Wednesday, 23 September 2020

CERPEN : KETIKA DERU BUNYI KERETA

CERPEN M. RAUDAH JAMBAK Ketika Deru Bunyi Kereta Bel istirahat berbunyi. Siswa-siswa SMA Dalihan berhamburan. Sebagian bergegas menyerbu kantin, selebihnya mencari posisi sendiri-sendiri. Aku hanya terpaku di depan ruang kelas. Memandang tepat lurus ke depan, ke arah lintasan rel kereta. Di sisi kiri dan kanan rumah-rumah penduduk, merunduk. Dari lantai tiga sekolah kami, pandangan memang terasa lepas. Aku selalu menikmati pemandangan yang unik ini pada setiap bel-bel istirahat. Orang-orang yang melewati lin-tasan. Orang-orang yang menjemur pakaian. Dan orang-orang yang selalu menyulam ke-sibukan dengan beragam kegiatan. ”Gerrrrejekjekjek.........” Dari kejauhan suara kereta api perlahan meninggi. Persimpangan tergesa. Bunyi per-tanda pun mengudara. Palang kereta perlahan merebah. Berpuluh mata nyala. Pikiran pun meraba. Ah, suasana mulai terdengar gaduh. Klakson pun beradu suara. ”Gerrrrejekjekjek........” Suara kereta semakin menyayat. Melintasi kornea mata. Di lantai tiga, siswa-siswa memeram cengkrama. Sebelum berebut masuk kelas, mereka sempatkan mengunyah laju kereta. Pemandangan yang seram, namun memesona. ”Pak!” seseorang datang menyapa. Aku tersenyum, mengangguk. Selebihnya hanya diam. Seorang anak laki-laki, mungkin murid baru. Aku baru kali ini melihatnya. Tapi beberapa murid yang lain seperti sudah sangat mengenalnya. Beberapa diantaranya me nyapa. Dia pun hanya tersenyum sekadarnya. Rambut cepaknya, terlihat menambah kegagahannya sebagai siswa yang mampu merengkuh perempuan mana saja. Sejak pertemuan itu, aku mulai mengajaknya bicara di sela-sela jam menunggu laju kereta. Ada kisah pahit yang cukup menyayat kemanusiaan. Ah, entahlah. Apakah hidup yang kurang bersahabat, atau manusia yang bangga memelihara segala khianat. *** Dan siang ini, setelah usai sekolah, aku menyempatkan diri singgah menikmati segelas kopi dari warung kopi yang tidak begitu jauh dari lintasan kereta. Di sini, aku lebih lelu-asa menikmati laju kereta dengan segelas kopi dan beberapa potong ubi. ”Mau minum apa, PakWin?” lelaki penjaga warung menegurku. ”Seperti biasa, Bang?” Aku tersenyum. Lelaki itu berangsur pergi setelah bertanya. Aku menunggu. Di sekitarku beberapa abang becak menikmati kopi sambil menggelar canda. Hal itu dilakukan setelah meng-antar-jemput penumpang. ”Wah, ternyata jadi tukang becak itu enak. Kita tidak terkena program rasionalisasi sama sekali” seorang tukang becak bertubuh gendut, hitam, berujar. ”Lho, kowe kok ngerti? Apa itu yang kamu sebut? Program rasianalisasi? Apaan tuh!” seorang tukang becak yang duduk di sebelahnya, bertubuh kurus, menimpali. Aku Cuma bisa senyum mendengar pembicaraan mereka yang menjurus serius. ”Memang pemerintahan kita yang sudah rusak. Pejabat-pejabat sekarang tidak ada yang beres! Semuanya otak udang! Dari segala sudut dan lapisan sudah digrogoti dengan persoalan-persoalan yang begitulah....” arah sudut, dua orang tukang becak juga sedang berdebat. ”Betul kata kau itu. Dewan Perwakilan Rakyat pun sudah diisi oleh para mantan. Mantan tukang becak, mantan preman, mantan provokator, mantan macam-macamlah! Kadang aku kasihan sama anak-anak sekolah itu, tiap hari belajar yang kata gurunya demi masa depan. Ternyata, masa depan anak-anak sekolah itu diisi para mantan!” tukang becak sebelahnya menyambung pembicaraan. ”Eh, pandai juga kau ngomong, Din!” tukang kopi ikut bicara sambil mempersiapkan minuman. ”Ah, jangan sepele kau, Bang. Begini-begini, aku pernah masuk organisasi pemuda. Sekarang tidak mau aku teruskan. Kalau mau aku mungkin duduk jadi anggota dewan seperti kawan-kawan aku satu organisasi dulu.” ”Kenapa nggak kau teruskan?’ si gendut ikut bicara. ”Malas aku. Nuraniku tersentuh. Aku merasa terhina. Coba kau pikir, Bang. Aku makan uang rakyat, tapi aku tidak pernah memperjuangkan uang nasib rakyat. Macam mana menurut kalian? Gawatkan?” ”Wah, ini orang keblinger banget. Kamu nggak usah mikirin nasib rakyat. Nasib sendiri aja udah empot-empotan gitu kok, malah mau mikirin nasib wong cilik? Ya,sudah Jangan kebanyakan ngimpi.” ”Huss ngomongnya dipelankan, lihat tuh...” tukang kopi memberi kode. Suasana tiba-tiba hening. Semua mata tertuju hati-hati ke arah seberang. Seorang laki-laki muda berpangkas cepak duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan, memandang ke arah rel. ”Sudah dua minggu dia duduk di situ. Satu jam-anlah, setelah itu pergi. Aku sudah sering bilang sama kalian, jangan sekali-kali bicara politik, pemerintahan atau apa saja yang menyinggung kebijaksanaan pemerintah. Kalian lihat orang itu sedang mengamati tempat ini!” ”Tapi dia cuma melihat ke arah rel!” ”Eh, pelan-palan kau ngomong itu strategi pengintaian. Kadang-kadang dia sering memakai seragam SMA,” beberapa orang memperhatikanku pelan-pelan,”Eh, kalau dia lain. Aku kenal dia. Langganan tetapku sejak dua tahun yang lalu. Dia guru di sekolah itu. Mengajar kelas tiga.” Aku mengnangguk pelan. Perasaanku tiba-tiba tegang. Tukang kopi masih tetap ber bisik-bisik dengan tukang-tukang becak langganannya. Mata mereka sesekali mencuri pandang ke arah lelaki muda yang berpangkas cepak itu. ”Tapi kok sedih kali mukanya kutengok!” ”Eh, ini anak masih nggak ngerti. Itu namanya strategi pengintaian. Biar orang yang sedang diintai tidak curiga. Gitu. Macam di tivi-tivi itulah.” Mataku tertuju agak serius ke arah laki-laki muda itu. Aku terperanjat. Aku mengenal nya. Kulihat wajahnya memang sedang murung. Dia seperti punya beban berat dan aku hanya bisa menduga-duga. Aku hanya merasa dia sama denganku punya kebiasaan menikmati laju kereta yang melintas, pintas. ”Mungkin orang seteres itu!” ”Alah, hati-hati. Pelan-pelan kau bicara. Kalau dia dengar, bisa gawat.” ”Takut kali lah kau, Bang. Tak tahunya dia itu.” ”Sudahlah. Pokoknya pelan-pelan aja cakapnya. Kalau laju kereta sudah lewat baru boleh kalian becakap. Sekuat apapun tak kularang.” ”Kenapa,Bang?” ”Itu tekab woi. Ada kode-kode tertentu yang tidak bisa kita pahammi. Sssst....” Semua berbicara pelan. Sesekali mata mereka juga mencuri pandang ke arah laki-laki muda itu. Tidak berapa lama kemudian suara laju kereta mulai terdengar dikejauhan. Aku berdiri, laki-laki itu berdiri. Kereta api melaju. Aku berjalan, pelan. Tapi aku kehilangan bayangan. Jam di tanganku menunjukkan pukul 14.30 WIB. Aku berjalan pelan menuju tempat lelaki itu duduk sebelum pergi. Tidak ada yang kudapatkan selain coretan di balok kayu lintasan kereta. Pembuat saluran air mengalirkan air, tukang panah meluruskan anak pa-nah, tukang kayu melengkungkan kayu, orang bijaksana mengendalikan pikirannya. Aku hanya terpaku. Tidak paham dengan maksud tulisan itu, sampai aku mening-galkan tempat itu. *** Bel istirahat berbunyi. Siswa-siswa SMA Dalihan berhamburan. Sebagian bergegas menyerbu kantin, selebihnya mencari posisi sendiri-sendiri. Aku hanya terpaku di depan ruang kelas. Memandang tepat lurus ke depan, ke arah lintasan rela kereta. Di sisi kiri dan kanan rumah-rumah penduduk, merunduk. Dari lantai tiga sekolah kami, pandangan memang terasa lepas. Aku selalu menikmati pemandangan yang unik ini pada setiap bel-bel istirahat. Orang-orang yang melewati lin-tasan. Orang-orang yang menjemur pakaian. Dan orang-orang yang selalu menyulam ke-sibukan dengan beragam kegiatan. ”Woi, tengoktu! Ngapain si Agung duduk di situ,” seorang siswa berteriak,”pantaslah dia nggak masuk tadi. Rupanya dia cabut.!” ”Steres dia itu. Sebentar lagi mau dipecat,” sahut yang lain. ”Dia kan anak baru. Kok cepat kali dipecat?” ”Apalagi, ketauan gelek lah macam nggak ngerti aja .” Aku terkesiap. Sungguh yang satu itu aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa ibunya kawin lagi. Dia tidak setuju. Apalagi lelaki yang menjadi ayah barunya lebih pantas dipanggil dengan kakek daripada ayah. Apalagi dia anak satu-satunya. Dan diapun me-ngatakan, selau pergi ke diskotik untuk membuang segala muaknya. Selebihnya dia lebih senang menunggu laju kereta yang melintas. Bebannya seakan ikut lepas tergilas. Selan-jutnya dia sudah merasa sangat puas. Bebas. Dari kejauhan, aku melihat sebuah minibus daihatsu hijet 1000 keluaran tahun ’83 berhenti. Seorang tua dengan tongkat di tangan berjalan tertatih, datang mendekat. Tidak berapa lama setelahnya mereka sudah terlibat percakapan ’hebat’. Lelaki tua itu melutut. Suara Agung membelah angkasa. ”Gerrrejekjekjek.....” Dari kejauhan suara kereta api perlahan meninggi. Persimpangan tergesa. Bunyi per-tanda pun mengudara. Palang kereta perlahan merebah. Berpuluh mata nyala. Pikiran pun meraba. Ah, suasana mulai terdengar gaduh. Klakson pun beradu suara. ”Gerrrrejekjekjek........” Suara kereta semakin menyayat. Melintasi kornea mata. Di lantai tiga, siswa-siswa memeram cengkrama. Sebelum berebut masuk kelas, mereka sempatkan mengunyah laju kereta. Pemandangan yang seram, namun memesona. ”Pak!” seseorang berteriak sambil mengarahkan telunjuknya. ”Astagfirullah. Agung!” aku berteriak,”Jangan!” Yang lainpun ikut menyeru. Hampir seluruh siswa berteriak. Orang-orang di warung kopipun berteriak. Lelaki tua itu pun berteriak ”Gerrrejekjekjek.....” ”Krakkkkk..............” Medan, 13 BIODATA M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Pernah bersinggungan di Komunitas Forum Kreasi Sastra, Komunitas Seni Medan, Komunitas Garis Lurus, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Komunitas Sastra Indonesia, Seniman Indonesia Anti Narkoba,dll. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK, Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan. Alamat tugas : Jalan Jenderal Gatot Subroto km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Alamat Rumah: Jalan Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E-10 Medan, Sumatera Utara. Hp. 085830805157. Kontak Person TBSU- Jl. Perintis Kemerdekaan, no. 33 Medan. Saat ini sebagai Direktur Komunitas Home Poetry. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pinang. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan dengan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se-Indonesia di Bogor (200&), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta , TSI 1-3, Juara Unggulan 1 Tarung Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang, Nominasi cipta Puisi nasional Bentara, Bali, dll. No. Rek BNI : 0208306885. a.n. MUHAMMAD RAUDAH JAMBAK. Kancab. USU MEDAN

No comments: