Wednesday, 23 September 2020

ESAI : PENDIDIKAN

Pendidikan Keaksaraan Berbasis Kecakapan Hidup Dalam Pengelolaan Pendapatan Masyarakat Oleh: Drs Agussani MAP Pendidikan merupakan proses sistematis dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan merupakan tuntutan yang harus dilakukan oleh setiap warga Negara. Pada pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, tujuan pendidikan secara eksplisit dicantumkan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, dalam skala nasional pendidikan berada dalam posisi yang sangat startegis. Namun pada beberapa daerah seringkali ditemukan kasus rendahnya melek aksara masyarakat yang berdampak terhadap rendahnya kualitas hidup mereka, sebagai akibat tidak terlayaninya pendidikan keakasaran bagi seluruh lapisan masyarakat. Umumnya masyarakat yang tidak melek aksara menghadapi banyak kendala dalam memenuhi kebutuhan hidup termasuk kegiatan ekonomi keluarga akibat keterbatasan dalam keaksaraan. Perilaku spekultaif, kurang hati-hati dan boros dalam mengunakan uang adalah beberapa indikator perilaku dari umumnya masyarakat yang terbelakang dan belum terlayani bidang pendidikan keaksaraan. Oleh karena itu, diperlukan program pendidikan yang reprsentatif dalam menanggulangi persoalan pendidikan keaksaraan bagi masyarakat yang ada didaerah. Data Bappenas tahun 2008 menunjukkan bahwa faktor ekonomi (tidak ada biaya/bekerja mencari nafkah) menjadi alasan utama seseorang tidak bersekolah, putus sekolah, dan/atau tidak melanjutkan sekolah. Hal ini sangat terkait dengan tidak terbukanya akses secara merata dan berkeadilan bagi masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang layak dan nota bene dijamin oleh undang-undang, yang kemudian juga diikuti oleh tidak memadainya perlindungan/jaminan negara terhadap masyarakat miskin untuk meyelenggarakan hidupnya secara layak, termasuk memperoleh pendidikan yang layak. Mengintegrasikan kegiatan pemberantasan buta huruf dengan kegiatan produktifitas ekonomi masyarakat sebenarnya sudah dilakukan, tapi kelemahannya adalah: masih sangat tidak proposional, artinya bahwa kemampuan calistungdasi (membaca, menulis, berhitung dan berdiskusi) masih sangat dominan daripada porsi penumbuhan kecakapan personal, kecakapan sosial, maupun kecakapan vokasional, dan sifatnya pun masih sangat sektoral. Jumlah buta aksara penduduk Indonesia sendiri hingga akhir tahun 2010 masih sekitar 5,3 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 8,7 juta jiwa, Saat ini presentase buta aksara di Sumatera Utara mencapai 3,8 persen dari 2,4 juta jumlah penduduk yang masuk usia produktif. Dari 3,8 persen buta aksara itu terbanyak di Deliserdang dan Nias. Mereka tinggal di daerah pegunungan dan pantai, didominasi kaum perempuan berusia di atas 50 tahun (Harian Global, 2010). Program penurunan buta aksara sendiri sebenarnya telah dilakukan melalui pendidikan formal dan nonformal, namun perlu adanya penanganan yang lebih sinergis agar dapat diperoleh hasil yang lebih optimal. Kerja sama lintas sektor perlu lebih diintensifkan untuk dapat diperoleh hasil yang maksimal, karena penurunan buta aksara tidak maksimal jika buta aksara baru terus bertambah. Berbagai kebijakan telah dibuat oleh Pemerintah, salah satunya adalah upaya meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari APBN dan APBD sesuai amanat UUD 45 dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tapi semua kebijakan akan lebih berhasil jika peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan lebih ditingkatkan termasuk peran dan fungsi Komite Sekolah, Perguruan Tinggi dan Dewan Pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat yang mencakup proses perencanaan, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan pendidikan. Patut disadari, paradigma untuk pendidikan keaksaraan secara global saat ini mengalami perluasan makna. Pendidikan keaksaraan saat ini bukan hanya berkutat pada masalah kesenjangan kecakapan membaca, menulis dan berhitung, tetapi hal itu juga menyangkut kecakapan-kecakapan tertentu dan penguasaan keterampilan praktis yang kontekstual dan selaras dengan perubahan peradaban manusia yang melahirkan konsekuensi logis tentang adanya tuntutan-tuntutan baru terhadap setiap individu. Problem seperti ini akan menciptakan kesenjangan yang hanya bisa dijembatani oleh pendidikan, khususnya pendidikan nonformal. Pendidikan keaksaraan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam dunia pendidikan nonformal inipun tidak terlepas dari tugas dan fungsinya sebagai pelengkap (suplemen), penambah (komplemen), dan pengganti (subsitusi) yang tercipta dari suatu sistem pendidikan secara menyeluruh. Metode Pembelajaran Aspek metode pembelajaran sangat penting mendapat perhatian karena tiga alasan. Pertama, metode pembelajaran merupakan variable manipulative, artinya setiap tutor memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan berbagai metode pengajaran sesuai dengan karakteristik materi pembelajarannya. Lagi pula, struktur isi pelajaran sesuai merupakan variable pembelajaran di luar control tutor karena merupakan wewenang pemerintah. Kedua, metode pembelajaran memiliki fungsi sebagai instrument yang membantu atau memudahkan warga belajar dalam memperoleh sejumlah pengalaman belajar. Materi pembelajaran yang memiliki tingkat kesulitan akan terasa mudah jika tutor mampu meramu dan menyajikan dengan menerapkan metode pembelajaranyang menarik bagi warga belajar. Ketiga, pengembangan metode pembelajaran dalam konteks peningkatan mutu perolehan hasil belajar perlu diupayakan secara terus-menerus dan bersifat komprehensif karena proses pembelajaran merupakan faktor determinan terhadap mutu hasil belajar. Hal ini makin menarik untuk diperhatikan seiring dengan kuatnya tuntutan terhadap mutu pendidikan nonformal. Strategi Pembelajaran Secara sempit strategi dalam pembelajaran mempunyai kesamaan dengan metode yang berarti cara untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. Secara luas, strategi dalam pembelajaran diartikan dengan cara “Penetapan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan pencapaian tujuan belajar, termasuk dalam penyusunan perencanaan, pelaksanaan kegiatan pembelajaran, dan penilaian proses serta hasil belajar” (Abdulhak 2000:49). Walaupun kedua pendekatan tersebut berbeda, namun pada hakekatnya mempunyai kesamaan bahwa strategi ditujukan kepada cara atau usaha yang digunakan dalam pencapaian tujuan belajar. Berbagai strategi pembelajaran kiranya dapat dipahami sebagai suatu cara yang dipilih dan ditetapkan oleh tutor untuk mempermudah proses pembelajaran (Kusnadi, 2005:151).. Strategi ini mencakup tujuan kegiatan, siapa yang terlibat dalam kegiatan, isi kegiatan, proses kegiatan, dan sarana penunjang kegiatan. Strategi sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan belajar harus dirancang dan direncanakan sesuai dengan karakteristik peserta, yaitu bagaimana latar belakang pendidikan, prinsip nilai yang dianut, apa kebutuhan dan harapan peserta pada saat ini, serta pengalaman apa yang dimilikinya, sehingga akan memberikan alternatif solusi dari kebutuhan dan masalah yang dimilikinya. Pendidikan Kecakapan Hidup Dalam hampir semua kegiatan untuk menjalani kehidupan, persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh seseorang pada umumnya berkisar pada empat persoalan besar yang sangat mendasar sebagai persoalan utama. Keempat persoalan besar itu adalah: pertama persoalan yang berkaitan dengan dirinya sendiri, kedua persoalan yang berkaitan dengan keberadaannya bersama-sama dengan orang lain, ketiga persoalan yang berkaitan dengan keberadaannya di suatu lingkungan alam tertentu, dan keempat persoalan yang berkaitan dengan pekerjaannya, baik yang berkaitan dengan pekerjaan utama yang ditekuni sebagai mata pencaharian maupun pekerjaan yang hanya sekadar sebagai hobi. Agar dapat menghadapi keempat persoalan utama tersebut dengan sebaik-baiknya, diperlukan adanya suatu kecakapan khusus yang minimal harus dapat dikuasai oleh seseorang. Dalam mempersiapkan suatu kecakapan khusus itu secara dini, pada dasarnya perlu diupayakan dengan baik, sekurang-kurangnya empat jenis pendidikan kecakapan untuk hidup atau Lifeskills Education yang harus dibekalkan kepada para peserta didik. Keempat jenis pendidikan kecakapan yang perlu diberikan bisa dilakukan melalui pendidikan informal di dalam keluarga dan masyarakat, maupun melalui pendidikan formal di sekolah. Pendidikan tersebut hendaknya mencakup: ‘personal skills education’, ‘social skills education’, ‘environmental skills education’, dan ‘vocational atau occupational skills education’ Arends, 1997, (dalam Trianto, 2007:7). Kecakapan hidup sendiri sejatinya membantu peserta didik dalam mengembangkan kemampuan belajar (learning how to learn), menghilangkan kebiasaan dan pola pikir yang tidak tepat (learning how to unlearn), menyadari dan mensyukuri potensi diri untuk dikembangkan dan diamalkan, berani menghadapi problema kehidupan dan memecahkan masalah secara kreatif. Namun hasil analisis awal terhadap pendidikan keaksaraan, diketahui pendidikan keaksaraan belum mengintegrasikan kegiatan pemberantasan buta huruf dengan kegiatan produktifitas ekonomi masyarakat yang sebenarnya. Pendidikan keaksaraan masih sangat tidak proposional, artinya bahwa kemampuan calistungdasi (membaca, menulis, berhitung dan berdiskusi) masih sangat dominan daripada porsi penumbuhan kecakapan personal, kecakapan sosial, maupun kecakapan vokasional; dan sifatnya pun masih sangat sektoral. Warga belajar sebagai sasaran pendidikan keaksaraan yang melek huruf belum signifikan dengan peningkatan pendapatan yang seharusnya mereka peroleh setelah mampu membaca, menulis dan berhitung. Atau dalam bahasa lain, kemampuan calistung yang dimiliki warga belajar belum dimanfaatkan sebagai modal untuk meningkatkan pendapatannya. Untuk itu, pendidikan keaksaraan fungsional perlu mendapat perhatian dan pengkajian secara komprehenship baik pada aspek pengelolaan penyelenggaraan program keaksaraan, maupun orientasi pendidikan keaksaraan yang mengantarkan pada suatu kemampuan keterampilan tertentu sehingga kemampuan keaksaraannya tersebut memiliki makna dalam meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memperkuat kemampuan keaksaraan bagi masyarakat yang secara ekonomi sangat lemah sehingga memiliki kemampuan berusaha yang lebih baik dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Dikutip dari isi makalah yang disampaikan pada Kegiatan Internasional Seminar of Non Formal Education 23 Januari 2013 di Auditorium Universitas Panca Budi Medan Sumatera Utara

No comments: