Wednesday 23 September 2020

PERJALANAN : SASTRA

M. Raudah Jambak* MEMBACA PERJALANAN SASTRA SASTRAWAN SUMATERA UTARA Beberapa waktu belakangan ini santer Hasan Al Banna diperbincangkan. Hal itu muncul ketika omong-omong sastra beberapa waktu yang lalu Hasan Al Banna didaulat sebagai pembicara. Mungkin, apakah karena Hasan Al Banna mencoba keluar dari dirinya untuk mengkritisi Hasan Al Banna, sehingga karya, peristiwa dan proses kreatif Hasan Al Banna mulai diulas. Dan sebagai bahan kritisi ilmiah ini menarik. Tetapi kekhawatiran itu muncul jika kritik itu muncul tidak berdasarkan objektivitas, tetapi subjektivitas. Lalu Sampan Zulaiha itu? Wah. Sebenarnya, sebagaimana yang kita ketahui, Sumatera Utara masih tetap mendapat tempat di jagat sastra Indonesia. Hal itu terbukti ketika nama Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sori Siregar, Mochtar Lubis, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, Hamsad Rangkuti, dsb, masih tetap menjadi bahan perbincangan sampai sekarang. Perbincangan yang selalu ditelurkan seolah tidak pernah habis-habisnya menyebabkan muncul kecumburuan sosial sastrawan tertentu (dalam hal ini sastrawan yang kurang mendapat tempat) di kalangan sastra nasional. Berangkat dari persoalan tersebut rasanya sah-sah saja pemikiran seperti itu selalu muncul ke permukaan. Dekade Amir Hamzah mungkin sudah usai, tetapi demammnya sampai sekarang belum lerai. Masa Chairil Anwar sudah habis, tetapi auranya masih be lum terkikis. Uniknya terlepas dari persoalan itu semua muncul sebuah pertanyaan, bagaimana dengan sekarang? Apakah ada sastrawan Sumatera Utara yang mendapat lirikan, bahkan tempat di singgasana sastra nasional? Atau bagaimana dengan penghargaan untuk sastrawan? Siapa yang pantas? Yang sudah meninggal? Atau yang masih hidup? Yang muda yang berkarya? Atau yang tua yang masih sibuk dengan nostalgia kata-kata? Seorang A. Rahim Qahhar sering berujar, bahwa beliau dan Damiri Mahmud adalah layar terakhir yang berusaha bertahan dalam gejolak gelombang keterpurukan sastra di Medan, khususnya. Untuk melaju menuju medan juang sastra nasional. Dan sekarang mungkin berada di pundak Hasan Al Banna. Pernyataan ini ada kemungkinan benar. Artinya, ketika kita melihat produktifitas sastrawan yang berlangsung mandeg di kancah sastra nasional, beliau muncul sebagai penjaga marwah sastrawan medan. Demikian juga halnya Damiri Mahmud. Produktifitas yang tidak mengenal mati seolah menjadi pemicu bagi sastrawan di medan untuk sama-sama berjuang maju. Hanya saja yang perlu kita tilik dari persoalan ini adalah siapa lagi angkatan beliau-beliau yang tetap terus eksis? Kita mungkin sedikit berfikir berkerut kening. Rintik tetes di dahi menyudahi daftar terakhir yang sulit kita jumpai. Lalu, bagaimana angkatan setelah beliau? Ingatan kita tentu sampai pada nama-nama, seperti Idris Pasaribu, Tagor Anaxetianoor, Choking Susilo Sakeh, Harta Pinem, Romulus ZI. Siahaan, Afrion Mahyuddin, Yulhasni, YS. Rat, Saiful Hadi Jl, Suyadi San, Thompson HS, Ezra Dalimunthe, Washa S. Nasution, Teja Purnama, Aisyah Bashar, Hasan Al-Banna, T. Sandi Situmorang, Embar T. Nugroho, Irwan Effendi, Rina Mahfuzah, Haya Aliya Zaki, Butet Betti Manurung, Januari Sihotang, dst, (mungkin masih banyak lagi yang terlewati). Dari deretan beberapa nama ini tentu kita akan melihat sesuatu yang menakjubkan. Menakjubkan, maksudnya produktifitas yang mereka miliki (sempat) masih kita rasakan. Kita tidak pernah lupa dengan Bokor Hutasuhut, Ali Sukardi, AA. Bungga, BY. Tand, Lazuardi Anwar, NA. Hadian, R. Effendi KS, Sulaiman Sambas, Maulana Samsuri Darwis Rifai Harahap, Herman KS., dsb. Menakjubkan dalam artian bagaimana sosok Hasan Al-Banna memastikan dirinya berada di singgasana sastra nasional dengan tulisan-tulisannya yang terus muncul di KOMPAS, TEMPO, SUARA PEMBARUAN, REPUBLIKA, HORIZON, SUARA MERDEKA, GONG, dsb. Menakjubkan bagaimana, Aisyah Bashar, Suyadi San, T. Sandi situmorang, Rina Mahfuzah, dsb, juga menapakkan kaki di kacah media sastra nasional itu. Menkjubkan juga beberapa diantara sastrawan medan ada yang tertidur pulas dengan tugasnya rutinnya, sehingga lelah mereka untuk tetap menderu bagai peluru menembus kancah sastra nasional. A. Rahim Qahhar memang harus terus berangkulan dengan Damiri Mahmud. Idris Pasaribu masih melesatkan peluru. Hasan Al-Banna, Ilham Wahyudi, T. Sandi Situmorang, Embar T. Nugroho juga Wahyu Widji Astuti, Ria Ristiana Dewi, Zuliana Ibrahim, Sartika Sari, Maulana Satria Sinaga, dll, masih belum lelah menanam bom-bom waktu. Walau sesekali Ys. Rat masih menggeliat di waktu-waktu tertentu. Afrion masih bergerilya dengan dirinya. Atau Thomson HS dengan opera bataknya. Termasuk dengan Mihar Harahap, Teja Purnama, Saiful Hidayat, Hidayat Banjar, Romulus ZI Siahaan yang diharapkan menjadi singa tidak hanya beberapa waktu yang silam? Kita yakin mereka masih mengumpulkan nuklir di lemari-lemari besi. Tulisan-tulisan yang pernah muncul ke permukaan diharapkan terus menggugah perjuangan sastra di medan. Yulhasni pernah ‘berbagi’ pendapat dengan Afrion. Darwis Rifai Harahap, Budi P. Hatees, Hidayat Banjar dan T. Agus Khaidir terus mengasah belati kritik? Tulisan ini memang tidak bermaksud untuk menggurui. Kita hanya diajak untuk menggugah persoalan-persoalan yang sedang berlangsung di rumah sastra medan. Memang dulu pernah ada FKS, OOS yang tetap bertahan, KSI yang terus memahat dunia jungkir balik sastra, atau Komunitas HP yang (katanya) sering kehabisan pulsa, dsb. Barangkali perlu ada beberapa hal yang perlu kita sikapi. Kekuatiran redupnya cahaya di rumah sastra medan, mungkin terlalu banyak tangan yang merasa mampu untuk mengalirkan cahaya yang lebih terang. Tetapi, persoalan yang terjadi selalu berhenti di dermaga kata-kata, debat kusir, atau perasaan curiga. Mengira-kira tanpa ada pertim bangan yang valid. Pujian yang lahir dan mengalir selalu ditujukan bagai orang-orang tertentu, kelompok-kelompok tertentu, atas dasar like and dislike. Padahal mereka adalah kekayaan yang masih kita miliki. Kekayaan yang harus kita jaga. Kekayaan yang harus kita bina. Tanpa harus pilih kasih. Objektifitas masih diselimuti subjektifitas yang berlebihan. Memang Hasan Al-Banna adalah mutiara kita saat ini, tetapi kita masih memiliki Ilham Wahyudi, Embar T. Nugroho, T. Sandi Situmorang, Rina Mahfuzah, Butet Betti manurung, Sartika Sari, Wahyudi WA, Ria RD, Maulana SS, dsb. Orang-orang seperti inilah yang harus kita jaga. Orang-orang seperti ini yang harus kita dukung. Orang-orang seperti ini yang harus kita perjuangkan. Hanya saja kenyataan di belakang layar, kita masih selalu mengatasnamakan diri pribadi. Kita lebih mementingkan kelompok kita. Kita masih sibuk bernostalgia dengan masa lalu yang secara jujur kita katakan medan perjuangan yang harus kita kuasai sudah berbeda. Mengapa kita tidak bergandengan. Melangkah bersama untuk mengucapkan selamat tinggal debat kusir! Selamat tinggal kemunafikan! Mari, bersama kita bisa. Demi kemajuan sastra di rumah sastra kita. Pernyataan kalau tidak karena saya musti patut dibuang jauh-jauh. Diganti dengan kalau bukan kita yang memegang layar sastra saat ini siapa lagi. Kita patut berterimakasih kepada Hasan Al-Banna yang sampai saat ini mewakili sastrawan Medan, Sumatera Utara umumnya, menjaga rumah dan marwah sastra di dunia sastra nasional. Kita tidak perlu alergi untuk mengangkat topi salute kepada A. Rahim Qahhar dan Damiri Mahmud yang terus menerus digodam kenyataan ‘kebencian’ bertubi-tubi. Dan kita juga tidak perlu ngeh kepada Idris Pasaribu yang tak pernah lelah menggodok dan mengasah batu-batu menjadi seonggok mutiara yang berkilau. Kita juga tidak perlu geli kepada Suyadi San yang juga tak pernah luntur memahat rebung menjadi bambu yang runcing ujungnya. Atau Afrion yang masih asyik dengan obsesi-obsesinya. Jujur bukankah itu kenyataannya? Sebuah perjalanan pada akhirnya akan sampai juga pada tujuannya. Terkadang tujuan itu seperti analogi yang agak sulit kita terjemahkan. Karya merupakan tujuan akhir dari sebuah perjalanan bersastra. Akhirnya, bukankah lebih baik meramu hidangan di dapur karya nyata daripada berenang-renang di angin lisan kata-kata? *Penulis, Direktur Komunitas Home Poetry

No comments: