Tuesday, 22 September 2020
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Penyair Adalah
Penyair bukan sekadar
bermain-main di kubangan kata-kata
dia lebih kepada pencerahan ruang jiwa
bagi peradaban demi peradaban
bagi sejarah demi sejarah
penyair adalah kamus kesaksian
dari berjuta macam derita
sepanjang bencana yang selalu
datang bertandang tidak hanya di pusat-
pusat peradaban manusia tetapi juga pusat jiwa
penyair adalah sang pembawa pencerahan
bagi siapa saja untuk siapa saja
bukan sekadar bermain-main kata
atau sekadar mengusung slogan-slogan
yang beraura murka
penyair adalah kita!
Kurban Ismail
seandainya aku tetap
menjadi kamu
maka, kunikmati percik
kilat pisau ayah
di leherku
sebab di tubuhmu,
pengorbanan bermula
semacam lorong waktu :
ia jembatan menuju surga
segala keikhlasan purba
seandainya Tuhan
tak menarik tubuhku
ia akan menjadi darah daging,
menjelma sajakku yang paling abadi
di aliran darah
yang paling sunyi
2013
Kisah kurban
adalah Ismail
menjelma Qibas
dihunus pisau
adalah Qibas menutupi,
ketelanjangan ismail
pasrah
adalah kurban,
yang membekaskan jejak
keikhlasan ibrahim
di pagi yang paling sexsi
adalah ibrahim,
membekaskan jejak
pada kilau pisau
dan simbah darah
adalah aku
yang berkisah, tentang
ismail yang menjelma Qibas
ibrahim yang menjelma Qibas
aku yang menjelma Qibas
pada pikirmu
yang Qibas
2013
Sepasang Cicak
Sepasang cicak kedapatan bersetubuh
di atas periuk dapurku, sekali waktu
ketika tutup tutupnya terbuka
dia menjatuhkan kotorannya
disaat istriku menjaring airmatanya
yang mengalir deras untuk menghilangkan
dahaga anakanakku
sepasang cicak kedapatan bersetubuh
di atas kuali tungku dapurku, sekali waktu
ketika kutanak airmata istriku, dia terjatuh
dan jadi lauk bagi anakanakku
sepasang cicak yang pernah
kedapatan bersetubuh di dapurku
telah menjadi darah
telah menjadi daging
bagi lumat jiwa kami
2013
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Hujan Mata
Hujan meneteskan matat-mata.
Mata-mata menggenang di rinduku.
Berkecipak pada hulu.
Gemericik di hilir.
Mengantar perahu kertas.
Menuju Nuh.
(2013)
Mata Hujan
Ia terus mencari
Mata-mata kerontang
Melukiskan sungai
Pada kenang.
Pada Nuh
(2013)
Suatu Hari Aku Bertemu Dengan Diri Sendiri
suatu hari aku bertemu dengan diriku sendiri, terpaku di atas sajadah basah. Tafakur menabur resah pada Allah tak ada sepotong kata gairah tak ada seiris kata bahagia tak ada setitik warna cahaya suatu hari aku bertemu dengan diri sendiri, betapa anehnya raudah di atas sajadah. Tafakur seperti orang-orang yang tergusur tak ada sepotong pun kata makmur tak ada seulas ceria tak ada sebutir apa-apa suatu hari aku bertemu dengan diri sendiri, rasa malu tak terbendung lagi. Tak terbendung lagi Subhanallah!
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Perahu Nuh /1
Nuh kehilangan perahu
yang tersisa hanya kertas.
Maka, atas kuasa Tuhan,
Ia sulap kertas itu.
Menjadi perahu
Perahu Nuh/2
Bila Kana’an datang
Katakan Nuh telah menunggunya.
Tak perlu mencari bukit.
Tak usah menetap di Gunung.
Sebab perahu telah selesai
Walau dari kertas yang masai.
(2013)
Perahuku Berderak di Hamparan Do’a yang Tak Bertepian
perahuku berderak diketuk-ketuk riak,
diombang-ambingkan ombak, entahlah
kukembangkan jua layar do’a dalam elusan angin
yang menggebu
kukutip butir-butir embun dari daun-daun senja
udara terasa semakin menua pada keriput
awan kelam yang diam, lalu bersama rintik langit
yang menitik anginpun berhenti sejenak di tepian
pantai yang pasang menyambut malam, perahuku
masih berderak di ketuk-ketuk riak
ah, betapa harap ini memeras air mata, jatuh
di ribuan buih laut yang mengeram, perahuku
masih diombang-ambingkan ombak
pada ini
lukisan pantai semakin landai di rimbunan
pasir yang berambut sarat beban pada kanvas
gelombang petang dan biru yang tentram,
biru yang berpaham di hamparan do’a yang
tak bertepian
malam mengetuk-ketuk pintu dan jendela pada
ruang yang lengang, angin melahirkan sunyi
dari lorong-lorong tak bernama
rahimmnya berderak menerjang celah jendela kaca
purnama nyalang mata di rerimbunan pohon mangga
cahayanya menembus segala lara di malam siaga, mengenang
siang tak lama berpulang. angin masih menimang-timang
sunyi dalam gendongan bermotif bunga-bunga
ah, waktu hanya menghitung-hitung rindu di kalender cuaca
lalu satu persatu tanggal usia, angin pun semakin tua pada
pertumbuhan sunyi yang beranjak dewasa sepanjang perjalanan
do’a-do’a
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Bukit Kertas
Kana’an meracik bukit
dari kertas-kertas bekas
tempat ia berdiri
menantang
“Mana banjirmu!” nyala apinya,
Kana’an menyulap bukit
Jadi makanan, sebab banjir
Membuatnya kelaparan.
(2013)
Kata Hujan
Istri Nuh menderaskan kata
Hujan dan angin kencang
Menderu dari mulutnya.
Tak sempat ia berlari
Menyelamatkan diri;
Ia tenggelam
Dalam mulutnya.
(2013)
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Angin Kencang
Angin mabuk
Memuntahkan hujan,
Hujan mabuk
Memuntahkan banjir
Banjir mabuk
memuntahkan sajak-sajak.
Yang tersangkut
Di perahu Nuh
(2013)
Doa Hujan
Tuhan yang baik
Jangan biarkan Nuh
Tenggelam dimataku.
(2013)
Keringat Hujan
Sebenarnya hujan telah lama henti
Tapi keringatnya tak pernah henti
Melayarkan perahu Nuh.
Sebenarnya hujan kelelahan,
Tapi keringatnya tak pernah segan
Menenggelamkan Kana’an.
Membekaskan sejarah
Pada tanah
(2013)
Sehabis Khatam Hujan
Sehabis khatam hujan pada ayat terakhir perjalanan,
Debudebu kota telahlama membatu, melafazkan
Gemertak almanak yang melangkah kaku sepanjang
Alif ba ta cinta
Lalu sepenuh daun kering menguning menyesakkan keranda,
Luka di bawah deraknya pohon kamboja, dan kita bertanya
Kembali pada cuaca,”adakah kita tuliskan catatan-catatan
Surga?”
2013
Siklus Hujan, Rindu Dan Kau
hujan berlari mencari perlindungan dimataku
tetapi, diam-diam mengalir membanjiri rindu
rindu membuncah dicelah-celah hujan mataku
tetapi, entah mengapa alirnya mencuri bayangmu
bayangmu terlukis pada kanvas bulan merah jambu
tetapi, ia menjelma sungai mengalirkan arusnya ke hulu
hulu hilir adalah titik permulaan dan akhir perjumpaan
tetapi, di garis tertentu ia menguap di muara samudera awan
awan pada hulu, hulu pada bayang, bayang pada rindu, rindu pada hujan
hujan tak pernah lelah menumpahkan gerimis-gerimis waktu ke sekian
menemu kau, menemu Nuh
(2013)
Melepas Do’a Air Mata
Sepeninggal tsunami
Kami rangkai do’a air mata tanpa tabur bunga
--sepanjang ziarah, seluas samudera
tetesnya tercipta
menyentuh lembut pipi para bocah
yang tengah mengundang cakrawala
tetesnya tercipta
melepas saudara – saudara kami
yang tertimpa bencana
tetesnya tercipta
menjelma busur zikir yang melesat,
meretas segala jarak
: dari banda sampai Mandrehe
dari kamala sampai barwalla
dari batin sampai perih mata
sepeninggal tsunami
kami lepas do’a air mata tanpa tabur bunga
kami hembuskan aroma surga jiwa
buat saudara – saudara yang tertipa bencana
-- sepanjang ziarah, seluas samudera
Kucing /1
Seekor kucing mengendus di balik pintu
menatap gerak seekor tikus menuju pintu
aku terpaku menatap ke arah daun pintu
menembus masa lalu dari pintu ke pintu
seekor kucing menerkam tikus di balik pintu
yang tidak leluasa bergerak sebab terjepit pintu
aku terpaku menatap darah muncrat di pintu
mengenang luka menembus pintu ke pintu
seekor kucing puas meninggalkan pintu
meninggalkan sisa tikus membangkai di pintu
aku terpaku menghunus luka menuju pintu
membersihkan darah menutup masa lalu
sebilah pintu
Kucing /2
Seekor kucing mengendus rimah-rimah sampah di kepalaku
menjilati setiap sisa yang terbuang. Aroma busuk yang merasuk
adalah aroma surga mengundang musafir-musafir kelana
untuk sekadar singgah. Sekadar istirah
entah kali yang ke berapa kucing itu kembali memuntahkan
sisa sampah yang terkunyah. Entah kali yang ke berapa ia
tak lelah menjilatinya. Lalu, entah kali yang ke berapa
para musafir sekadar datang kemudian pergi
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Balada Si Boru Deak Parujar
pohon tumburjati, pohon kehidupan, pohon rindang
bagi penghuni banua ginjang tidaklah sesunyi porlak
sisoding, taman tersembunyi yang menyimpan rahasia abadi.
pohon tumburjati, pohon kehidupan, pohon membelai
seramai ranting dan daunnya. mendapat amanat sepanjang
hayat, laklak segala kitab mengungkap segala wasiat
pohon tumburjati, pohon kehidupan, pohon berdaun
menyemai gugur, daun-daunnya yang menangkup
ke lapis langit pertama memanjatkan do’a mengharap
cinta di setiap lembarnya, melepas gairah bersama
ranting-ranting patah.
di puncak hariara sundung di langit, beringin membuka
hobarna, bermula kisah manuk hulambujati, induk
tiga telur besar yang mengandung batara guru
mengandung debata sori dan mangalabulan.
di puncak hariara sundung di langit, beringin membuka
torsa, berlanjut kisah manuk hulambujati mengeramkan
tiga telur lagi; mengandung siboru parmeme, siboru parorot,
dan siboru panuturi.
siboru deak parujar, putri bungsu batara guru dan siboru
parmeme, berkali-kali pergi ke bawah rindang tumburjati,
mendengar cerita manuk hulambujati yang bertengger
di puncak tertinggi. ia seperti cahaya bintang-bintang
yang berkejaran. moncongnya berpalang besi, kukunya
bergelang kuningan, dan sosoknya sebesar kupu-kupu raksasa
nan berkilau bersahabat dengan leang-leang mandi,
leang-leang nagurasta, dan untung-untung nabolon,
sebagai pelayan dan penyampai pesan
“Wahai, Manuk Hulambujati, untung-untung Nabolon.
Mengapa engkau tak mau turun untuk bersamaku di sini? “
siboru deak parujar tak lagi memaksa diri. setiap kali
kembali ke bawah rindang tumburjati, diam-diam
mengajak siboru sorbajati. tak lupa merapikan letak hulhulan,
penggulungan besar untuk benang tenunan.
“Kita semua di lapis kedua kahyangan ini keturunan dewa.
Siapapun yang menjadi pasanganku nanti, lebih baik
daripada tidak ada. Seandainya ayah kita berkenan juga
menjodohkan aku dengan Siraja Odap-odap, aku akan turut juga,”
ujar siboru sorbajati, si kakak tercinta memancing cerita.
keturunan laki-laki batara guru mendapat pasangan dari putri
debata sori. anak laki-laki debata sori dari putri mangalabulan.
anak mangalabulan mendapatkan pasangan dari putri batara guru,
memilih antara siboru deak parujar dan siboru sorbajati.
“Ah, berpapasan saja aku tidak akan mau dengan anak
Mangalabulan itu! Lebih baik melompat dari puncak rumah
dan ingin menjadi batang enau daripada melihat wajah Siraja Odap-odap.”
mereka pun meneruskan gulungan benang tenun sampai
memulai tenunan baru. berhari-hari, berbulan-bulan.
batara guru dari bagian biliknya nampak tidak sabar lagi
untuk mendesak salah satu putrinya dipersunting siraja odap-odap.
“Kemarilah kalian berdua,” panggil Batara Guru.
siboru sorbajati akhirnya melangkah sendiri memenuhi
panggilan ayah, mendengar suara-suara yang menanti
di halaman rumah. benar-benar melakukan niatnya dengan
melompat dari puncak rumah sambil menyumpahi diri
agar menjadi batang enau saja.
“Siboru Sorbajati lebih suka mengutuk dirinya daripada patuh kepada ajar. Satu lagi putri kakanda yang sangat turut pada ajar, pastilah itu Siboru Deak Parujar.”
“Tidak, ayahanda. Lagi pula tenunanku belum selesai.”
sampai menjelang pagi dia mengeluarkan bunyi
alat tenunnya itu sambil menikmati. dan terpikir
melemparkan hasoli, masih tergulung benang
yang dipindah dari hulhulan.
semalaman batara guru tetap berjaga agar putrinya
tidak melarikan diri. bunyi alat tenun siboru deak parujar
didengarnya mulai berhenti. “putriku, deak parujar!”
siboru deak parujar menyahut panggilan batara guru sekali,
selebihnya dia sudah bergayut pada benang yang menjulur
entah sampai ke mana. semakin turun, nampaknya dunia
bawah tidak jelas dan sangat gelap. angin kencang dan
lebih dahsyat kacaunya dari sebelum penciptaan kahyangan.
“Leang-leang Mandi, Untung-untung Nabolon…!
Kumohonkan agar engkau meminta sekepul tanah
untuk tempatku berpijak di bawah! Aku tak mau
kembali ke Banua Ginjang.”
sekepul tanah yang dikirimkan, ditekuk
siboru deak parujar, langsung menghampar
tempat berpijak menjadi awal banua tonga.
naga padoha menggoyang guncangan. dari bawah
tanah menyulam amarah. sebab frustrasi
dengan nai rudang ulubegu.
“Ompung Mulajadi Nabolon, mohon kirimkan
kembali sekepul tanah lewat pesuruhmu
Leang-leang Mandi, si burung layang-layang!”
permohonannya sampai untuk ditekuk kembali,
lengkap dengan sebilah pedang dan tutup kepala.
menghindari terik delapan matahari mengeringkan
banjir air di banua tonga. menghunus pedang
menaklukkan naga padoha yang berang.
naga padoha masih menyimpan dendam
mengguncang dari banua toru, tempat segala
kegelapan, kejahatan, dan kematian.
“Suhul! Suhul!”
mulajadi nabolon mengirimkan bibit-bibit tumbuhan
dan hewan, memasukkan ke dalam sebuah lodong poting,
potongan batang bambu, berisi benih bercampur jasad
siraja odap-odap, menghampiri siboru deak parujar
di sebuah pancuran yang dihalangi rimbun tetumbuhan.
“Boru Deak-Parujar, tenunlah sehelai ulos ragidup,
kemudian lilitkan ulos itu pada lodong itu lalu bukalah tutupnya.”
pertemuan siboru deak parujar dengan siraja odap-odap,
sebagai tuan mulana di banua tonga tak bisa lagi ditolak.
mulajadi nabolon memberkati mereka hingga melahirkan,
raja ihat manusia dan pasangannya bernama itam manusia,
manusia pertama.
siboru deak parujar dan siraja odap-odap kembali ke banua ginjang,
melalui seutas benang.
“Kalau kalian rindu kepadaku, terawanglah purnama bulan.
Di situlah aku kelihatan kembali bertenun dan menyulam.”
2013
Hobar Namora
Alunan sordam berlayar bersama kesiur angin
Menelusuri persawahan di antara padi-padi
Sepanjang hamparan sigalangan membakar dingin
Dan burung-burung yang sibuk memetiki hasapi
“oi, sahala na mar tondi
dan para penguasa huta ni humang
aku kawini si jelita dari lubu
yang menitiskan si langkitang
yang menitiskan si baitang”
beribu pustaha memerciki ceracau kemarau
meratapi pepohonan yang hibuk menghitung usia huta-huta
daun-daun berguguran di atas hamparan surat tulak-tulak
dan ruas-ruas bambu yang melantunkan andung-andung
“oi, tondi na marsahala
aku penuhi janjian di sopo sio rancang magodang
aku nikahi nan tuan layan bulan
yang melahirkan sutan borayun
yang melahirkan sutan bugis”
tetabuh gondang mengaduh bersama hentakan ogung
menggebuki langit yang menahan beribu jerit
“oi begu na mar sahala dohot mar tondi
akulah namora pande bosi
yang kehilangan makam sendiri “
2013
Pada Langit, Pada Bumi, dan Pada Segala
Pada langit. Pada bumi
Pada pucuk-pucuk daun hariara
Tenunan selesai digelar
sepanjang selendang Deak Parujar
merengkuh banua ginjang
menancap banua tonga
mengakar banua toru
Pada langit. Pada bumi
Pada sayap-sayap hulambujati
Kisah telah menjadi hobar
Tentang Odap-odap memburu Deak Parujar
menyesap dalam darah
menembus rongga-rongga
menyembul dari mulut dan mata
Bakkara, O, Bakkara
di timur aku tertancap
di segala penjuru aku disergap
mulut dibekap, suara disadap
Pada langit. Pada bumi
Pada titah Ompu Mulajadi
Deak Parujar menitipkan benihnya
Tuan Mulana mencapai orgasmaya
Naga Padoha menggaruk punggungnya
2013
Lukisan Rambutmu Pada Kibar Senja Itu
lukisan rambutmu merebak rindu di antara lulur debu
meretas gairah di antara bilurbilur biru di bawah remang
cahaya yang memburu waktu, ah aku seolah menemu
lakumu dalam dekapan diam tetapi nganga itu seolah
mencair di antara mimpimimpi semu
kemarilah !
biar kita kejar bias matahari di antara rintik gerimis senja
yang mengucur di kaca jendela menggelitik rasa kita
kau tentu mengerti betapa hasrat memiliki tak pernah
berhenti
dan tembang malam perlahan melintas dari jembatan senja
yang berkibar di antara kibar lukisan rambutmu mewarta
segala cinta, maka cuaca bukanlah penghalang segala cinta
dari segala tariantarian yang meliuk di antara lukisan rambutmu
pada tatap mataku yang menunggu
Kakimu Yang Melangkah Adalah
kakimu yang melangkah adalah tapaktapak yang membekaskan
segala sejarah di atas kering rumputrumput itu menyibak segala
rahasia yang tersembunyi di tepian trotoar berdebu dan irama
knalpot jalan raya yang menembus telinga para musafir jalanan
menembus segala tuju yang masih semu
kakimu yang melangkah adalah retakretak dadaku yang rerak
di antara tanahtanah membatu mencuri serpihan cinta yang
melayang seolah debu menembus dindingdinding angin
yang dingin menggigilkan segala hasrat yang sempat membara
dan lunglai bersama gugurgugur daun yang jatuh ke bumi
kakimu yang melangkah adalah getar segala debar yang terkapar
dari resah segala gelisah meliukkan hati yang gundah tentang
sebuah hasrat yang terpendam menembus dindingdinding diam
yang mewarta segala cerita menembus loronglorong hatimu
menembus kisikisi hatiku yang penuh kesumat berdebu
Sebab Angin Yang Menggugurkan Daun-Daun
entah daun yang ke berapa jatuh ke bumi
dari pohon setua hembusan sedingin angin
warna buramnya sesunyi kalender yang
kelelahan disetubuhi beribu rayap
pengab !
waktu melesat begitu cepat
berkeliling merengsek masuk di celah-celah
reranting dan cabang. Begitu gagap
entah daun yang ke berapa gugur di diri
memilah warna matahari yang menembus
ke segala ruang dan lorong sesunyi titik
air yang menitis di atas lantai lunglai
sansai !
Mengenang Si Burung Merak /1
kaulah penyair itu yang menyihir kata
yang membunuh berjuta pendusta
mengajarkan bagaimana berdiri tegak
pada bumi, pada hati
jarak mungkin tak berbatas pada peta
yang selalu mengukung peradaban gersang
meliukliuk menarinari di bola mata nanar
pada bumi, pada hati
kaulah penyair itu yang membebaskan kata
dari segala keruwetan maknamakna pedih
dan luka, menyatu satu kata kebenaran
pada bumi, pada hati
medan, 09/13
Mengenang Si Burung Merak /2
sebab perjuangan adalah sebuah pembebasan
pelacurpelacur mengibarkan beha kemerdekaan
sepanjang peradaban kotakota yang dikotakkotakkan
merdekalah, bebaslah
aduh, betapa likuliku itu membatas setiap
langkah kita yang tak pernah menapakkan
segala jejakjejak yang sengaja diciptakan
merdekalah, bebaslah
sebab perjuangan adalah nyanyian angsa
pada danau yang meliukkan kebenaran
menjadi sebuah pembenaran
merdekalah, bebaslah
medan, 09/13
Maka Batu Sehingga Lubang
pada lorong ini kata-kata berlumut di dinding-dinding gua suara-suara beradu teriak di gendang telinga entah mengapa desing peluru itu tak juga enyah ia menyusup terus pada kisi-kisi pikir pendatang yang datang dan pergi pada lorong ini saudara tua pernah mencatat kuasa di dinding-dinding gua ada sejarah yang mengering tapi kemanakah halaman lembar-lembar yang terkoyak dari buku pelajaran sekolah? Ah, mungkin ia sekadar singgah di negeri entah
pada lorong ini batu-batu mengeraskan kata-kata saudara tua di dinding-dinding gua mewartakan sejarah dan kisah-kisah lama adakah luka tercatat pada peta atau lubang yang semakin meruang? Lalu kemana pendatang yang datang dan pergi? Mungkinkah mereka sekadar singgah di negeri entah, ah
komunitas home poetry, 2013
Portibi
sesekali kutelusuri bilik sempit
sudut kusam, cagar sejarah
dan relief dingin memaknai kediamanmu
yang berdebu dan gosong pengetahuan
tak ada catatan yang tertinggal
selain kegalauan merubung dada
dan kanak berebut benang putus layang
serta sorak kegembiraan yang menyusup
di dinding-dinding senyap
komunitas home poetry, 2013
Tugu Guru Patimpus
ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan
yang terlepas hurup-hurupnya dari paragraf-paragraf usang
sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus
membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain
dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan perjalanan,
mengekalkan peradaban urban
di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah
di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah
di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki
bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan
kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup
menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi
yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya
diam-diam pada bulan
ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana
bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua
langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari
menghibur para petualang yang sejenak datang
mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus
bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain
membenam teriak segala pongah, mencampak derak suara
ke langit terbelah
di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara
percik riwayat kisah-kisah semangat juang
di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula
pemancakan gedung-gedung nan gagah
dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain
dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua
dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang,
yang entah kapan pergi
Komunitas HP, Medan, 10-13
Di Kota Ini
di kota ini, para migran menyulam
hidup dari sejarah
paling dingin
di kota ini, cahaya temaram dalam diam
orang-orang kerontang berebut air
sampai tetes paling akhir
di kota ini, tahun bersambut pada
suasana yang paling haru, rumah-rumah
merapat mencari hangat
KHP, 2011
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Ternate Menjelang Senja
bukan karena pedagang asongan yang enggan pulang,
yang membuat perempuan itu tak beranjak dari bangku batu
bukan karena para nelayan yang terlambat menambatkan sampan,
maka perempuan itu tak juga beranjak menuju pulang
bukan karena hujan yang mengguyur sepanjang jalan,
sehingga perempuan itu menyulam catatan diam
bukan karena pedagang asongan, nelayan atau hujan
lalu perempuan itu menyimpan penyesalan, tapi
tuhan telah berbisik pelan-pelan ketika ia berada
tepat di persimpangan
komunitas home poetry, 2011
Negeri Kepompong
Kali ini ia tidak melahirkan kupu-kupu,
tetapi ular bersayap kupu-kupu.
Kali ini ia tidak menghisap madu,
tetapi darah semanis madu-madu
Kali ini ia ia tidak menghadirkan warna-warna,
tetapi memuntahkan hitam sepenuh kelam
komunitas home poetry, 2011
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Mantra Pelaut
Sampan kayu, dayung kayu, kayu segala kayu
Janganlah kayu segala tangkapanku
Laut asin, keringat asin, asin segala asin
Janganlah asin segala tangkapanku
Sampan laut, dayung keringat, kayu segala asin
Janganlah asin segala kayuku
Puah, puah, puah ....
komunitas home poetry, 11/13
Kololi Kie
Mengelilingi Gamalama adalah menyulam sebuah kelahiran
Berhenti dari satu jagoru lamo ke jere lain seolah ziarah
Ke makam nabi-nabi
Mengelilingi Gamalama adalah menghirup nafas kehidupan
Memberangus satu bencana menjeput gairah-gairah seolah
Melontar jumrah
Mengelilingi Gamalama adalah mewariskan kasihsayang
Menikmati kelembutan toma nyolo, mendekap kehangatan
Toma nyiha
Mengelilingi Gamalama
Aku dodoki ali
Aku dodoki mari
komunitas home poetry, 12/13
Sungai Siak
Dari jembatan letong kukunyah riak air
menitip intip patin-patin. Entahlah,
mungkin muntah pasar bawah
mungkin batuk tanjung datuk
dari jembatan letong kuhapus tetes air
merayap jatuh di pipinya yang keruh.
Entahlah, mungkin gertak tongkang
Mungkin gerah limbah
Dari jembatan letong kusaksikan peluh air
terkenang sejarah sirih yang pedih. Entahlah,
mungkin sejarah pohon-pohon batu
mungkin rerak sendi tanah-tanah retak
dari jembatan letong
siak begitu kepompong
rumbai, 10-13
Sebab Aku Perempuan
Gerai rambutku
Binar mataku
Mancung hidungku
Tipis bibirku
Maka,
Membara kelelakianmu
Tunduk kepalaku
Terbungkus tubuhku
Terbata mulutku
Perlahan langkahku
Maka,
Surut perasaanmu
Selalu Hawa yang dipersalahkan
Ketika Adam mencicipi buah keabadian
Sebagai penyebab sebuah ketelanjangan
Bibit huruhara persengketaan
Yang memabukkan
Selalu Cleopatra menjadi cibiran
Ketika lelaki harus menghunus senjata
Membunuh saudara sendiri
Demi sebuah pengakuan
Dan cinta
Selalu aku merelakan pengorbanan
Untuk sebuah ketidakpastian
Dari janjijanji bersayap cumbu
Bagi kumbang
Penghisap madu
Sebab aku perempuan
Maka, perasaanku
Kau permainkan
2013
SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK
Bukan Karena, Tetapi
Bukan karena hiba
Dan tetes air mata
melukis pilu segala warna duka
Menggores di kanvas segala luka
penuh amarah yang memerah
atau pedih segala perih
memudarkan rona
memudarkan rasa
Bukan karena apatis
hingga hasrat harus teriris
Meninggalkan catatan
Sebuah kenangan
Di buku harian
Pada halaman-halaman tertinggal
Tetapi, karena aku perempuan
Yang merawat segala cinta
Dan kasih sayang
Di hatimu
2013
Membaca Serimbunan Akar
membaca serimbunan akar
yang menembus kedalaman bumi
menusuk di jengah ceruk-ceruk tanah
mengundang sedak dan terdesak
komunitas home poetry, 2013
Membaca Aspal
Mungkin banyak yang belum mengerti
Mengapa aspal selalu memaknai kerebahannya
Ada yang datang dan pergi
Ada yang disambang dan terbuang
Ada yang menjelang dan menghilang
Ah, andai saja ia bercerita tentang kita, tentu
Kau dapat menebak ke mana arahnya
Tetapi, ia lebih memilih kebungkaman
Baginya hal itu lebih indah ketika menikmati
Segala kebisingan dan kecemasan kita
Serta kerahasiaan yang sampai saat ini
Belum dapat kita pecahkan, walaupun
Sesekali waktu kita mencoba membongkarnya
Lalu menutupnya kembali sambil membawa
Rasa kecewa sekaligus rasa lega dan bagi kita
Pun tidak faham ke mana muaranya
(tentang sebuah kelemahan adalah kekuatan)
2013
Membaca Usia
mungkin aku yang terlalu bernafsu
mencumbui waktu
padahal jalanan ini masih seperti
yang kemarin, tempat kita selalu
menghitung jumlah tapak kaki yang
kita jejakkan
dan cuaca selalu bercanda dengan kita
membiarkan kita blingsatan membaca usia, lalu
ia tertawa diam-diam sambil melangkah pergi
tapi, hari ini aku hanya bisa mengutuki uban
yang tak pernah pergi walaupun
sesaat
2013
Lelaki Tua Di Tengah Danau
o, batara guru… kubuat tuah ni gondang dengan tujuh kali putaran dari gondang mula-mula somba-somba maupun liat-liat
angin mengelus, air mengalir pada danau segala desau adakah rahasia pada segala atau hati sembunyikan misteri padamu, padaku, atau pada kita
o, batara guru… kulakukan mangase homban agar senang si boru saniang naga agar senang si boru deak parujar agar terjaga tanah negeri kami
riak-riak menciptakan irama para bocah yang berebut mencapai dasar, ah, adakah rindu masih terpaut atau dendam masih tersudut padamu, padaku, atau pada kita
o, batara guru… sampaikan kepada ompu mulajadi na bolon jagalah bona ni pinasa segala suka jagalah bona pasogit segala cita jagalah hati kami dari segala angkara
menarilah dengan penuh sukacita bernyanyilah dengan segala keindahan nada angin akan membawa kabar berita air akan menyatukan segala cinta padamu, padaku, atau pada kita
2013
Menatap Wajah Danau
ada yang beriak di bola matamu pada setiap sudutnya mengalirkan rindu mengenang hasrat boru deak parujar di bawah pohon hariara
ada yang tergenang di sudut matamu melihat ihan yang menari di dasarnya bukan bersebab tambak-tambak yang membelukar atau kiambang yang membenam segala kenang
ada yang terbaca di kornea matamu mencatat partoba menuliskan setiap harap di antara klutuk-klutuk mengutuk batuk pada sepanjang erang boru saniang naga
2013
M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi. Koordinator Omong-Omong Sastra Sumatera Utara. Direktur Komunitas Home Poetry. Antologi Puisinya Seratus Untai Biji Tasbih (1999).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment