Wednesday, 23 September 2020

CERPEN : TELAGA DI BAWAH BUKIT

CERPEN M. RAUDAH JAMBAK TELAGA di BAWAH BUKIT “Tunggu. Raja Lagoi akan datang. Pasti datang!” teriak lelaki itu, setelah seorang pengantar surat datang padanya. Pengantar surat itu hanya tersenyum. Dia mengangguk. Mengangkat ibu jari tinggi-tinggi. Lelaki itu perlahan membuka surat yang baru saja diberikan. Sambil menghisap gulungan tembakau. Percikan api tertiup angin masuk ke lipatan keriput matanya. Lelaki itu sontak bergetar. Matanya memicing perih berair. Mulutnya menganga nyeri mengepulkan asap putih. Di atas pom-pong, lelaki itu terkekeh sendiri, “Hm, malam ini.” Segera ia mengayuh pom-pong, sebuah perahu kecil, yang selalu dipergunakannya untuk mencari gong-gong di tepian laut. Mengayuh secepat mungkin sampai ke gubuk, seperti rumah panggung miliknya. Meneruskan perjalanan berikutnya. Tempat ini telaga baginya. Bukit-bukit menjulang, lahir dari imajinasinya. Mengitari tempat, selain mencari makan, yang juga biasa digunakan untuk berdialog imajiner dengan Raja Ali Haji. “Ya, malam ini.” Lelaki itu harus melalui sebuah betung, buluh atau bambu besar, yang ditumbuhi semak belukar yang rimbun. Sepanjang jalan, lelaki itu membayangkan, malam nanti tak seperti biasanya. Suasana pulau begitu sumringah. Laksana intan tersemai di rambut para mambang jelita. Cahaya berkilau di mana-mana. Berkedip-kedip. Kemeriahan itu ditingkahi lagi dengan alunan musik penuh gairah. Hentakan gubano (gendang), denting rebab, kentongan calempong dan degup gong, begitu harmonis. Bersamaan dengan itu tarian persembahan, tari tepuk tepung tawar, tari olang-olang, dimainkan. Para penari begitu gemulai. Laksana elang yang terbang ke angkasa raya. Mengingatkan tentang kisah Putri Mambang Linau sejak pertemuan sampai perpisahannya dengan Bujang Enok. Kisahnya diakhiri dengan tarian persembahan untuk Raja Negeri. Gerakannya persis menyerupai burung elang yang sedang melayang (elang babegar). Putri Mambang Linau melambaikan selendangnya seraya mengepak-ngepakkannya. Perlahan-lahan kakinya diangkat seperti tak berpijak di bumi. Tiba-tiba Mambang Linau meliukkan badannya, dan seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju kayangan. Semua yang hadir terperangah menyaksikan peristiwa tersebut. Sejak itu, Putri Mambang Linau tidak pernah kembali lagi. Sejak itu pula, Batin Bujang Enok bercerai kasih dengan Putri Mambang Linau. Betapa besar pengorbanan Bujang Enok. Ia rela bercerai dengan istrinya demi menjunjung tinggi titah sang Raja. Menyadari hal itu, sang Raja pun menganugerahi Bujang Enok sebuah kehormatan yaitu dilantik menjadi Penghulu yang berkuasa di istana. Dari peristiwa ini pula lahir sebuah pantun yang berbunyi: Ambillah seulas si buah limau Coba cicipi di ujung-ujung sekali Sudahlah pergi si Mambang Linau Hamba sendiri menjunjung duli *** Pesta itu, tentu begitu meriahnya. Orang-orang tak sedikit yang ambil bagian. Anak-anak berkesempatan bermain gasing sejak pagi hingga petang. Tak perlu risau dengan istilah, kalau anak sudah kena hantu gasing, ia tidak dapat bekerja apa pun. Kesempatan bermain gasing dibebaskan, asal tidak lupa dengan kewajiban pada Sang Khaliq. Permainan itu selalu ditandai dengan nyanyian : Sing… Tali gasing alit gasing dan buah keras sampai hati ibu! ditanaknya saya gasing digulainya tali gasing menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya makan buah kayu ara. Lalu dibalas : anak dididik pada yang baik diajar pada yang benar dibela pada yang mulia dituntun pada yang santun ditunjuk pada yang elok dipelihara pada yang sempurna dijaga pada yang berguna anak dididik dengan kasih, kasih jangan berlebih-lebihan kasih berlebih membutakan anak dididik dengan keras, tetapi jangan terlalu keras terlalu keras membawa naas Orang-orang tua tentu tak mau kalah membuat acara yang berbeda di balai adat, lebih serius. Sambil menikmati berbagai hidangan, mulai asam pedas ikan sembilang dengan kuahnya yang agak kental, dengan warna merah cabai yang cukup pekat, dan bumbunya yang masih tampak kasar terkesan lebih garang. Sampai gonggong, atau otak-otak. Pulau kecil yang panjangnya dua kilometer dan lebar sekitar satu kilometer itu, menjadi seolah intan yang muncul tiba-tiba dari dasar telaga. Indah. Lelaki itu masih membayangkan, semuanya bergembira. Musikpun tak henti dimainkan. Mulai dari musik Melayu bersama dentam rebana, dalam bentuk langgam atau senandung, sampai musik nobat yang bisa digunakan pada acara ritual kerajaan. Mengiringi tari-tarian. Mulai dari tari zapin, sampai tari Engku Puteri. Termasuk juga dimeriahkan dengan teater wayang bangsawan. Sungguh surga yang tercipta begitu saja. Tak seorangpun yang bersedih. *** Sesampai di gubuk, lelaki itu segera mempersiapkan diri. Di depan cermin, lelaki itu berlatih syair sedikit. Tangan kanannya sesekali membuka lembaran gurindam dua belas gubahan Raja Ali Haji, seorang tokoh budaya yang terkemuka. Seorang pujangga, seorang ahli siasat dan politikus, seorang ulama dan seorang ahli bahasa. Lelaki itu sesekali mengutip petikan gurindam dua belas, untuk melengkapi pantun dan syair yang nanti akan dia peragakan. Bukan titik yang membuat tinta Tapi tinta yang membuat titik Bukan cantik yang membuat cinta Tapi cinta yang membuat cantik Kalau kehendak tidak dipilih Sudah berkobar mendatangkan pedih Kalau anak tidak dilatih Sudah besar orangtuanya letih “Hm, ...!” Seolah tak puas, lelaki mengulangi terus menerus. Termasuk menggubah sebuah syair tentang Hang Nadim, Bismillah itu permulaan kalam Dengan nama Allah kholiqul Alam Dipermulaan kitab diperbuat nazam Supaya diingat sejarah yang tersulam Menantu Hang Tuah, Hang Nadim Laksemana Khodam setia Paduka Sultan Mahmud Syah dan putranya Mendapat tugas menjaga tanah-air Melayu Raya Setelah laksemana Khoja Hassan dan Marhum Bukit Pantar Perkasa Portugis dibabat, di laut dan di darat Pedang Jenawi berkelebat secepat kilat Portugis terbirit-birit mengupat-upat Sebab si tangan kiri tinju sakti menghembat Langkah kaki jurus silat timur jauh Tendangan mendadak bikin rubuh musuh Takkan hati begitu saja jatuh Kehendak Allah takkan mudah merapuh Sahabat dihormati, seteru pantang dicari Tapi jika ada yang hendak menjual, ia pasti membeli Di Segantang lada tempat mengkaji strategi Setelah itu melakukan penyergapan berkali-kali Hang Nadim melesatkan tiga puluh dua nyawa Melayang-layang terbang ke angkasa raya Bukan melawan kehendak Yang Kuasa Tapi, berkat izin dan Ridho dari-Nya Hang Nadim-lah itu Gelar Lang lang Laut Suaranya menggema menghantam gelombang laut Bersama Seri Paduka dan Putra yang diturut Memimpin 300 perahu dan kapal penebar maut Semangat juang Hang Nadim patut dikenang Setia tidak hanya dimulut tapi berjuang Membangun bangsa yang bercabang-cabang Akibat keserakahan kekuasan yang terus berkembang Tak Melayu hilang di bumi Mengucap Allhamdulillah kami akhiri Segala khilaf dan salah adalah kelemahan diri Mohon maaf dengan satu kepala dan sepuluh jari *** Lelaki itu betul-betul mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk semambu, tongkat rotan, sebagai salah satu properti pertunjukannya nanti. Sebelum Magrib, lelaki itu telah sampai. Selesai menunaikan salat magrib berjamaah, lelaki itu menuju alon-alon, sebuah lapangan, tempat pelaksanaan pesta rakyat. Seperti bayangannya, Orang-orang telah berkumpul menyambut malam. Hiruk pikuk kian mengetuk, seolah riuh pesta perkawinan saja. Ada debar terdengar. Balai adat semakin sesak. Alon-alon terasa menyemak. Gong mulai dipalu, gubano membahana. Dan beberapa alat musik dengan bentuk, serta ukuran berbeda-beda. Rata-rata terbuat dari kayu dan kulit lembu. Dimainkan tujuh orang pemusik. Variasi pukulan dipadu sedemikian rupa, sehingga menghasilkan gelombang irama yang khas. Seperti suara alam. Tampak penabuh gubano paling ujung menari-nari. Sesekali matanya terpejam, larut dalam irama. Bagai digerakkan kekuatan misitis, ia melompat-lompat. Terkadang menunggangi gendang sambil memukul. Seperti kesurupan. Meski atraktif begitu, pukulannya tak pernah sumbang. Begitu juga pemain calempong. Di balai adat para petinggi kampung telah hadir. Juga Batin, kepala kampung, Julela. Ada diantara mereka. Duduk di atas tikar pandan berlapis dua , kedua ujungnya disatukan dengan menjahitkan kain warna kuning pada keempat sisinya. “Kita buat upah-upah!” perintah Batin Julela. Seseorang datang meninting nyiur. Kepala kambing diletakkan di atasnya, beralas daun pisang. Di sampingnya, seseorang lagi meninting piring besar, berisi bahan upah-upah lainnya: nasi putih, tiga buah telur ayam, garam, ikan lebam, udang, dan daun ubi. Juga ditutup dengan daun pisang. Paling atas ditutup dengan kain adat. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Segera ia melangkahkan kaki. Hatinya berkecamuk. Dengan gontai, ia melangkah. Perlahan. Tiba-tiba, ia merasakan kesunyian mendekapnya. ”Syirik!” sebuah teriakan terdengar menggelagar. Suara musik terhenti. Hiruk pikuk pesta senyap. Orang-orang membalik arah. Semua mata tertuju ke arah panggung. Beberapa diantara mereka berbisik. Lelaki itu terus berteriak. Semambu ditangan diacungkan ke udara. Syair dan pantun yang ia latih seolah tak lagi bertempat. Hanya sumpah serapah yang terdengar, terlontar keluar. ”Syirik!” Lelaki itu kembali meraung-raung. Tak ada yang berani mendekat, mencegah. Aksinya kali ini lebih berani. Dari sakunya, ia keluarkan sebilah pisau. Lalu, menerjang kesana-kemari. Tak henti berteriak. Liarnya terhenti seketika, tatkala sebuah tangan mencengkram pergelangan tangannya kuat-kuat. ”Hentikan! Hentikan, Lagoi, ” sesosok lelaki tegap menatapnya tajam,”kau telah merusak kebahagiaan semua orang!” Batin Julela, lelaki tegap itu, terus menatap garang. Lelaki itu tersenyum. Ia kemudian terkekeh, sambil menghentakan cengkraman tangan Batin Julela. ”Kebahagiaan ?! Kebahagiaan siapa, ha?!” ”Kebahagiaan semua orang!” ”Orang yang mana?!” Batin Julela menarik napas,”sudahlah.” ”Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan.” ”Apanya yang tidak bisa dibiarkan?” ”Syirik!” ”Apanya yang syirik?” ”Yang kalian buat ini, syirik!” ”Darimana letak syiriknya? Ini budaya. Beginilah cara kita memancing para peminat yang mau berkunjung ke pulau kita yang terpencil ini.” “Tak ada budaya kita seperti ini! Ini mengada-ada.” Sehabis mengucapkan itu, lelaki itu melangkah. Sepanjang jalan, ia terus berteriak. Merusak apa-apa yang terdekat. Dari kejauhan Batin Julela menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian menoleh sebentar ke sudut panggung. Mengerdipkan mata kepada sekelompok lelaki berpakaian pendekar. *** Lelaki itu meraih pompong, ia tersengal-sengal. Tangannya menutupi perutnya yang koyak. Mengayuh pompong sepanjang aliran air. Matanya masih menatap sekitar permukaan air yang sepi. Sebagai keturunan langsung orang suku laut, lelaki itu harus bertahan. Hamparan air inilah negeri kami. Berdinding bukit-bukit. Tempat kami dilahirkan. Hitungan ratusan tahun kami mendiami tempat ini. Menghirup segala. Hidupkan segala. Menyatu dengan segala. Bermain dengan angin, dengan kecipak air, dengan bentangan permukaan laut yang beriak. Anak-anak, kaum perempuan, dan para lelaki telah terbiasa melukis garam. Berpeluk kesiur udara. Sebab kami adalah orang-orang laut. Berenang dan berkayuh bagi kami seringan hembusan angin menembus dasar laut dan riak-ombak di tepi pantai. Segala telah tersedia dalam rentang waktu yang tak dapat dihitung dengan rumusan angka-angka. Segala telah terjaga dengan aturan adat yang paling beradab. Amboi, masa-masa gemilang itu perlahan di gebuk gelombang. Menusukkan amuk, remuk. Lelaki itu mengendap-endap dalam rimbunan betung. Setelah posisinya agak jauh, ia merayap dalam di antara semak belukar yang rimbun. Ia bersembunyi di bawah sebuah betung yang paling rimbun semak belukarnya. Nafasnya terengah-engah. Ia melihat sekelilingnya untuk memastikan keadaan. Ia sudah tak sanggup bergerak lebih leluasa. Ia memutuskan untuk bersembunyi disitu dulu. Sementara itu malam semakin pekat. Kelompok orang berpakaian pendekar itu mengerahkan bantuan untuk mencari Raja Lagoi, lelaki itu. Mereka menyusuri seluruh pantai, juga sepanjang aliran sungai. Menyisir setiap bukit dan lembah. Hari tenggelam di jubah kelam dan mereka harus bisa menyelesaikan Raja Lagoi. Degup-degap orang yang datang semakin dekat. Lelaki itu segera menghindar. Mereka melihat Raja Lagoi yang bergerak cepat, lalu segera mengejar. Lelaki itu segera menuju pompong. Mereka terus mengejar Raja Lagoi. Mengepungnya. Lelaki itu terkepung. Dia mencoba membebaskan diri, pukulan hantaman, dan tikaman berkali-kali tak dirasakan lagi. Dia terus saja mengayuh tanpa henti. Laut seolah mendekapnya. Tangannya membekap perutnya yang sudah tak berasa. *** Di dalam pompong yang terapung ada syair yang belum ditunaikan, orang-orang menangis terisak-isak. Mereka mendapatkan tubuh seorang lelaki telentang berendam sewarna darah. Menyembul. Matanya menatap tajam ke arah langit. Namun, entah siapa yang silap merangkai do’a. Bala bencana itu datang mengacungkan senjata. Satu persatu orang-orang tenggelam dalam kawasan banjir air mata. Terjerambab pada wajah murka penuh sengsara. Teringat petuah para Raja-raja. Tentang tumbuhnya pohon derita berbuah gundah gulana di masa yang tak sempat tercatat tanggalnya. Petuah tentang sebuah kesetiaan pada keteguhan adat. “Bacalah derap riak yang merayap di tepi pantai . Dengarlah lantunan angin yang mengalun di sela-sela perahu. Simaklah air yang mengalir yang menyibak cengkraman ombak. Atau dengung bebatuan pada geliat tanah di wajah bumi. Serta gema do’a sungai pada segala. Jika tidak, terang akan terasa mengahanguskan. Melumat segala peradaban yang telah lama terpelihara dari abad-abad yang telah ter-pahat,” demikian siraman penyejuk jiwa dari pemuka adat di akhir kisah dalam sulaman kelam. Dan apakah memang suratan badan atau memang kami yang berkhianat dari aturan garis adat yang telah ditancapkan. Orang-orang datang mengusung Tuhan pembaharuan. Melelang sejarah peradaban yang memabukkan. Kami terjebak dalam kotak-kotak tak berjejak. Terjerambab dalam lobang-lobang derita. “Tanamlah jiwa-jiwa kalian pada setiap riak air lautan. Tanam pula jiwa-jiwa anak cucu dan seluruh garis keturunan kalian pada tanah dan air tempat berpijak. Pada kenyamanan udara, serta pasir dan bebatuan. Maka yakinlah hidup kalian akan selalu diselimuti ketentraman dan kedamaian. Jika tidak bersiap-siaplah kalian menghuni makam tak bertuan. Kalianlah yang paling mengerti dengan laut ini, paham dengan pulau ini, maka pertahankan sampai titik darah penghabisan…” Dan malam ini Raja Lagoi bertekad bercerai dalam ketiadaan. Menjadi sebatang lara pada sejarah yang terus menerus dijarah. Raja Lagoi jatuh terjerembab. Tangannya terus menutupi perutnya yang koyak, terasa lelahnya selama berada di atas pompong, perahu kecil, berdinding kulit kayu. Dan beratap langit. Matanya terasa semakin samar menatap sekitar permukaan yang berubah telaga yang dikelilingi bukit-bukit, menatap senyum Raja Ali Haji yang melantunkan ayunan gurindam, perlahan menina-bobokkannya. “Tunggu. Raja Lagoi akan datang. Pasti datang!” Komunitas Home Poetry, Tanjung Pinang-Medan, 11-10 Cerpen M. Raudah jambak CERITA DARI KAMPUNG PETALANGAN Hujan masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Lelaki itu melangkah berkendara engah. Lelaki itu berjalan mengikis pongah. Hujan seperti bersimpati padanya. Tak henti membasuh luka sekujur tubuh yang mulai ringkih itu. Lelaki itu sesekali menggigit bibirnya. Bukan. Bukan karena perih tubuhnya. Bukan lantaran guyur hujan dan deru angin. Tetapi, ada yang lebih pedih dari itu, hatinya. Hatinya gulana. Semacam beliung yang tak henti-henti menderes batang nadi. Mengoyak bilah-bilah dada. Lelaki itu hanya tak menyangka. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala makna. Sehingga ia tak lagi sanggup mengunyah defenisi-defenisi setia. Tak sanggup meneguk tuak-tuak nisbi, Mardiah, istrinya. Pagi-pagi sekali, setelah menyusun botol jamu, Mardiah menitip pamit padanya. Setelah melabuhkan bakul berisi otak-otak di punggungnya, Mardiah segera menapak langkah. Lelaki itu pelan-pelan mengutip kembali jejak yang ditinggalkan. Biasanya Mardiah selalu mengusung pulang sebelum magrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, meski otak-otak hanya sedikit yang berkurang. “Hati-hati di jalan, ya...” “Ya, Abangda...” Selalu saja seperti pengantin baru. Kecupan sayang tak pernah dilupakan. Meski usia perkawinan beranjak dewasa, dan momongan tak pernah singgah digendongan, tak pernah ada kata luka dalam diksi puisi cinta mereka. Kalau dihitung mungkin hanya sekali pertanyaan mengejutkan terlontar. Pertanyaan itu langsung terasa begitu mengganggu. Mencemari kisah hari-hari mereka. “ Tadi siang aku melihatmu di pelabuhan...” “Ya, tadi aku sempat singgah...” “Siapa bujang yang kerap memelukmu dari belakang itu?” “Hanya pelanggan.” “Pelanggan?” “Ya, pelanggan.” “Hanya demi sebungkus otak-otak kau biarkan jantan itu berbuat sesukanya?” “Itu diluar kendaliku...” “Kebetulan hanya satu itu yang sempat terlihat...” “Maksudmu?” “Mungkin yang tidak terlihat lebih dari itu...” “Ooo, berarti kau sudah berpikiran, bahwa aku perempuan murahan begitu!?” “Aku tidak berpikiran seperti itu.” “Tetapi kata-katamu menuduhku seolah-olah aku bukan perempuan baik-baik,” Tumini menarik napas, “Abangda, dengar. Seburuk apapun aku dipikiranmu, aku tidak akan menodai mahligai perkawinan kita.” “Aku percaya.” “Kalau kau percaya mengapa kau menuduhku seburuk itu.” “Aku hanya cemas.” “Percayalah, Abangda. Kalau kau percaya itu lebih cukup bagiku untuk tetap setia.” “Aku percaya.” “Ya, aku juga percaya padamu. Aku percaya kau tidak akan pernah berkhianat padaku...” Setelah pembicaraan itu memang tak ada lagi kata-kata. Kata-kata sepertinya hanya pengantar ke puncak gairah. Kata-kata berganti irama desah. Berganti lumatan, pagutan, dan rangsang gelinjang. Hujan pun seperti telah ditakdirkan mengambil perannya sendiri. Menghadirkan orkestra romantik yang begitu puitik. *** Sebagai seorang pengangguran, lelaki itu selalu menimbun malu. Harga dirinya sebagai seorang lelaki sering terusik. Ia ingin mendapatkan pekerjaan tetap, tetapi hanya pekerjaan semrawutan yang bisa ia dapat. Ada rasa sedih, marah, kecewa, bercampuraduk dalam benaknya. Ingin rasanya ia menjadi suami seutuhnya. Kepala keluarga yang sebenarnya. Suami yang mencari nafkah, istri yang menjadi ratu di rumah. Tetapi, hal itu belum mampu diwujudkannya. Istrinya yang mencari nafkah, ia sebagai suami hanya melukis sesal di rumah. “Kita belum punya anak...” Lelaki itu mulai mengeja cerita, suatu kali di balai-balai. “Abangda, jangan mulai lagi...” Mardiah menyeka air mata. “Maksudku, sebagai seorang lelaki, aku ingin kau menjadi istri seutuhnya,” lelaki itu menyalakan sebatang rokok di tangannya,”aku hanya tidak sampai hati melihatmu yang harus luntang-lantung mencari nafkah. Sementara aku hanya penjaga rumah yang tidak memiliki daya.” “Abangda, aku ikhlas menjalani ini semua. Aku hanya ingin membantumu..” “Dan aku tidak sampai hati melihat semua itu...” “Abangda, dengarkan aku. Tidak ada setitikpun dalam pikiranku merendahkanmu. Kau adalah pahlawanku. Sebagai seorang pahlawan aku ingin berbuat sesuatu untukmu. Dan aku hanya bisa melakukan itu. Aku hanya bisa sebagai penjual otak-otak. Aku tidak bisa lebih dari itu. Percayalah.” Kembali lelaki itu tersengat tak berdaya. Di matanya Mardiah adalah sosok perempuan yang betul-betul sempurna. Selalu saja siraman-siraman sejuk yang terlontar dari bibir mungil Mardiah. Keyakinannya semakin cadas. Rasa percayanya kepada Mardiah sepadat logam. Lelaki itu semakin pasti. Pasti akan kesetiaan Mardiah. *** Pagi-pagi sekali lelaki itu pergi, setelah merapikan bungkus otak-otak Mardiah. Mardiah berselubung sakit. Menitip maaf padanya. Setelah melabuhkan kecup di dahi Mardiah, lelaki itu segera menapak langkah. Lelaki itu diam-diam merangkai kejutan, mencatat pada jejak yang ditinggalkan. Kali ini lelaki itu seolah mendapatkan kesempatan mengusung pulang sebelum magrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, menabalkan niat kejutan cinta yang lama terpendam walau hanya sekadar setangkai kembang. “Hati-hati di rumah, ya...” “Ya, Abangda...” Selalu saja seperti pengantin baru. Kecupan sayang tak pernah dilupakan. Meski usia perkawinan beranjak dewasa, dan momongan tak pernah singgah digendongan. Dan kesempatan ini tidak akan begitu saja dilupakan sebagai pengerat diksi puisi cinta mereka. Sampai beranjak malam setangkai melati baru didapatkan. Tapi hujan yang mencurah tak kunjung henti. Lelaki itu sempat menunggu beberapa saat, angin yang mendesau seolah tak memberi ruang untuk sekadar lewat. Hujan masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Lelaki itu membulatkan tekad menapakkan langkah. Lelaki itu menelusuri ruang-ruang basah. Lelaki itu sesekali menggigit bibirnya. Bersebab guyur hujan dan deru angin, demi mengabulkan ingin. Seputih hatinya. Hatinya membunga. Semacam taman yang tak henti-hentinya menebarkan semerbak aroma surga. Menyusup pada bilah-bilah dada. Sesampainya di rumah, lelaki itu menggelupurkan sesak dada. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala bahagia. Sehingga ia tak paham lagi mengunyah defenisi-defenisi setia. Entah apa yang merasuk di kepalanya. Ada amuk yang mengelora. Ranjangnya membanjir gairah. Ranjangnya ditenggelamkan irama desah. Bukan gairah miliknya. Bukan irama desah miliknya. Setangkai melati di tanganya ikut merasakan deru amarah. Seketika tenggelam bermandikan darah. Belati di tanganya memerah. Melukis Kampung Petalangan sewarna darah. Komunitas Home Poetry, Tanjung Pinang-Medan, 11-10 CERPEN M. RAUDAH JAMBAK BUDAK PENGHAYAL KELAS TINGGI ”Hei, tak jadinya kau melaut?” ”Sebentar, Mak. Awak nak menjadi Sultan sebentar.” ”Hei, tau dirilah kau sikit. Nak jadi Sultan? Cari duit yang banyak. Baru kau bisa nak jadi Sultan.” Emak menarik napas,”sudahlah. Kau jangan hayalkan macam-macam. Emak ni janda. Anak cuma kau seorang. Kaulah tulang punggung Mak saat ni...” ”Iyalah, Mak. Doakanlah aku nak cepat jadi Sultan!” ”Sudahlah. Payah becakap sama kau. Mak mau masak. Awas. Kalau Mak tengok kau tak melaut. Azab kau mak buat nanti...” ”Iyalah, Mak...” *** Langit mulai tampak kemerahan. Ini pertanda matahari mulai menggeliat membebaskan cahayanya. Embun pagi yang bening tampak menyatu pada atap limasan dan dinding istana yang diukir dengan relief yang indah. Tiang tangga yang tujuh tingkat juga tampak lebih memesona karena pahatan berbentuk ular seakan menyelusup dari dedaunan segar yang berada di samping kanan dan kiri tangga untuk mengintai tamu yang datang. Di bagian belakang istana terlihat kediaman erajaan yang dibangun dengan sangat sederhana tanpa ukiran dan hanya bertangga bulu (tangga bambu) yang rendah dinaungi pepohonan besar nan asri yang turut menambah indahnya panorama di pagi hari. Burung-burung ke luar dari sarangnya dan terbang kian indah mengitari perbukitan dan sungai. Orang-orang kampung pun mulai berangkat melaksanakan aktivitasnya sehari-hari. Ada yang menangkap ikan, mencari sayur-mayur dan buah-buahan dari ladang, bersawah, berternak dan berburu binatang telah menjadi sumber pencarian nafkah mereka demi kelangsungan hidup segenap anggota keluarga. Setelah berkerja, mereka menikmati pasir di tepi sungai yang sangat lembut dan terasa sejuk di kaki sebagai pelepas lelah. Dari sungai mereka kembali ke rumah masing-masing untuk menyambut senja bersama keluarga. Itulah keseharian di sebuah kampung yang dirajai oleh Raja Yang Dipertuan Agung. Semua rakyat kerajaan sangat patuh pada titah raja. Tanda kepatuhan mereka terlihat dari betapa bersahajanya mereka memberikan hasil panen kepada raja untuk dinikmatinya terlebih dahulu. Konon, apabila norma tersebut tidak dilaksanakan, maka mereka tidak akan mendapat keberkahan dan hasil panennya lagi selama tujuh tahun. Begitu juga dengan hasil tangkapan binatang liar seperti rusa dan kijang. Sepulang dari berburu rakyatnya akan memberikan bagian paha sebelah kanan sebagai tanda hormat kepada raja. Raja juga terkenal sangat adil, sehingga tidak terdapat seorang pun dari rakyatnya yang serakah akan mendapat celaka. Apabila ada yang berani mencoba menggeser perbatasan, maka pada malam harinya berkeliling kampunglah kesedihan untuk mendapatkan perhatian orang kampung agar segera ke sawah menuju kelimpahan. Di sana orang-orang kampung akan melihat kesedihan berjalan mondar-mandir sambil mengembek senyaring-nyaringnya di atas batas tanah yang sudah digeser. Dari situlah dapat diketahui pemilik tanah yang berniat curang. Keesokan paginya, kecurangan tersebut dilaporkan kepada raja. Orang yang serakah itu pun dikenai denda dengan memberikan hasil panen padinya sebanyak sepuluh kaleng kepada pemilik tanah yang telah dirugikan. Pernah juga ada pengawal raja yang membawa lari seorang gadis dari kampung seberang. Awal ceritanya, ketika pengawal istana diutus raja untuk mengantarkan surat ke kerajaan seberang, ia melihat seorang gadis yang hanya berkain sarung menutupi bagian dada hingga lututnya, tengah menelusuri jalan kecil di bawah rindangnya pepohonan menuju sungai dengan berjalan seorang diri. Pengawal istana pun tidak bisa menahan nafsunya. Untuk menutupi perbuatan buruknya, pengawal istana membawa gadis tersebut ke rumahnya. Ternyata perbuatan tersebut tidak terlepas dari pengawasan pemuka istana. Demi kelestarian adat, Batin selalu berkeliaran di hutan untuk menjaga keharmonisan dan ketentraman kampung. “Dengarlah wahai rakyatku! Siapa pun diantara kalian yang telah berani berbuat nista di kampung ini, segeralah bertaubat dan mengakui kesalahan. Aku takut memutuskan sendiri yang akan memaksa kalian mengakui perbuatan tersebut lalu mencabik-cabik tubuh pelakunya.” Titah raja membuat hati dan pikiran rakyatnya semakin bergejolak dengan segudang pertanyaan mengenai siapa gerangan pembuat nista. Ketika itu putusan mengaum bagai kesurupan mengelilingi orang-orang yang berkumpul. “Saya khilaf. Sa...sa…saya telah memperkosa seorang gadis penduduk kampung seberang. Biarlah saya yang menanggung semua hukuman yang akan raja berikan.” Ujar pengawal istana. Peluh dingin mengalir deras di dahinya. Semua orang yang mendengarnya pun langsung berang ingin mengubur hidup-hidup pengawal tersebut. “Siapa nama gadis itu? Sungguh beraninya kau mencoreng nama baik kampung. untuk itu, Setelah kalian dinikahkan, kalian harus segera angkat kaki dari kampung ini dan jangan pernah kembali.” Titah raja tegas menahan murkanya. “Saya bersedia menerima hukuman dari Raja Yang Dipertuan Agung.” Ucapan pasrah seorang gadis yang tiba-tiba muncul dari kerumunan orang menuju tengah halaman lalu bersimpuh kepada raja. Sebagai hukuman, mereka dinikahkan secara adat tanpa perayaan lalu diberangkatkan ke kampung seberang dengan berbekal seadanya. Di dalam kepemimpinannya, Raja Yang Dipertuan Agung didampingi oleh beberapa Megat dan Daeng. Mereka adalah orang-orang kepercayaan raja. Di suatu malam, raja mengumpulkan mereka untuk menyampaikan hajatannya. “Telah terbesit dipikiranku untuk melakukan sesembahan kepada laut dengan hajatan menjadikan kerajaan tampak berwibawa dan disegani oleh kerajaan lainnya. Bagaimana pendapat kalian?” Titah raja kepada para hulubalang dan datunya ketika bermusyawarah di ruang tengah istana dengan beralaskan tikar. “Hamba bersedia memimpin upacara untuk mengundang Mambang Perkasa Alam. Hajatan raja perlu dilaksanakan demi kelangsungan nama baik kerajaan.” Ujar daeng membenarkan titah raja. Upacara adat pun dipimpin oleh daeng. Mula-mula datu menyediakan bambu panjang yang bagian atasnya dibelah menjadi beberapa bagian agar ruasnya bisa direnggangkan untuk menjadi tempat melekatnya tempurung kelapa. Dibakarlah kemenyan di atasnya sampai kepulan asap ke luar. Raja pun menghajatkan niatnya untuk mengundang Mambang Perkasa Alam. Sebagai pertanda hadirnya Mambang Perkasa Alam dapat dibuktikan dengan adanya warga yang kemasukan roh Mambang Perkasa Alam. Biasanya sesembahan adalah seorang perempuan. Mereka menganggap perempuan lebih lembut, penyabar dan memiliki rasa hormat yang tinggi apabila berbicara kepada raja. Adakalanya raja tidak suka mendengar kabar buruk yang disampaikan Mambang Perkasa Alam , maka perempuan lebih mampu menahan amarah untuk tidak berbalik membalas murka raja. “Wahai sahabat setiaku Si Mapoi dan Kelong. Aku mengundang kalian untuk menyampaikan hajatanku. Aku ingin nama baik kerajaan terus harum dan tampak berwibawa sehingga disegani oleh kerajaan lainnya.” Titah raja kepada Mambang Perkasa Alam sahabatnya. “Ampun Raja Yang Dipertuan Agung. Raja harus menyanggupi persyaratan yang hamba ajukan. Selama lima tahun, Tuhan tidak akan mengaruniai seorang pencerah di kampung ini.” Kata Mambang Perkasa Alam melalui tembus pandang dari cermin kerajaan. Raja terlihat termenung. Kerutan keningnya begitu dalam sedalam pemikirannya yang penuh kehati-hatian. Semua yang hadir terdiam resah menantikan jawaban raja. Demi nama baik kerajaan, raja pun menyanggupi persyaratan yang diajukan Mambang Perkasa Alam. Di masa penantian lima tahun, demi menyambut kelahiran seorang pencerah, raja memerintahkan hulubalang untuk segera mendata semua perempuan yang tengah hamil lalu menyarankan rakyatnya untuk menyempatkan diri berkumpul di rumah perempuan yang akan melahirkan tersebut. Rakyatnya pun berkumpul dengan sejuta harapan demi mendengarkan tangis si pencerah. Sambil berkumpul mereka mengingat-ingat dan mengumpulkan data-data pengidaman perempuan yang tengah melahirkan. Sebagai hiburan dikala menunggu, data-data tersebut pun mereka jadikan permainan tebak-tebakan demi mendapatkan seekor ayam jantan. “Ketika perempuan Putri sedang mengidam, dia sangat suka berdandan. Maunya berpenampilan cantik di depan orang-orang sambil tersenyum mengelus-elus perut buncitnya. Aku yakin ini pertanda akan lahir si pencerah. Kenang Daeng Mantang sambil memeragakan hasil pengamatannya sehingga membuat pendengarnya terpingkal-pingkal. “Aku berani bertaruh, kalau yang lahir pasti si kelam. Masih ingat kisah perempuan Betung yang sangat suka bertaman. Selama kehamilannya, bunga-bunga yang ditanamnya bermekaran dan di kelilingi kupu-kupu yang indah. Hasilnya apa? Yang lahir si kelam. Pilihanku tetap si kelam. Kalau perempuan yang hamil tidak suka berdandan, barulah yang lahir si pencerah. Sanggah Daeng Julela tidak mau kalah. Mendengar kedua pendapat, mereka pun mulai pertaruhkan ayam-ayam mereka. Tidak lama kemudian, terdengarlah suara tangisan bayi. Setelah dimandikan, secara bergantian orang-orang datang menjenguk sambil membuktikan sendiri bayi yang telah dilahirkan. Untuk yang kesekian kalinya mereka merasa kecewa karena yang lahir si kelam. Entah sudah beberapa kali raja membuat sesembahan di istananya. Ia juga telah menikahi seorang puteri raja dari kerajaan lain, tetapi si pencerah yang dinantikan belum juga hadir diantara mereka yang berkasih sayang. Tinggallah penantian terakhir dari Putri Mawar Indah. Tiga hari sudah rakyatnya berkumpul di lapangan istana. Mungkin Mambang Perkasa Alam pun sudah mulai jenuh mendengarkan keluhan raja yang tidak sabar ingin menimang si pencerah. Sungguh disayangkan, buah hatinya masih betah berada di dalam perut ibunya. “Dengarkanlah aku! Pencerah Raja Yang Dipertuan Agung telah lahir. Tuhan telah mengabulkan doa kita. Besok kita akan berpesta merayakan kebahagiaan ini.” Teriakan pengawal istana yang riang gembira mengabarkan lahirnya seorang pencerah setelah seminggu lamanya setia menemani Putri Mawar Indah yang terus dihantui rasa kegelisahan karena takut mengecewakan raja dan rakyatnya. “Syukur atas rahmat Tuhan.” Sorak-sorai orang kampung yang bersuka cita mendengarkan kabar dari Pengawal kerajaan. Kicau burung dan kokok ayam yang bersahut-sahutan menambah semarak suasana pagi. Semua orang kampung beserta pengawal kerajaan mulai mengadakan syukuran atas berkah yang telah diberikan Tuhan. Acara pertama adalah upah-upah. Upah-upah dilakukan untuk membangkitkan semangat ibu dan bayi yang baru dilahirkan. Penabalan nama bayi pun dilakukan. Putri Pandan Wangi adalah nama yang diberikan Putri Mawar Indah kepada bayinya yang sangat cantik. Setelah itu, dilakukanlah upacara adat timbang berat. Upacara dilakukan untuk membuang naas yang ada di dalam diri anak. Anak tersebut ditimbang dengan beberapa bahan makanan seperti beras, tepung, dan kelapa yang jumlahnya sama berat dengan tubuhnya. Sore harinya, sesembahan seekor kambing dilepaskan setelah diritual ke hutan untuk diserahkan kepada Mambang Perkasa Alam sebagai tumbal. Hal ini juga merupakan tanda persahabatan antara raja dan rakyatnya kepada Mambang Perkasa Alam. Para tamu raja berkumpul kembali untuk menikmati hidangan yang telah disusun rapi di atas talam yang berada tepat di hadapannya. Mereka pun berpesta sampai pagi guna melepas kegembiraan setelah lima tahun menanti resah lahirnya si pencerah. Sebagai rasa syukur, setiap tahunnya raja selalu mengadakan pesta besar selama tujuh hari atau minimal tiga hari. Untuk menyiapkan pesta yang besar maka raja dan rakyatnya bahu membahu mencari binatang buruan, kayu bakar maupun buah-buahan. Tidak heran apabila sebagian rakyatnya menghadiahkan hasil laut yang dikumpulkannya. Penyembelihan seeokor kerbau pun merupakan tanda bahwa akan diadakannya pesta besar. Dalam hitungan jam, seekor kerbau tergeletak di atas rumput yang kini dihiasi cairan berwarna merah, kakinya bergerak menendang tetapi tidak leluasa karena tali pengikat begitu kencang melilit lehernya. Pergerakan kerbau pun mulai melemah diiringi dengusan yang panjang. Penonton bertepuk tangan sambil tertawa riang lalu berpencar untuk melakukan pekerjaannya masing-masing. Sebagian orang bertugas memotong kerbau, menguliti, memisahkan tulang dengan dagingnya lalu yang lainnya mencincang dan mencuci daging. Setelah itu, barulah mereka memasak kerbau dengan berbagai jenis masakan. Pada pesta tersebut bersabdalah raja kepada rakyatnya. “Wahai rakyatku. Janganlah pernah melupakan tanah kelahiran kita. Karena dengan masih bersamanya saudara sepiring semakanan maka akan menimbulkan tuah dan wibawa juga kebahagiaan dan kesenangan. Dan agar tuah dari nenek moyang mau hinggap, maka seharusnya rakyat tetap semufakat dan sependapat seiring sejalan. Seperti kata orang-orang terdahulu, kalau datang kemarau maka tumbuhlah pakis di tanah napah (tanah rendahan). Kalau adanya kesepakatan dan seiasekata maka jadilah doa untuk mendapatkan tuah. Kalaulah doa menimbulkan tuah maka datanglah kebahagiaan. Marilah bersama-sama kita mengikuti langkah-langkah leluhur yang pandai berpikir seperti gendang mengingat masa yang lalu.” Sapata raja yang bijaksana membuat rakyatnya bermenung lalu meresapi makna dari titah raja tersebut. Di pestanya raja juga mengundang kedua sahabatnya, Si Mapoi dan Kelong. Raja mengundang kedua Mambang Perkasa Alam untuk menyampaikan bala atau kejadian yang akan menimpa kampung dimasa yang akan datang, baik yang bersifat keuntungan maupun kerugian sekaligus penangkal balanya. Tahun demi tahun, Putri Pandan Wangi kian beranjak dewasa, dan semakin cantik jelita parasnya. Banyak yang terkagum, terkesima, terpesona bahkan tergoda untuk mendekatinya. Apabila Putri Pandan Wangi menerima surat dari pengagumnya, maka secara spontan ia perlihatkan wajah garang dengan tatapan mata tajam penuh kegeraman lalu mengembalikan surat tersebut kepada yang empunya. Hal ini telah mengakibatkan kelam dari kampung sendiri maupun dari kampung lain langsung mengurungkan niatnya untuk berkenalan atau pun mendekatinya. Tersebarlah berita ke seluruh pelosok kampung yang menyatakan bahwa Putri Pandan Wangi yang tinggi hati atau sombong. Pernah datang ke istana seorang sultan untuk berkenalan dengan Putri Pandan Wangi. Sambil tersenyum ramah, ia pun menatap dengan dalam wajah lembut Putri Pandan Wangi yang begitu memesona. “Sudah lama saya mendengar kabar tentang kecantikan si pencerah di kampung ini. Saya ingin mendengar langsung nama adik dari bibir merah delima yang selalu tersenyum manis membuat serpihan jantung gugur ke bumi.” Rayuan sultan perlihatkan kelihaiannya memikat perhatian Putri Pandan Wangi. Sayangnya, gadis yang dimaksud hanya diam menunduk lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun terucap. Keesokan harinya sampailah surat dari Putri Pandan Wangi kepada sultan melalui pengantar surat, yang menyatakan jangan pernah datang lagi sebelum meratakan dua buah gigi bagian depan yang besar seperti kapak. Sultan tersebut merasa terpukul hatinya mendengar pesan dari Putri Pandan Wangi hingga remuk redam menahan amarah karena merasa dihina lahir dan batin. Ia pun bersumpah kepada Tuhan, bahwa tidak seorang pun yang akan mau menyunting Putri Pandan Wangi. Pernah juga Putri Pandan Wangi merasa terpikat dengan ketampanan dan budi luhur seorang pemuda yang hanya rakyat biasa. Raja Jenang namanya. Tubuhnya yang jangkung perlihatkan kegagahan dan kewibawaan. Senyumnya yang manis juga keramah-tamahannya ketika menyapa setiap orang yang ditemui telah membuat para gadis termasuk Putri Pandan Wangi tergila-gila. Terlebih lagi ketika mengetahui Raja Jenang seorang pelaut yang hebat. Diam-diam Putri Pandan Wangi mengutus pengawal istana untuk memberikan surat cinta kepada Raja Jenang. “Maafkan hamba, ini surat cinta yang Putri Pandan Wangi berikan kepada Raja Jenang.” Ujar pengawal dengan tatapan lesu diikuti rasa takut akan menyinggung perasaan Putri Pandan Wangi. “Mengapa kamu tidak memberikan suratnya kepada Raja Jenang? Apa dia tidak menyukai seorang Putri Pandan Wangi yang terkenal sangat cantik penuh daya pikat ini? Berani sekali dia mengembalikan surat cinta dariku. Atau mungkin dia langsung memberikan jawaban di kertas surat yang sama? jawablah pertanyaanku?” Desak Putri Pandan Wangi dengan pertanyaan yang bertubi-tubi karena rasa penasarannya yang besar. “Maafkan hamba, Putri Pandan Wangi. Surat ini tidak jadi hamba berikan kepada Raja Jenang.” Jawabnya berhati-hati lalu bersimpuh di kaki Putri Pandan Wangi karena merasa bersalah atas kelancangannya tidak mematuhi perintah puterinya. “Mengapa demikian? Apa dia sudah menikah? Kau melihat dia bersama istri dan anaknya?” Ujar Putri Pandan Wangi dengan nada rendah penuh rasa kecewa. "Hamba melihat Raja Jenang tengah bertelanjang dada menantang teriknya matahari yang menjilati kulitnya yang terus berkeringat. Terlihatlah penyakit kulit yang aneh ditubuhnya.” Jawab pengawal resah karena melihat raut muka Putri Pandan Wangi menyimpan kekecewaan. Keesokan harinya, secara sengaja Putri Pandan Wangi mengumpulkan semua temannya di taman istana. Disanalah tersebar kabar mengenai Raja Jenang. Ketika Raja Jenang tengah menuju laut, melewati halaman istana, terbingkailah senyum sinis di wajah para gadis. Dengan sengaja mereka menggunjingkan penyakit kulit Raja Jenang dengan nada mengejek agar terdengar ke telinganya. Gunjingan tersebut pun membuat Raja Jenang murka. “Tuhan, renggutlah kecantikan Putri Pandan Wangi dan gadis lainnya secara paksa.” Teriakan Raja Jenang sambil melibas-libaskan pedangnya ke ranting pohon hingga daunnya menggugurkan sesal mengiris pilu. Sayangnya, para gadis semakin terbahak-bahak melihat amukan Raja Jenang. Raja Jenang pun berteriak mengelilingi para gadis lalu membawa salah seorang dari mereka. Para gadis berteriak histeris meminta pertolongan. Mendengar teriakan di taman istana, raja laut yang tengah berada di dasar laut merasa terganggu lalu menyuruh pengawalnya mencari tahu tentang keributan yang mengusik ketenangannya. Setelah mengetahui penyebab keributan tersebut, Raja laut pun berkeinginan melihat Putri Pandan Wangi yang terkenal sangat sombong. “Sungguh cantik Putri Pandan Wangi. Aku harus bisa mencairkan bongkahan batu di hatinya. Aku ingin memperistrikan gadis secantik bidadari itu?” Decak kagum raja laut setelah melihat Putri Pandan Wangi. Keesokan harinya, datanglah ke istana seorang sultan yang tampan menghadap raja. Dengan bersahaja raja menyambut kedatangan tamunya, meski sebelumnya ada firasat buruk yang dirasakan ketika memakai pakaian kebesaran yang biasa dipakainya bila hendak menjamu tamu. Ketika itu pakaian kebasaran terasa berat, tidak bisa dibawa. Tetapi ia mencoba menepis firasat buruk tersebut. “Saya Sultan Samudra. Kedatangan saya untuk mempererat hubungan kekerajaan diantara kita. Saya berkeinginan menyunting Putri Pandan Wangi untuk dijadikan istri.” Titah Sultan Samudra yang sebenarnya adalah jelmaan raja laut. “Saya belum siap melepas Putri Pandan Wangi untuk disunting oleh siapa pun. Dialah permata hati kampung ini. Lama kami mendambakan kehadirannya. Usia Putri Pandan Wangi masih sangat muda, dia masih belum bisa menjalani hidup berumah tangga” Penolakan raja penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan Sultan Samudra. Sultan Samudra berang mendengar penjelasan raja. Perkelahian pun hampir terjadi diantara mereka. Dengan menyimpan dendam, Sultan Samudra berjanji akan kembali untuk merebut Putri Pandan Wangi. Setelah kejadian tersebut, Putri Pandan Wangi selalu pergi ke laut seorang diri. Di sana ia seakan berkasmaran dengan seseorang. Ia duduk di atas pom-pong yang sudah tua sambil bernyanyi riang. Sesekali ia berkayuh mengejar dan menangkap ikan-ikan. Tidak seorang pun berani mengganggu kesenangannya. Melihat keanehan yang terjadi pada puterinya, raja pun menanyakannya kepada Mambang Perkasa Alam. “Putri Pandan Wangi hanya merasa kesepian. Biarkan saja ia mencari kesenangannya.” Penjelasan Mambang Perkasa Alam terkesan renyah, seperti ada yang tersembunyi di balik perkataannya. Dengan perasaan tidak nyaman, raja pun mencoba menerima alasan yang telah diberikan Mambang Perkasa Alam. Tiga hari kemudian, seharian penuh Putri Pandan Wangi berada di kamarnya sambil menyanyikan sebuah lagu yang syairnya menyatakan keinginan untuk meninggalkan kampung halaman. Semua penghuni istana merasa iba mendengar nyanyian Putri Pandan Wangi yang menyayat hati. Keesokan paginya, para pengawal istana tidak menemukan lagi Putri Pandan Wangi di istana. Ia menghilang entah kemana. “Jangan dicari lagi Putri Pandan Wangi. Ia telah dibawa oleh raja laut, Sultan Samudra, ke istananya.” Ujar Mambang Perkasa Alama penuh kepasrahan. Sebenarnya Mambang Perkasa Alam sudah mengetahui rencana raja negeri bunian terhadap Putri Pandan Wangi, tetapi ia tidak kuasa menghalangi pinta rajanya tersebut. “Bagaimana caranya aku bisa merebut Putri Pandan Wangi dari tangan Sultan Samudra.” Tanya raja geram menahan luapan amarahnya. “Ampun beribu ampun, Raja Yang Dipertuan Agung yang mulia. Hamba tidaklah berdaya untuk membantu menyerang kerajaan laut. Hamba juga tidak bisa membawa raja ke kerajaan laut. Maafkanlah hamba.” Perkataan terakhir Mambang Perkasa Alam menyisakan kepiluan di hati raja. Sejak itu, Mambang Perkasa Alam tidak memiliki keberanian lagi untuk menghadap raja. Satu per satu para gadis di kampung juga menghilang dibawa raja laut ke istananya untuk dijadikan dayang bagi Putri Pandan Wangi. Di malam bulan purnama, terdengarlah suara pesta dari kejauhan yang lama kelamaan suaranya tepat berada di atas istana kerajaan. Ketika itulah raja laut menjemput ruh Putri Pandan Wangi dan perawan lainnya. Hingga akhirnya suaru tersebut pun semakin menjauh dan menghilang. Ketidakberdayaan merelakan kepergian Putri Pandan Wangi beserta perawan lainnya telah membuat raja sakit-sakitan. Habislah semua perawan yang ada di kampung seperti seolah lebah yang datang dan pergi tiba-tiba. Tersebarlah kabar ke luar istana akan peristiwa duka yang membuat raja terbaring kaku di ranjangnya. Mereka pun menamai kampung itu menjadi pulau lebah perjaka. *** ”Akulah sekarang Sultan. Kalau nak selamat patuhi titahku...hahahaha!” “Bangun! Dasar pemalas!” “Ampun, Mak!” Lelaki lajang itu lari terbirit-birit. Segera ia meraih pompong, menuju laut. ”Nak jadi Sultan sebentar ja tak boleh...” ”Dasar budak penghayal kelas tinggi!” Komunitas Home Poetry, Tanjung Pinang-Medan, 11-10 BIODATA M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pinang. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan dengan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se-Indonesia di Bogor (200&), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta 2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Ikut membidani Cublis di Lampung (2009). Membacakan Puisi di Gedung Idrus Tintin Riau (2010),dll. Karyanya dimuat di berbagai surat kabar/maja lah Indonesia-malaysia. Saat ini bertugas sebagai guru sastra dan dosen filsafat Panca Budi Medan. Asyik membidani Komunitas Home Poetry. Alamat kontak-Taman Budaya Sumatera Utara, Jl.Perintis Kemerdekaan No.33Medan.HP.085830805157.E-Mail: mraudahjambak@yahoo.com. Selain itu beberapa buku yang memuat karyanya juga sudahterbit,misalanya:MUARATIGA (antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malay sia), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK), TENGOK (antologi pui si penyair Medan), Antologi Puisi MEDITASI (Sastra religius, 1999), Antologi Puisi Seratus Untai Biji Tasbih (Sastra religius, 2000), Antologi esay PARADE TEATER SEKOLAH (Aster, 2003), Antolgi Esay 25 Tahun Omong-Omong Sastra (2004), Antologi Puisi 50 Botol Infus (Teater LKK UNIMED:2002) , Antologi Puisi Amuk Gelombang (Star Indonesia Production :2005), Antologi Puisi Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Medan:2005), Antologi Puisi Jogja 5,9 Skala Richter (Ben tang:2006), Antologi Puisi Medan Puisi (2007), Antologi Puisi TSI 1 Tanah Pilih (Disbudpar Jambi:2008), Antologi Pusi Penyair Muda Malaysia-Indonesia (PENA Malaysia:2009), Antologi Puisi, Cerpen, dan Naskah Drama Medan Sastra (TSS-TSSU:2007), Antologi Puisi Medan Internatio nal Poetry Gathering (2008), Antologi Puisi dan Cerpen Merantau ke Atap Langit (Teater LKK UNIMED:2008), Antologi Cerpen 30 Terbaik Lomba Cerpen Tingkat Nasional Fes tival Kreativitas Pemuda 2007: LOKTONG (CWI:2007), Antologi Cer pen Tembang Bukit Kapur (ESCAEVA Jakarta:2007), Antologi Puisi FLP Indone sia (2008), Penyair Urban Antologi Puisi Laboratarium Sastra (2008), Antologi Cerpen RANESI – RADIO NEDERLAND SIARAN IN DONESIA (GRASINDO: 2009), Antologi Cerpen Denting (DKM:2006), Antologi Cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah (Disbudpar Pangkalpinang:2009), Antologi Cerpen Dari Pemburu Sam pai Ke Teraupetik Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Pusat Bahasa: 2003), Novel Putri Run duk (Pusat Bahasa Jakarta, 2008), Antologi Cerpen LMCP Guru (2007-2008-2010), Antologi Cerpen TSI 2 Jalan Menikung ke Bukit Timah (Disbudpar Pangkal Pinang-BABEL,2009), Antologi Cerpen TSI 3 UJUNG LAUT PULAU MARWAH (Disbud par Tanjung Pinang : 2010), dll. Alamat Rumah : Jl. Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E. 10 – sei Sikambing B – Sunggal – Medan – SUMUT – Indonesia 20122.

No comments: