Wednesday, 23 September 2020

MEMBACA AWAN MENGHITUNG RINTIK HUJAN

SAJAK RAUDAH JAMBAK MEMBACA AWAN MENGHITUNG RINTIK HUJAN Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Bukan karena rintik itu berderai atau pecah maka kau mengundang pesta ke dendam hatimu yang sewarna pinggul kuali. Aku memahami irama didih hujan di bilik panci-panci. Atau awan wedang panas yang mengepul pada puncak gelas. Alahai, bukankah kau sendiri yang menciptakan dansa caca pada sepasang sendok dan garpu? Jangan pernah merasa bahagia atau sedih, karena ia semacam sarapan pagi yang menggigilkan dingin. Pun, barangkali matahari yang dihanguskan bara api. Bekunya kau pahat menjadi patung para peri, abunya kau jadikan kaligrafi. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur “Jangan buang. Jual saja,” ujar kekasihmu yang tengah mengunyah desau angin. Entah mengapa, ia tak pernah berhenti mengidam. Padahal niatmu hendak memilah hujan, lalu menyematkannya di sudut matamu Dan ketika kau meninabobokkan malam, gerimis meringis. Tanpa kau sadari, ia berkali-kali mengetuk jendela kamarmu. Ia menggigil melihat kau menyetubuhi mimpi. Sementara di sudut kelam dapurmu ada yang diam-diam menyulut dendam. Gelas-gelas panas. Piring-piring sinting. Sendok-sendok sengok. Kompor-kompor menjelma provokator. Mereka sepakat mengobarkan perang dengan kesaksian kucing renta yang tak henti mengibaskan ekornya. Mereka bersorak persis disaat siaran televisi kehilangan imajinasi. Ah, katanya, baru saja perutnya mual, lalu mulutnya memuntahkan telenovela bersama suara sirene di kepalamu. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Betapa luka perasaannya, seandainya kau tahu tidak ada apa-apa yang terhidang di sana. Pun, termasuk ketika kau selesai menikmati hidangan awan penuh selera. Tetesan sambal, serpihan tulang-tulang, ataupun tumpahan jus anggur yang tak kau sadari memerihkan hatinya. Walau kau lapis wajahnya dengan beludru merah jambu. Seperti geliat rayap di lendir banjir, seekor tikus mendengus. Ia mengutil rimah-rimah semur kambing, kemudian diam-diam membungkusnya dalam kantong plastik untuk orang-orang tercinta. Dan menghidangkannya kembali pada seriuh meja dapur dengan keropos-lapuk di kakinya. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Anak-anak hujan berebut telur rebus terakhir yang sebenarnya sengaja kau sisakan untuk sarapan kucing setiamu. Padahal sebelumnya awan sengaja menghadiahkan mendung untukmu, sebab seekor ayam betina yang tersesat di dapur diam-diam bertelur di ujung garpu. Entah mengapa kelebatan meteor di matamu, menjelma setengah kehidupan yang menyembul di serpihan telur rebus yang jatuh berantakan terinjak tapak-tapak kaki hujan. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Persis siang ini, ketika hujan perlahan beranjak pergi. Kau biarkan sunyi diam-diam menghitung rintiknya. Mungkin yang tertinggal hanya gelisah barang pecahbelah. Yang tertinggal aroma rindu terasi ibu. Yang tertinggal cerita masa kanak. Yang tertinggal kesumat keringat para lelaki.Yang tertinggal sesak dada senja. Yang tertinggal tentang kisah kucing renta yang tak henti mengibaskan ekornya. Ah, semoga ia tak lupa mengirimkan surat-surat kerinduan tanpa baris-baris kecemasan. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur KOMUNITAS HOME POETRY, 020612

No comments: