Wednesday, 23 September 2020
CATATAN : USANG
M. Raudah Jambak
MEMILIH TIDAK MEMILIH ADALAH PILIHAN
Kita adalah makhluk cerdas yang porsi fisik dan psikisnya tentu berbeda dengan makhluk yang lain. Kecerdasan itulah yang membuat manusia mampu menjadi seorang kreator. Sebagai seorang kreator, manusia mampu menjadikan peristiwa di sekitarnya menjadi kata, menjadi makna, menjadi sesuatu. Termasuk menjadi ruh karya seni maupun karaya budaya. Dan kita bisa menafsirkan ‘seuatu’ itu menjadi apa dan siapa saja. Tentu masing-masing punya dasar pemikiran yang berbeda.
Dasar pemikiran yang kita maksudkan adalah kejujuran berkarya. Dengan kata lain, motivasi apa yang melatarbelakangi sesorang itu berkarya. Bisa karena uang, bisa karena ingin terus mengasah ketajamannya berkarya, dan lain sebagainya. Apapun itu kreator itulah yang tahu dan kita tidak berhak langsung memvonisnya harus begini dan begitu. Seperti yang pernah disinggung oleh Hang Kafrawi.
Peristiwa yang terhampar di alam ini merupakan ruh karya seni. Bukankah seniman ’pembajak’ yang handal menjadikan hamparan peristiwa ’taman bunga’ tempat pikiran manusia lainnya bermain? Di ’taman bunga’ itulah manusia diharapkan menafsirkan peristiwa yang terjadi dengan hati nurani, sehingga bermunculan ’bunga kesadaran’ untuk mengenal diri lebih dekat lagi. Inilah hakikat karya seni; dapat menjadi penyuluh bagi manusia.
Pada hari ini, seniman seakan kehilangan ’ruh’ untuk menukangi karya seni dengan realitas yang terjadi di sekitarnya. Maka bermunculanlah karya seni yang ’menjauh’ dari keadaan masyarakat. Dalam karya seni, seniman hanya bercerita tentang keluh-kesah pribadi; tersebab putus cinta (sebagai salah satu contoh). Karya seni bukan menjadi keluh kesah universal, tapi lebih banyak kegelisahan individu sang seniman. Karya seni tak menyentuh hati orang banyak, dia berjalan sendiri dengan ’kelukaan’ yang maha sunyi.
Mungkinkah peristiwa yang terjadi di negeri kita pada hari ini melebihi perasaan sensitif para seniman? Kita setiap hari disuguhi peristiwa yang mengiris hati nurani; seorang nenek mencuri kakau diganjar hukuman lima tahun penjara. Seorang anak mengambil sandal jepit ’dipelasah’ dengan hukum penjara. Penegak hukum dengan perkasanya menghabisi nyawa tahanan yang tergolong muda. Pihak keamanan yang tidak berpihak kepada rakyat dengan leluasa melepaskan tembakan ke rakyat kecil. Seorang ibu dituduh mencuri enam buah piring majikannya dan dihukum penjara selama 140 hari. Peristiwa perih ini, nyata adanya dan orang banyak tidak memerlukan tafsiran seperti menafsirkan karya seni.
Hati nurani manusia mendiami negeri ini senantiasa diusik dengan peristiwa-peristiwa perih yang terus menikam keibaan. Gelombang kelukaan semakin besar menghempas ke tebing hati, namun kita tetap berdiri dengan kesedihan yang datang sesaat saja. Semakin jauh peristiwa perih itu berlalu, semakin lupa kita dengan peristiwa itu. Kita pun dihadapkan dengan peristiwa nyata yang lain pula.
Sebagai seniman, yang katanya diberi perasaan lebih dibandingkan dengan manusia lainnya, seharusnya peristiwa nyata itu diabadikan dalam karya seni. Karya seni yang mampu terus menggoyang hati nurani manusia negeri ini untuk selalu ingat dengan peristiwa nyata itu. Dengan demikian, rasa kasih sayang sesama manusia negeri ini terus menyala, sehingga sedikit banyak karya seni dapat membakar perasaan manusia untuk mengenal akan dirinya. Punca dari segala peristiwa di muka bumi ini, berawal dari diri manusia itu sendiri. Raja Ali Haji dalam Gurindam 12, Pasal 1, bait 4 mengatakan, ‘’Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal Tuhan yang bahari.’’
Begitupun Budi P. Hatees ada menyinggung, bahwa jika seseorang memperbaiki kemampuannya mengolah aksara, lalu menghasilkan bukan saja sajak, tetapi juga cerpen, novel, esai atau naskah drama, tentu saja bukan hal yang mustahil dilakukan. Orang tersebut pada dasarnya bekerja dengan ide juga pengalaman, maka ide dan pengalaman tinggal diolah agar menjadi bagian yang organis dengan karya sastra. Sangat mungkin jika hasil olahan itu justru memunculkan hal-hal baru, semacam strategi-strategi baru teks sastra.
Tidak heran bila akhir-akhir ini dunia kreativitas cerpen mengalami perubahan dengan masuknya strategi teks puisi ke dalam pola penulisan cerpen. Artinya, kepiawaian seseorang dalam menulis sajak, cerpen, esai dan naskah drama akan saling mendukung hingga tercipta karya-karya sastra yang lebih andal.
Seniman melalui karya seninya, membawa kebenaran-kebenaran untuk kepentingan orang banyak. Karya seni tidak berpihak kepada siapapun, tetapi karya seni berpihak kepada kesadaran akan pentingnya kemaslahatan manusia. Dengan kesadaran bahwa manusia saling mengerti satu dengan lainnya, maka terciptalah keharmonisan, keseimbangan hidup manusia. Nilai keindahan dalam karya seni adalah ketika karya seni itu memiliki faedah atau manfaat bagi setiap manusia.
Dengan demikian, karya seni mengambil posisi sebagai penetral keadaan. Karya seni tidak berpihak pada kaum tertindas dan tidak juga menyebelah kepada yang menindas. Bagi kaum tertindas, karya seni menjadi pembangkit semangat untuk tetap berusaha lepas dari penindasan. Menyadarkan diri bahwa ketertindasan harus tetap dilawan; hidup adalah perjuangan yang tak pernah usai. Karya seni memberikan cahaya ke hati tertindas sementara bagi kaum penindas karya seni dapat dijadikan penunjuk jalan untuk tidak melakukan penindasan. Bukankah manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta sama di mata-Nya? Karya sastra membongkar kesadaran kebersamaan itu.
Senada juga dengan apa yang disampaikan oleh Hasan Al Banna, bahwa sesung guhnya, masing-masing genre dalam sastra, khususnya puisi dan cerpen menyimpan perangainya sendiri-sendiri. Keduanya berada dalam posisi ‘berdiri sama rendah berdiri sama tinggi’! Lantas, sangat terbuka kemungkinan bagi seorang kreator fiksi untuk menunaikan salah satu atau keduanya sekaligus. Tidak mudah menyodorkan bukti bahwa seorang kreator fiksi yang di masa awal kepenulisannya memilih "berkelamin tunggal" akan lebih baik ketimbang kreator fiksi yang membiarkan dirinya "berkelamin ganda". Pun sebaliknya. Intinya, proses kreatif pengarang mustahil serupa.
Memang, merujuk pada berbagai proses kreatif sejumlah sastrawan, banyak yang melalui peristiwa berkarya secara berjenjang, satu demi satu. Bukan tidak ada sastrawan yang sukses menjalani status "kelamin ganda" sejak masa awal kepenulisannya. Paling tidak, pilihan "berkelamin ganda" sejak masa awal kepenulisan malah memberinya jalan untuk pada akhirnya menentukan "kelamin" mana yang paling dibanggakan dan seterusnya dipelihara setekun-tekunnya.
Inilah permasalahan yang dihadapi dunia seni di negeri ini. Selalu menganggap kehidupan nyata yang berhubungan dengan orang banyak tidak penting lagi dirangkai menjadi karya seni yang berkualitas. Padahal seniman selalu ditunggu untuk menghasilkan karya yang mampu ’membaca’ peristiwa yang terjadi dengan mengedepankan kejernihan. Dari kejernihan inilah, manusia meneguk kesegaran untuk berbuat lebih baik lagi. Kalaulah dapat diibaratkan, karya seni itu seperti baut penting di sebuah mesin, tanpa baut tersebut, mesin tidak bisa dihidupkan.
Mungkin saja disebabkan faktor globalisasi membuat seniman ’membanting setir’; seniman harus menghasilkan karya seni yang instan dan berbau pop. Atau dari penyair menjadi cerpenis, dsb. Mereka tak mampu bertahan dari godaan kaum kapitalisme yang hanya mengedepankan keuntungan. Seniman juga dipaksa untuk menghasilkan karya seni hanya untuk hiburan, tanpa memikirkan makna yang lebih dalam. Karya seni diukur seberapa banyak orang senang dan berapa duit yang didapatkan dari karya seni itu. Masalah sosial dikesampingkan karena tidak menarik untuk dijual.
Bukan ’mengharamkan’ budaya populer, tetapi kemaslahatan orang ramai perlu dikedepankan. Apalah arti sebuah karya seni apabila hanya sesaat karya seni itu berarti. Seharusnya karya seni itu bertahan dari segala waktu, berbuah di sembarang musim, bermanfaat kapan saja. Inilah karya seni seharusnya.
Kembali pada peristiwa yang terjadi di negeri ini, memang terasa berat rasanya seniman mengokah realitas tersebut menjadi karya seni yang mampu melantas ke hati setiap orang. Namun demikian, bukan berarti seniman harus menyerah dan menyelewengkan hati nurani dengan membiarkan realitas itu terkapar tak berdaya.
Akhirnya, Ys. Rat memberi garis lurus permasalahan yang dikemukakan, tentang dua tulisan terdahulu, Bila Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin? oleh Hasan Al Banna dan Sastrawan tak Ditentukan Usia oleh Budi P Hatees, dimuat bersamaan di Rubrik Rebana (Analisa, Minggu, 26 Februari 2012). Sebagai pemicu jelas, tulisan saya berjudul, Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula di rubrik dan surat kabar sama (Minggu, 12 Februari 2012).
Bermula dari niat sekadar mengabarkan sejumlah perbedaan kondisi yang mempengaruhi dan kebiasaan antara para pemilik bakat sastrawan dekade 1980-an, hingga menjelang akhir 1990-an. Demikian pula mereka yang mulai bergiat pada tahun 2000-an serta sekadar saran yang sebaiknya dilakukan, dugaan akan munculnya reaksi tak pernah melintas di benak penulis. Terutama yang diarahkan terhadap sepenggal saran, para pemilik bakat sastrawan hendaknya juga merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas, dalam artian pada masa-masa awal berkarya tak sekaligus merangkap mencipta puisi dan cerpen misalnya.
Baik terhadap tulisan Bila Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin? oleh Hasan Al Banna, maupun Sastrawan tak Ditentukan Usia oleh Budi P Hatees. Berkenaan dengan tanggapan dan pendapat mereka mengenai saran penulis hendaknya para pemilik bakat sastrawan merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas, sama sekali tak sepatutnya penulis tak membenarkannya. Salam.
***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment