Wednesday, 23 September 2020

experimento words

M. Raudah Jambak MBUYAK “Tolong jangan lupakan aku...” Lelaki itu menatap dengan mata berkaca-kaca. “Kalian jangan lupakan aku. Biar bagaimana pun keadaanku, aku tetap abangmu. Makanya aku harus ikut masuk hutan. Ya, paling tidak di sana nanti aku bisa membantu menjaga gubuk kalian kalau kalian masuk hutan,” pinta Mbuyak. “Kami sebenarnya ingin mengajak abang juga, tapi bagaimana nanti di jalan. Perjalanan ke hutan bukan gampang. Ada jurang dan bukti yang harus kami lalui,” jawab salah seorang adiknya. “Ya, kami kasihan dengan abang. Sebaiknya abang di rumah saja. Bair kami yang pergi merantau. Kelak, hasilnya akan kami bagi buat abang, tanpa abang harus bersusah-payah keluar masuk rimba,” timpal yang lain. “Tidak ! Kalian adalah adik-adikku yang baik. Aku harus ikut kalian, ke manapun kalian pergi,”harap Mbuyak lagi. Mendengar keributan kecil, orangtua mereka langsung memberi nasehat dengan bijaksana. “Anak-anakku, kalian harus selalu ingat. Tauhan Yang maha Esa itu punya kekuasaan yang lebih. Jika sudah menjadi kehedak-Nya, jadi seperti abangmu Mbuyak. Manusia memang selalu menginginkan yang sempurna. Tetapi segala sesuatunya telah ditentukan oleh-Nya. Kalian sekarang sudah dewasa. Jangan kalian saling berselisih. Lebih baik usul abangmu Mbuyak bisa kalian pertimbangkan dengan baik.” “Apa kata Bapakmu benar, Nak. Ibu pun sependapat. Kalian harus tetap kompak. Karena sampai kapanpun Mbuyak tetap abangmu yang harus kalian hormati. “ *** Matahari baru saja mekar di ufuk timur. Langit bening bersih. Pagi cerah. Sinar keperak-perakan menghangatkan seisi dunia. Embun masih menyisakan sisa-sisa tetesan terakhirnya. Burung-burung kecil dari balik belukar lari bersenandung merdu menyambut datangnya pagi. Udara sejuk. Hari masih pagi. Dari arah selatan rombongan Mbuyak dan adik-adiknya melangkah penuh percaya diri. Mereka membawa bekal secukupnya. Karena tidak bisa berjalan sendiri, Mbuyak di gendong secara bergantian oleh adik-adiknya. Dari atas gendongan adik-adiknya Mbuyak memimpin rombongan itu. Semakin hari perjalanan Mbuyak semakin sulit. Mereka harus mendaki bukit, menuruni lembah, menyebrangi sungai-sungai dan menembus semak belukar yang penuh onak dan duri. Jika mereka menjumpai medan yang sulit, mereka membuat tandu dari mambu dan kayu untuk menandu Simbuyak-mbuyak. Bila malam tiba mereka membuat tenda darurat utnuk menginap. Biasanya mereka mendirikan tenda di atas batu besar. Pada suatu hari perjalanan mereka sampai ke lereng gunung Si Jagar. Sebelum melanjutkan perjalanan Mbuyak meyuruh adik-adiknya beristirahat melepas lelah. “Kita dirikan tenda di sisni saja. Besok kita mulai mendaki Si Jagar. Menurut pendapatku, kita harus mencapai tengah-tengah lereng Si jagar. Di situlah nanti kita mendirikan gubuk. Hal ini supaya kita mudah dalam mencari kapur barus. Lagi pula di sana pohon-pohonnya masih banyak,” jelas Mbuyak menerangkan kepada adik-adiknya. “Tapi aku sudah capek, bang. Kita dirikan tenda di sini saja. Ngapain kita harus ke atas lagi.” “Iya, Bang. Di sini saja kan sudah cukup.” “Adik-adikku, dengar kita jangan sampai berselisih. Kita ikuti saja kemauan Abang kita ....” “Baiklah adik-adikku. Kita lanjutkan saja pendakian ini besok. Sekarang kita pikirkan menu makan malam ini. Aku melihat di sungai Si Jagar ini banyak sekali ikan-ikannya. Kalian tangkap beberapa ekor. Biar aku siapkan api unggunnya. Ke enam adik-adik Mbuyak sore itu cukup sibuk. Ada yang turun ke sungai menangkap ikan atau udang. Ada yang mencari ranting-ranting kering untuk membuat perapian. Sedang Mbuyak cukup menghidupkan api untuk membakar ikan, merebus air dan sekaligus menanak nasi. Mereka bekerja sangat rajin dan cekatan. Menjelang senja, menu makan malam sudah siap. Karena lelahnya perjalanan hari itu, mereka menyantap semua hidangan dengan lahap. Selesai makan malam ke tujuh bersaudara itu tidur pulas dalam pelukan mimpi masing-masing. Ketika mereka terbangun, hari sudah berganti lembaran baru. Burung-burung telah bersenandung menyambut pagi. Sinar matahari pagi yang hangat dan keperak-perakan menembus dari celah-celah dedaunan. Udara dingin dan sejuk. Mbuyak dan adik-adiknya mulai mempersiapkan untuk mendaki gunung Si Jagar. “Perjalanan kita semakin hari semakin sulit. Kita periksa tandu dulu, mana tahu ada tali-tali yang kendor, “kata Tumangger di sela-sela sarapan paginya. “Ya, disamping itu kita juga harus selalu waspada. Banyak hewan berbisa dan buas.” Tinambunen menimpali. “Kalian jangan sangsi, aku hapal daun-daun yang bermanfaat untuk sekedar mengobati luka-luka, balik luka kecil maupun luka berat. Tapi kita memang harus waspada dan hati-hati,” Mbuyak menenangkan adik-adiknya. Ia harus memberikan dorongan, agar adik-adiknya tetap semangat dan kompak dalam perjalanan itu. Berhari-hari ke tujuh bersaudara itu menempuh perjalanan mendaki gunung Si Jagar. Mereka dengan penuh semangat menaklukkan medan yang cukup berat. Mendaki bukit-bukit, menuruni lembah curam. Simbuyak-mbuyak dari atas tandu memberikan dorongan semangat kepad adik-adiknya. Bila diantara mereka ada yang terkena luka, Simbuyak-mbuyak memberi ramuan dari daun-daun tertentu sebagai obat. Sepanjang siang mereka terus mendaki bila malam mereka mancari temapat yang layak untuk istirahat. Hingga pada suatu haru mereka menemukan hamparan tanah yang agak lapang yang terletak di tengah-tengah lereng Si Jagar. Di situlah mereka mendirikan gubuk untuk menetap. “Adik-adikku, marilah kita dirikan gubuk di sini. Aku minta kayu bekas tandu di tanam di sekitar gubuk. Agar kelak anak cucu kita bisa menyaksikan hasil jerih payah kita ini,” perintah Mbuyak kepada adik-adiknya. Semua perintah Mbuyak dijalankan dengan baik oleh ke enam adik-adiknya. Mereka bekerja dengan senang, Hanya perlu tiga hari, merke sudah berhasil mendirikan gubuk yang sangat kokoh. Gubuk itu sangat kuat. Terbuat dari kayu-kayu pilihan yang banyak disekitarnya. Selain untuk berlindung dari terik matahair dan hujan, gubuk itu juga untuk intirahat dan berlindung dari serangan binatang hutan yang buas. “Mulai besok kalina sudah bisa mulai mencari kapur barus. Biar akau yang menjaga gubuk kita ini. Namun sebelum berangkat, tolong kalian sediakan akau ijuk pelepah aren. Aku lihat di sekitar gubuk kita banyak.” “Untuk apa, Bang?” tanya Anak Ampun. “Aku akan memintalnya menjadi tali.” “Tali ?” Pinayungen heran. “Kelak kita perlu tali-tali itu,” jelas Mbuyak. Hari-hari selanjutnya, bagi Mbuyak menjadi hari yang mengasyikan. Saat adik-adiknya pergi ke luar masuk hutan mencari kapur barus, ia memintal ijuk menjadi tali. Lama-lama tali itu menjadi panjang. Sementara itu adik-adiknya setiap hari bekerja keras mengumpulkan kapur barus. Pagi mereka berangkat, menjelang senja mereka pulang ke gubuk. Beberapa lama mereka bekerja keras, namun hasilnya belum mendapatkan kapur barus dalam jumlah banyak. Ada satu yang membuat mereka kecewa, kapur barus yang mereka bawa dihabiskan oleh Mbuyak. Begitupun mereka berusaha untuk sabar.. Tapi lama-lama kesabaran mereka pun habis. Hingga di antara mereka pun timbul perselisihan. “Rasanya Tuhan tidak adil terhadap kita,” keluh Turunten. “Mengapa abang kerkata begitu?” tanya Maharaja. “Buktinya, kita bekerja keras sepanjang hari ke luar masuk hutan mengumpulkan kapur barus. Tapi, abang kita Mbuyak yang menghabiskannnya,” “Betul, kalau begini terus! Kerja kita menjadi sia-sia. Aku menyesal, sama kalian,” sambung Pinayungen. “Sabarlah saudara-saudaraku. Kita harus selalu ingat pesan orangtua kita. Kalau bukan kita yang di buat oleh abang kita, lalu siapa lagi?” tanya Tinambunen. “Ya, kita harus tetap bersatu. Jangan hanya gara-gara kapur barus, persaudaraan kita pesah. Bukankah kita masih bisa cari lagi?” bela Tumangger. “Oke-oke! Kalau kalian berdua masih membelanya, kita pisah saja di hutan ini. Aku berempat lebih baik pulang ke Urang Julu. Dari pada di hutan rimba tak ada artinya. Bagaimana saudar-saudara yang lain ? kalian setuju usulku, kan!” teriak Turuten mengajak adiknya, Pinayungen, Maharaja dan si bungsu Anak Ampun. “Ya, aku setuju!” jawab mereka hampir serentak. Seketika suasana di hutan rimba itu cukup panas. Ke enam saudar-saudara Mbuyak, yang kemudian memanggilnya Simbuyak-mbuyak, pecah menjadi dua kubu. Kubu pertama Tinambunen dan Tumangger, sedang kubu kedua Turuten, Pinayungen, Maharaja dan Anak Ampun. “Baiklah kalau kalian ingin pulang, segbaiknya kita bicarakan dulu nanti sore sama abang kita,” Tumangger berusaha menenangkan saudara-saudara yang lain. Hari itu mereka tak sedikit pun mendapat kapur barus. Simbuyak-mbuyak sendiri mengetahui, bahwa ada rasa tidak senang pada empat adik-adiknya. Namun , ia pura-pura tidak tahu. Ia tetap saja makan kapur barus yang sudah terkumpul dalam gubuk mereka. Hingga perselisihan terus berkembang menjadi kebencian. “Diantara kita nampaknya sudah terjadi saling membanggakan diri. Dari pada persaudaraan kita pecah, lebih baik kalian pulang ke Urung Julu. Biarlah aku tinggal sendiri di hutan ini. Aku tak mau merepotkan kalian.” “Benar, Bang. Aku sudah lelah kerja keras banting keringat. Sementara, abang enak-enak saja menghabiskan hasilnya. Lagi pula bekal makanan kita sudah habis. Nanti kalau aku telah menjual hasil kita yang tak seberapa ini, kami menyusul ke sini lagi.” Turutten mengeluarkan isi hatinya. “Kalau itu yang kalian mau, pulanglah. Baiar aku dan Tumangger menjaga abang kita,” bela Tinabunen. “Ya, kita berangkat bertujuh! Pulang pun harus bersama, apa kata orangtua kita nanti. Kalau kalain tak sanggup menggendong biar aku sama bang Tinambunen yang bergantian menggendongmu, Bang. Bagai mana?” usul Tumangger. “Adikku Tinambunen dan Tumangger, aku menghargai niat baik kalain berdua. Tapi agar perselisihan ini tak terlalu merunsing lebih baik tinggalkan saja aku sendirian. Yang penting sisakan sedikit kapur barus kalian untuk bekal akau menyelesikan tali-tali itu.” Simbuyak-mbuyak menyakinkan adik-adiknya. Ke empat adiknya yang berpikir pada Turuten merasa lega, sebaliknya Tumangger dan Tinambunen hatinya sedih. Satu lagi pesanku sama kalain, kalau di Urang Julu diadakan pesta durian dan daging, tolong salah satu diantara kalian kabari atau jemput aku ke Si Jagar sini.” “Baiklah bang. Aku akan selalu ingat apa yang abang pesankan . Kita sama – sama berdoa,mudah-mudahan kita masih bisa bertemu lagi.Hati-hatilah abang menjaga diri di hutan rimba ini. Dengan berat hati Tumangger mengucapkan kata- kata perpisahan. **** Sepeninggal adik-adiknya ke Urung Julu, Simbuyak-mbuyak terus memintal ijuk menjadi tali. Tali-tali itu telah panjang, namun ia terus saja memintal. Sedikit pun ia tak merasa sedih tinggal sendiri di dalam hutan. Sepanjang hari ia bekerja sambil bersenandung. Bila malam tiba berdoa memohon berkah kepada Tuhan Yang Maha Esa. “ Tuhanku Yang Maha Perkasa, berikah hamba yang lemah ini, agar dapt menjadi perkasa sepereti manusia normal. Dengan demikian hamba bisa berbakti kepada kedua orangtua dan saudara-saudaraku yang lain.” Begitulah, sepnjang malam Simbuyak-mbuyak tak pernah merasa letih. Ia selalu memohon doanya dikabulkan Tuhan. Ia tak pernah putus asa. Ia percaya Tuhan mendngar doa datangnya dari hati yang tulus. Hingga pada suatu malam, saat matahari telah pulas dalam peraduan. Tugas matahari telah diganti sang rembulan dewi malam. Namun malam itu terasa kelam. Taburan bintang-gemintang tak nampak lagi. Langit muram. Begitu juga bulan hanya timbul tenggelam oleh arak-arak kabut hitam. Mendung pun menggumpal di atas sana, pertanda malam akan larut dalam hujan. Sesekali terdengar guntur menggelegar pelan. Namun saat gerimis tipis menjelma hujan lebat, kilat petir pun menyambar memecah kesunyian malam. Malam itu seisi hutan rimba kedinginan. Simbuyak-mbuyak menggigil panjang menahan hawa dingin yang menusuk-nusuk sampai ke dalam tulang sum-sumnya. Malam itu, Simbuyak-mbuyak tak busa tidur. Tempias air hujan membuat tubuhnya semakin menggigil. Badannya bergetar kuat. Ia terus meringgkuk,sambil berdoa melantunkan doa-doa panjangnya yang penuh pengharapan. Menjelang fajar menyingsing hujan telah reda, Simbuyak- mbuyak pun tertidur pulas tak ingat apa-apa. Ketika terjaga, Simbuyak-mbuyak terkejut melihat perubahan pada dirinya. Ia kini telah menjelma seorang pemuda yang sangat tampan rupanya. Ia bukan lagi Simmbuyak-mbuyak yang cacat tulang belakangnya. Tidak hanya itu saja, Simbuyak-mbuyak juga telah dikaruniai kesaktian yang luar biasa. “ Terima kasih Tuhan. Terima kasih atas kemurahan-Mu, yang diberikan padca hamba, ‘ ucapnya tak putus-putus. Sejak saat itu, Simbuyak-mbuyak menjadi anak muda yang tampan lagi sakti. Meskipun begitu,ia tidak sombong , tinggi hati dan dengki. Ia malah semakin rajin menolong sesamanya dan tetap rendah hati. “ Aku harus rajin bekerja, untuk membalas budi buat saudara-saudara kandung yang telah kubuat kecewa “batinnya lirih. Kemudian ia mengambil tali di gubuknya. Lalu dengan ilmunya yang tinggi,ia rentangkan tali-temali itu ke semua pohon yang ada di hutan itu. Setelah selesai merentangkan tali-tali itu, ia lalu mendaki ke puncak Sijagar. Dari atas puncak gunung Sijagar ia layangkan pandangannya ke daerah Manduamas dan Boang yang terbentang luas. Dan ketika pandangannya diarahkan ke tempat yang lebih jauh terlihat olehnya sxamudera biru nan luas. Simbuyak-mbuyak semakin hanyut dalam rasa syukur kepada Tuhan Sang Pencipta alam dengan segala isinya. Lama ia termenung. Tanpa terasa senja menghampiri secara perlahan. Ia lalu turun gunung. Sebelum ia menuju gubuknya,ia ingin mandi di muara sungai Sijagar. Dengan ilmu tinggi ysng dimiliki dirinya.ia hanya perlu sekejap saja untuk sampai di muara. Ketika ia hendak mandi Simbuyak-mbuyak terperanjat,dari arah hulu banyak sekali kulit durian yang hanyut ke laut. “ Urang Julu telah pesta durian,tapi saudara-saudaraku tak kasih kabar. Apakah mereka telah melupakan diriku? “ Ah, barang kali mereka lupa pesanku.” Bisik hatinya lirih. Namun ditahannya hatinya yang kecewa. Ia nikmati air sungai Sijagar yang jernih dan sejuk. Langit di ufuk barat merona jingga. Sebentar lagi matahari akan pulang ke tempat peraduannya.Beberapa ekor capung mencelupkan ekornya ke tepian sungai. Seekor burung srigunting menyambar capung itu. Dengan gesit capung itu melesat menghindar. Maka selamatlah capung itu. Dari arah selatan serombongan besar burung-burung hendak pulang istirahat di rimbunan dedaunan. Selesai mandi Simbuyak-mbuyak segera melangkah pulang ke gubuknya. Hatinya sedih karena pesta durian telah berlangsung,tapi dirinya tak ikut dalam keramaian itu. Ia menjadi bimbang. Sementara itu malam telah larut. Dalam kesedihan yang panjang, Simbuyak-mbuyak bersemadi. Dalam semadinya yang tekun,ia tahu dua saudaranya Tinambunen dan Tumangger sedang mendaki Sijagar. “ Sungguh tulus rasa persaudaraan kedua adikku itu. Mereka rela meninggalkan pesta durian yang baru dimulai demi diriku ini. Oh, Tuhan perkenankan sekali lagi lagi permintaanku ini, demi membalas budi kedua orangtua dan saudara-saudaraku itu, “ batinya lirih. Simbuyak-mbuyak lalu memohon kepada Tuhan, agar pohon-pohon yang telah diikat dengan tali ijuk dipenuhi dengan kapur barus. Lalu ada sebatang pohon yang sangat tinggi dan besar agar tumbang. Semua doa-doanya dikabulkan Tuhan. Setelah pohon itu tumbang, Simbuyak-mbuyak memotong pohon itu dengan ukuran panjang, tujuh depa, tujuh hasta, tujuh jengkal dan tujuh jari. Pada pohon yang berukuran tujuh hasta, Simbuyak-mbuyak membelahnya menjadi dua. Kemudian ia masuk kedalamnya dan pohon itu pun trtutup kembali. Kini Simbuyak-mbuyak berada di dalam kayu itu. Dua hari kemudian, Tinambunen dan Tumangger sampai juga ke dalam gubuk itu. Namun alangkah kagetnya mereka berdua, karena mereka tak melihat abangnya di dadalam gubuk. Yang mereka lihat hanyatali-tali yang direntangkan darinpohom yang satu ke pohon yang lain. Mereka juga terkejut, ketika dari pohon-pohon yang direntangi tali keluar kapur barus yang sangat banyak. “ Abang Smbuyak-mbuyak! Dimana kau? Mari kita pulang. Pesta sudah tiba!” teriak Tumangger parau. “ Nampaknya sesuatu telah terjadi pada abang kita. Mari kita cari dia dik,” sela Tinambunen. Mereka berdua lalu mengitari sekitar gubuk. “ Abamg Simbuyak-mbuyak! Mari kita pulang! “ “ Pestadurian sudah tiba. Bapakdan Ibu kita sudah merindukanmu, bang! “ Tumangger dam Tinambunen terus saja ke luar masuk hutan sambil berteriak-teriak sampai kehabisan suara memanggil abangnya. Hingga pada suatu tempat mereka berdua menemukan abangnya telah berbaring dengan tenang dalam belahan kayu. “Apa yang terjadi, bang? Mengapa abang sampai menyatu dengan kayu. Mari kita pulang, pesta durian telah dimulai.” “ Adik-adikku berdua yang baik hati. Ini semua doa-doa permohonanku kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Aku tak mungkin kembali ke Urang Julu lagi. Perlu kalian ketahui, kapur barus yang selama ini aku makan. Aku telah menggantinya. Tandanya ada pada pohon-pohon yang direntangkan tali-tali ijuk yang selama ini aku pintal dalam gubuk. “Jadi?” “ Ya, kalian tak usah menyesal. Ini semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Keadaan sudah terlanjur begini , dan terimalah apa adanya. “ Mendengar kata-kata Simbuyak-mbuyak, kedua adiknya menangis sesenggukan. Mereka lalu berangkulan. “ Sudahlah kalian jangan menangis. Sebelum aku berangkat jauh, aku akan menyampaikan beberapa pesan buat kalian. Aku sangat mengharapkan pesan-pesan ini kalian sampaikan kepada semua saudara-saudara kita,” kata Simbuyak-mbuyak diesla-sela isakan keduaadikj kandungnya itu. “ Baiklah kalau memang semua ini sudah menjadi kehendak-Nya, kami berdua busa menerima. Walaupun di hati kami sangat menyesal. Mengapa semua ini harus terjadi. Silahkan abang mau pesan apa, kami akan menyampaikannya ke Urang Julu.” Dari dalam belahan kayu itu, lalu Simbuyak-mbuyak menyampaikan pesannya. Kali ini suaranya lebih nyaring dan terdengar sangat jelas. “ Pesanku yang pertama adalah, sampaikan salam dan permohonan maafku kepada semua saudara-saudar kandungku. Karena sebagai anak sulung yang seharusnya mengasuh adik-adiknya, tapi karena cacat, aku hanya merepotkan kalian semua. Sampaikan juga maafku kepada kedua orangtua kita. Lalu kepada kalian berdua yang telah susah-payah menjemputku ke Sijagar, aku telah memohon kepada Tuhan,agar kelak kalian mendapat keturunan yang baik hati,berbudi luhur,serta pandai dan bijaksana.” “ Terima kasih, semua pesan abang akan kami sampaikan kepada saudara-saudara kita yang lain dan kepada kedua orangtuan kita.” “ Tidak hanya itu saja adik-adikku yang baik hati. “ Simbuyak-mbuyak lalu melanjutkan pesan-pesannya lagi. Tumangger dan Tinanbunen menyimak dengan baik. “ Jika kelak kalian melihat burung pamal di tepi laut dalam jumlah yang banyak, kalian, kalian jangan heran, itulah sekedar kirimanku buat kalian semua. Burung itu sangat jinak, ya sekedar pengganti sekapur sirih buat kalian semua.” “ Sedang pesanku yang terakhir pada kalian adalah, jika kelak ada angin ribut disertai hujan deras, itu biasanya ada burung enggal-enggal berterbangan di angkasa. Perhatikanlah ekor burung enggal-enggal tersebut. Kalau ekornya diayun-ayunkan ke arah bawah, itu tandanya telah tiba musim manunggal atau musim menanam padi. Para kaum tani mulailah turun kesawah,mengerjakan sawahnya. Tetapi apabila ekor burung enggal-enggal itu digerak-gerakkan ke rah samping, itu pertanda telah berakhirnya musim tanam. Jangan kalian abaikan pesan-pesanku ini, karena apabila tanda-tanda itu dilanggar tanaman kalian tak akan tumbuh dengan baik dan subur. “ Setelah mengucapkan pesan-pesannya, Simbuyak-mbuyak lau minta pamit kepada kedua adiknya. “ Adik-adikku yang baik, itulah wasiat yang perlu kalian sampaikan untuk saudara-saudara kita yang lain. Sekali lagi aku minta maaf, sampaikan salamku buat handai taulan di Urang Julu, aku harus pergi. Selamat tinggal.” Begitu suara dari dalam belahan kayu itu terhenti, maka meluncurlah potongan kayu itu dengan kencangnya. Alam sekitarnya turut memberi penghormatan terkhir buat Simbuyak-mbuyak. Seketika turun hujan dengan derasnya,disertai badai. Di angkasa petir menyambar-nyambar memekakan telinga. “Tolong jangan lupakan aku...” Medan, komunitas home poetry, 03-13 M. Raudah Jambak A I S Y A H Tak ada tepung tawar. Tidak ada suasana pesta. Tidak ada tamu maupun para undangan. Hanya suasana haru yang hadir, mengalir. Bunyi tik-tak tik-tak jarum jam berbaur dengan isak bahagia di ruang tamu. Di atas tilam yang terbungkus sprei dan hiasan bunga sederhana, anak beranak berpelukan, bergantian. “Ibu, jangan lupa terus mendoakan kami disana nanti....” Fatimah, anak tertua, memeluk wanita setengah baya itu dengan penuh cinta. “Ibu, jaga kesehatan, hati-hati di tanah suci....” Maryam, anak kedua, tidak lepas menciumi wanita setengah baya itu sarat kasih sayang. “Ibu....” Aisyah tak mampu berkata-kata. Ia hanya memeluk ibunya, melirik kedua kakaknya dengan kelopak mata yang berkaca-kaca. Butiran air mata mengalir deras. Tanpa aba-aba, seketika Fatimah dan Maryam, bersama Aisyah memeluk ibu mereka. Ibu yang telah membesarkan mereka dengan segenap jiwa dan raga. Ibu yang telah memutuskan cita-cita mereka. Tanpa ayah di sisi mereka. Tanpa ayah yang mencari nafkah. Sebab ayah yang telah tiada, ketika masa kecil yang ceria. *** “Ibu, sudahlah. Biarlah kami yang sekarang mencari.” Fatimah, duduk di samping pembaringan, memijit pelan lengan ibunya. “Ibu kan sudah tidak muda lagi, ditambah lagi sering sakit-sakitan.” Wanita setengah baya itu hanya diam. Dia mempehatikan Fatimah dengan keteduhan mata yang begitu sejuk. Betapa dia begitu bangga, melihat anak tertuanya itu akhirnya menjadi kepala sekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri di daerah ini. Begitu berat perjuangannya. Sejak ditinggal suaminya, ia hanya mampu berjuang dengan berjualan pecal. Sesekali berada di lokasi gedung yang akan dibangun sebagai kuli. Apapun dilakukannya, demi membesrkan dan mendorong keberhasilan anak-anaknya. Rasa bangga juga ia rasakan, melihat keberhasilan Maryam yang kini telah masuk anggota legislatif di daerah ini. Wajah Maryam terpampang dimana-mana. Mulai dari media massa sampai media elektronik. Mungkin darah ayahnya yang mengalir. Ayahnya pernah terlibat sebagai aktivis mahasiswa, yang akhirnya di drop out. Pekerjaan bengkel-lah yang akhirnya membuatnya bertahan dan memiliki keluarga yang cukup sederhana. Tapi sayang usianya tidak panjang. Disaat usia Maryam tiga tahun dan si bungsu Aisyah satu setengah tahun, dia pun dipanggil Yang Maha Kuasa. Hanya saja wanita setengah baya itu, hampir lemas. Lemas terhadap Aisyah. Aisyah yang manja dan kekanak-kanakan. Padahal beberapa saat lagi Aisyah bakal menjadi Sarjana Ekonomi. Tetapi kegiatannya di atas catwalk, model sampul, maupun model iklan, lebih ditekuninya. Wanita setengah baya itu takut Aisyah terjerumus. Apalagi ia pernah melihat Aisyah beraksi di atas catwalk dengan pakaian yang sangat minim di depan umum. Hal itu yang menjadi pikirannya selama ini. Setiap ia mencoba memberi nasihat, Aisyah seperti kurang memberi respon positif. Dengan sikap kekanak-kanakannya dia selalu membuat hati wanita setengah baya itu terenyuh. Hari ini sudah sebulan Aisyah tidak pulang-pulang. Jadwal pengambilan gambar, iklan, show cukup padat. Wanita setengah baya itu selalu memikirkannya. Memang, Aisyah selalu membei kabar tapi hal itu tidaklah membuatnya puas, jika tidak langsung bertatap muka. Khawatir dengan kesehatannya, keselamatannya juga khawatir kuliahnya akan berantakan. “Sudahlah, Bu. Tidak usah menjual pecal lagi.” Fatimah mengelus rambut ibunya. “Penghasilan kami masih cukup untuk kebutuhan kita sehari-hari.” Wanita setengah baya itu pelan-pelan mengatur duduknya. Dia menciumi kening Fatimah. “Bukan itu masalahnya” “Lantas apa Bu? Masalah biaya keberangkatan ibu menunaikan umroh sudah beres. Semua sudah diurus kan?” “Bukan.” Wanita setengah baya itu menarik nafas. “Untuk urusan jualan pecal, ibu akan terus berjualan. Sebab, ibu tidak ingin begitu saja melupakan sejarah.” “Maksud ibu?” “Dari situlah ibu diajarkan oleh Ayahmu bagaimana mulianya sebuah perjuangan. Dan ternyata Ayahmu benar, dengan perjuangan itu kalian anak-anak ibu berhasil meraih apa yang kalian cita-citakan.” “Tapi, Bu?” “Ibu mengerti. Kalian sudah berhasil dan kalian merasa mampu dan cukup membiayai semua keperluan ibu. Terima kasih. Tapi jangan lupa, ibu tidak ingin begitu saja melupakan semua perjuangan setelah semuanya berhasil dengan kemenangan gemilang. Ibu masih ingin terus berjuang. Bejuang untuk tidak menjadi beban. Berjuang untuk tidak terlena sehingga akhirnya ibu menjadi malas.” “Semuanya kan memang keinginan kami, Bu.” Fatimah menarika nafas panjang. “Lagi pula apa kata orang-orang melihat ibu masih jualan pecel, padahal anak-anaknya sudah menjadi orang. Kami pasti dianggap tidak perduli. Kami pasti dianggap menyia-nyiakan ibu?” “Nah, itulah perjuangan. Dan orang-orang yang mempunyai nuranilah yang mengerti makna sebuah perjuangan.Perjuangan kita sekarang adalah adalah bagaimana kita mampu memaknai hidup. Ibu ingin hidup ibu penuh makna. Itu saja.” Keduanya terdiam. Fatimah merasa takjub. Dia bangga dengan ibunya. Ibunya adalah pahlawan yang sebenarnya. “Kamu tentunya masih ingat dengan Kartini, bukan?” Fatimah mengangguk. Dia mulai memahami arah pembicaraan ibunya. “Sampai sekarang Kartini masih dikenang jasa-jasanya. Kamu tahu mengapa Kartini terus dikenang?” Fatimah menggeleng. Kali ini dia ingin bertindak sebagai pendengar saja. “Hidupnya bermakna. Bermakna tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain. Terutama kaum wanita. Ibu, kamu dan adik-adikmu termasuk orang yang merasakannya sampai sekarang. Dan mungkin itu sebabnya mengapa orang tua ibu memberi nama Kartini kepada ibu. Mereka ingin ibu memiliki, merasakan dan meneruskan perjuangan itu. Sesuai dengan cara ibu dan perkembangan zaman.” “Fatimah mengerti.” Fatimah mengecup pipi ibunya dengan rasa bangga dan penuh kasih sayang. “Lantas mengapa ibu masih saja selalu murung?” “Ibu sadar ternyata bagaimanapun Kartini adalah wanita juga seperti ibu dan kanu.” “Lalu?” “Banyak norma yang harus dijaga yang kadang melawan hati nurani.” “Fatimah rasa ibu tidak harus terlalu memikirkan persoalan itu.” “Kamu salah. Harus dipikirkan. Coba bayangkan berapa sudah usia kamu dan Maryam. Apa hal itu tidak pernah kamu pikirkan? Apakah kamu tidak ingin bersuami. Ingat, usia akan selalu bertambah.” “Oh, itu. Sudahlah kalau hal itu sudah sangat kami pikirkan dan kami ingin memberi kejutan.” “Baiklah, lantas bagaimana dengan adikmu Aisyah?” “Ada apa dengan Aisyah, Bu. Bukankah ia sedang ada kegiatan yang harus diselesaikan?” “Nah, inilah masalahnya. Norma. Aisyah itu masih kuliah. Aisyah itu wanita seperti ibu, juga kamu. Apakah tidak terpikirkan olehmu?” “Oh, ibu. Tadi ibu sudah mengatakan ibu bangga dengan perjuangan ibu sebagai wanita. Ibu ingin hidup penuh makna, tapi....” “Tapi? Tapi apa?” “Tapi ibu ragu dan khawatir dengan Aisyah?” Fatimah berdiri mengambil segelas air dan memberikannya kepada ibunya. “Aisyah juga ingin berjuang Bu? Dia juga ingin hidupnya punya makna. Dan kami mendapatkan hal itu semua juga dari ibu. Yang membedakan hanya masalah waktu saja, kapan dan bila semua hal itu bisa terwujud.” “Tapi Aisyah beda!?” “Beda? Beda bagaimana maksud ibu?” “Aisyah itu adik kalian yang paling bungsu. Rasa tanggung jawabnya berbeda dengan kalian. Kalian sempat bersama-sama ikut berjuang menentang arus kehidupan yang mengalir deras menghantam keluarga kita. Terutama sejak ayah kalian tiada.” Wanita setengah baya itu meminum seteguk air putih dari Fatimah. “Tapi Aisyah, dia lebih cenderung menikmati hasilnya. Belum pernah merasakan bagaimana ‘nikmatnya’ berjuang mencapai hasil itu. Seperti memakan jeruk. Orang yang berjuang merasakan kenikmatan itu pada saat mendengar bunyi jeruk yang dipetik. Singkatnya, pada saat memetik itulah kenikmatan perjuangan, bukan pada saat memakannya. Nah, Aisyah hanya merasakan kenikmatan memakan saja.” “Bagaimanapun sekarang Aisyah sudah merasakan itu sebagai model, Bu?” “Itulah yang ibu khawatirkan.” Wanita setengah baya itu menarik nafas. “Coba bayangkan dengan menunjukkan dan mempertontonkan keseksian tubuh, membuktikan perjuangan semudah membalikkan telapak tangan. Ibu khawair Aisyah terjerumus ke lembah nista.” “Ibu percaya dengan kami kan?” Wanita setengah baya itu diam. “Ibu percaya kan kalau kami sudah dewasa dan mampu bertanggung jawab untuk keluarga dan diri sendiri? Percaya kalau kami juga mampu berjuang dengan cara kami sendiri dengan tetap menjaga norma-norma dan harkat kami sebagai wanita, tanpa melupakan didikan yang pernah ibu berikan selama ini?” Wanita setengah baya itu terpaku. Wajah murungnya semakin mendung. Butiran air mata perlahan jatuh satu-satu. Ia mengangguk. *** “Bu, bangun. Sudah waktunya sholat subuh.” Wanita setengah baya itu tersentak. Di hadapannya telah berdiri Aisyah, dia mengenakan jilbab merah jambu. Wanita setengah baya itu hanya menurut. Kelopak matanya berkaca-kaca. Ada rasa bahagia yang terpancar dari wajahnya. Aisyah menyadari itu. Menyadari betapa kerinduan ibunya telah menggumpal-gumpal. Aisyah juga menyadari betapa susahnya ia menyampaikan pengakuan. Menyampaikan tentang keterlambatannya pulang ke rumah. Menyampaikan segala keluh kesahnya sebelum ibunya berangkat menunaikan umroh nanti. Mereka lebih banyak terdiam. Aisyah dengan lembut hanya membimbing ibunya dengan penuh kasih sayang. Ia menunggu ibunya sampai selesai melaksanakan sholat subuh. Lalu memeluk dan mencium ibunya begitu selesai sholat. Mereka masih juga terdiam ketika Aisyah dan kedua kakanya duduk mengelilingi ibu mereka. Fatimah memberi isyarat kepada Aisyah. Aisyah tertunduk, lalu melirik ke arah Maryam. Maryam juga memberi isyarat yang sama. Aisyah masih tetap tertunduk. Wanita setengah baya itu melihat gelagat ketiga anaknya, tapi ia hanya menunggu. Di dalam hatinya, ia teramat bersyukur kepada Allah yang telah memberi karunia yang begitu besar dirasakannya. Melihat anak-anaknya yang cantik-cantik sukses dan masih tetap pada jalur yang tidak menyalahi norma. “Bu....” Maryam membuka pembicaraan. “Sebenarnya kami berat untuk menyampaikan, tapi....?” Maryam melirik Aisyah yang masih tertunduk. Menatap sekilas ke arah Fatimah, lalu memandang penuh kasih sayang kepada ibunya. “Semua adalah kehendak Allah. Manusia berencana, Tuhan menentukan.” Maryam menarik nafas. “Bukannya kami tidak ingin. Bukannya kami tidak mau membahagiakan ibu, tapi....” Maryam masih terdiam. Dia memperhatikan reaksi ibunya yang terkesan biasa-biasa saja. “Sebelum keberangkatan ibu besok untuk umroh.” Maryam mulai memberanikan diri. “Kami ingin membuat pengakuan hari ini juga.” Maryam terdiam. Suasana hening. Semua terlihat tegang. Tapi wanita tua itu mencoba mengendalikan diri dengan tetap tenang. “Aisyah sudah menikah!” Suasana tegang itu semakin tegang. Aisyah seketika sesenggukkan. Fatimah dan Maryam mencoba menjaga sikap. Wanita setengah baya itu masih tetap tidak berkata apa-apa. Dari sudut matanya butir-butir air matanya mengalir. Jatuh satu-satu menggenang di pipi. Aisyah semakin histeris, dia menciumi kaki ibunya. “Maafkan Ai, Bu.....ampun......!” Hanya itu kalimat yang terlontar, selebihnya isak tangis Aisyah yang dominan. Wanita setengah baya itu pelan-pelan berdiri. Lalu berjalan ke arah bufet. Mengambil sebuah foto yang berdiri gagah di atasnya. Segagah sosok yang ada di dalam bingkai foto sepuluh inch itu. Membawanya menuju ke arah jendela. Menatapnya dalam. Memeluknya. Memandang ke arah langit biru. Sejauh mata memandang, sejauh itu pula hati dan perasaannya terbang. Ada perasaan ingin bertemu berkeluh kesah. Tik-tak tik-tak jarum jam seketika berubah menjadi pesawat hati yang bergemuruh. Terbang menembus awan. Airmatanya mengalir sederas air terjun sigura-gura. Bibirnya bergetar mengeluarkan suara. “Bagaimanapun kita ternyata tetaplah wanita.” Ujarnya terbata-bata. *** Tak ada tepung tawar. Tidak ada suasana pesta. Tidak ada tamu maupun para undangan. Hanya suasana haru yang hadir, mengalir. Bunyi tik-tak tik-tak jarum jam berbaur dengan isak bahagia di ruang tamu. Di atas tilam yang terbungkus sprei dan hiasan bunga sederhana, anak beranak berpelukan, bergantian. Aisyah tak mampu berkata-kata. Ia hanya memeluk ibunya, melirik kedua kakaknya dengan kelopak mata yang berkaca-kaca. Butiran airmatanya mengalir deras. Sebulan tidak berkumpul bersama. Aisyah telah dilamar seorang pengusaha muda yang berjanji akan terus membiayai kuliahnya dan menyetujui semua aktifitasnya. Mereka menikah di catatan sipil, di kota Jakarta. Pengusaha muda ini salah satu sponsor yang menyewa jasanya. Tanpa aba-aba, seketika Fatimah dan Maryam bersama Aisyah memeluk ibu mereka. Dari mulut wanita setengah baya itu hanya terlontar bergetar. “Bagaimanapun ternyata kita tetaplah wanita.” Medan, KOMUNITAS HOME POETRY, 05-13 M. Raudah Jambak Mbirokateya Mbirokateya memegangi perutnya. Peluh mengucur deras dari dahi dan sekujur tubuhnya. Ia masih teringat pesan Ma. Perasaan menyesal seperti tiada guna, pikirnya. Ketika itu Ma hendak mengajaknya ke bevak ditengah hutan. Sebenarnya Ma harus sendiri, sebab itu memang sudah ketentuan adat. Tetapi, Ma sengaja mengajaknya diam-diam agar ia cepat mengerti tentang keberadaan perempuan di kampungnya. Angin berhembus pelan. Ranting-ranting pepohonan saling bergesekan. Awan tipis menutupi matahari yang perlahan merangkak. Bias cahaya di langit membentuk sebuah pantulan berjuta kilau permata sejauh mata memandang. Waktu fajar mulai menyingsingkan auranya menyinari seluruh kebekuan alam se mesta. Mbirokateya ingat dengan apa yang dilakukan Ma, sebelum mengajaknya menuju bevak , memulai rutinitas sebagai perempuan, sebagai ibu. Setiap kali bangun pagi selalu saja ada makanan didapur. Makanan yang dibungkus rapi dilipat daun pisang yang dipetik Ma setiap sore dikebun belakang atau menikmati ulat manggia atau koo, yang sudah dipanen dari sisa tebangan pohon sagu yang telah dipangkur sekitar dua minggu sebelumnya. Koo itu dimasukkan dalam bekal sagu yang telah dibulatkan seperti bola lalu dibakar. Tubuh koo akan melumer. Rasanya sangat gurih dan legit! Bagian kepala koo yang renyah berasa popcorn. Kebun itu adalah tempat Ma selalu menumpahkan hari-harinya, sambil merasakan segarnya batang tebu atau buluh bambu dan melesapi gula-gula. Ma senang bercocok tanam. Ma senang melakukan tugas itu sebagai perempuan yang merdeka. Menanam benih dan menunggu hasilnya, sampai waktu panen tiba. Makanan tersebut dibagi menjadi dua. Satu buat bekal dan yang lainnya sekedar sarapan seadanya antara Mbirokateya dan Ma. Sehabis makan kami segera berangkat diam-diam, menyisir perjalanan sepanjang hutan. Hutan inilah rumah sebenarnya bagi mereka. Berdinding belantara. Tempat kelahiran dan kematian. Hitungan ratusan tahun mereka diami tempat ini. Menghirup segala. Hidup kan segala. Menyatu dengan segala. Bermain dengan angin, dengan akar pepohonan, dengan semak belukar. Anak-anak, kaum perempuan, dan para lelaki telah terbiasa melukis kelam. Berpeluk pengab raya. Lingkaran api biasa mereka sulam pada malam. Memetik kerdipan bintang. Menjaring bulan. Mengunyah pituah para tetua. Menebalkan tambalan sejarah pada jiwa-jiwa. Dan sesekali menyemai tawa. Sesekali menuai duka ketika memamah sihir kata bak pujangga. Pada akhir sulaman cerita, gederap sukacita menuntun mimpi-mimpi menyam but pagi. Gubug-gubug mereka adalah pepohonan yang bernyanyi. Seolah laut yang berpantai damai. Seperti dermaga sebagai tempat penumpah lelah sehabis memerah tubuh-tubuh basah. O, betapa hidup dari waktu-ke waktu selalu mengelus berkah. Kegelapan inilah selimut hangat yang gemerlap. Mata hati adalah sebilah pisau tajam yang selalu terasah. Kelam bukanlah jaring-jaring perangkap yang membekap, tapi ia tapak-tapak kaki yang selalu mengatur jarak. Menancapkan jejak. Mereka tahu arah me langkah kemana hendak berpijak. Pulang dan pergi tak selalu bergantung pada matahari. Tak pula menunggu tuntunan bulan. Bukan menafikkan ciptaan Tuhan. Tapi, justru dengan gelap dan kelam anugerah itu didapatkan. Berjalan dan berlari adalah seringan hembusan angin menembus belukar dan semak berduri. Segala telah tersedia dalam rentang waktu yang tak dapat dihitung dengan rumusan angka-angka. Segala telah terjaga dengan aturan adat yang paling beradab. Amboi, masa-masa gemilang itu perlahan di gebuk gelombang. Menusukkan amuk, remuk. Mbirokateya diam. Ia merasa tidak punya cerita menarik pengganti kekakuan perjalanan. Berbeda dengan Ma, Ma sosok perempuan yang gigih, pantang menyerah dan penyabar. Walau terkadang agak sedikit egois dan keras juga. Itu perlu dimaklumi jika dikaitkan dengan masa Ma di waktu muda. Aktif menyerukan kemanusiaan. Antara kecintaan orang tua, kampung dan kebebasan perempuan menjadi titik utama perjuang annya, bersama teman-teman seangkatan mereka yang berasal dari luar kampung bahkan ada berasal dari luar pulau, dan luar negara. “Engkau tahu? Bunga bakung berwarna merah, bentuknya indah? Begitulah perempuan. Parasnya bak kembang. Merahnya laksana hati. Dan kau tahu? Bunga keris papua? Itulah kita yang sebenarnya,” ujar Ma. Dia hanya diam. Pikirannya hanya diselimuti cemas. Cemas melihat kondisi Ma. “Kau tahu, Sali yang masih menjaga kehormatan keperempuanan kita, menghadang segala kejahatan yang berasal dari balik koteka kaum lelaki, di antara bidang telanjang dada mereka. Ketelanjangan kita, ketelanjangan yang terhormat. Ruas tulang yang meninggalkan bentuk dari kulit yang tipis dan hitam, bergerigi, di dada perempuan kampung kita yang membusung. Kehitaman anak-anak di kampung kita adalah kehitaman yang bersahaja. Mulai dari kaki sampai wajah. Rambut gimbal bergulung adalah gelombang yang tertahan dan siap dilontarkan. Perut anak-anak kampung kita yang menyimpan dan menjaga kesejarahan, membusung. Tulang punggung yang menonjol, pertanda kekuatan yang mengagumkan. Mereka tidak mengenal bangku sekolah, tetapi tanah, lumpur, bukit, dan hutan. Kita berhasil menjaga kehormatan keperempuanan kita dari bengisnya hutan. Biarlah nira kelapa, alkohol, dan tembakau kecintaan bagi laki-laki, menghempang dari kebiasaan mereka berperang, mengayau, ini sesuatu yang patut disyukuri. Dan memang sejak itu ayahmu tak bisa menunjukan kepiawaiannya memanah jantung musuh, atau menebas leher dan menggantung kepalanya di tangan, tidak lagi, Mbirokateya! Kita harus terus menjaga kehormatan perempuan di kampung kita!?” Mbirokateya masih membisu.”Perempuan adalah beyor atau burung nuri dan ir atau kakatua putih. Ini tergambar pada ukiran motif paruh burung sebagai hiasan kepala. Para suami tidak tahu, kalau nenek moyang kita tidak sekedar menempatkan simbol untuk perempuan itu diatas kepala. Ia harus dihormati dan dijunjung tinggi, Mbirokateya! Tapi nyatanya? Perempuan kita tertindas, terisolasi dari emansipasi atas kesetaraan gender, terkekang adat masa lalu. Ketika para lelaki kehilangan pekerjaan untuk berperang dan mengayau lalu merampas hak tanah atas hutan sagu dan babi, para lelaki tidak lagi punya pekerjaan kecuali hanya mengukir patung saja. Dan perempuan masih punya peran domestik yang bukan menjadi tanggung jawab suami, dan wajah para ibu selalu tampak lebih tua dari bapak. Kita mesti merevolusi sistem budaya yang ada dengan sistem baru yang lebih bisa menempatkan perempuan sewajarnya, Mbirokateya! Harus!” Mbirokateya terkesiap. Terkejut. Perasaan bersalah itu selalu menghantui. Kata-kata Ma, yang sempat ikut orang luar, dalam kegiatan LSM, seperti membekas, berkarat. Apa yang sekarang ini dialaminya cukup tidak adil. Ia setuju dengan apa yang dikatakan Ma. Ma selalu memikirkan segalanya. Memikirkan keperluan rumah tangga, terutama untuk anak-anaknya. Dan Mbirokateya merasa seperti diperlakukan istimewa. Ma pun tidak malu mencari upahan sampai jauh ke kota. Bekerja apa saja. Dari upah sedemikian rupa ia tidak lupa untuk menyisihkan sebagian uangnya, di tempat yang paling rahasia, sebuah potongan bambu berlubang di tiang penyangga Honai. * * * Senja bersama sinarnya yang kemerah-merahan menyapa di bilik teras dan rumah ke labu. Ma duduk lagi dekat daun pintu sedang Mbirokateya bermain-main sebisa mungkin apa yang membuat hati riang. "Mbirokateya ke sini sebentar!” Ma berseru,” Jangan sering bermain, kapan kamu akan belajarnya? Lekas ambil buku yang diajari gurumu di sekolah lalu duduklah di sampingku!” Dengan rasa kesal Mbirokateya segera mengambil buku di dalam tas dan berpura-pura membacanya sambil sedikit berkomat-kamit namun hatinya tak dapat dibohongi bahwa seusianya selalu saja ingin bermain-main. "Belajarlah yang rajin agar kelak kamu jadi orang pintar tidak seperti perempuan-perempuan di kampung kita,” Ma menambahkan. Suaranya terlintas manja bertanya pada Mbirokateya. ”Jika sudah besar nanti apakah gerangan yang kamu cita-citakan?” ”Guru!” ”Kenapa?” Sambil mengerutkan jidatnya yang memang sudah keriput. ”Kan enak, bisa membagi ilmu buat siapa saja. Bapak mungkin akan senang.” ”Bapakmu tidak akan kembali lagi karena dia telah memelihara burung merpati di sangkar lain?” Hanya itu yang keluar dari mulut Ma. Mbirokateya tak pernah tahu. Ia benar-benar tidak mengerti bapak di manakah rimbanya. Sehabis bicara seperti itu, kian mulai terasa. Dengan sigap Ma langsung menyergap Mbirokateya membekapnya dalam dekapan, memeluk erat diketiaknya. Tanpa sengaja tiba-tiba airmatanya meleleh jatuh di halaman buku yang masih terpegang. Entah apa yang telah terucapkan tadi sehingga membuat Ma menangis terseok-seok dan membawa nya larut dengan suasana yang semakin membingungkan. Suasana Itu berlangsung agak lama sampai tak tahu waktu mulai mengguratkan kelam perlahan. Alunan suara alam bersenandung di gendang telinga menyadarkan ingatan. Senja sengaja ditutupi halimun yang beraroma dingin mencolek tubuh yang gagap bersama waktu. Secuil harapan dikemudian hari merengkuh bagai sembilu untuk mempertaruhkan hidup dimasa tua bertarung sendiri demi hidup yang semakin terhimpit. Tentunya dalam nadinya tersebar memuat getaran-getaram yang keluar dari batinnya ialah untuk anak dan keutuhan keluarga. Selama itukah Ma dan Mbirokateya harus berkisah. Tentang hidup yang harus selalu di perjuangkan tanpa beban bukan semata-mata dijalankan. "Bukan lantaran nasib, tidak lebih. Kesabaran dalam memilih dan keteguhan sebagai manusia yang tabah adalah tameng yang kuat. Mungkinkah hanya hidup begini atau karena ditinggalkan seseorang kita harus menyerah. Alangkah naif manusianya.” Begitulah Ma menggunakan sisa-sisa hidupnya yang sering ditunggui waktu. Kini aku berada sendiri di sini meniti ke-dewasa-an berbaur bersama suaranya dengan bayang nya pula. *** ”Mbirokateya, Anakku! Kita harus memanusiakan manusia? Tidak hanya Ma seorang yang seharusnya merambah hutan, mendayung perahu, memangur sagu, menjaring ikan, dan bila ada sisanya, dijual dipasar, uangnya hanya sekedar untuk membeli rokok untuk suami, minyak tanah untuk lampu petromak. Tidak! Ma tidak memilih berdiam diri, dengan tidak melakukan pekerjaan itu, karena bapak siap saja dengan tombak, panah, atau apa saja yang bisa menakuti mata Ma. Ma hanya bisa menangis pada akhirnya, sedang kau hanya bisa meringkuk, tangis pecah dari bibir adik-adikmu, melihat bapak pernah menghantamkan benda tumpul kekepala Ma. Kau tahu Ma meraung, lalu mendarat lagi kaki bapak pada perut Ma yang sedang membuncit. Ma sedang hamil, Ma tidak bisa mengangkat kaki untuk sekedar meminum air mentah di dapur, Ma pingsan, dan darah mengalir dari liang, orok keluar dari rahim Ma, dan terlihat tali placenta melingkar. Tetapi bapakmu malah menjerit ketakutan, lalu minggat dari Honai, bukan karena Ma pingsan dan keguguran, melainkan setetes darah yang keluar merupakan pantangan, katanya bisa menimbulkan penyakit, kematian apalagi membasahi lantai Honai. Dan perempuan selalu melahirkan anaknya didalam bevak ditengah hutan, sendiri. Menu-rutmu! Hal ini yang menjadikan perempuan kita tidak seperti manusia, Mbirokateya! Ma tidak bermain lumpur, tidak berenang disungai, tidak menikmati hujan, kadang memban tu nenekmu memangur sagu. Ma selalu ingin sekolah pada sekolah yang sudah lapuk itu. Ma sekolah hanya untuk merubah nasib; Nasib Ma, kau, adik-adikmu dan kaum perempuan. Ternyata, perjuangan Ma tetap sampai pada nasib Ma sendiri, tidak pada nasib orang lain, tidak nenekmu, kau, adik-adikmu, dan perempuan kita karena mereka punya nasib sendiri. Ma tidak kuasa mencampuri urusan para istri, sesaat perlakuan suami mereka tak kalah sama dengan ba pak dan kakekmu. Mereka tidak melahirkan di puskemas, tetapi ditengah hutan. Ma tak dapat menolak atau pura-pura tidak tahu tetapi Ma dan juga mereka tak dapat mencegahnya?” Mbirokateya menggamit tangannya, tidak lapuk, tua atau kasar seperti tangan Ma ketika seumurnya. Malahan masa mudanya, disaat alat reproduksi perempuan telah ranum, dan vagina yang harum itu tidak dibaluti oleh sali atau yokal untuk wanita bersuami. Ia tidak mengikuti pesta dansa tiap hari minggu, mencari pasangan, calon suami, dan sekenanya membakarkan sagu untuknya di Honai seperti apa yang dilakukan masa muda perempuan di kampungnya. Ia belajar, ia sekolah. Ia merasa sedikit berun tung dari Ma. Ma selalu mengajak Mbirokateya kemana-mana kecuali ke kota. Jarang sekali Ia diajak Ma untuk ikut ke kota, paling cuma di hari Minggu itu pun hanya beberapa kali. Ma suka melihat Mbirokateya sekolah. Suka mengantarkannya ke sekolah, walau jaraknya luar biasa jauhnya Ma harus melewati perbukitan dan jalanan setapak untuk mengantarkannya ke sekolah dulu dengan menggunakan sepeda butut. Jarak rumah dan sekolahku cukup jauh tapi Ma tidak pernah mengeluh dengan hal sepele seperti itu. Jalanan menurun dan mendaki maupun zig-zag tidak membuatnya lupa. Ma sudah hafal betul letak lokasi sekolahan Mbirokateya yang dipasung kayu berpalang yang menjulang tinggi mencakar langit sebab dari kejauhan sudah tampak di mana tanda-tandanya. Setelah cukup dekat di depan sekolah, ia melepaskan dengan isyarat dan ciuman. "Ingat! Dengarkan semua ajaran guru dan ikuti keterangannya serta jalankan perintah guru agar kelak kamu menjadi orang berguna bagi keluarga dan bangsamu. Sepulang sekolah kamu tunggu di sini, sambil menunjuk ke pohon kapas tempat berhenti. Begitu lah miripnya suaranya sebelum meluncur cepat dan hilang sebab dihalang-halangi kabut untuk selanjutnya pergi. Siang terasa berlalu begitu saja. Apa yang diperoleh selama belajar tadi belum semua nya masuk ke otaknya. Banyak yang terbersit di telinga. Bersamaan dengan bel sekolah terdengar riang diiringi teriakan teman-teman menyambutnya gembira. Jam menunjukkan angka satu. Mbirokateya keluar dari ruang kelas dengan langkah gontai menuju pohon kapas seperti janji sebelumnya. Tidak terlalu lama harus menunggu menunggu sesosok tubuh yang kekar mengiringi derap ayunan yang berlipat-lipat dari kaki yang mulai cadas. Mbirokateya mendekat naik diboncengannya! Selama perjalanan mata Mbirokateya tertuju pada sekujur badan Ma dan tertegun meratapnya. Sekecil itu, Mbirokateya semakin merasa iba dengan keadaannya yang terus menerus seperti ini mengarungi bahtera kehidupan dengan segala peluh, jerih payah yang ada. Tidak tampak sedikitpun rasa gusar yang melingkar di tubuh Ma. Begitu lamunan itu sudah terbuai Mbirokateya tak mampu berbisik walau di dalam hati. Terdengar agak kabur bahwa Ma memblokir lamunan Mbirokateya. ”Mbirokateya! Engkau salah. Perjuangan tidak sampai disini. Kita melakukan gerak perubahan perlahan secara menyeluruh, dengan membangun yayasan pengembangan masyarakat terutama perempuan, menghidupkan puskesmas, mengadakan penyuluhan, memperkenalkan KB. Ma kira, beberapa tahun akan terjadi pergeseran sistem budaya?” Ma menarik Mbirokateya duduk di dekatnya. ”Mbirokateya, Anakku. Ma kira, Ma lelah. Ma, kakak tertua dengan banyak adik lelaki dan adik perempuan. Jarak kelahiran kami rapat sekali, hanya terpaut 1 tahun saja. Karena nenekmu tidak tahu KB. Enam orang adik Ma telah meninggal karena penyakit ispa dan malaria. Karena asap tembakau dari bibir orang tua di honai, juga asap perapian yang mengepul di langit-langit, tembus hanya sedikit saja dari atap rumbia, tidak lewat jendela karena Honai tak punya jendela, tidak lewat dinding gaba-gaba, tetapi sebagian lagi masuk lewat napas, dan simpan dalam paru-paru. Adik Ma terkena radang. Sementara adik Ma yang perempuan terus bermain di lumpur, kadang membantu memangur sagu. Mereka masih kecil-kecil saat itu, sehingga tak terlalu peduli untuk mencari makan. Hanya Ma yang tidak kerasan melihat nenekmu mesti memanggul bernoken-noken sagu, sering ada goresan taring nyamuk dan lalat babi berdarah, lengket di tiap kulitnya. Belum sempat ia mengatur napasnya yang terengah-engah, menyeka keringatnya yang muntah disekujur tubuh, mendiamkan sejenak tulang sendinya yang ngilu, memejamkan matanya, ia sudah berlalu lagi dengan sekeranjang ikan untuk dijual kepasar di desa seberang. Dan sebagian uangnya ditabung untuk biaya rumahtangga. Seketika airmatanya tumpah begitu saja, saat Ma mengutarakan keinginan Ma untuk sekolah. Ma tahu dalam airmata itu ada harap yang begitu besar untuk menjadi kan Ma orang besar, mengubah nasib, pola pikir masyarakat yang cenderung ke sistem patriarkhis. Ma tanya kadang terpejam satu persatu dengan nafas mulai semraut mungkin sekarang ia mulai berasa kepayahan. Selebihnya, entahlah! Ma tak sanggup mesti menyaksikan nenek mu bersusah payah merambah hutan sendiri, sedang kakekmu asyik saja bergumul de ngan nira kelapa, alkohol, judi dan perempuan lain, lalu setibanya di honai, kakekmu hanya menadahkan tangan, meminta jatah. Ma tidak sanggup melihat nenekmu menyayat kulitnya yang memar-memar dengan silet atau pisau sebagai cara untuk mengurangi rasa sakit, sembab sambil terisak, mena han perih, lalu darahpun mengucur mengaliri goresan yang memanjang. Bapak! Ibu sedang sakit! Jerit Ma, tetapi kakekmu tak peduli, ia tidak segan memukul sampai membunuh bila tidak menyediakan sagu dan rokok. Mbirokateya, Anakku. Yang harus dirubah, pertama ialah pendidikan bagi satuan unit terkecil ke tatanan makro, tidak hanya dengan melakukan lokakarya, membuka puskesmas, penyuluhan KB, sedang masyarakat sendiri tidak memiliki pendidikan dan pengetahuan yang cukup untuk itu. Siapa yang tahu kalau masih ada beberapa Ma yang suka merambah hutan, memangur sagu, sedang suami tetap menakuti mereka dengan sebilah parang?” Mbirokateya ingin menjerit jika mengenangkan hal itu. Kecerdesan Ma ternyata tak sebanding dengan keberingasan bapak. Bapak poligami. Mungkin memang sudah mendarah daging bagi perempuan di kampung kami. Satu-satunya impian perempuan di sini; Hari ini atau besok dijadikan istri yang sekian kali dari seorang pria. Ma menjerit sekenanya, tetapi tak kuasa berontak. Terlihat api cemburu meradang, emosinya meluap dan siap lepas dari puncak kepala, tetapi ambisi Ma selalu surut melihat sebilah kapak atau dayung yang tergantung di dekat bapak. Mbirokateya menghela napas,”Aku masih sekolah, Ma yang memperjuangkannya. Aku ingin menghidupkan teser, bahwa perempuan tetap sebagai makhluk sakral, lewat perwujudan kedua mama tua, ucukamoraot (roh pohon beringin) dan paskamoraot (roh kayu besi) yang dilahirkan oleh ibu bumi. Aku masih sekolah sampai masa haid pertama dan alat reproduksiku telah matang. Aku turun lalu melangkahi sekat-sekat papan yang berlubang di atas jembatan yang makin lapuk.” Dengan bekal sekedar nya, dengan pakaian yang tak layak untuk ke pesta, dengan sepasang sandal yang sudah usang, dengan ijazah sekolah rakyat yang diletakkan dalam noken, digamitnya erat-erat. Airmata Ma hanya tertahan, ia tidak ingin menangis melihat Mbirokateya sekolah. Mabahagia, menyodorkan sejumlah uang, dan menyuruh pergi ke desa Bis Agats, kerumah saudara perempuan Ma. Mbiorkateya memanggilnya mamak. Ma tersenyum, lalu satu tangannya mengusap wajahnya. Mbirokateya melihat di antara ujung-ujung jari Ma, ada yang terpotong, dan sebagian jari yang terpotong itu pasti dibungkus kulit kayu, disatukan dalam kantong berisi abu jenazah kakek, dan digantung pada honai bapak. Mungkin Ma melakukan mutilasi tanpa setahu Mbirokateya. ”Mbirokateya, Anakku. Kita harus berjuang. Tanah ini, masyarakat ini adalah tempat kelahiran kita, tempat kita pertama hidup. Tidak ada yang akan merubah sistem adat, budaya atau nilai kecuali kita saja, cucu-cucu Asmat. Engkau belum gagal karena engkau sendiri sudah berhasil sekolah. Sedang anak-anak lain, lelaki atau perempuan juga adikmu tidak mengerti saat itu, mereka tidak mengikuti jejakmu untuk tetap sekolah, sehingga mereka tetap terikat pada budaya masa lalu. Keterbatasan ilmu merendahkan pikiran seorang lelaki, ibu dan anak untuk keluar dari sistem patriarkhis, dan tak mengerti hakekat Tuhan. Masyarakat kita berada pada sebuah lingkaran yang tak punya lubang untuk keluar. Kita yang mesti menembus dinding lingkaran itu?” Mamak tidak sering melakukan pokomber atau usi, ia mempelajari cara perempuan Muyu berladang, menanam pisang, ubi, tebu, kangkung, dan hasilnya dijual kepasar. Ia sering menjaring ikan, dan sering menukarkan dengan beberapa noken sagu pada tetang ganya. Mamak tidak bisa membiayai sekolah Mbirokateya, mereka miskin dan Ma tidak selalu mengirimi uang. Karena niat sekolah telah mengakar, Mbirokateya rela saja ketika mamak menawarkannya untuk menjadi pembantu rumah tangga. Mbirokateya meringkuk sepi dalam honai, airmatanya mengalir jatuh ke lantai, jatuh pula ke lumpur pekat. Ia tidak ingin menuruti mamaknya mandi lumpur selama 40 hari, mencukuri rambutnya karena Ma meninggal. Ia tidak berpikir untuk memotong telinga seperti yang sering dilakukan penduduk di kampungnya maupun di kampung mamaknya. Ia memilih bisu, menutup bola matanya rapat-rapat, mendekap telinganya, lalu terisak. ”Mbirokateya! Engkau tidak ingin pulang ke kampung Ewer?” ”Tidak, Mak. Aku tidak ingin melihat bapak tertawa saja di depan abu Ma.?” ”Adik-adikmu?” ”Ya, Mak. Mereka sudah punya teman bermain. Anak-anak istri bapak yang baru.” Mamak tidak melanjutkan pertanyaannya, ia berjalan ke bilik perempuan, agak terbungkuk dan tulang lehernya tampak karena tinggi honai sekitar 1,5 meter saja. Mbirokateya masuk ke ebey. Mbirokateya tak lagi bisa menahan getir, ia mengambil pisau dan diletakkan di antara jarinya. Dan roh Ma lewat di depan matanya, ia ingat Ma masih tersenyum, bibir hitamnya tersunging, sumringah. Lesung pipi dari wajah yang sudah keriput terbentuk walau tak kentara, Ma mengingatkan sekolah, Mbirokateya mengurungkan niatnya. Ia lalu melempar jauh-jauh pisau itu, menutup matanya rapat-rapat sehingga airmata yang sejak tadi berlinang menetes perlahan. ”Aku tak bisa melanjutkan sekolah!” Mbirokateya melipat tangan keatas dadanya, dipandangnya lekat-lekat cahaya petromak yang begitu lemah, lalu beralih ke kaso-kaso. Matanya kosong, tidak ada tanda-tanda bahwa ia sedang berada di alam nyata. Ia bermimpi uang melingkar di mimpinya, dan uang itu hilang sampai ia tertidur pulas. ”Aku Mbirokateya! Aku bisa masuk SMA di Merauke berkat majikanku. Ia mengantarku dengan menumpang kapal perintis dan singgah di dermaga Merauke. Aku punya ijazah sekolah rakyat dan SMP, tetapi aku tak punya cukup uang untuk menye lesaikan SMA. Umurku hampir 18 tahun. Lelaki mana yang tidak tergiur pada tubuh indahku, dan naluri seorang gadis remaja yang juga menyukai seorang lelaki. Ah.. antara ingin sekolah atau tidak. Apakah sekolah pasti menjadikanku orang besar? Uang hasil jerih payahku mengalir begitu saja hanya untuk sebongkah ilmu. Aku pernah kelaparan lantaran uang makan untuk biaya sekolah. Karena aku masih hidup, Aku harus rela bekerja walau dalam keadaan sakit. Mengapa aku masih sekolah? Sederhana saja. Aku sudah terlanjur sekolah, aku sudah merangkak sampai tengah dan harus sampai ujungnya, tidak mungkin berhenti ditengah karena aku bakal turun kembali. Kedua, karena aku ingat Ma?” ”Bagaimana mungkin engkau masih bisa hidup tanpa uang dan menyelesaikan SMA?” ”Apa yang tidak mungkin? Aku masih punya tubuh yang sintal dan kuat, punya tenaga, tetapi jangan kira aku menjadi PSK bagi penebang kayu gaharu. Aku bisa tidur seperti pengemis, bisa menjadi pembantu, mencuci, memasak. Aku masih punya jiwa, dan jiwa itu mesti dihidupkan, bukan tanpa arti. Tidak, manusia tidak hanya sekedar hidup. Aku baru tahu kalau manusia tidak hanya sekedar hidup seperti apa yang dilaku kan Ma. Ya, Perempuan tidak mesti berada antara hutan, sungai dan pasar.” “Sekarang engkau mengakui, bahwa hidup adalah perjuangan. Bukan perjuangan untuk diri sendiri karena kita lahir, kita hidup, kita mati diantara masyarakat!” “Ya, karena perjuangan, aku sempat menghunus ayah yang mencoba memperkosaku! Aku tidak menjadi PSK!! Aku bisa menyelesaikan SMA dan menjadi guru, lalu punya ambisi untuk membangun, memberdayakan masyarakat terutama kaum perempuannya. Karena para lelaki tidak tahu, kalau ukiran patung mereka bernilai seni yang tinggi dan dikagumi oleh pecinta seni dunia.” Mbirokateya membayangkan, ia akhirnya menginjakkan tanah setapak yang agak berlumpur, diantara ilalang, dan langit masih biru, mentari baru sepenggalan naik. Mem bayangkan menempuh perkampungan Ewer, disini hanya ada satu sekolah saja, tidak ada gereja, tidak ada puskesmas. Mbirokateya bisa melihat sekolah yang sudah berumur itu, dinding kayunya tetap kokoh, struktur bangunannya kuat, dan mereka tidak tertegun ketika melihat seorang guru mengajar di atas lantai tanah. Ia tersenyum dan 10 pasang bola mata bulat, hitam, pekat, tajam diruang itu, tersungging lebar. *** Mbirokateya memegangi perutnya. Peluh mengucur deras dari dahi dan sekujur tubuhnya. Ia masih teringat pesan Ma. Perasaan menyesal seperti tiada guna, pikirnya. Ketika itu Ma mengajaknya ke bevak ditengah hutan. Kini ia yang harus berada di dalam bevak sendirian. Sebab, suami mamak telah berhasil membobol pintu kamarnya diam-diam, setelah ia kelelahan pulang dari sekolah di perkampungan Ewer, dan membo bol pintu kegadisannya dengan ancaman. Dengan penuh beban dan rasa malu berbulan-bulan, ia akhirnya kembali ke kampung. Segera menuju bevak. ” Ma, mungkin tubuhku telah kotor. Tetapi pesanmu tetaplah suci. Aku akan tetap memperjuangkannya. Bukankah perjuangan memang butuh pengorbanan? Jadi, Ma tolong jaga cucu perempuanmu juga aku.” Medan, komunitas home poetry, 08-13 Catatan Kaki 1 Bangunan di tengah hutan. 2 Rok dari serat kayu, kulit kayu, rumput yang dirangkai menjadi jumbi-jumbi yang dililitkan pada pinggul dan diikat, pada anak perempuan/ kaum wanita Asmat (Maulana, 1996 : 57). 3 Terbuat dari labu yang dikeringkan, menyerupai tabung silinder untuk menutupi penis (Maulana, 1996 : 57). 4 Bangunan berbentuk silindris yang dipergunakan sebagai tempat tinggal (Maulana, 1996 : 62) 5. Pemerintahan oleh para pria.. 6. Tas anyaman dari serat melinjo (Sekarningsih, 2000. xv). 7. Adat kebiasaan untuk mengungkapkan duka cita dengan mutilasi, misal mencukur rambut, memotong telinga, atau memotong ujung jari tangannya dengan parang atau pisau (Linggasari, 2004 : 31). 8. Mencari makan di hutan dari pagi sampai sore (Linggasari, 2004 : 28). 9. Memangur sagu selama dua minggu sampai tiga bulan (Linggasari, 2004 : 28). 10. Struktur atap yang terdiri dari kaso-kaso dari kayu bulat yang menghubungkan pusat honai ke dinding (Agusto. W. M, 1996 : 193). M. Raudah Jambak SEGAYO Segayo lari ke bukit, ia jatuh terjerembab. Tangannya menutupi perutnya yang koyak. Berlari menuju sesudungon, pondok dari bangunan kayu, berdinding kulit kayu. Dan beratap daun serdang benal. Matanya masih menatap sekitar hutan yang sepi. Sebagai keturunan langsung orang Maalau Sesat, Segayo harus bertahan. Hutan inilah negeri kami. Berdinding belantara. Tempat kami dilahirkan. Hitungan ratusan tahun kami mendiami tempat ini. Menghirup segala. Hidupkan segala. Menyatu dengan segala. Bermain dengan angin, dengan akar pepohonan, dengan semak belukar. Anak-anak, kaum perempuan, dan para lelaki telah terbiasa melukis kelam. Berpeluk pengab raya. Sebab kami adalah orang-orang rimba. Lingkaran api biasa kami sulam pada malam. Memetik kerdipan bintang. Menjaring bulan. Mengunyah pituah para tetua. Menebalkan tambalan sejarah pada jiwa kami. Sesekali menyemai tawa. Sesekali menuai duka ketika memamah sihir kata bak pujang-ga. Pada akhir sulaman cerita, gederap sukacita menuntun mimpi-mimpi kami menyam-but ke pagi yang temaram. Gubug-gubug kami adalah pepohonan yang bernyanyi. Seolah laut yang berpantai damai. Seperti dermaga sebagai tempat penumpah lelah sehabis memerah tubuh-tubuh basah. O, betapa hidup dari waktu-ke waktu selalu mengelus berkah. Kegelapan inilah selimut hangat yang gemerlap. Mata hati kami adalah sebilah pisau tajam yang selalu terasah. Kelam bukanlah jaring-jaring perangkap yang membekap, tapi ia tapak-tapak kaki kami yang selalu mengatur jarak. Menancapkan jejak. Kami tahu arah langkah kemana hendak berpijak. Pulang dan pergi tak selalu bergantung pada matahari. Tak pula menunggu tuntunan bulan. Bukan berarti kami menafikkan ciptaan Tuhan. Tapi, justru dengan gelap dan kelam anugerah itu didapatkan. Berjalan dan berlari bagi kami seringan hembusan angin menembus belukar dan semak berduri. Segala telah tersedia dalam rentang waktu yang tak dapat dihitung dengan rumusan angka-angka. Segala telah terjaga dengan aturan adat yang paling beradab. Amboi, masa-masa gemilang itu perlahan di gebuk gelombang. Menusukkan amuk, remuk. * * * “Kami bukan anjing. Jangan sebut kami orang kubu. Kami benci sebutan itu.” Segayo berteriak-teriak saat dimasukkan ke dalam sebuah ruangan. Ia disekap di sebuah pabrik pemotong kayu yang ada di tengah hutan. Ia bisa mendengar suara mesin gergaji yang memotong balok-balok kayu dengan jelas. Suara truk-truk yang mengangkut gelondongan kayu juga bisa didengar dari dalam ruangan itu. Tak ada gunanya lagi berteriak. Jika pun ada yang mendengar, mereka tak akan memperdulikannya. Mereka pun mungkin akan membunuhnya jika ia berusaha melarikan diri. Ia tidak boleh mati. Ia harus terus berjuang. Dulu ia merasa sangat bebas hidup di hutan. Membangun sesudungon, sebagai tempat berlindung atau rumah tinggal di dalam hutan. Tapi sekarang, ia merasa tidak sebebas dulu. Segayo tak mengerti kenapa bisa begitu. Yang ia tahu, hutan itu bukanlah milik siapa-siapa. Dari dulu ia hidup melangundi seluruh pelosok hutan. Bebas berkelana di dalam hutan. Namun kini kebebasan itu tidak lagi dimiliki, sebab orang kota dan desa adalah orang terang yang merasa mulai berkuasa. Segayo tak tahu sejak kapan orang-orang itu memiliki hutan. Yang ia tahu hutan sebagai anak sulung dari alam semesta adalah milik Tuhan yang harus dimanfaatkan dan dipelihara oleh manusia. Perlahan Segayo turun dari atas kursi. Tubuhnya terasa lelah, lebih baik menyimpan tenaga yang masih tersisa. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas tikar. Rencananya sudah bulat.Untuk sementara biarlah beristirahat dulu,pikirnya. * * * Waktu berjalan meninggalkan petang. Segayo terbangun dari tidurnya. Pintu ruangan dibuka oleh seorang pria. Ia membawakan makanan. “Ini makananmu. Ingat baik-baik! Jangan coba-coba melarikan diri. Diam saja disini! Kalau tidak tanggung sendiri akibatnya!” Segayo menatap pria itu dalam diam. Ia tidak sanggup lagi melawan. Ia harus mengumpulkan tenaga untuk terus berjuang. Ditatapnya makanan itu. Sepiring nasi putih dan telur mata sapi. Perih hatinya. Seperti anjing saja, ia diperlakukan seperti itu. Ingin rasanya ia berontak tapi ia sudah tak kuasa. Tak ada yang mengerti perasaan orang rimba. Orang-orang di desa dan di kota menganggap mereka seperti binatang, tak beradab karena tinggal di hutan. Mereka menyebut orang rimba sebagai orang kubu. Padahal kubu itu bermakna terbelakang. Orang rimba tak suka dengan sebutan itu. Apakah hanya karena mereka tinggal di hutan lantas mereka disebut terbelakang? Apakah karena itu orang-orang desa dan kota merasa diri mereka lebih beradab daripada orang rimba? Sama sekali tidak! Orang-orang rimba juga manusia seperti orang-orang desa dan kota. Hanya cara hidupnya yang berbeda. Orang rimba hidup bergantung pada alam. Mereka beranak pinak di dalam hutan, makan sirih, berburu dan meramu obat alam. Tapi bukan berarti mereka tidak memiliki peradaban. Memang sehari-harinya mereka tak memakai baju kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dindingnya dari kayu. Makan buah-buahan dan berburu kijang, ayam hutan dan rusa. Cara hidup seperti itu memang tidak modern. Tapi apakah salah jika orang rimba memilih cara hidup seperti itu? Hatinya terus mendera sakit. Dia ingin marah tapi kepada siapa. Kepada orang-orang desa atau kota yang menganggap diri mereka lebih maju dari pada orang rimba? Huffhhh…! Segayo membuang nafas perlahan-lahan. Air matanya mengering karena ia terus membendung perih dalam hatinya. Ia masih ingat dulu ketika masih kecil ia dibawa ayahnya pergi ke kota. Ayahnya hendak menukarkan rusa dan ayam yang didapatkan dari hutan dengan tembakau. Saat tiba di pasar, banyak orang yang mencemooh mereka. Bahkan ada orang tua yang memegang anaknya erat-erat karena mereka takut anak-anaknya kena guna-guna. Segayo merasa sakit hati sewaktu ia mendekati seorang anak kecil. Anak kecil itu berlari kepada orang tuanya dan mengatakan kalau ia takut diculik oleh orang kubu seperti dirinya. Padahal segayo hanya ingin bermain-main dengan anak itu. Di pasar itu juga ia melihat ayahnya ditipu oleh pembeli. Ayam hutan dan rusa itu hanya dihargai dua kantung plastik tembakau. Bahkan ayahnya harus memberikan beberapa rupiah untuk membeli tembakau itu. Siapapun tahu, kalau itu tak pantas. Segayo marah, tapi ayahnya menahannya. Ia mengingatkan anaknya tentang seloka adat yang pernah diajarknannya. Tidak lapuk kareno hujan, tidak lekang kareno paneh. Biarlah mereka menipu, tapi kita harus bersabar. Harus kuat menahan cobaan. Ayahnya banyak mengajarkan seloka adat dan hukum rimba yang harus dipatuhi oleh semua orang rimba. Kata ayahnya, orang rimba memiliki hukum sendiri. Hukum orang rimba tidak jauh berbeda dengan hukum Minang yang disebut Pucuk Undang Nang Delapan. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian dan pemerkosaan. Itulah larangan yang paling berat. Jika orang rimba melanggarnya maka akan dikenai hukuman lima ratus lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat dan sangat sulit disanggupi, karenanya orang rimba berusaha untuk mematuhi. Bagi mereka, mereka cukup bertubuh onggok//berpisang cangko//beratap tikai//berdinding baner//melemak buah betatal//minum air dari bonggol kayu// atau berkambing kijang//berkerbau tenu//bersapi ruso//. Namun Segayo heran melihat orang-orang desa dan kota. Mereka memiliki hukum yang berbeda dengan orang rimba. Malah lebih lengkap daripada seloka adat. Tapi kenapa banyak dari mereka yang berani melanggar hukum yang dibuatnya sendiri? Mereka yang menganggap dirinya lebih beradab, suka merusak peradaban itu. Bagaimana bisa beradab jika hukumnya sendiri dilanggar? Dulu pernah ada teman Segayo yang bernama Tebo, memutuskan untuk meninggalkan hutan dan memilih hidup bermasyarakat di desa. Ia memilih hidup sebagai petani. Namun setelah beberapa tahun ia tinggal di desa, sesuatu masalah menimpa dirinya. Ia ditangkap polisi dan dipenjara. Segayo berusaha mencari tahu apa masalahnya. Ternyata Tebo dipenjara karena ia dituduh merusak properti milik sebuah pabrik yang baru dibangun oleh sebuah perusahaan di desa itu. Pabrik itu terletak di dekat ladangnya dan mereka mencaplok sebagian dari ladang milik Tebo. Sebuah papan nama perusahaan itu didirikan di ladangnya. Ia marah lalu mencabut papan nama itu dan membakarnya. Ia pun langsung ditangkap oleh polisi karena perbuatannya itu. Segayo heran. Padahal pengusaha pabrik itulah yang telah merampas ladang temannya itu. Tetapi kenapa ia tidak ditangkap. Malah temannya yang mengambil haknya kembali, ditangkap dan dipenjara oleh polisi. Ia bingung karena pengusaha itu tidak dihukum. Dimanakah hukum itu sebenarnya? Kenapa orang yang bersalah itu tidak ditangkap? Lagi-lagi Segayo menahan sakit hati karena ternyata orang-orang yang mengaku beradab bisa berbuat biadab. Rasa sakit hatinya pun larut bersama malam. Gelap sudah menyelimuti hari. Suara-suara mesin gergaji sudah berhenti. Tak ada lagi truk yang mengangkut gelondongan kayu. Sebagian pekerja sudah pulang. Sedangkan yang lainnya menginap di penginapan sekitar pabrik pemotongan kayu. Segayo masih sendirian mengingat-ingat kejadian yang selama ini menimpanya. * * * Segayo terkejut saat sekumpulan orang bersenjata menyergap rumahnya. Ia hanya sendiri di rumahnya. Istri dan anak-anaknya sudah mengungsi ke Bukit Duabelas lebih dahulu. Begitu juga dengan tetangganya. Mereka sudah mengetahui bahwa sekelompok orang bersenjata akan datang ke lahan hutan yang baru mereka garap. Orang rimba sudah tahu kalau mereka hanya boleh mendiami hutan di Bukit Duabelas. Jika mereka menggarap hutan di luar kawasan itu, mereka akan disiksa oleh orang-orang bersenjata lalu dikembalikan lagi ke kawasan Bukit Duabelas. Ia dan keluarganya serta beberapa tetangganya memilih pindah dari bukit itu karena ingin membuka ladang baru. Kebiasaan hidup seminomaden orang rimba itulah yang dianggap merusak hutan. Dengan membuka hutan, maka banyak pohon yang akan ditebang. Padahal orang rimba hanya membuka lahan beberapa hektar saja. Sedangkan orang kota yang sering disebut cukong bisa menebas hutan beribu-ribu hektar. Malah mereka dibiarkan bebas begitu saja. Orang-orang kota berbuat tidak adil terhadap orang rimba. Mereka menangkapnya. Ia berontak. Tapi berkali-kali pukulan mendarat ditubuhnya. Segayo tak bisa lagi melawan. Dua orang pria mengikat tangannya. Ia akan dibawa ke salah satu pabrik pemotongan kayu. Di sana ada tempat untuk menyekap orang rimba yang keluar dari kawasan Bukit Duabelas. “Dasar orang kubu! Dibilang berkali-kali supaya jangan pindah dari kawasan Bukit Duabelas itu, tetap saja membangkang. Tempat kalian sudah disediakan disana. Jangan pindah-pindah lagi!” Seorang pria bersenjata memarahinya. “Tapi hutan itu adalah tempat kami. Tempat kalian itu di desa dan di kota. Kalian orang terang malah merusak tempat kami. Kami saja tak pernah merusak tempat kalian!” Teriak Segayo. “Sudah! Diam! Ayo terus jalan!” Pria yang lain membentaknya. Mereka berjalan menyusuri jalan tikus menuju pabrik. Mereka harus menyusuri lembah dan bukit. Jaraknya sekitar tujuh kilometer. Di tengah perjalanan mereka berhenti untuk beristirahat. Segayo meminta izin untuk buang air. “Baiklah! Kau, Willy! Jaga dia! Jangan sampai dia kabur!” Seseorang yang tampaknya seperti pemimpin dalam kelompok itu memerintahkan anggotanya untuk menjaga Segayo buang air. Seorang anggota yang bernama Willy itu membawanya ke lembah bukit. Di situ ada sebuah telaga kecil. Di sekelilingnya terdapat rimbunan ilalang setinggi orang dewasa. Willy melepaskan ikatan Segayo. Ia berdiri tak jauh dari Sega-yo sambil memegang senjata. “Sudah, disitu saja. Jangan coba-coba kabur!” Willy memperingatkannya. Namun Segayo melihat ada kesempatan untuk lari. Saat Willy lengah, disitulah diam-diam ia melarikan diri. Tak lama akhirnya Willy sadar kalau tawanannya sudah kabur. “Kurang ajar! Awas nanti kalau ketemu!” Willy akhirnya kembali ke kelompoknya. Segayo hilang dalam rimbunan ilalang. Sebagai orang rimba ia sudah mengetahui seluk beluk hutan. Ia dapat mengecoh Willy yang menjaganya. Pimpinan kelompok itu pun memarahi anak buahnya. Mereka lalu mencari Segayo lagi. Segayo mengendap-endap dalam rimbunan ilalang. Setelah posisinya agak jauh, ia berlari dalam rindangnya pohon-pohon di hutan. Ia bersembunyi di bawah pohon besar di balik bukit. Nafasnya terengah-engah. Ia melihat sekelilingnya untuk memastikan keadaan. Ia sudah tak sanggup berlari. Ia memutuskan untuk bersembunyi disitu dulu. Sementara itu matahari sudah tergelincir ke arah barat. Kelompok orang bersenjata itu mengerahkan bantuan untuk mencari Segayo. Mereka menyusuri seluruh hutan. Menyisir setiap bukit dan lembah. Hari sudah semakin sore dan mereka harus bisa menangkap Segayo kembali. Derap langkah orang berjalan semakin dekat. Segayo segera berlari.Mereka melihat segayo berlari, lalu segera mengejar.Segayo berlari ke arah bukit. Mereka terus mengejar Mereka akhirnya mengepungnya. Segayo terkepung. Dia mencoba berlari, pukulan hantaman, dan tikaman berkali-kali tak dirasakan lagi. Dia terus saja berlari. Hutan seperti memeluknya. Tangannya membekap perutnya yang sudah tak berasa. Sepanjang perjalanan ia terus saja merenungkan hal-hal yang menimpa dirinya. Ia hanya ingin pindah dari Bukit Duabelas. Ingin mencari kehidupan yang lebih baik. Bukankah orang-orang di desa atau di kota juga pernah pindah ke desa atau kota yang lain? Bahkan bisa ke seberang pulau. Tapi mengapa orang rimba tidak boleh pindah ke kawasan hutan yang lain. Segayo merasa orang rimba seperti dikurung dalam Bukit Duabelas. Ia merasa seperti binatang yang dilindungi dalam sebuah cagar alam. Semua orang benar-benar memperlakukan mereka seperti binatang. Dari dulu memang orang rimba dan orang terang selalu saja bermusuhan. Ia pernah diceritakan ayahnya kalau dahulu sudah pernah terjadi perselisihan antara orang rimba dan orang terang. Pada saat itu nenek moyang orang rimba menderita kelaparan di hutan. Ia lalu mengambil padi di sawah milik penduduk desa. Terjadilah pertengkaran yang berujung pertempuran terbuka. Nenek moyang orang rimba lari ke bukit dan menggulingkan balok-balok kayu, hingga menewaskan penduduk desa. Beberapa penduduk desa yang selamat, membalaskan dendamnya pada suatu kesempatan. Mereka berhasil membunuh orang rimba itu. Sejak saat itu terbentanglah jarak antara orang rimba dan orang desa. Hingga saat ini permusuhan itu sebenarnya masih terjadi. Orang desa ataupun orang kota merasa hutan itu adalah miliknya. Hingga akhirnya orang rimba disingkirkan. Hutan semakin banyak ditebang. Orang rimba hanya diberikan tempat yang disebut Taman Nasional Bukit Duabelas untuk tempat mereka menjalani kehidupan mereka sehari-hari. Segayo tak suka diperlakukan tidak adil. Ia mengajak istri dan anak-anaknya serta tetangganya untuk meninggalkan Bukit Duabelas. Mencari kehidupan baru yang lebih baik. Namun ternyata usahanya tidak berhasil. Ia malah ditangkap dan akan dikembalikan ke Bukit itu. * * * Malam larut. Udara malam mendinginkan hatinya yang perih. Suara hewan malam memenuhi ruang kepalanya. Dihutanlah kehidupanku, pikirnya. Namun hutan semakin sedikit. Jikalau semua orang rimba dikumpulkan di Bukit Duabelas, pada akhirnya nanti hutan di kawasan itu akan habis juga. Semakin banyak jumlah orang rimba yang akan membuka lahan di kawasan itu. Tak akan ada lagi pohon-pohon rindang yang tumbuh di kawasan itu. Sebagai orang rimba mereka harus menjaga dan melestarikan hutan. Mereka tidak meninggalkan lahan mereka yang lama begitu saja. Mereka akan menanami bibit-bibit pohon jika lahan itu tak bisa lagi digunakan. Pada akhirnya lahan itu akan rimbun kembali dipenuhi pepohonan. Tidak seperti cukong kayu. Mereka menebang hutan beribu-ribu hektar. Tapi tak mau menanaminya lagi karena lahan hutan yang gundul membutuhkan begitu banyak bibit pohon dan biaya yang besar. Dasar oranng! Segayo mengumpat dalam hatig tera. Hanya mau mengambil untung saja. Tak mau bertanggung jawab atas kerusakan yang dibuatnya. Mereka tak mau peduli akan banyaknya kehidupan didalam hutan. Dengan rusaknya hutan, akan memusnahkan beragam jenis kehidupan. Entah berapa banyak lagi kehidupan yang akan dimusnahkan oleh mereka. Padahal mereka sudah berpinang gayur//berumah tango//berdusun beralaman//beternak angso//. Segayo tak tahu sampai kapan keserakahan orang terang itu akan hilang. Ia tak mengerti kenapa seperti itu. Apakah kehidupan di desa atau di kota tidak bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi mereka. Padahal cara hidup mereka lebih maju dari pada orang rimba. Ia bersyukur karena cara hidup orang rimba ternyata membuat mereka lebih menghargai alam. Cara hidup yang begitu sederhana membuat orang rimba tidak serakah. Mereka hidup dengan pemberian alam yang sudah tersedia di hutan. Dengan hidup seperti itu mereka sudah merasa bahagia. * * * Di dalam sesudungon di Bukit Duabelas, istri Segayo menangis terisak-isak. Ia mendapatkan kabar bahwa suaminya disekap di pabrik pemotongan kayu. Semuanya sudah hancur diterjang banjir. Tak ada gunanya mencari suaminya yang sudah tak jelas berimba di mana. Ia hanya bisa pasrah, bersama anak-anaknya kembali melangun. Orang-orang itu, orang-orang terang. Menghalau tenang. Menyilaukan pandang. Meniupkan seruling kematian, menabuh genderang perang. Dengan rasa kikir mereka sisir semilir batin kami. Mereka koyak peradaban kami. Apakah ini memang garis hidup Yang dipahat pada nasib kami? Ataukah nisan yang sedia ditanam pada makam kami? Namun, entah siapa yang silap merangkai do’a. Bala bencana itu datang mengacungkan senjata. Satu persatu kami tenggelam dalam kawasan banjir air mata. Terjerambab pada wajah murka penuh sengsara. Teringat pituah para tetua akan tumbuhnya pohon derita berbuah gundah gulana di masa yang tak sempat tercatat tanggalnya. Pituah tentang sebuah kesetiaan pada keteguhan adat. “Bacalah denting embun yang menitik dari ujung daun . Dengarlah lantunan angin yang mengalun di sela-sela pepohonan. Simaklah air yang mengalir yang menyibak cengkram-an akar yang tertanam . Atau dengung bebatuan pada geliat tanah di wajah bumi. Serta gema do’a rerumputan pada segala. Jika tidak, terang akan terasa mengahanguskan. Melumat segala peradaban yang telah lama terpelihara dari abad-abad yang telah ter-pahat,” demikian siraman penyejuk jiwa dari tetua di akhir kisah dalam sulaman kelam. Dan apakah memang suratan badan atau memang kami yang berkhianat dari aturan garis adat yang telah ditancapkan. Orang-orang terang datang mengusung Tuhan pembaharuan. Melelang sejarah peradaban yang memabukkan. Kami terjebak dalam kotak-kotak tak berjejak. Terjerambab dalam lobang-lobang derita. Hutan kami mulai dilumatkan. Pepohonan tempat kami bernaung direbahkan. Roh-roh yang bersemayam dan jiwa yang tertanam diluluhlantakkan. “Kami adalah orang-orang dari negeri beribu cahaya yang mengusung peradaban. Dan kalian orang-orang gelap bersiap-siaplah menggali makam sebelum sampai pada zaman keemasan. Sebab, kami adalah penguasa setiap zaman.” Entahlah itu karena ramalan atau memang nasib yang sudah digariskan, para tetua sudah berkali-kali mengabarkan peringatan. Tentang orang-orang terang yang mengusung matahari. Menghanguskan dan menyilaukan pandang. “Tanamlah jiwa-jiwa kalian pada setiap pepohonan. Tanam pula jiwa-jiwa anak cucu dan seluruh garis keturunan kalian pada tanah dan air tempat berpijak. Pada akar rerumputan ataupun semak belukar, serta pasir dan bebatuan. Maka yakinlah hidup kalian akan selalu diselimuti ketentraman dan kedamaian. Jika tidak bersiap-siaplah kalian menghuni makam tak bertuan. Kalianlah yang paling mengerti dengan hutan ini, maka pertahankan sampai titik darah penghabisan…” Dan nujum itu kini telah dimafhumkan. Ramalan itu kini telah ditafsirkan. Tak terbantahkan. Sejarah kami terjarah. Terbakar. Dihanguskan. Jiwa kami tercabik pada senandung gergaji, pada pepohonan yang ditumbangkan.. Buldozer-buldozer pembantai menyemai sangsai. Lelaki kami satu persatu merapal ajal. Perempuan kami satu persatu dilucuti. Anak-anak dan orang-orang tua kami satu persatu dibutakan dengan terang yang paling menyilaukan. Dari kosong kembali ke kosong. Dari hampa kembali ke hampa. Kami berada dalam ada dan tiada. Jika malam tiba kami kehilangan mutiara kata-kata. Hanya mampu merangkai lirih air mata tak berjiwa. Kami tangisi diri sendiri. Kami kutuk pengkhianatan kami pada nenek moyang. Kami ratapi jiwa kami yang melayang pada setiap pepohonan yang rebah ditum-bangkan. Tak lagi menyulam api pada kelam malam. Tak lagi memetik bintang dengan nyanyian riang. Tak lagi menjaring bulan lewat tari-tarian kemenangan. Tak lagi me-ngunyah pituah para tetua, sebab terlanjur dimuntahkan. Sejarah tercerabut sampai ke akar-akarnya. Sepanjang malam kami hanya bisa berpelukan, berdo’a agar tak lagi disi-laukan siang benderang, yang menghanguskan harapan. Segala telah dibungkam. Segala suka cita semakin samar. Segala duka lara semakin membara. Sementara itu udara semakin dingin. Gemuruh langit melenyapkan suara-suara malam. Segayo diam kali ini. Namun tak seperti biasanya. Ia sangat mengenal alam di hutan. Kali ini ia tak mendengar sedikitpun suara-suara binatang malam saat gemuruh terhenti. Ada sesuatu yang sepertinya bakal terjadi. Ia tahu sabda alam akan datang malam ini. Menumpahkan segala kekesalannya yang lama terpendam. Tak lama hujan lebat turun. Membasahi seluruh kawasan hutan. Ia diam membeku . Ia mengerti. Tak ada gunanya berteriak. Ia pasrah. Ia bisa merasakan getaran tanah. Ia pun dapat mendengar gemuruh yang bukan berasal dari langit. Ia bisa merasakan amarah alam yang sudah memuncak. Ya, perih hati ini telah menyatu dengan amarah semesta yang selama ini terbungkam, batinnya. Dan malam ini Segayo bertekad bercerai dalam ketiadaan. Menjadi sebatang lara pada sejarah yang terus menerus dijarah. Segayo jatuh terjerembab. Tangannya terus menu-tupi perutnya yang koyak, terasa lelahnya selama berlari menuju sesudungon, pondok dari bangunan kayu, berdinding kulit kayu. Dan beratap daun serdang benal. Matanya terasa semakin samar menatap sekitar hutan yang perlahan menina-bobokkannya. Medan-Komunitas Home Poetry, 07-13 sesudungon ) : pondok-pondok, rumah tempat tinggal Orang Rimba (Suku Anak Dalam) yang terbuat dari kayu, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.melangun ) : pindah ke tempat lain karena ada warga yang meninggal, menghindari musuh, atau ingin membuka ladang baru. orang terang ) : orang-orang di luar rimba, orang-orang di desa dan di kota.seloka adat ) : aturan-aturan hidup ( hukum ) rimba yang dipakai Orang Rimba dalam kehidupan mereka sehari-hari. M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Jatuh cinta dengan teater sejak di ESEMPE. Lalu melamar teater LKK di IKIP 1993. 1994/1995 ditunjuk sebagai ketua Teater LKK IKIP Medan, kemudian melahir kan beberapa nas kah dan pementasan baik sebagai pemain, kru, atau sutradara(radio, TeVe, ikLan, fiLm dan panggung). Penggagas festival DKOKUK LKK IKIP MEDAN (1995). 1995 ikut membidani SANGGAR TEA TER GENERASI MEDAN dan tercatat sebagai pengurus angkatan I (bid. DIKLAT) sam pai sekarang. Bergabung juga di PATRIA 1995. Beberapa kali diajak bergotong ro yong oleh bebe rapa kelompok teater di Medan, seperti : PATRIA, NUANSA, NASIO NAL, IMAGO, MERDEKA, ANAK NEGERI, BLOK, GENERASI, Dan Lupa Lagi. Beberapa kali me menangkan festival baik sebagai pemain, artistik, penu lis naskah, dan sutradara. Sebagai pengamat tetap PARADE TEATER PELAJAR dari 2003 s/d 2006 ditunjuk Aso siasi Teater Sumatera Utara. Juri tetap festival teater (DKOKUK) sampai 2005. Melatih teater di beberapa sekolah sampai sekarang. Instruktur Acting D’WIN DOWS PRODUC TIONS sampai 2008. Riwayat pementasan serius setamat sekolah sejak 1993 di LKK IKIP (sekarang UNIMED) Medan. Tampil dalam TASSEMATA di TBSU 1994. 1995 menyutradarai SANG PENYAIR di Taman Budaya Sumatera Utara. ABRA KA DAB RA di pentas tertutup TIM Jakarta, 1996 dalam rangkaian Pekan Seni Mahasis wa tingkat Nasional. MENYIBAK TIRAI MASA DEPAN 1997 di Pardede Hall. WA JAH KITA 1998 di hotel GARUDA PLAZA Konvention Hall. TRAGEDI AL-HALLAJ di Hotel Tiara Konvention Hall 1999. PE TANG DI TAMAN di TBSU 2000. PEJUANG 2000 di Departeman Pariwisata, Seni dan Budaya Pematang Siantar. MARNI di TVRI Medan 2001. TANAH GARAPAN di TVRI 2002. Mengikuti workshop MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Perge laran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog ANJING MASIH MENGGONGONG (2004). Menyutra darai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Suma tera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. 2006 JODOH PARADE TEATER SUMUT di TBSU. 2007 menyutradarai PEREMPUAN TANPA KEPALA di TBSU. 2008 JODOH SABTU TERTAWA ALA KAMPUSI di TBSU. Menyutradarai TIURMAIDA 08/09 di TBSU. Di 2009 dalam CUBLIS di TBSU terlibat sebagai Co- Sutradara-bersama penulis/pemain Hasan Al-Banna, dalam rangkaian Jaringan Teater Se-Sumatera di LAMPUNG. Saat ini selain di FKS, HISKI, SIAN, AGBSI, HSBI dan GENERASI juga membidani Komunitas Home Poetry (Komunitas HP-1997) sekaligus sebagai Ketua Umum, juga bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Di perguruan dan Univeristas Panca Budi (Fakultas Agama Islam dan Fakultas Filsafat). Alamat kontak-Taman Budaya Sumatera Utara, Jl.Perintis Ke merdekaan No. 33 Me dan. HP. 085830805157/ 0618460419. Alamat rumah: Jl. Murai batu e. 10, Kompleks rajawali indah-Sunggal-Medan. Kantor: SMK Panca Budi – 2, Jl. Gatot Subroto km 4,3. E-Mail: mraudahjambak@plasa.com. – mraudahjambak@yahoo.com. Pandangan hidupnya belajarlah tanpa henti, maka engkau ada. Lebih baik ber karya daripada mencela. Karya akan menjadikanmu ada, rendah hati akan menjadikannya abadi, dan kesombongan akan menghancurkannya perlahan. Ingat sejarah akan terus mencatatlahir di Medan-5 Januari 1972. Beberapa kegiatan yang pernah di kuti PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar RAKYAT MERDE KA Jakarta dan Majalah SIASAH Malaysia,Majalah Horison Jakarta,Majalah Gong Jogja, BEN Jogja, Radio Nederland, Cyber sastra, Lampung Post, Suara karya Jakarta,Komunitas Sekolah Sumatera, RRI I Nusantara Medan, RRI Pro 2 FM, Temu Sastrawan Indonesia 1, Temu Sastrawan Indonesia 2. Bianglala dan surat kabar di Medan. Sering menjuarai lomba baca/cipta puisi, cerpen, dongeng, proklamasi dan juga Teater di Medan. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED, ketua Biro Sastra Medan, Ketua Komunitas Home Poetry, serta anggota HISKI Sumut (2005-2008) .Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 085830805157 Mail:mraudahjambak@plasa.com, mraudahjambak@yahoo.com M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Jatuh cinta dengan teater sejak di ESEMPE. Lalu melamar teater LKK di IKIP 1993. 1994/1995 ditunjuk sebagai ketua Teater LKK IKIP Medan, kemudian melahir kan beberapa nas kah dan pementasan baik sebagai pemain, kru, atau sutradara(radio, TeVe, ikLan, fiLm dan panggung). Penggagas festival DKOKUK LKK IKIP MEDAN (1995). 1995 ikut membidani SANGGAR TEA TER GENERASI MEDAN dan tercatat sebagai pengurus angkatan I (bid. DIKLAT) sam pai sekarang. Bergabung juga di PATRIA 1995. Beberapa kali diajak bergotong ro yong oleh bebe rapa kelompok teater di Medan, seperti : PATRIA, NUANSA, NASIO NAL, IMAGO, MERDEKA, ANAK NEGERI, BLOK, GENERASI, Dan Lupa Lagi. Beberapa kali me menangkan festival baik sebagai pemain, artistik, penu lis naskah, dan sutradara. Sebagai pengamat tetap PARADE TEATER PELAJAR dari 2003 s/d 2006 ditunjuk Aso siasi Teater Sumatera Utara. Juri tetap festival teater (DKOKUK) sampai 2005. Melatih teater di beberapa sekolah sampai sekarang. Instruktur Acting D’WIN DOWS PRODUC TIONS sampai 2008. Riwayat pementasan serius setamat sekolah sejak 1993 di LKK IKIP (sekarang UNIMED) Medan. Tampil dalam TASSEMATA di TBSU 1994. 1995 menyutradarai SANG PENYAIR di Taman Budaya Sumatera Utara. ABRA KA DAB RA di pentas tertutup TIM Jakarta, 1996 dalam rangkaian Pekan Seni Mahasis wa tingkat Nasional. MENYIBAK TIRAI MASA DEPAN 1997 di Pardede Hall. WA JAH KITA 1998 di hotel GARUDA PLAZA Konvention Hall. TRAGEDI AL-HALLAJ di Hotel Tiara Konvention Hall 1999. PE TANG DI TAMAN di TBSU 2000. PEJUANG 2000 di Departeman Pariwisata, Seni dan Budaya Pematang Siantar. MARNI di TVRI Medan 2001. TANAH GARAPAN di TVRI 2002. Mengikuti workshop MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Perge laran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog ANJING MASIH MENGGONGONG (2004). Menyutra darai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Suma tera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. 2006 JODOH PARADE TEATER SUMUT di TBSU. 2007 menyutradarai PEREMPUAN TANPA KEPALA di TBSU. 2008 JODOH SABTU TERTAWA ALA KAMPUSI di TBSU. Menyutradarai TIURMAIDA 08/09 di TBSU. Di 2009 dalam CUBLIS di TBSU terlibat sebagai Co- Sutradara-bersama penulis/pemain Hasan Al-Banna, dalam rangkaian Jaringan Teater Se-Sumatera di LAMPUNG. Saat ini selain di FKS, HISKI, SIAN dan HSBI juga membidani Komunitas Home Poetry (Komunitas HP-1997) sekaligus sebagai Ketua Umum, juga bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED .Alamat kontak-Taman Budaya Sumatera Utara, Jl.Perintis Ke merdekaan No. 33 Me dan. HP. 085830805157/ 0618460419. Alamat rumah: Jl. Murai batu e. 10, Kompleks rajawali indah-Sunggal-Medan. Kantor: SMP Panca Budi Jl. Gatot Subroto km 4,3. E-Mail: mraudahjambak@plasa.com. – mraudahjambak@yahoo.com. Pandangan hidupnya belajarlah tanpa henti, maka engkau ada. Lebih baik ber karya daripada mencela. Karya akan menjadikanmu ada, rendah hati akan menjadikannya abadi, dan kesombongan akan menghancurkannya perlahan. Ingat sejarah akan terus mencatat.

No comments: