Wednesday, 23 September 2020

KATA : KATA-KATA

KETIKA RINDU DIUNGKAP LEWAT KATA * Oleh :M.Raudah Jambak Itulah manusia. Kita. Hadirnya yang selalu mesti menjadi tempat yang di-hempas. Seharusnya mereka mengerti untuk tetap berada dalam nuraninya yang putih. Seputih warna bunga yang masih selalu mendo’akan mereka agar dapat keluar dari tekanan kehidupannya… (Jerat:51) Langkah, rezeki, pertemuan, dan maut adalah ungkapan yang acap singgah di gendang pendengaran kita, sebagai makhluk Tuhan. Demikian juga dengan kesepian, kekecewaan, kerinduan, dan harapan nyaris selalu menyinggahi der-maga hati kita sebagai manusia. Dan bukan tidak mungkin kegilaan-kegilaan dari gemalau pikiran kita akan berlompatan ingin menjadi apa saja atau bero-bah menjadi siapa saja. Kita bisa menjenguk letupan-letupan nuraninya Kahlil Gibran, Muhammad Iqbal, Jalaluddin Rumi, Qurrat al-Ain, Tahir Ghani, Nasir-I Khusraini, Ham-zah Fansyuri, Sulaiman Celebi,Ahmad Syauqi,Ghalib, Firdausi, Sa’adi, Hafiz, atau mungkin Al-Hallaj. Hal ini tidak akan pernah selesai dalam goresan di tiap halaman zaman. Akan terus berulang. Seperti hal-nya antara telur dan ayam, mana yang lebih dulu, pada akhir masa (mungkin) akan tetap menjadi rahasia Sang kala. Semua akan menjadi benar, atau semua akan menjadi salah pada akhirnya tergantung cara pandang kita masing-masing. Peristiwa yang sama akan tetap terus berulang, seperti matahari yang mati berkali-kali, akan tetapi tetap hidup di pagi hari. Itu adalah rahasia-Nya, Sang Maha Rahasia. Hanya saja peristiwa yang sama itu diperankan oleh pelaku yang berbeda. Dan itulah kita. Manusia. Rindu "Kebisuan" yang Merindu Membaca "Rindu Kebisuan"-nya Masril Habib dalam sejumlah prosa liris dengan tebal 104 halaman itu, seperti membaca peristiwa yang akrab hadir di sekitar kita. Pe-ristiwa itu sebenarnya sudah sering kita alami. Selalu kita baca. Selalu diperdengar-kan. Hal itu sudah biasa. Biasa bagi orang-orang yang intens membaca, menulis atau menikmati berbagai peristiwa. Terutama yang dibungkus dalam bingkai sastra. Bagi orang awam atau pemula persoalan itu tentunya tidak sekedar biasa, tapi jus-tru dianggap luar biasa. Kontemplasi semakin sarat makna. Apalagi dengan pem-bungkus sastra yang penuh dengan cita warna dan rasa. Tema-tema kesepian, kegelisahan, dan kerinduan seperti tidak pernah habis-habis-nya. Tema-tema itu nyata jelas terungkap dalam prosa liris-nya Masril Habib. Hanya saja idiom-idiom digunakan belum menunjukkan warna yang berbeda. Dalam sebuah seni pertunjukan drama, sang aktor dianggap berhasil ketika dia mampu memerankan tokoh dalam cerita. Bukan berperan sebagai dirinya sendiri. Lain halnya dengan karya sastra, sastrawan justru dianggap berhasil ketika dia mam-pu menuangkan karakter dirinya dalam bingkai karya. Sehingga pembaca yang bagai-manapun tidak akan pernah membayangkan karakter orang lain di dalam karyanya. Fenomenanya masyarakat gembel, miskin dan serba ketidak berdayaan dalam pemenuhan kehidupan dalam potret yang senyata-nyatanya terpampang di depan mata kita. Jika kita kaitkan dalam pemilihan kepala daerah (PILKADA), maka mengangkat harkat dan martabat masyarakat miskin ini merupakan menu pamungkas yang paling jitu untuk mengobral janji pada masya-rakat yang lemah tak berdaya. Pemimpin yang bijaksana tentunya akan menjadikan hal ini sebagai inspirasi yang mendedah nurani, lalu kemudian diterapkan ke kawasan lingkungan masyarakat prasejah-tera ini menuju masyarakat yang sejahtera. Sementara para penyair hanya mampu mengangkat realitas ini ke dalam wadah bahasa, sebagai se-buah pilihan ketika ia tidak mempunyai kekuatan dalam strata penentu kebijakan. Sekaligus sebagai jawaban yang mesti dilakukan. Juga terapi dalam melakukan aktivitas untuk memperjuangkan nasib mereka sebagai warga juga sebagai manusia. Hanya saja hal ini menjadi pengganjal bagi para penguasa yang telah mencapai puncak kekuasaan. Janji-janji-pun jadi angin “buritan” yang hilang ditiup angin. Barangkali, logika bahasa yang tertuang disebabkan potret buram itu semakin riuh memenuhi pusat- pusat kota (pemerintahan) yang menumpuk kebahagiaan di atas penderitaan-penderitaan rakyat ter-tindas. Ingin menyuarakan ketidakberdayaan , kemiskinan, dan mungkin sedikit menuntut haknya di tengah percaturan hegemoni kekuasaan. Dan ternyata, keinginan lewat logika bahasanya itu justru ha-rus berbenturan dengan wilayah “rahasia” yang sering mengedepankan eufemisme bahasa. Acap hadir dalam setiap orasi pemilihan kepala daerah (PILKADA) dan berakhir nonsense. Maka, terjadi kontradiksi penafsiran dengan dalih-dalih politis yang “menggugah” menghipnotis harapan kaum-kaum miskin sebagai wilayah tak berdaya. Bahkan sekali waktu acap juga dianggap sebagai “penentang” atas nama pembangunan, akhirnya. Prototipe, penyair yang dituangkan lewat baris-baris puisi, mengabarkan keterwakilan kaum masya-rakat miskin dengan kesadaran yang penuh bahwa ekspresi kebebasan yang dimiliki bukanlah bahasa samar. Apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami adalah ekspresi bahasa itu sendiri, bukan bahasa reka-yasa. Ekspresi kelugasan merupakan indikasi kepolosan, sekaligus merupakan karakter yang tumbuh berkembang di kelas sosialnya. Informasi dalam potret sosial masih dalam kawasan realita. Para penyair adalah pewarta informasi ini kepada masyarakat luas dari berbagai lapisan, termasuk para pemegang teguh kekuasaan. Juga sebagai juru bicara tentang suara masyarakat kebanyakan yang hidup dalam ketidak- berdayaan. Informasi yang disampaikan-pun tanpa ada penyamaran dan rekayasa. Investigatif seporting dengan sungguh-sunguh telah dilakukan, sehingga kadar akurasi berita tidak perlu diragukan, baru dan actual. Berita tentang kemiskinan, bukan hanya pemaparan kondisi budaya penyair dan kepenyairannya yang terlanjur identik dengan kehidupan kaum grassroot, namun telah mengglobal. Ketika kemiskinan men-jadi tema-tema actual, menjadi bahan diskusi, menjadi materi proyek pembangunan, bahkan menjadi harga diri suatu bangsa. Dan penyair pun mencoba berpartisipasi dengan membangun komunitas bahasa puisi kemiskinan dan ketidakberdayaan dengan inspirasi realitas keseharian. Sayangnya, mayoritas orang awam mengatakan bahwa puisi hanya menawarkan secawan mimpi-mimpi penuh dusta. Sejak Plato, selalu saja anggapan itu menyatakan bahwa kegiatan menciptakan puisi melulu sebagai keisengan yang akan menjauhkan manusia dari kenyataan (Dahana,2001). Apa yang sebenarnya dapat dilakukan oleh sebuah (karya sastra)? Sebuah jawaban yang optimis barangkali juga hadir sejumput harapan dan realitas yang mendudukan puisi sebagai karya sastra penggerak. Bahkan, sastra juga dianggap sebagai sesuatu yang memiliki peran tertentu; sebagai agen perubahan (agent of change). Padahal puisi hadir tidak akan terlepas dari realitas yang telah melingkupi kehidupan dan latar belakang yang menyebabkan kelahirannya dari sastra yang diciptakan oleh seorang penyair. Di sinilah kemudian muncul sebuah pretense yang kemudian menempatkan puisi sebagai sebuah media untuk memasukkan segala sesuatu yang menyebabkan puisi sarat dengan kepentingan. Padahal tidaklah demikian adanya. Meskipun puisi tidak akan pernah terlepas dari realitas kehidupan dan latar belakang serta kondisi-kondisi cultural pengarangnya, namun dalam kerangka yang lebih konkret, ia hadir dengan dua sisi: kenikmatan dan pendidikan (Mahayana dalam Isdriani, 2003). Dalam arti lain bahwa estetika tetap menempati posisi yang amat signifikan di dalamnya. Ia tidak bisa terlepas dan melepaskan diri begitu saja dari sastra (puisi). Sebagai alat perjuangan tak berdarah, puisi hanya berusaha dan berupaya menyentuh atau “membu-nuh” hati yang paling dalam. Sebab kemiskinan memang hal yang menjadi persoalan dasar bangsa kita. Angka kemiskinan tiap tahun kian meningkat, sehingga perlu jarak renung dengan mencerna realitas untuk meraih keutuhan kemanusian bahwa kemiskinan yang menimpa masyarakat sudah sedemikian akut. Pada bagian inilah sebenarnya tugas penyair, terus menerus secara sukarela memperjuangkan nasib kaum grassroot. Ikhlas dalam menuangkan pemikiran-pemikirannya lewat karya-karya yang fenomenal. Jika memang hanya itu yang dapat dilakukan. Paling tidak memberikan semacam kesadaran, sumbang pikiran secara terus menerus kepada pihak calon penguasa di PILKADA atau penguasa yang sedang memegang tampuk kekuasaan. Firman Allah: ‘Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (manusia), kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya”. Mengapa kamu tidak mau berfikir? Kaitannnya dengan perwajahan karya pengaruh tentu saja ada, itupun harus berhati hati. Jangan sampai terjadi pemindahan gaya, apalagi sampai tersekap di penjara plagiat. Seperti yang tercatat pada bukunya "Nyanyian Kerinduan", disebutkan: Tatkala seorang sastrawan hendak mengekspresikan dirinya, ia boleh memilih ben-tuk yang disukainya. Bentuk-bentuk yang lazim…Namun, kadang-kadang ia tak puas dalam salah satu bentuk itu, lalu terjadilah pengaburan batas, seperti halnya karya Masril Habib. Ia merupakan karya dari sastrawan muda yang mencoba bereksperimen dengan pembauran bentuk ini. Namun agaknya sebagai karya sastra, ia masih mendukung unsur estetik, etika, logika dan dinamika, walaupun bobot tersebut ku-rang seimbang. Tampaknya penulis mendahulukan estetika dari lainnya. (Nyanyian Kerinduan) Perkembangan yang tidak Berimbang Masril yang terlahir di Rantau Prapat, 4 Maret 1975 telah berani meluncurkan dua buku sekaligus, masing-masing "Nyanyian Kerinduan" dan "Rindu Kebisuan". Rindu Kebisuan dengan tebal 103 halaman ini, mengingatkan saya dengan Javid Namah-nya Iqbal, Masnawi-nya Rumi, Sayap-sayap Patah-nya Gibran, Shah Namah-nya Firdausi Gulistan-nya Sa’adi, Diwan-nya Hafiz, dsb Kebanyakan dari mereka sudah menjelajahi bentuk-bentuk ode, musaddas, gazal, maupun prosa liris. Jhon L. Esposito, ada mengungkapkan bahwa pada abad –13 bentuk ungkapan pro sa liris untuk Nabis SAW muncul dan berkembang dalam berbagai bahasa-Gazal sebagai bentuk utama ekspresi putis. Bentuk ungkapan cinta dan kerinduan ini biasa-nya dipilih oleh para sufi, sejak abad –9 di jazirah Arab, yang dikumandangkan di bi-lik-bilik persinggahan (Khanaqah) dan dijadikan sarana latihan spritual, diantaranya bentuk Rubai’at, misalnya. Cinta padamu menyisihkan tasbihku dan memberikan sajak dan nyanyian padaku . (Kitab keabadian, Iqbal) Masril terkesan ke arah itu, apakah Drama Manusia, Suara Penyair, Sayap-sayap Patah, Jangan Bercinta dengan Pujangga, dll,-nya Gibran. Atau Trilogi dari Iqbal, se perti Rahasia Diri (The secrets of the self), Misteri Diri (The Mysteries of Selfless-ness), dan Kitab Keabadian (Javid Namah), dsb. Bukan berprasangka, tetapi mereka sudah lebih dulu mengenal dramatic poems ,narrative poems,dll.Hanya saja keberanian Habib perlu menjadi catatan tersendiri di bagian lembaran hati kita. Dan tidak heran jika kesimpang siuran pemikiran Habib bercampur aduk di dalamnya, apakah ini yang disebut membaptis Eksistensi? Kita lihat dalam Melewati Malam: Adapun jalan-jalanmu adalah tempat bumi mengukir arah, dan menjadikan tapak-tapak menjanjikan kesungguhan Lalu: Dan aku pun membenci Dan kemudian: Membenci do’amu pada ketika ini Hal ini terasa juga pada Hidup Rindu Kekasih, Sepi Terhempas, Ratap Sungai Ke-ring, Gadis Kecil, Jerat, Dalam Kesempitan Gelap Nafas, Bisik Putik-Putik Berganti,Senyap Di Kampung Kumuh, Bulan Si Pengembara, Orang Gila dan Rindu Kebisuan. Dalam Rindu Kebisuan ,misalnya: Atau juga keletihan jiwa-jiwa berdo’a, menekuri jalannya dan mencari arahnya. Sebanyak matahari yang telah hadir menyinari bumi, dan sebanyak gubahan rembu-lan yang mencintai bumi. Kemudian dia mengatakan: Disisiku , yang selalu letih bila hari membentang, hidup di sini, mencari jalan per-tolongan, membiarkan cintaku tumbuh berkembang dan tetap berkembang.Memaha-mi Tuhan di antara semua tempat yang dilewati hidup siapapun. Suatu ketika masril ingin seperti orang-orang zuhud (sufi), di lain waktu ia ingin menjadi orang biasa yang mencintai dan dicintai. Bebas dalam keterikatan. Setelah itu ia ingin bersunyi-sunyi dalam keramaian, ia ingin riuh dalam kesunyian. Anti-thesis, Analogi, dan berbagai ungkapan pertentangan makna berkembang hampir seluruh bagian (walau masih belum berimbang), sehingga konsistensi belum terjaga. Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak. Bagiamanapun Habib sudah berusaha untuk mengungkapkan segala keinginan dalam hati dan kepala. Kita perlu mem-berikan ungkapan salut. Hanya saja, janganlah kapal berhenti abadi pada dermaga yang sama, dalam pengertian berkarya.Demikian. *Penulis Direktur Comunitas Home Poetry

No comments: