Wednesday 23 September 2020

OPINI : MENULIS, PENDIDIKAN KARAKTER DAN GENG (BUZER) MOTOR

MENULIS, PENDIDIKAN KARAKTER DAN GENG MOTOR Oleh : M. Raudah Jambak Menulis merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang aktif selain berbicara. Menyimak dan membaca merupakan bagian lain yang mendukung menulis dan berbicara dalam keterampilan berbahasa itu. Pun, dalam pembelajaran bahasa dan sastra menulis merupakan bagian yang terpenting. Terutama pada tataran tata bahasa. Hanya saja selain tata bahasa, di wilayah sastra menulis juga mau tidak mau harus berada pada porsi yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi pendidikan karakter telah dicanangkan di dunia pendidikan kita sekarang ini. Tidak ada kata terlambat untuk berbenah, walau sebelumnya kita sudah diperkenalkan dengan pendidikan budi pekerti dan lain-lain sebagainya. Tetapi keputusan untuk kembali menetapkan kebijakan pendidikan karakter adalah keputusan yang memang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Bagi bangsa Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkankarakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa Indonesia, sanggup? Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat) Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi basik atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya.Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinya (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik. Berpijak pada ciri dasar pendidikan karakter, kita bisa menerapkannya dalam polapendidikan yang diberikan pada anak didik. Misalanya, memberikan pemahaman sampai mendiskusikan tentang hal yang baik dan buruk, memberikan kesempatan dan peluang untuk mengembangkan dan mengeksplorasi potensi dirinya serta memberikan apresiasi atas potensi yang dimilikinya, menghormati keputusan dan mensupport anak dalam mengambil keputusan terhadap dirinya, menanamkan pada anakdidik akan arti keajekan dan bertanggungjawab dan berkomitmen atas pilihannya. Kalau menurut saya, sebenarnya yang terpenting bukan pilihannnya, namun kemampuan memilih kita dan pertanggungjawaban kita terhadap pilihan kita tersebut, yakni dengan cara berkomitmen pada pilihan tersebut. Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan begitu, generasi-generasi Indonesia yang unggul akan dilahirkan dari sistem pendidikan karakter. “Siul Gelombang", karya pujangga India, Rabindranath Tagore (1861-1941) dikenal sebagai simbol kepahlawanan, pengabdian dan pengorbanan, serta mewakili suara kaum penentang terorisme. Karya tersebut lahir pada 1934, suatu era revolusioner menjelang kemerdekaan Bangladesh yang membuat negeri India banyak diguncang teror. Melalui tokoh Ela dalam novel tersebut, pembaca bisa digelitik untuk merenungkan kehidupan masing-masing, memaknai cinta, ideologi, dan hubungan antar manusia. Tagore yang banyak melahirkan karya besar diakui sebagai sastrawan dunia, ia menjadi sosok yang banyak menyuarakan kebudayaan agung India dan artis serba bisa. Melalui karyanya dalam bentuk cerpen, puisi, naskah drama bahkan juga musik, ia pun “dinobatkan” sebagai salah seorang bapak bangsa dan dianugerahi penghargaan Nobel bidang sastra pada tahun 1913. Sebuah karya sastra memang selalui diciptakan oleh para penulisnya untuk mengajak khalayak pembaca memikirkan dan merenungkan sesuatu hal menyangkut olah pikir dan jiwanya. Hubungan antara karya sastra dan nilai karakter serta perilaku manusia memiliki keterkaitan. Karya sastra bisa membuat seseorang menjadi lebih stabil dan mampu mengendalikan emosinya. Jika banyak membaca karya sastra, seseorang biasanya tidak akan cepat marah, karena karya-karya sastra dapat menggugah pembacanya untuk berpikir dan bertindak secara positif, dengan mempelajari kompleksitas hidup yang disajikan dalam cerita sastra. Sekarang ini, ketika kesusastraan di Indonesia sedang lesu dan beban hidup semakin berat, banyak orang Indonesia menjadi cepat marah, misalnya ketika `senggolan` di jalan raya bisa memicu pertengkaran. Namun, begitu karya sastra dilahirkan justru dijauhi oleh pembaca, bahkan pelajaran bahasa Indonesia di sekolah pun menomorsekiankan kesusastraan. Mungkin, hanya ada segelintir sekolah yang kini menyentuh pelajaran kesusastraan, itu pun sangat bergantung pada inisiatif guru dan sekolah. Hal ini juga menyangkut minat baca masyarakat. Seperti apa pilihan bacaan orang Indonesia dewasa ini? Buku bermutu dalam arti yang mengemukakan nilai-nilai positif atau disebut sebagai buku-buku ‘idealis’ terjual di bawah rata-rata, dibandingkan dengan buku-buku popular bisa terjual di atas rata-rata untuk tiap judul dalam sebulan. Kelesuan sastra Indonesia bukan bersumber hanya dari masalah ketiadaan penulis sastra atau kurangnya minat baca semata, tetapi juga terpengaruh oleh situasi politik, ekonomi dan sosial di Indonesia. Ketika masa Orde Baru sudah bisa memberikan rasa aman pada masyarakat, maka seni sastra pun tumbuh. Pada masa 1970-an, pendidikan sastra di sekolah jauh lebih bagus dibanding sekarang. Siswa diwajibkan membaca dan meringkas karya-karya sastra Indonesia yang muncul sejak masa penjajahan Belanda dan era kemerdekaan. Kini, pada masa gonjang-ganjing politik di Indonesia, ketika masyarakat kebanyakan masih merasakan kesulitan hidup (mencari nafkah), maka orang mengabaikan kepentingan membaca karya sastra. Orang lebih memilih buku-buku yang memberikan pengetahuan praktis (how to ...) yang hasilnya segera bisa dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan atau ketrampilan dan bermanfaat untuk menambah penghasilan. Buku Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrachman El Shirazy yang meledak adalah salah satu buktinya dan jenis tersebut segera diikuti oleh sederet buku dengan isi relegius, begitu pula dengan buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang memberikan warna baru dalam kancah bacaan Indonesia sekarang yang dapat memberi inspirasi pembacanya. Buku bertema seks meskipun masih laku terjual, tetapi sudah mulai tersisih demikian pula buku misteri dan genre ‘teenlit’ yang sempat meledak beberapa waktu lalu. Pergeseran selera pembaca dan pertumbuhan penulis bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi sudah menggglobal. Sebutan Chiclit muncul ketika penulis-penulis perempuan di belahan barat menghadirkan kisah-kisah kaum perempuan, muda dan tinggal di kota (urban). Isinya menceritakan diri mereka sendiri. Gejala itu segera menjalar ke Indonesia, bahkan kemudia muncul penulis yang amat belia, para remaja yang karyanya dikelompokkan dalam karya teenlit. Namun, terlepas dari itu semua, menulis sendiri sudah memberikan pembelajaran bagaimana mengelola kesebaran. Bagaimana dengan cara membaca, membaca, membaca, menulis. Kemudian, setelah menulis, baca lagi, lagi, lagi, edit. Selanjutnya edit, edit, edit, sempurnakan, dan publikasikan. Dari proses ini juga kita melihat secara sadar atau tidak , peserta didik dilatih untuk lebih hati-hati. Ketelitian dan kehati-hatian akan membentuk karakter anak hati-hati berbicara, bersikap dan berbuat dalam hidup dan kehidupan. Sementara pada proses yang lain, ketika ia menulis sastra, selain kesabaran dan kehati-hatian, peserta didik dilatih memperhalusnya. Jhon F, Kennedy, mantan presiden Amerika pernah mengatakan, jika politik itu kejam, maka puisi (sastra) yang akan menghaluskannya. Hal ini berarti, bahwa kesabaran, ketelitian dan kesantunan sangat penting dalam memupuk, membina dan mengarahkan anak (peserta didik) menjadi manusia yang berkarakter dan berbudi pekerti halus. Lihat saja betapa terpuruknya negeri ini dengan kasus-kasus yang terjadi sekarang ini. Korupsi, kolusi, nepotisme, pemerkosaan, mutilasi, dsb. Selain itu free sex kaum pelajar yang cukup mencengangkan kita. Narkotikan dan obat-obatan terlarang juga seolah menjadi konsumsi sebagai ‘penanda’ kemoderenan. Termasuk dengan maraknya Geng-Geng Motor. Sekarang ini begitu terasanya pengaruh negatif dari Geng-Geng Motor akan menimbulkan pengaruh negatif lainya. Tidak hanya sekadar pengrusakan dan penganiayaan, tetapi bisa lebih dari itu pembakaran, bahkan pembunuhan. Dari hal ini, kekhawatiran lain bisa saja muncul. Masyarakat akan terbiasa tidak lagi mempercayai hukum. Sehingga pada titik kejenuhannnya, justru Geng-Geng Motor ini akan menjadi bulan-bulanan masyarakat. Bisa juga justru yang tidak bersalah dari kedua belah pihak ikut mengalami imbasnya. Sementara kesibukan orangtua dengan segala aktivitas dan rutinitasnya membuat mereka menciptakan jarak dalam membimbing dan mengarahkan anak-anak mereka secara sungguh-sungguh. Alasan ekonomi selalu menjadi dasar utama keterpurukan ini, Akhirnya, kita tentu dapat memahami bagaimana pendidikan karakter ini harus secara sungguh-sungguh dan serius kita jalani. Selain penyaluran-penyaluran hobi yang positif, bimbingan orangtua, perhatian guru dan sekolah, menulis juga dapat menjadi pilihan yang tepat. Cocok? *Penulis adalah Guru dan Dosen Panca Budi

No comments: