Wednesday, 23 September 2020
CERPEN : PEREMPUAN YANG BERUMAH PADA MALAM
PEREMPUAN YANG BERUMAH PADA MALAM
Oleh : M. Raudah Jambak
Dan malam ini ia harus menghadapi kenyataan untuk yang ke sekian kali. Kenyataan yang mungkin tidak pernah ia bayangkan. Kenyataan yang sangat mengerikan. Lebih mengerikan dari pekat malam. Baginya justru malam adalah sahabat. Ia lebih percaya pada malam daripada siang. Malam selalu menjaga kepercayaannya. Malam tidak pernah mengkhianatinya. Pada malam ia selalu berkeluh kesah, menitipkan setiap orok yang ia lahirkan dengan segala keterpaksaan. Malam adalah rumah tempat ia berkunjung. Rumah bagi orok, tempat berlindung sekaligus bermain. Tempat berlindung bagi sengatnya matahari. Berlindung dari setiap tipu daya siang.
Langkah, rezeki, pertemuan, dan maut merupakan rumus perjalanan usia. Di awali dari sebuah kelahiran yang akhirnya sampai kepada pintu kematian. Di antara jeda kelahiran dan kematian itu, kita harus mampu menentukan sikap. Walau akhirnya tidak bersikap adalah sebuah sikap. Lantas semua itu bergantung kepada kita bagaimana harus melangkah. Dan ia sudah menentukan sebuah langkah yang memang terpaksa harus dijalani dengan segala cinta. Hanya itu yang ia punya dalam menjalani hidup sepanjang usia. Usia yang perlahan mengejar gerbang waktu ke waktu.
Bersama segudang cinta, ia harus tertatih mengunjungi rumah malam. Menimang-timang orok sambil menyanyikan tembang kasih dan sayang. Menari ke sana ke mari. Mengumpulkan orok yang berebut hendak ditimang. Lalu bermain kejar-kejaran. Sungguh! Begitu riang. Memendam segala perih, segala pedih. Dan, ia bahagia. Bahagia dengan segalanya. Bahagia dengan segala kenyataan.
Perih dan pedih baginya adalah kenangan. Perih yang akhirnya memompakan semangat hidup dengan energi yang justru sangat berlebihan. Tetapi, ia begitu menikmatinya. Semakin ia ingat segala kenangan pedih itu, semakin menggila semangat itu.
Perih itu seperti tombak yang menghunjam ke jantung berkali-kali. Membekap sesak di dada. Memporak-porandakan segala harapan. Lalu ketika segala kehampaan itu hampir sampai pada puncaknya, malam pun akhirnya memberikan segala ketentraman. Segala kedamaian. Pada aliran kedamaian itulah ia reguk tetes air kebahagiaan. Membasuh lara. Malamlah yang selalu menyalurkan kekuatan, yang membuatnya mampu untuk terus bertahan. Lalu malampun dijadikannya ibu tempat yang paling nyaman untuk menuangkan segala keluh kesahnya. Meraih kekuatan-kekuatan baru untuk menimang-timang orok mungilnya. Bermain-main. Mendendangkan tembang kasih dan sayang.
Satu persatu orok itu berebut hendak ditimang, lalu sesekali berteriak dibiarkan berenang. Bergantian setiap malam-malam bertandang. Menyelam sampai di kedalaman. Menelusuri sampai dikejauhan. Mencari muara. Tapi, apa daya sebelum sampai pada muara, siang menghempang, menyangkutkannya pada arus yang mengambang. Ia pun harus pasrah, ketika siang menitipkan orok itu pada setiap orang, yang kemudian memberikan rumah baru yang sepi di kedalaman bumi.
Siang, sepertinya memang sengaja memisahkannya dengan orok yang selalu ia timang. Diam-diam ia pun memusuhi siang yang terkadang membakarnya dengan terik yang garang.
Ia tak mau menyalahkan Tuhan. Bersebab tekanan ekonomi. Ia hanya perempuan yang lemah tak berdaya. Pikirannya hanya satu, ia ingin menggapai segala impian. Melanjutkan sekolah ke tempat yang lebih tinggi. Mengharap pembayaran uang sekolah yang mahal dari seorang ibu berstatus janda dan sakit-sakitan adalah sesuatu yang sungguh mustahil. Sebagai anak tunggal, impiannya hanya satu membahagiakan ibu yang telah melahirkan dan merawatnya hingga besar. Menjadi seorang gadis cantik yang pasti menggiurkan setiap hasrat setiap laki-laki.
Ia merasa kesadarannya mungkin terlambat. Bertahun ia terpaksa mengumpulkan lembar demi lembar uang yang kurang dari memungkinkan. Mengumpulkan segala keinginan sekeras logam, menawarkan segala pesona kepada setiap hidung belang yang berhasrat mencicipi setetes demi setetes maduranumnya. Demi kenikmatan sementara. Tak terhitung lagi peluh setiap lelaki membasahi tubuh moleknya. Tak terhitung lagi lelaki-lelaki itu mencangkuli sawahnya. Menebarkan benih pada hamparan rahimnya. Tak ter hitung lagi ia harus memanen orok sebelum waktunya, demi mengejar segala cita-cita nya. Mungkin saja jika orok itu ia biarkan sampai pada kelahirannya, sudah berapa bayi yang melahap ranum puting susunya. Meninggalkan irama tangisan yang memenuhi ruang telinganya. Tetapi, ia harus makan. Membelikan obat untuk ibunya yang sekarat. Membayarkan uang sekolah yang setiap bulan mencekik masa remajanya. Maka, ia tak ingin sebuah kehamilan memadamkan segalanya. Memadamkan keinginannya untuk men jadi seorang dokter. Merawat ibu yang tercinta sepanjang hidupnya.
Wajar jika ia memilih pelajaran IPA sebagai mata pelajaran paforitnya. Tetapi, ketika ia sampai pada pembahasan anatomi, hatinya perih. Perih membayangkan orok-orok itu belum sempurna tubuhnya. Perih membayangkan kesedihan janin dalam rahimnya diusir paksa cairan kimia. Perih membayangkan orok yang selalu ditimang itu menyalakan tatapan mata penuh kebencian. Menuduh ia sebagai perempuan jalang yang tidak mengerti kasih dan sayang. Lalu kebencian itu berubah menjadi sebuah tombak yang setiap saat menghunjam diam-diam dari belakang.
Sebenarnya, tak pernah sekalipun dalam setiap jengkal benaknya ada niat keji seperti itu. Ia hanya bisa berharap orok-orok itu mengerti, bagaimana himpitan hidup berkali-kali menderanya. Mendesaknya. Di usia yang seharusnya membawanya pada dunia kegembiraan. Pada dunia penuh bunga. Di usia yang mengajarkannya meraih presatasi demi prestasi. Ia harus menjual kehormatannya untuk membayar uang sekolah yang mahal. Ia harus membayar uang buku cetak yang setiap tahun selalu saja baru. Memenuhi kebutuhan sejengkal perut. Merawat ibunya yang janda. Walau toh, akhirnya ia selalu meraih juara umum. Mendapatkan beasiswa pengurangan uang sekolah. Tetapi, apa boleh buat tekanan ekonomi memaksanya berbuat seperti yang tidak seharusnya. Ia harus terus-menerus menjual kehormatannya.
Dan malam ini tak ada yang lebih bahagia, selain ia harus menimang oroknya. Menghadapi kenyataan seperti malam-malam sebelumnya. Kembali bermain melepaskan segala kepenatan siang. Walau terlalu cepat untuk menjadi seorang ibu, justru ia merasa bangga dan bahagia. Bahagia memeluk, menimang, dan mendendangkan tembang kasih sayang. Bahagia menyuguhkan pancuran susu. Bahagia menyuapkan mereka. Bahagia memandikan mereka. Dan bahagia memandang wajah lelap mereka, setelah menikmati senandung lagu kasih-sayang. Awalnya, memang ini kenyataan yang mungkin tidak pernah ia bayangkan. Kenyataan yang sangat mengerikan. Lebih mengerikan dari pekat malam. Ternyata pada malam ia selalu berkeluh kesah, menitipkan setiap orok yang ia lahirkan dengan segala keterpaksaan. Malam adalah rumah tempat ia berkunjung. Rumah bagi orok, tempat berlindung sekaligus bermain. Tempat berlindung bagi sengatnya matahari. Berlindung dari setiap tipu daya siang.
Ia seperti kembali ke masa lalu. Masa kanak-kanakanya. Mengenangkan ibu yang tidak pernah jera menemaninya setiap saat. Membayangkan wajah tirus ibu yang gelisah ketika ia dalam keadaan sakit. Wajah ibu yang gembira ketika ia berlari-lari ke sana ke mari. Melihatnya menari-tari dengan lenggok mungilnya. Mendengarkannya menyanyikan lagu yang tak jelas artikulasinya. Betapa bahagianya ibu. Menggendongnya kemudi an. Dan tidak pernah lupa mendongengkannya kisah-kisah kepahlawanan. Sampai akhirnya, ia harus terlelap di pangkuan hangat ibu, dengan mulut mungil yang menjepit puting susu ibu.
Malam ini, persis seperti waktu itu. Ia merasakan kebahagiaan seorang ibu. Ia bernyanyi dan terus bernyanyi. Tak pernah henti sampai akhirnya orok yang menjadi bayi dalam benaknya itu pulas satu persatu. Bersamaan dengan itu, entah siapa yang menciptakan telaga menyebabkan harunya tak terhingga. Tetapi, begitu sadar siang kembali merampas oroknya satu persatu. Telaga itu berubah sungai yang mengalir deras dari kedua belah pipinya.
Sungai yang mengalir itu seolah pertanda kasih dan sayangnya membawa orok itu pada muara waktu tak tentu. Pertalian kasih dan sayang itu seolah terputus-putus. Ia begitu mencintai mereka. Mencintai orokorok yang belum sempurna benar fisiknya. Mencintai mereka walau tak jelas benar bibit, bebet, dan bobotnya. Mungkin bibit seorang pejabat. Bebetnya, mungkin dari seorang yang paling ’suci’. Atau mungkin saja bobotnya berasal dari orang-orang kebanyakan. Ia tidak peduli, sebab mereka adalah anak-anak surga. Anak-anaknya. Walau kelahirannya dilumuri lumpur-lumpur kenistaan, dan kawah- kawah kegelapan.
Bagaimanapun, ia akan tetap menggenggam harap. Ia tetap percaya rumus hidup. Tentang sebuah pernyataan, semua pasti akan berakhir. Sedih pasti akan berakhir, mengundang sebuah kegembiraan. Keyakinannya melebihi segalanya. Tinggal bagaimana, ia menyikapi hidup. Tinggal bagaimana memaknai usia. Membiarkannya mengalir seperti air. Mendapatkan muara kebahagiaan. Saat ini ia menimang orok. Setelahnya ia akan menimang sempurnanya orok. Seorang bayi mungil, seperti yang selalu diidamkannya.
Namun, ia merasa waktu merambat begitu lambat. Ia masih saja harus mengunjungi malam. Sebuah rumah dengan beranda seluas kelam. Lalu ruang tamu sehitam pekat bayang-bayang. Walau tanpa lirik baris-baris cahaya, baginya malam adalah sebuah taman yang penuh dengan aneka bunga. Beragam aroma segar dan lembut. Ia seolah terbang menuju gerbang langit, melewati beratus bahkan beribu anak tangga dengan kendaraan cintanya. Kemudian kembali menimang-timang oroknya. Seolah malaikat kecil dengan lingkaran aura penuh cahaya. Sempurna. Ah.............!
Hanya saja memang waktu merangkak terlalu perlahan. Keinginan-keinginan itu masih tertahan. Ada yang memang harus berakhir. Ia tidak perlu lagi berkelana dari satu lelaki ke lelaki yang lain. Ia hampir mencapai titik penantian, setelah anak pemilik sekolah mengakhiri setengah penderitaan yang menghimpitnya. Seorang lelaki muda yang mencintainya apa adanya. Dan ia pun harus memasrahkan segalanya. Sampai pada suatu ketika mereka harus menyelami dalamnya samudera asmara sampai ke dasar-dasarnya. Membiarkan lelaki itu merekam permainan binal mereka. Merestui lelaki itu mengambil setiap inci gambar sensisitifitas kewanitaaannya. Sebuah catatan kebahagiaan abadi baginya
Ia memang mencintai lelaki itu, walau tidak melebihi cintanya kepada malam. Tidak melebihi cintanya kepada orok yang selalu ditimangnya pada bulan-bulan temaram. Paling tidak ibunya berangsur-angsur menjemput kesembuhan. Tidak perlu lagi pusing menghadapi tuntutan pangan. Lancar membayar uang buku pelajaran. Bahagia menjadi seorang anak, sekaligus ibu bagi bayi imajinasinya. Bahagia menjadi seorang gadis yang dicintai dan mencintai.
Malam ini, ia merasakan kegundahan teramat dalam. Entah siapa yang merekayasa wajah bulan begitu buram. Bintang-bintang bersembunyi di bilik kabut. Desau angin seperti beribu pisau mengiris galau. Orok dalam timangannya meronta. Di susul orok-orok lain yang berebut menggantunginya. Orok-orok yang selalu melumat puting susunya. Menjerit histeris. Berteriak-teriak memekak. Berlompatan ke sana kemari. Ia berusaha berlari mengejar. Semakin dikejar orok itu semakin menjauh, dan akhirnya menghilang. Ia terus berlari, mencari. Entah mengapa, ia merasa semua mulai menjauhinya. Semua mulai membecinya.
Malam tiba-tiba berganti dengan wajah siang. Menghempaskannya habis-habisan. Orok-orok itu satu persatu muncul dengan wajah yang sungguh jauh berbeda, wajah malaikat awalnya, lalu berobah menjadi iblis yang sebenarnya. Orok-orok itu menyeringai garang dengan darah yang berlelehan dari taring-taring mereka. Ia berlari ketakutan. Orok-orok itu mengejar, mengepung dan dengan mudah melumpuhkannya. Ia histeris, menjerit sekuat-kuatnya. Tetapi mulutnyapun dibekap. Tidak ada lagi yang mendengar suaranya. Justeru ia yang mendengar suara-suara.
”Kamu berhak didampingi pengacara!” ujar salah seorang lelaki berseragam sambil memasang gari di tangannya,”kami sudah mengumpulkan semua bukti-bukti video mesummu. Dan menghapus gambar mesummu yang ada di internet.”
Dan, ia semakin membenci siang. Membenci kilatan cahaya dari mulut-mulut tajam kamera pemburu berita. Membenci ceracau hujatan pertanyaan. Benarkah Anda menjebak anak Ketua Yayasan? Mengapa begitu besar tuntutan yang Anda minta? Bagaimana perasaan Anda setelah dipecat dengan tidak hormat dari sekolah? Lalu bagaimana dengan Ibu Anda? Bagaimana dengan janin-janin Anda? Bagaimana dengan..........
Ia bungkam. Tangisnya tertahan. Jiwanya terguncang. Dalam hatinya, ia berharap malam datang bertandang. Ia masih mencintai malam, tetap menggenggam segala harap. Pada malam ia selalu berkeluh kesah, menitipkan setiap orok yang ia lahirkan, yang ke mudian selalu ditimang-timang. Malam adalah rumah tempat ia berkunjung. Rumah bagi orok, tempat berlindung sekaligus bermain. Tempat berlindung bagi sengatnya matahari. Berlindung dari setiap tipu daya siang.
Medan, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment