Wednesday, 23 September 2020
CERPEN : MBRIOKATEYA
MRJ
Mbirokateya
Mbirokateya memegangi perutnya. Peluh mengucur deras dari dahi dan sekujur tubuhnya. Ia masih teringat pesan Ma. Perasaan menyesal seperti tiada guna, pikirnya. Ketika itu Ma hendak mengajaknya ke bevak ditengah hutan. Sebenarnya Ma harus sendiri, sebab itu memang sudah ketentuan adat. Tetapi, Ma sengaja mengajaknya diam-diam agar ia cepat mengerti tentang keberadaan perempuan di kampungnya.
Angin berhembus pelan. Ranting-ranting pepohonan saling bergesekan. Awan tipis menutupi matahari yang perlahan merangkak. Bias cahaya di langit membentuk sebuah pantulan berjuta kilau permata sejauh mata memandang.
Waktu fajar mulai menyingsingkan auranya menyinari seluruh kebekuan alam se mesta. Mbirokateya ingat dengan apa yang dilakukan Ma, sebelum mengajaknya menuju bevak , memulai rutinitas sebagai perempuan, sebagai ibu.
Setiap kali bangun pagi selalu saja ada makanan didapur. Makanan yang dibungkus rapi dilipat daun pisang yang dipetik Ma setiap sore dikebun belakang atau menikmati ulat manggia atau koo, yang sudah dipanen dari sisa tebangan pohon sagu yang telah dipangkur sekitar dua minggu sebelumnya. Koo itu dimasukkan dalam bekal sagu yang telah dibulatkan seperti bola lalu dibakar. Tubuh koo akan melumer. Rasanya sangat gurih dan legit! Bagian kepala koo yang renyah berasa popcorn. Kebun itu adalah tempat Ma selalu menumpahkan hari-harinya, sambil merasakan segarnya batang tebu atau buluh bambu dan melesapi gula-gula. Ma senang bercocok tanam. Ma senang melakukan tugas itu sebagai perempuan yang merdeka. Menanam benih dan menunggu hasilnya, sampai waktu panen tiba.
Makanan tersebut dibagi menjadi dua. Satu buat bekal dan yang lainnya sekedar sarapan seadanya antara Mbirokateya dan Ma. Sehabis makan kami segera berangkat diam-diam, menyisir perjalanan sepanjang hutan.
Hutan inilah rumah sebenarnya bagi mereka. Berdinding belantara. Tempat kelahiran dan kematian. Hitungan ratusan tahun mereka diami tempat ini. Menghirup segala. Hidup kan segala. Menyatu dengan segala. Bermain dengan angin, dengan akar pepohonan, dengan semak belukar. Anak-anak, kaum perempuan, dan para lelaki telah terbiasa melukis kelam. Berpeluk pengab raya.
Lingkaran api biasa mereka sulam pada malam. Memetik kerdipan bintang. Menjaring bulan. Mengunyah pituah para tetua. Menebalkan tambalan sejarah pada jiwa-jiwa. Dan sesekali menyemai tawa. Sesekali menuai duka ketika memamah sihir kata bak pujangga. Pada akhir sulaman cerita, gederap sukacita menuntun mimpi-mimpi menyam but pagi.
Gubug-gubug mereka adalah pepohonan yang bernyanyi. Seolah laut yang berpantai damai. Seperti dermaga sebagai tempat penumpah lelah sehabis memerah tubuh-tubuh basah. O, betapa hidup dari waktu-ke waktu selalu mengelus berkah.
Kegelapan inilah selimut hangat yang gemerlap. Mata hati adalah sebilah pisau tajam yang selalu terasah. Kelam bukanlah jaring-jaring perangkap yang membekap, tapi ia tapak-tapak kaki yang selalu mengatur jarak. Menancapkan jejak. Mereka tahu arah me langkah kemana hendak berpijak. Pulang dan pergi tak selalu bergantung pada matahari. Tak pula menunggu tuntunan bulan. Bukan menafikkan ciptaan Tuhan. Tapi, justru dengan gelap dan kelam anugerah itu didapatkan.
Berjalan dan berlari adalah seringan hembusan angin menembus belukar dan semak berduri. Segala telah tersedia dalam rentang waktu yang tak dapat dihitung dengan rumusan angka-angka. Segala telah terjaga dengan aturan adat yang paling beradab. Amboi, masa-masa gemilang itu perlahan di gebuk gelombang. Menusukkan amuk, remuk.
Mbirokateya diam. Ia merasa tidak punya cerita menarik pengganti kekakuan perjalanan. Berbeda dengan Ma, Ma sosok perempuan yang gigih, pantang menyerah dan penyabar. Walau terkadang agak sedikit egois dan keras juga. Itu perlu dimaklumi jika dikaitkan dengan masa Ma di waktu muda. Aktif menyerukan kemanusiaan. Antara kecintaan orang tua, kampung dan kebebasan perempuan menjadi titik utama perjuang annya, bersama teman-teman seangkatan mereka yang berasal dari luar kampung bahkan ada berasal dari luar pulau, dan luar negara.
“Engkau tahu? Bunga bakung berwarna merah, bentuknya indah? Begitulah perempuan. Parasnya bak kembang. Merahnya laksana hati. Dan kau tahu? Bunga keris papua? Itulah kita yang sebenarnya,” ujar Ma.
Dia hanya diam. Pikirannya hanya diselimuti cemas. Cemas melihat kondisi Ma. “Kau tahu, Sali yang masih menjaga kehormatan keperempuanan kita, menghadang segala kejahatan yang berasal dari balik koteka kaum lelaki, di antara bidang telanjang dada mereka. Ketelanjangan kita, ketelanjangan yang terhormat. Ruas tulang yang meninggalkan bentuk dari kulit yang tipis dan hitam, bergerigi, di dada perempuan kampung kita yang membusung. Kehitaman anak-anak di kampung kita adalah kehitaman yang bersahaja. Mulai dari kaki sampai wajah. Rambut gimbal bergulung adalah gelombang yang tertahan dan siap dilontarkan. Perut anak-anak kampung kita yang menyimpan dan menjaga kesejarahan, membusung. Tulang punggung yang menonjol, pertanda kekuatan yang mengagumkan. Mereka tidak mengenal bangku sekolah, tetapi tanah, lumpur, bukit, dan hutan. Kita berhasil menjaga kehormatan keperempuanan kita dari bengisnya hutan. Biarlah nira kelapa, alkohol, dan tembakau kecintaan bagi laki-laki, menghempang dari kebiasaan mereka berperang, mengayau, ini sesuatu yang patut disyukuri. Dan memang sejak itu ayahmu tak bisa menunjukan kepiawaiannya memanah jantung musuh, atau menebas leher dan menggantung kepalanya di tangan, tidak lagi, Mbirokateya! Kita harus terus menjaga kehormatan perempuan di kampung kita!?”
Mbirokateya masih membisu.”Perempuan adalah beyor atau burung nuri dan ir atau kakatua putih. Ini tergambar pada ukiran motif paruh burung sebagai hiasan kepala. Para suami tidak tahu, kalau nenek moyang kita tidak sekedar menempatkan simbol untuk perempuan itu diatas kepala. Ia harus dihormati dan dijunjung tinggi, Mbirokateya! Tapi nyatanya? Perempuan kita tertindas, terisolasi dari emansipasi atas kesetaraan gender, terkekang adat masa lalu. Ketika para lelaki kehilangan pekerjaan untuk berperang dan mengayau lalu merampas hak tanah atas hutan sagu dan babi, para lelaki tidak lagi punya pekerjaan kecuali hanya mengukir patung saja. Dan perempuan masih punya peran domestik yang bukan menjadi tanggung jawab suami, dan wajah para ibu selalu tampak lebih tua dari bapak. Kita mesti merevolusi sistem budaya yang ada dengan sistem baru yang lebih bisa menempatkan perempuan sewajarnya, Mbirokateya! Harus!”
Mbirokateya terkesiap. Terkejut. Perasaan bersalah itu selalu menghantui. Kata-kata Ma, yang sempat ikut orang luar, dalam kegiatan LSM, seperti membekas, berkarat. Apa yang sekarang ini dialaminya cukup tidak adil. Ia setuju dengan apa yang dikatakan Ma.
Ma selalu memikirkan segalanya. Memikirkan keperluan rumah tangga, terutama untuk anak-anaknya. Dan Mbirokateya merasa seperti diperlakukan istimewa. Ma pun tidak malu mencari upahan sampai jauh ke kota. Bekerja apa saja. Dari upah sedemikian rupa ia tidak lupa untuk menyisihkan sebagian uangnya, di tempat yang paling rahasia, sebuah potongan bambu berlubang di tiang penyangga Honai.
* * *
Senja bersama sinarnya yang kemerah-merahan menyapa di bilik teras dan rumah ke labu. Ma duduk lagi dekat daun pintu sedang Mbirokateya bermain-main sebisa mungkin apa yang membuat hati riang.
"Mbirokateya ke sini sebentar!” Ma berseru,” Jangan sering bermain, kapan kamu akan belajarnya? Lekas ambil buku yang diajari gurumu di sekolah lalu duduklah di sampingku!” Dengan rasa kesal Mbirokateya segera mengambil buku di dalam tas dan berpura-pura membacanya sambil sedikit berkomat-kamit namun hatinya tak dapat dibohongi bahwa seusianya selalu saja ingin bermain-main.
"Belajarlah yang rajin agar kelak kamu jadi orang pintar tidak seperti perempuan-perempuan di kampung kita,” Ma menambahkan. Suaranya terlintas manja bertanya pada Mbirokateya. ”Jika sudah besar nanti apakah gerangan yang kamu cita-citakan?”
”Guru!”
”Kenapa?” Sambil mengerutkan jidatnya yang memang sudah keriput.
”Kan enak, bisa membagi ilmu buat siapa saja. Bapak mungkin akan senang.”
”Bapakmu tidak akan kembali lagi karena dia telah memelihara burung merpati di sangkar lain?” Hanya itu yang keluar dari mulut Ma. Mbirokateya tak pernah tahu. Ia benar-benar tidak mengerti bapak di manakah rimbanya.
Sehabis bicara seperti itu, kian mulai terasa. Dengan sigap Ma langsung menyergap Mbirokateya membekapnya dalam dekapan, memeluk erat diketiaknya. Tanpa sengaja tiba-tiba airmatanya meleleh jatuh di halaman buku yang masih terpegang. Entah apa yang telah terucapkan tadi sehingga membuat Ma menangis terseok-seok dan membawa nya larut dengan suasana yang semakin membingungkan. Suasana Itu berlangsung agak lama sampai tak tahu waktu mulai mengguratkan kelam perlahan.
Alunan suara alam bersenandung di gendang telinga menyadarkan ingatan. Senja sengaja ditutupi halimun yang beraroma dingin mencolek tubuh yang gagap bersama waktu. Secuil harapan dikemudian hari merengkuh bagai sembilu untuk mempertaruhkan hidup dimasa tua bertarung sendiri demi hidup yang semakin terhimpit. Tentunya dalam nadinya tersebar memuat getaran-getaram yang keluar dari batinnya ialah untuk anak dan keutuhan keluarga.
Selama itukah Ma dan Mbirokateya harus berkisah. Tentang hidup yang harus selalu di perjuangkan tanpa beban bukan semata-mata dijalankan.
"Bukan lantaran nasib, tidak lebih. Kesabaran dalam memilih dan keteguhan sebagai manusia yang tabah adalah tameng yang kuat. Mungkinkah hanya hidup begini atau karena ditinggalkan seseorang kita harus menyerah. Alangkah naif manusianya.”
Begitulah Ma menggunakan sisa-sisa hidupnya yang sering ditunggui waktu. Kini aku berada sendiri di sini meniti ke-dewasa-an berbaur bersama suaranya dengan bayang nya pula. ***
”Mbirokateya, Anakku! Kita harus memanusiakan manusia? Tidak hanya Ma seorang yang seharusnya merambah hutan, mendayung perahu, memangur sagu, menjaring ikan, dan bila ada sisanya, dijual dipasar, uangnya hanya sekedar untuk membeli rokok untuk suami, minyak tanah untuk lampu petromak. Tidak! Ma tidak memilih berdiam diri, dengan tidak melakukan pekerjaan itu, karena bapak siap saja dengan tombak, panah, atau apa saja yang bisa menakuti mata Ma.
Ma hanya bisa menangis pada akhirnya, sedang kau hanya bisa meringkuk, tangis pecah dari bibir adik-adikmu, melihat bapak pernah menghantamkan benda tumpul kekepala Ma. Kau tahu Ma meraung, lalu mendarat lagi kaki bapak pada perut Ma yang sedang membuncit. Ma sedang hamil, Ma tidak bisa mengangkat kaki untuk sekedar meminum air mentah di dapur, Ma pingsan, dan darah mengalir dari liang, orok keluar dari rahim Ma, dan terlihat tali placenta melingkar.
Tetapi bapakmu malah menjerit ketakutan, lalu minggat dari Honai, bukan karena Ma pingsan dan keguguran, melainkan setetes darah yang keluar merupakan pantangan, katanya bisa menimbulkan penyakit, kematian apalagi membasahi lantai Honai. Dan perempuan selalu melahirkan anaknya didalam bevak ditengah hutan, sendiri. Menu-rutmu! Hal ini yang menjadikan perempuan kita tidak seperti manusia, Mbirokateya! Ma tidak bermain lumpur, tidak berenang disungai, tidak menikmati hujan, kadang memban tu nenekmu memangur sagu.
Ma selalu ingin sekolah pada sekolah yang sudah lapuk itu. Ma sekolah hanya untuk merubah nasib; Nasib Ma, kau, adik-adikmu dan kaum perempuan. Ternyata, perjuangan Ma tetap sampai pada nasib Ma sendiri, tidak pada nasib orang lain, tidak nenekmu, kau, adik-adikmu, dan perempuan kita karena mereka punya nasib sendiri. Ma tidak kuasa mencampuri urusan para istri, sesaat perlakuan suami mereka tak kalah sama dengan ba pak dan kakekmu. Mereka tidak melahirkan di puskemas, tetapi ditengah hutan. Ma tak dapat menolak atau pura-pura tidak tahu tetapi Ma dan juga mereka tak dapat mencegahnya?”
Mbirokateya menggamit tangannya, tidak lapuk, tua atau kasar seperti tangan Ma ketika seumurnya. Malahan masa mudanya, disaat alat reproduksi perempuan telah ranum, dan vagina yang harum itu tidak dibaluti oleh sali atau yokal untuk wanita bersuami. Ia tidak mengikuti pesta dansa tiap hari minggu, mencari pasangan, calon suami, dan sekenanya membakarkan sagu untuknya di Honai seperti apa yang dilakukan masa muda perempuan di kampungnya. Ia belajar, ia sekolah. Ia merasa sedikit berun tung dari Ma.
Ma selalu mengajak Mbirokateya kemana-mana kecuali ke kota. Jarang sekali Ia diajak Ma untuk ikut ke kota, paling cuma di hari Minggu itu pun hanya beberapa kali. Ma suka melihat Mbirokateya sekolah. Suka mengantarkannya ke sekolah, walau jaraknya luar biasa jauhnya
Ma harus melewati perbukitan dan jalanan setapak untuk mengantarkannya ke sekolah dulu dengan menggunakan sepeda butut. Jarak rumah dan sekolahku cukup jauh tapi Ma tidak pernah mengeluh dengan hal sepele seperti itu. Jalanan menurun dan mendaki maupun zig-zag tidak membuatnya lupa.
Ma sudah hafal betul letak lokasi sekolahan Mbirokateya yang dipasung kayu berpalang yang menjulang tinggi mencakar langit sebab dari kejauhan sudah tampak di mana tanda-tandanya. Setelah cukup dekat di depan sekolah, ia melepaskan dengan isyarat dan ciuman.
"Ingat! Dengarkan semua ajaran guru dan ikuti keterangannya serta jalankan perintah guru agar kelak kamu menjadi orang berguna bagi keluarga dan bangsamu. Sepulang sekolah kamu tunggu di sini, sambil menunjuk ke pohon kapas tempat berhenti. Begitu lah miripnya suaranya sebelum meluncur cepat dan hilang sebab dihalang-halangi kabut untuk selanjutnya pergi.
Siang terasa berlalu begitu saja. Apa yang diperoleh selama belajar tadi belum semua nya masuk ke otaknya. Banyak yang terbersit di telinga. Bersamaan dengan bel sekolah terdengar riang diiringi teriakan teman-teman menyambutnya gembira.
Jam menunjukkan angka satu. Mbirokateya keluar dari ruang kelas dengan langkah gontai menuju pohon kapas seperti janji sebelumnya. Tidak terlalu lama harus menunggu menunggu sesosok tubuh yang kekar mengiringi derap ayunan yang berlipat-lipat dari kaki yang mulai cadas. Mbirokateya mendekat naik diboncengannya! Selama perjalanan mata Mbirokateya tertuju pada sekujur badan Ma dan tertegun meratapnya. Sekecil itu, Mbirokateya semakin merasa iba dengan keadaannya yang terus menerus seperti ini mengarungi bahtera kehidupan dengan segala peluh, jerih payah yang ada. Tidak tampak sedikitpun rasa gusar yang melingkar di tubuh Ma. Begitu lamunan itu sudah terbuai Mbirokateya tak mampu berbisik walau di dalam hati. Terdengar agak kabur bahwa Ma memblokir lamunan Mbirokateya.
”Mbirokateya! Engkau salah. Perjuangan tidak sampai disini. Kita melakukan gerak perubahan perlahan secara menyeluruh, dengan membangun yayasan pengembangan masyarakat terutama perempuan, menghidupkan puskesmas, mengadakan penyuluhan, memperkenalkan KB. Ma kira, beberapa tahun akan terjadi pergeseran sistem budaya?”
Ma menarik Mbirokateya duduk di dekatnya. ”Mbirokateya, Anakku. Ma kira, Ma lelah. Ma, kakak tertua dengan banyak adik lelaki dan adik perempuan. Jarak kelahiran kami rapat sekali, hanya terpaut 1 tahun saja. Karena nenekmu tidak tahu KB. Enam orang adik Ma telah meninggal karena penyakit ispa dan malaria. Karena asap tembakau dari bibir orang tua di honai, juga asap perapian yang mengepul di langit-langit, tembus hanya sedikit saja dari atap rumbia, tidak lewat jendela karena Honai tak punya jendela, tidak lewat dinding gaba-gaba, tetapi sebagian lagi masuk lewat napas, dan simpan dalam paru-paru. Adik Ma terkena radang. Sementara adik Ma yang perempuan terus bermain di lumpur, kadang membantu memangur sagu. Mereka masih kecil-kecil saat itu, sehingga tak terlalu peduli untuk mencari makan.
Hanya Ma yang tidak kerasan melihat nenekmu mesti memanggul bernoken-noken sagu, sering ada goresan taring nyamuk dan lalat babi berdarah, lengket di tiap kulitnya. Belum sempat ia mengatur napasnya yang terengah-engah, menyeka keringatnya yang muntah disekujur tubuh, mendiamkan sejenak tulang sendinya yang ngilu, memejamkan matanya, ia sudah berlalu lagi dengan sekeranjang ikan untuk dijual kepasar di desa seberang. Dan sebagian uangnya ditabung untuk biaya rumahtangga. Seketika airmatanya tumpah begitu saja, saat Ma mengutarakan keinginan Ma untuk sekolah.
Ma tahu dalam airmata itu ada harap yang begitu besar untuk menjadi kan Ma orang besar, mengubah nasib, pola pikir masyarakat yang cenderung ke sistem patriarkhis. Ma tanya kadang terpejam satu persatu dengan nafas mulai semraut mungkin sekarang ia mulai berasa kepayahan. Selebihnya, entahlah! Ma tak sanggup mesti menyaksikan nenek mu bersusah payah merambah hutan sendiri, sedang kakekmu asyik saja bergumul de ngan nira kelapa, alkohol, judi dan perempuan lain, lalu setibanya di honai, kakekmu hanya menadahkan tangan, meminta jatah.
Ma tidak sanggup melihat nenekmu menyayat kulitnya yang memar-memar dengan silet atau pisau sebagai cara untuk mengurangi rasa sakit, sembab sambil terisak, mena han perih, lalu darahpun mengucur mengaliri goresan yang memanjang. Bapak! Ibu sedang sakit! Jerit Ma, tetapi kakekmu tak peduli, ia tidak segan memukul sampai membunuh bila tidak menyediakan sagu dan rokok.
Mbirokateya, Anakku. Yang harus dirubah, pertama ialah pendidikan bagi satuan unit terkecil ke tatanan makro, tidak hanya dengan melakukan lokakarya, membuka puskesmas, penyuluhan KB, sedang masyarakat sendiri tidak memiliki pendidikan dan pengetahuan yang cukup untuk itu. Siapa yang tahu kalau masih ada beberapa Ma yang suka merambah hutan, memangur sagu, sedang suami tetap menakuti mereka dengan sebilah parang?”
Mbirokateya ingin menjerit jika mengenangkan hal itu. Kecerdesan Ma ternyata tak sebanding dengan keberingasan bapak. Bapak poligami. Mungkin memang sudah mendarah daging bagi perempuan di kampung kami. Satu-satunya impian perempuan di sini; Hari ini atau besok dijadikan istri yang sekian kali dari seorang pria. Ma menjerit sekenanya, tetapi tak kuasa berontak. Terlihat api cemburu meradang, emosinya meluap dan siap lepas dari puncak kepala, tetapi ambisi Ma selalu surut melihat sebilah kapak atau dayung yang tergantung di dekat bapak.
Mbirokateya menghela napas,”Aku masih sekolah, Ma yang memperjuangkannya. Aku ingin menghidupkan teser, bahwa perempuan tetap sebagai makhluk sakral, lewat perwujudan kedua mama tua, ucukamoraot (roh pohon beringin) dan paskamoraot (roh kayu besi) yang dilahirkan oleh ibu bumi. Aku masih sekolah sampai masa haid pertama dan alat reproduksiku telah matang. Aku turun lalu melangkahi sekat-sekat papan yang berlubang di atas jembatan yang makin lapuk.”
Dengan bekal sekedar nya, dengan pakaian yang tak layak untuk ke pesta, dengan sepasang sandal yang sudah usang, dengan ijazah sekolah rakyat yang diletakkan dalam noken, digamitnya erat-erat. Airmata Ma hanya tertahan, ia tidak ingin menangis melihat Mbirokateya sekolah. Mabahagia, menyodorkan sejumlah uang, dan menyuruh pergi ke desa Bis Agats, kerumah saudara perempuan Ma. Mbiorkateya memanggilnya mamak. Ma tersenyum, lalu satu tangannya mengusap wajahnya. Mbirokateya melihat di antara ujung-ujung jari Ma, ada yang terpotong, dan sebagian jari yang terpotong itu pasti dibungkus kulit kayu, disatukan dalam kantong berisi abu jenazah kakek, dan digantung pada honai bapak. Mungkin Ma melakukan mutilasi tanpa setahu Mbirokateya.
”Mbirokateya, Anakku. Kita harus berjuang. Tanah ini, masyarakat ini adalah tempat kelahiran kita, tempat kita pertama hidup. Tidak ada yang akan merubah sistem adat, budaya atau nilai kecuali kita saja, cucu-cucu Asmat. Engkau belum gagal karena engkau sendiri sudah berhasil sekolah. Sedang anak-anak lain, lelaki atau perempuan juga adikmu tidak mengerti saat itu, mereka tidak mengikuti jejakmu untuk tetap sekolah, sehingga mereka tetap terikat pada budaya masa lalu. Keterbatasan ilmu merendahkan pikiran seorang lelaki, ibu dan anak untuk keluar dari sistem patriarkhis, dan tak mengerti hakekat Tuhan. Masyarakat kita berada pada sebuah lingkaran yang tak punya lubang untuk keluar. Kita yang mesti menembus dinding lingkaran itu?”
Mamak tidak sering melakukan pokomber atau usi, ia mempelajari cara perempuan Muyu berladang, menanam pisang, ubi, tebu, kangkung, dan hasilnya dijual kepasar. Ia sering menjaring ikan, dan sering menukarkan dengan beberapa noken sagu pada tetang ganya. Mamak tidak bisa membiayai sekolah Mbirokateya, mereka miskin dan Ma tidak selalu mengirimi uang. Karena niat sekolah telah mengakar, Mbirokateya rela saja ketika mamak menawarkannya untuk menjadi pembantu rumah tangga.
Mbirokateya meringkuk sepi dalam honai, airmatanya mengalir jatuh ke lantai, jatuh pula ke lumpur pekat. Ia tidak ingin menuruti mamaknya mandi lumpur selama 40 hari, mencukuri rambutnya karena Ma meninggal. Ia tidak berpikir untuk memotong telinga seperti yang sering dilakukan penduduk di kampungnya maupun di kampung mamaknya. Ia memilih bisu, menutup bola matanya rapat-rapat, mendekap telinganya, lalu terisak.
”Mbirokateya! Engkau tidak ingin pulang ke kampung Ewer?”
”Tidak, Mak. Aku tidak ingin melihat bapak tertawa saja di depan abu Ma.?”
”Adik-adikmu?”
”Ya, Mak. Mereka sudah punya teman bermain. Anak-anak istri bapak yang baru.”
Mamak tidak melanjutkan pertanyaannya, ia berjalan ke bilik perempuan, agak terbungkuk dan tulang lehernya tampak karena tinggi honai sekitar 1,5 meter saja. Mbirokateya masuk ke ebey. Mbirokateya tak lagi bisa menahan getir, ia mengambil pisau dan diletakkan di antara jarinya. Dan roh Ma lewat di depan matanya, ia ingat Ma masih tersenyum, bibir hitamnya tersunging, sumringah. Lesung pipi dari wajah yang sudah keriput terbentuk walau tak kentara, Ma mengingatkan sekolah, Mbirokateya mengurungkan niatnya. Ia lalu melempar jauh-jauh pisau itu, menutup matanya rapat-rapat sehingga airmata yang sejak tadi berlinang menetes perlahan.
”Aku tak bisa melanjutkan sekolah!”
Mbirokateya melipat tangan keatas dadanya, dipandangnya lekat-lekat cahaya petromak yang begitu lemah, lalu beralih ke kaso-kaso. Matanya kosong, tidak ada tanda-tanda bahwa ia sedang berada di alam nyata. Ia bermimpi uang melingkar di mimpinya, dan uang itu hilang sampai ia tertidur pulas.
”Aku Mbirokateya! Aku bisa masuk SMA di Merauke berkat majikanku. Ia mengantarku dengan menumpang kapal perintis dan singgah di dermaga Merauke. Aku punya ijazah sekolah rakyat dan SMP, tetapi aku tak punya cukup uang untuk menye lesaikan SMA. Umurku hampir 18 tahun. Lelaki mana yang tidak tergiur pada tubuh indahku, dan naluri seorang gadis remaja yang juga menyukai seorang lelaki. Ah.. antara ingin sekolah atau tidak. Apakah sekolah pasti menjadikanku orang besar? Uang hasil jerih payahku mengalir begitu saja hanya untuk sebongkah ilmu. Aku pernah kelaparan lantaran uang makan untuk biaya sekolah. Karena aku masih hidup, Aku harus rela bekerja walau dalam keadaan sakit. Mengapa aku masih sekolah? Sederhana saja. Aku sudah terlanjur sekolah, aku sudah merangkak sampai tengah dan harus sampai ujungnya, tidak mungkin berhenti ditengah karena aku bakal turun kembali. Kedua, karena aku ingat Ma?”
”Bagaimana mungkin engkau masih bisa hidup tanpa uang dan menyelesaikan SMA?”
”Apa yang tidak mungkin? Aku masih punya tubuh yang sintal dan kuat, punya tenaga, tetapi jangan kira aku menjadi PSK bagi penebang kayu gaharu. Aku bisa tidur seperti pengemis, bisa menjadi pembantu, mencuci, memasak. Aku masih punya jiwa, dan jiwa itu mesti dihidupkan, bukan tanpa arti. Tidak, manusia tidak hanya sekedar hidup. Aku baru tahu kalau manusia tidak hanya sekedar hidup seperti apa yang dilakukan Ma. Ya, Perempuan tidak mesti berada antara hutan, sungai dan pasar.”
“Sekarang engkau mengakui, bahwa hidup adalah perjuangan. Bukan perjuangan untuk diri sendiri karena kita lahir, kita hidup, kita mati diantara masyarakat!”
“Ya, karena perjuangan, aku sempat menghunus ayah yang mencoba memperkosaku! Aku tidak menjadi PSK!! Aku bisa menyelesaikan SMA dan menjadi guru, lalu punya ambisi untuk membangun, memberdayakan masyarakat terutama kaum perempuannya. Karena para lelaki tidak tahu, kalau ukiran patung mereka bernilai seni yang tinggi dan dikagumi oleh pecinta seni dunia.”
Mbirokateya membayangkan, ia akhirnya menginjakkan tanah setapak yang agak berlumpur, diantara ilalang, dan langit masih biru, mentari baru sepenggalan naik. Mem bayangkan menempuh perkampungan Ewer, disini hanya ada satu sekolah saja, tidak ada gereja, tidak ada puskesmas. Mbirokateya bisa melihat sekolah yang sudah berumur itu, dinding kayunya tetap kokoh, struktur bangunannya kuat, dan mereka tidak tertegun ketika melihat seorang guru mengajar di atas lantai tanah. Ia tersenyum dan 10 pasang bola mata bulat, hitam, pekat, tajam diruang itu, tersungging lebar.
***
Mbirokateya memegangi perutnya. Peluh mengucur deras dari dahi dan sekujur tubuhnya. Ia masih teringat pesan Ma. Perasaan menyesal seperti tiada guna, pikirnya. Ketika itu Ma mengajaknya ke bevak ditengah hutan. Kini ia yang harus berada di dalam bevak sendirian. Sebab, suami mamak telah berhasil membobol pintu kamarnya diam-diam, setelah ia kelelahan pulang dari sekolah di perkampungan Ewer, dan membo bol pintu kegadisannya dengan ancaman. Dengan penuh beban dan rasa malu berbulan-bulan, ia akhirnya kembali ke kampung. Segera menuju bevak.
” Ma, mungkin tubuhku telah kotor. Tetapi pesanmu tetaplah suci. Aku akan tetap memperjuangkannya. Bukankah perjuangan memang butuh pengorbanan? Jadi, Ma tolong jaga cucu perempuanmu juga aku.”
Medan,2008
Catatan Kaki
1 Bangunan di tengah hutan.
2 Rok dari serat kayu, kulit kayu, rumput yang dirangkai menjadi jumbi-jumbi yang dililitkan pada pinggul dan diikat, pada anak perempuan/ kaum wanita Asmat (Maulana, 1996 : 57).
3 Terbuat dari labu yang dikeringkan, menyerupai tabung silinder untuk menutupi penis (Maulana, 1996 : 57).
4 Bangunan berbentuk silindris yang dipergunakan sebagai tempat tinggal (Maulana, 1996 : 62)
5. Pemerintahan oleh para pria..
6. Tas anyaman dari serat melinjo (Sekarningsih, 2000. xv).
7. Adat kebiasaan untuk mengungkapkan duka cita dengan mutilasi, misal mencukur rambut, memotong telinga, atau memotong ujung jari tangannya dengan parang atau pisau (Linggasari, 2004 : 31).
8. Mencari makan di hutan dari pagi sampai sore (Linggasari, 2004 : 28).
9. Memangur sagu selama dua minggu sampai tiga bulan (Linggasari, 2004 : 28).
10. Struktur atap yang terdiri dari kaso-kaso dari kayu bulat yang menghubungkan pusat honai ke dinding (Agusto. W. M, 1996 : 193).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment