Wednesday, 23 September 2020
ARTIKEL : DARI DAN KE
DARI WARUNG DISKUSI KE OMONG-OMONG SASTRA
Oleh : M. Raudah Jambak, S.Pd
Ada sebuah pernyataan yang menggelitik, yang mengatakan karya bukan untuk diomongkan. Berkarya sajalah! Tentu kita harus arif memahami pernyataan ini. Satu sisi mungkin pembicaraan itu muncul dikarenakan ada yang ingin dicapai. Sisi yang lain bisa jadi menghindari diri dari campurtangan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Boleh saja kita setuju dengan pernyataan itu, atau mungkin kita lebih memilih tidak memilih. Terserah pada kita tanpa harus kehilangan kreativitas dan kejujuran berkarya.
Proses Kreatif dan Kejujuran Berkarya
Persis seperti apa yang selalu kita dengar dan dengungkan bahwa proses kreatif setiap kreator tentu tidak sama. Pun proses kreatif setiap karya yang dilahirkan. Tetapi, tentu tidak salah jika kita menikmati proses kreatif yang berbeda itu sebagai sebuah ‘siksaan’ yang nikmat. Tanpa harus ‘curiga’ terhadap seorang kreator tentang bentangan proses kreatifnya, yang bisa jadi merupakan hasil karangan berikutnya setelah karya itu ditetaskan.
Demikianlah yang terjadi, ketika warung diskusi menghadirkan proses kreatif Ilham wahyudi sebagai objek pembicaraan dan Hasan Al banna sebagai penyeimbang, serta Arif Tarigan yang memoderasi persiggungan itu dengan peserta (Sabtu, 5/2/11), di ruang pameran Taman Budaya Suamatera Utara.
Sering kita dengar bahwa, sebagian penyair menganggap kerja kepenyariran adalah sebuah upaya membaca apapun dengan sepenuh kejujuran. Ketika persoalan atau kondisi lingkungan yang terjadi di sekitar diri penyair adalah sebuah kebusukan, misalnya, maka penyairlah yang akan menuangkannya sebagai sisi kebenaran dalam karyanya yang disebut puisi itu.
Kita tahu, media cetak (dalam hal ini koran harian), dalam perkembangannya memang cukup memberi ruang untuk ikut melestarikan tradisi penulisan sastra lewat rutinitas halaman sastranya. Media cetak dalam format dan periode penerbitan lain seperti majalah, tabloid, buletin dan sebagainya juga memberi alternatif yang sama, disamping teknologi internet seperti sejumlah blog dan website yang menjamur di dunia maya.
Seperti yang disinggung oleh Sobirin Zaini, Penciptaan karya sastra, seperti juga penciptaan karya seni lainnya, kita semua tahu, memang memerlukan sebuah proses dan perenungan-perenungan yang dalam. Seperti yang pernah dikatakan Chairil Anwar ––yang saya kutip sebagian di sini––dalam sebuah prosanya; "kita mesti menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu baru mengumpulsatukan."
Penulis atau sastrawan selayaknya memang harus "memeram" beberapa waktu untuk ia sendiri akui kehadiran dan wujud sebuah karyanya. Ia juga dituntut untuk mengoreksi dan merevisi secara intens sebelum terlanjur dipublikasi dan sampai ke tangan pembaca
Setiap karya, setiap, creator, setiap redaktur, setiap provinsi, bahkan setiap negara, dll, tentu tidak akan pernah sama dalam menimbang, memilih, mengupas, atau mungkin membuang setiap karya yang lahir. Misalnya, ketika negara maju lebih memikirkan antologi (buku) dalam mengumpulkan karya-karya mereka, tentu akan terjadi lagi perdebatan siapa editor (kuratornya)?, ya, penulisnya sendiri. Lalu, apakah itu onani? Tunggu dulu. Kemudian, ketika kita berpikir ciri-ciri negara miskin, seorang creator selalu berpikir di media mana dimuat? Dipuji siapa karyanya? Dan untuk inipun kita harus dipertimbangkan masak-masak. Karena yang terpenting adalah niat, tujuan seorang kreator tersebut dalam melahirkan karya-karyanya. Siapa yang tahu? Mungkin juga bagaimana kedekatannya dengan pengalamanya sendiri terhadap karya yang diluncurkan. Hm, bukankah ada penelitian pustaka selain penelitian lapangan? Jadi, tentu tidak ada pantangan bagi kreator yang tinggal di pelosok kampung membicarakan persoalan urban, misalnya, atau sebaliknya, bukan?
Kota, Urban atau Urbanisasi
Kandungan sastra tentu tak lepas dari ragam persoalan kehidupan manusia dengan segala tetek-bengeknya. Semua terpapar dengan filosofi dan citraannya. Kekayaan pengalaman referensial dan faktual yang dimiliki pengarang dapat mewarnai karya dengan ketajaman pena dan kedalaman makna yang dikandung nya.Sastra urban adalah kebangkitan sastrawan kebangsaan: sastra yang mampu memaknai kata dan menggetarkan kehidupan kemanusiaan. Sastra yang menyentuh dan bukan menyinggung: menghidupkan kembali ruh bangsa yang sekian lama belum terumuskan.
Kota takkan memberi ruang kultural bagi mereka dan mereka dipaksa untuk menjadi konsumer, bukan produsen. Tak dapat dibayangkan, dalam hitungan kira-kira, 20 tahun ke depan, generasi (anak cucu) kita akan makin tumbuh invalid karena kehilangan akar budayanya.
Keakuan, ketidakmandirian, masabodoh, dan sikap ’keras’ mental yang juga cenderung rapuh tentu menjadi ciri khas dari masyarakat kota. Hal inilah yang menja di dasar perjuangan sastrawan ketika membentangkan karya sastra bertema urban.
Sastra urban berkumandang saat bermunculan sastrawan ibukota yang membawa identitas kedaerahannya masing-masing. Sebutlah Asrul Sani, Ajip Rosidi, Rendra, Ramadhan KH, Nirwan Dewanto, Putu Wijaya, Abdul Hadi WM, Danarto, Taufiq Ismail, dll. Kini pada perkembangannya sastra urban berkembang dalam keberadaan komunitas dan kantung-kantung sastra di wilayah sekitar kota. Sastra urban dinilai memberi peran dan sumbangan besar pada pertumbuhan sastra di Indonesia .
Hal itu yang terungkap dalam omong-omong sastra yang bertema "Tema Urban dalam Cerpen Medan" yang digelar Komunitas omong-omong sastra Sumatera Utara, di rumah Idris Siregar, (Minggu, 6/2/11), Tanjung Morawa, baru-baru ini.
Omong-omong sastra tersebut menghadirkan pembicara Hidayat Banjar dan Intan Hs, serta di moderasi Hasan Al Banna. Acara ini juga diselingi pembacaan dan rampak puisi ”Seratus Untai Biji Tasbih”.
Persoalan Kota, urban, ataupun urbanisasi adalah persoalan yang pelik dan seharusnya tidak perlu kita pandang sempit. Banyak karya yang hadir dan mengalir dari media maupun buku-buku antologi, Sumatera Utara, pun luar Sumatera Utara mengemukakan persoalan yang demikian
Puisi-puisi Afrizal Malna dari buku puisi Abad yang Berlari (1984) hingga buku puisi mutakhirnya Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002) telah memberikan suatu gambaran, citraan, atau sosok yang lain dari berbagai kecenderungan yang pernah berlangsung dan menonjol dalam arus utama khazanah perpuisian Indonesia modern yang telah umum dikenal masyarakat kita selama ini. Perhatikan judul-judul puisi yang disusun dari diksi dan idiom yang tak lazim sepanjang sejarah bahasa penulisan puisi modern kita selama ini, misal ”Kota-kota dalam Tas Koper”, ”Aku Terbang Bersama Kipas Angin”, atau ”Hujan dari Sebuah Dapur”.
Jika kita selama ini hanya mengenal sosok utama puisi Indonesia modern lewat Amir Hamzah (”Padamu Jua”), Chairil Anwar (”Derai-derai Cemara”), Sutardji Calzoum Bachri (”O, Amuk, Kapak”), Goenawan Mohamad (”Interlude”), Taufik Ismail (”Trem Berkelenengan di San Fransisco”), dan Rendra (”Nyanyian Angsa”) kemungkinan besar kita akan merasakan sesuatu yang sangat berbeda jika membaca puisi Afrizal Malna ini.
Jika di Sumatera Utara ada antologi 6 Penyair Urban, Antologi Cerpen Medan, Antologi Cerpen DKM, Denting, dll.
Akhirnya, persoalan Urban memang tidak akan pernah selesai. Pun begitu kita tidak akan pernah berhenti begitu saja. Bukankah tidak ada yang baru di bawah matahari?
*Penulis adalah direktur Komunitas Home Poetry
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment