Nederland, Cyber sastra,dll. Sering menjuarai berbagai lomba selain lomba baca/cipta puisi, cerpen, lawak, dongeng, proklamasi dan juga Teater lokal, nasional maupun Asia tenggara. Tarung Penyair Asia Tenggara dinobatkan sebagai unggulan I. Termasuk lima besar Lomba Cipta Puisi Nasional, Bentara Bali Post. Selain masuk sebagai pengurus di beberapa organisasi seni, sastra dan budaya, ia aktif juga dalam kegiatan lainnya termasuk dunia politik. Sering didaulat sebagai Sutradara, juri dan pembicara, atau narasumber terkait. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED, juga sebagai Koordinator Omong-Omong Sastra Sumatera Utara dan Direktur di Komunitas Home Poetry. Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 085830805157 Mail:mraudahjambak@plasa.com, mraudahjambak@yahoo.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment