Tuesday, 22 September 2020

ESAI : BUKAN BUZZER

M. RAUDAH JAMBAK TEATER ‘0’ : KOTA PARA BANDIT TEATER ‘O’ telah menemukan tempat yang seharusnya memang harus ‘dimuntahkan’. Dengan ciri khas komedi ala medan, teater ‘O’ tak pelak sudah menjadi ikon pementasan teater komedi di Medan. Mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga menebar pesan. Pesan dalam sebuah pementasan teater atau drama menjadi sesuatu yang dapat digambarkan kembali tatkala ia mengusik minda kita. Pesan yang didapat itu bisa saja menjadi beragam tafsir, tergantung latar belakang (perspektif) dari mana hal itu dipandang. Kelompok Teater ‘O’ dengan pementasannya berjudul ‘’DETEKTIF DANGA-DANGA episode KOTA PARA BANDIT’’ karya/Sutradara Yusrianto yang telah dipentaskan di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (21-22/6), saya kira akan menjadi sesuatu yang menyimpan ‘sesuatu’ di kepala kita, dalam arti kata bisa muncul pesan ‘seragam’ setelah kita menyaksikannya. Dan saya dari sekian banyak penonton akan mencoba menafsir pesan yang ‘tersembunyi’ diantara ‘teror’ komedi dan set properti yang telah dieksplorasi sedemikan rupa oleh sutradara Yusrianto. Tentu saja dalam hal ini, saya sudah memiliki ‘konsep’ saya sendiri dengan berusaha melihat adanya pola-pola hubungan di balik pengalaman pentas tersebut. Dengan demikian ‘’KOTA PARA BANDIT’’ karya Yusrianto dapat dilihat dari dua macam jenis aspek yakni teater sebagai pengalaman wujud pandangan mata (apa yang tampak) dan teater sebagai rasa yakni tatkala bentuk-bentuk gerak, bunyi, cahaya, seni rupa, musik dan pesan yang terbaca mengalami proses ‘pencernaan’. Sebagai pengalaman wujud pandangan mata, teater ‘’KOTA PARA BANDIT’’ yang apabila dilihat secara kasat mata adalah sebuah panggung teater yang menghadirkan penggal atau sketsa-sketsa hidup gambaran dari nilai-nilai ‘kebaikan’ yang bertembung dengan ‘keburukan’. Ia menjadi semacam ironis dalam kehidupan. Betapa tidak, setiap aktor dan set properti yang telah dieksplorasi oleh sutradara, menggambarkan kesan kekerasan, kemuakan, kengerian, ketakutan, kecemasan, kecintaan dan juga kemirisan yang pada akhirnya harus ditertawakan. Hal itu dapat kita temui di beberapa penggal dalam pementasan tersebut. Ketua Dewan yang tertangkap basah oleh istrinya yang sedang menelpon dengan selingkuhannya.Dalam kecemasan dan kemuakannya itu, pada akhirnya menghancurkan ‘peristiwa’ yang perlahan ditata di atas panggung. Tentu saja hal itu sudah diatur sedemikian rupa oleh sutradara. Dan hal itu pula yang jadi menarik, kejelian sutradara dalam menempatkan kejutan-kejutan dialog menjadi hal yang akrobatik. Dalam sekejap mata, penonton hanya sebatas menduga-duga pesan dari dialog yang mengalir di atas panggung. Saya kira di sinilah semuanya bermula. Di sinilah bermula ketakutan itu, kecemasan, kemuakan, kemirisan, kelucuan terhadap kebodohan. Karena memang yang terhidang di depan mata adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri dari hal yang tersebut di atas. Tetapi ia-nya tentu saja tidak dalam bentuk ‘verbal’. Ia hadir dalam bentuk dialog dan bisa saja hadirnya bahkan tidak kita duga. Tetapi bukankah pesan merupakan dunia batas antara yang dikenal dan ‘yang lain’ yang tak dikenal itu. Yusrianto sebagai sutradara saya kira dalam pementasannya itu tidak pula menempatkan dialoga dengan karakter medan. Artinya kita akan menemukan dari apa yang ternampak berbagai kemungkinan-kemungkinan pesan dari dialog yang dihadirkan. Namun perlu saya paparkan bahwa kesan yang muncul tersebut tidaklah menyamai ketika kita menyaksikan langsung dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di rumah atau ruang rapat para anggota Dewan, dan lainnya. Kesan yang kita tangkap sudah terkemas ke dalam wilayah estetika seni. Nah, ke semua itu bila dikaitkan dengan pesan yang hendak disampaikan Pentas ‘’KOTA PARA BANDIT’’ ini menurut hemat saya adalah persoalan keberaadan ‘keseriusan politik’. Selain bagaiamana sebuah perselingkuhan tidak hanya terjadi dari telpon ke telepon, dari kasur ke kasur, termasuk juga dari keputusan ke keputusan berikutnya. Mari pula kita kaitkan pesan dengan dialog, gerak, hand/set properti dari pengalaman pementasan ke dalam sebutan saya tadi yaitu teater sebagai rasa. Teater ‘O’ dengan sadar sebenarnya menghadirkan pesan dalam dialog, bentuk eksplorasi bahasa tubuh dan hand/set properti untuk kemudian kita rasakan dengan penuh kesadaran. ‘Rasa’ yang saya maksudkan di sini adalah hasil tangkapan inderawi terhadap suatu objek yang kemudian dikaitkan pula dengan tema yang disuguhkan sebuah pementasan atau karya. Tentu saja di sini perlu proses pencernaan. Kita atau katakanlah saya, begitu terasa mengasyikkan tatkala mengapresiasi pentas ‘’KOTA PARA BANDIT’’ meskipun sebenarnya diteror dengan berbagai dialog nakal, simbol, emosi yang terbangun, ketegangan, tensi meninggi, keterkejutan, kelucuan tetapi kemudian begitu pementasan selesai, ada semacam rasa yang hinggap bahwa sketsa-sketsa yang telah dikemas oleh sutradara adalah sebuah peristiwa ironis yang merasuk ke dalam diri. Awalnya kita ‘terpana’ dengan dialog ketua dewan dengan selingkuhannya yang kemudian menjadi ‘seolah-olah’ kemudian sutradara ‘mematahkannya’ dengan kejutan atau bahkan sentakan yang tak disangka-sangka. Awalnya kita merasa nyaman dengan dialog-dialog ‘nakal’ tapi sekejap kemudian ‘hancur’ menjadi serpihan-serpihan ‘ngakak’ diantara penonton. Dan banyak lagi sketsa yang hadirnya serupa demikian. Sosok Jaka Sembung menjadi begitu fenomenal, sehingga harus diselesaikan dalam rapat paripurna di ruang rapat dewan. Selain itu tim penyelidik terkesan berbau KKN. Memang serasa verbal, tetapi itulah yang terjadi. ‘Rasa’ ini yang kemudian saya kira dialihkan dalam proses pementasan ini. Kita begitu dekat dengan yang namanya ‘perselingkuhan’ tapi kemudian ternyata perselingkuhan itu berbahaya bagi ‘lingkungan dan kesehatan’ pikiran kita. Kita begitu membutuhkan, begitu merasa dimudahkan oleh manfaat dan fungsi aparatur negara serta birokrasi yang seharusnya memudahkan rakyat, tetapi ternyata justru hanya untuk memudahkan hasrat para penentu kebijakan. Dan rakyat tentu tidak mau tinggal diam, walau ternyata di tengah-tengah masyarakatpun terjadi perselingkuhan itu. Sekarang kita jadi berfikir, mana lawan mana kawan. Jaka Sembung bawa golok, kita balikkan Jaka Golok bawa sembung. Nah, demikian yang saya maksudkan teater sebagai rasa. Di sebalik ‘dialog komedi’ yang terhidang di atas panggung, terselip rasa ironis tersebut. Teater ‘O’ dengan ciri khasnya adalah menghidangkan dialog-dialog nakal khas medan di atas pentas. Para pemain menjadi aktor sekaligus benda-benda yang ‘berbahasa’. Imaji kita terbangun dari tawaran bentuk tubuh dan gerak manusia, bunyi-bunyi yang biasa dan tak biasa, tata cahaya dan ke semua teknik yang terus digali kemungkinannya. Tetapi itu pula yang kemudian menurut saya menjadi menarik untuk diapresiasi. Karena meskipun kesempurnaan komunikasi itu adalah bahasa ternyata sesuatu yang bukan kata-kata verbal mampu juga mengantarkan sepaket pesan di pangkuan kita. Demikian.

No comments: