Tuesday, 22 September 2020

SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK

Penyair Adalah Penyair bukan sekadar bermain-main di kubangan kata-kata dia lebih kepada pencerahan ruang jiwa bagi peradaban demi peradaban bagi sejarah demi sejarah penyair adalah kamus kesaksian dari berjuta macam derita sepanjang bencana yang selalu datang bertandang tidak hanya di pusat- pusat peradaban manusia tetapi juga pusat jiwa penyair adalah sang pembawa pencerahan bagi siapa saja untuk siapa saja bukan sekadar bermain-main kata atau sekadar mengusung slogan-slogan yang beraura murka penyair adalah kita! Kurban Ismail seandainya aku tetap menjadi kamu maka, kunikmati percik kilat pisau ayah di leherku sebab di tubuhmu, pengorbanan bermula semacam lorong waktu : ia jembatan menuju surga segala keikhlasan purba seandainya Tuhan tak menarik tubuhku ia akan menjadi darah daging, menjelma sajakku yang paling abadi di aliran darah yang paling sunyi 2013 Kisah kurban adalah Ismail menjelma Qibas dihunus pisau adalah Qibas menutupi, ketelanjangan ismail pasrah adalah kurban, yang membekaskan jejak keikhlasan ibrahim di pagi yang paling sexsi adalah ibrahim, membekaskan jejak pada kilau pisau dan simbah darah adalah aku yang berkisah, tentang ismail yang menjelma Qibas ibrahim yang menjelma Qibas aku yang menjelma Qibas pada pikirmu yang Qibas 2013 Sepasang Cicak Sepasang cicak kedapatan bersetubuh di atas periuk dapurku, sekali waktu ketika tutup tutupnya terbuka dia menjatuhkan kotorannya disaat istriku menjaring airmatanya yang mengalir deras untuk menghilangkan dahaga anakanakku sepasang cicak kedapatan bersetubuh di atas kuali tungku dapurku, sekali waktu ketika kutanak airmata istriku, dia terjatuh dan jadi lauk bagi anakanakku sepasang cicak yang pernah kedapatan bersetubuh di dapurku telah menjadi darah telah menjadi daging bagi lumat jiwa kami 2013 SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK Hujan Mata Hujan meneteskan matat-mata. Mata-mata menggenang di rinduku. Berkecipak pada hulu. Gemericik di hilir. Mengantar perahu kertas. Menuju Nuh. (2013) Mata Hujan Ia terus mencari Mata-mata kerontang Melukiskan sungai Pada kenang. Pada Nuh (2013) Suatu Hari Aku Bertemu Dengan Diri Sendiri suatu hari aku bertemu dengan diriku sendiri, terpaku di atas sajadah basah. Tafakur menabur resah pada Allah tak ada sepotong kata gairah tak ada seiris kata bahagia tak ada setitik warna cahaya suatu hari aku bertemu dengan diri sendiri, betapa anehnya raudah di atas sajadah. Tafakur seperti orang-orang yang tergusur tak ada sepotong pun kata makmur tak ada seulas ceria tak ada sebutir apa-apa suatu hari aku bertemu dengan diri sendiri, rasa malu tak terbendung lagi. Tak terbendung lagi Subhanallah! SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK Perahu Nuh /1 Nuh kehilangan perahu yang tersisa hanya kertas. Maka, atas kuasa Tuhan, Ia sulap kertas itu. Menjadi perahu Perahu Nuh/2 Bila Kana’an datang Katakan Nuh telah menunggunya. Tak perlu mencari bukit. Tak usah menetap di Gunung. Sebab perahu telah selesai Walau dari kertas yang masai. (2013) Perahuku Berderak di Hamparan Do’a yang Tak Bertepian perahuku berderak diketuk-ketuk riak, diombang-ambingkan ombak, entahlah kukembangkan jua layar do’a dalam elusan angin yang menggebu kukutip butir-butir embun dari daun-daun senja udara terasa semakin menua pada keriput awan kelam yang diam, lalu bersama rintik langit yang menitik anginpun berhenti sejenak di tepian pantai yang pasang menyambut malam, perahuku masih berderak di ketuk-ketuk riak ah, betapa harap ini memeras air mata, jatuh di ribuan buih laut yang mengeram, perahuku masih diombang-ambingkan ombak pada ini lukisan pantai semakin landai di rimbunan pasir yang berambut sarat beban pada kanvas gelombang petang dan biru yang tentram, biru yang berpaham di hamparan do’a yang tak bertepian malam mengetuk-ketuk pintu dan jendela pada ruang yang lengang, angin melahirkan sunyi dari lorong-lorong tak bernama rahimmnya berderak menerjang celah jendela kaca purnama nyalang mata di rerimbunan pohon mangga cahayanya menembus segala lara di malam siaga, mengenang siang tak lama berpulang. angin masih menimang-timang sunyi dalam gendongan bermotif bunga-bunga ah, waktu hanya menghitung-hitung rindu di kalender cuaca lalu satu persatu tanggal usia, angin pun semakin tua pada pertumbuhan sunyi yang beranjak dewasa sepanjang perjalanan do’a-do’a SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK Bukit Kertas Kana’an meracik bukit dari kertas-kertas bekas tempat ia berdiri menantang “Mana banjirmu!” nyala apinya, Kana’an menyulap bukit Jadi makanan, sebab banjir Membuatnya kelaparan. (2013) Kata Hujan Istri Nuh menderaskan kata Hujan dan angin kencang Menderu dari mulutnya. Tak sempat ia berlari Menyelamatkan diri; Ia tenggelam Dalam mulutnya. (2013) SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK Angin Kencang Angin mabuk Memuntahkan hujan, Hujan mabuk Memuntahkan banjir Banjir mabuk memuntahkan sajak-sajak. Yang tersangkut Di perahu Nuh (2013) Doa Hujan Tuhan yang baik Jangan biarkan Nuh Tenggelam dimataku. (2013) Keringat Hujan Sebenarnya hujan telah lama henti Tapi keringatnya tak pernah henti Melayarkan perahu Nuh. Sebenarnya hujan kelelahan, Tapi keringatnya tak pernah segan Menenggelamkan Kana’an. Membekaskan sejarah Pada tanah (2013) Sehabis Khatam Hujan Sehabis khatam hujan pada ayat terakhir perjalanan, Debudebu kota telahlama membatu, melafazkan Gemertak almanak yang melangkah kaku sepanjang Alif ba ta cinta Lalu sepenuh daun kering menguning menyesakkan keranda, Luka di bawah deraknya pohon kamboja, dan kita bertanya Kembali pada cuaca,”adakah kita tuliskan catatan-catatan Surga?” 2013 Siklus Hujan, Rindu Dan Kau hujan berlari mencari perlindungan dimataku tetapi, diam-diam mengalir membanjiri rindu rindu membuncah dicelah-celah hujan mataku tetapi, entah mengapa alirnya mencuri bayangmu bayangmu terlukis pada kanvas bulan merah jambu tetapi, ia menjelma sungai mengalirkan arusnya ke hulu hulu hilir adalah titik permulaan dan akhir perjumpaan tetapi, di garis tertentu ia menguap di muara samudera awan awan pada hulu, hulu pada bayang, bayang pada rindu, rindu pada hujan hujan tak pernah lelah menumpahkan gerimis-gerimis waktu ke sekian menemu kau, menemu Nuh (2013) Melepas Do’a Air Mata Sepeninggal tsunami Kami rangkai do’a air mata tanpa tabur bunga --sepanjang ziarah, seluas samudera tetesnya tercipta menyentuh lembut pipi para bocah yang tengah mengundang cakrawala tetesnya tercipta melepas saudara – saudara kami yang tertimpa bencana tetesnya tercipta menjelma busur zikir yang melesat, meretas segala jarak : dari banda sampai Mandrehe dari kamala sampai barwalla dari batin sampai perih mata sepeninggal tsunami kami lepas do’a air mata tanpa tabur bunga kami hembuskan aroma surga jiwa buat saudara – saudara yang tertipa bencana -- sepanjang ziarah, seluas samudera Kucing /1 Seekor kucing mengendus di balik pintu menatap gerak seekor tikus menuju pintu aku terpaku menatap ke arah daun pintu menembus masa lalu dari pintu ke pintu seekor kucing menerkam tikus di balik pintu yang tidak leluasa bergerak sebab terjepit pintu aku terpaku menatap darah muncrat di pintu mengenang luka menembus pintu ke pintu seekor kucing puas meninggalkan pintu meninggalkan sisa tikus membangkai di pintu aku terpaku menghunus luka menuju pintu membersihkan darah menutup masa lalu sebilah pintu Kucing /2 Seekor kucing mengendus rimah-rimah sampah di kepalaku menjilati setiap sisa yang terbuang. Aroma busuk yang merasuk adalah aroma surga mengundang musafir-musafir kelana untuk sekadar singgah. Sekadar istirah entah kali yang ke berapa kucing itu kembali memuntahkan sisa sampah yang terkunyah. Entah kali yang ke berapa ia tak lelah menjilatinya. Lalu, entah kali yang ke berapa para musafir sekadar datang kemudian pergi SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK Balada Si Boru Deak Parujar pohon tumburjati, pohon kehidupan, pohon rindang bagi penghuni banua ginjang tidaklah sesunyi porlak sisoding, taman tersembunyi yang menyimpan rahasia abadi. pohon tumburjati, pohon kehidupan, pohon membelai seramai ranting dan daunnya. mendapat amanat sepanjang hayat, laklak segala kitab mengungkap segala wasiat pohon tumburjati, pohon kehidupan, pohon berdaun menyemai gugur, daun-daunnya yang menangkup ke lapis langit pertama memanjatkan do’a mengharap cinta di setiap lembarnya, melepas gairah bersama ranting-ranting patah. di puncak hariara sundung di langit, beringin membuka hobarna, bermula kisah manuk hulambujati, induk tiga telur besar yang mengandung batara guru mengandung debata sori dan mangalabulan. di puncak hariara sundung di langit, beringin membuka torsa, berlanjut kisah manuk hulambujati mengeramkan tiga telur lagi; mengandung siboru parmeme, siboru parorot, dan siboru panuturi. siboru deak parujar, putri bungsu batara guru dan siboru parmeme, berkali-kali pergi ke bawah rindang tumburjati, mendengar cerita manuk hulambujati yang bertengger di puncak tertinggi. ia seperti cahaya bintang-bintang yang berkejaran. moncongnya berpalang besi, kukunya bergelang kuningan, dan sosoknya sebesar kupu-kupu raksasa nan berkilau bersahabat dengan leang-leang mandi, leang-leang nagurasta, dan untung-untung nabolon, sebagai pelayan dan penyampai pesan “Wahai, Manuk Hulambujati, untung-untung Nabolon. Mengapa engkau tak mau turun untuk bersamaku di sini? “ siboru deak parujar tak lagi memaksa diri. setiap kali kembali ke bawah rindang tumburjati, diam-diam mengajak siboru sorbajati. tak lupa merapikan letak hulhulan, penggulungan besar untuk benang tenunan. “Kita semua di lapis kedua kahyangan ini keturunan dewa. Siapapun yang menjadi pasanganku nanti, lebih baik daripada tidak ada. Seandainya ayah kita berkenan juga menjodohkan aku dengan Siraja Odap-odap, aku akan turut juga,” ujar siboru sorbajati, si kakak tercinta memancing cerita. keturunan laki-laki batara guru mendapat pasangan dari putri debata sori. anak laki-laki debata sori dari putri mangalabulan. anak mangalabulan mendapatkan pasangan dari putri batara guru, memilih antara siboru deak parujar dan siboru sorbajati. “Ah, berpapasan saja aku tidak akan mau dengan anak Mangalabulan itu! Lebih baik melompat dari puncak rumah dan ingin menjadi batang enau daripada melihat wajah Siraja Odap-odap.” mereka pun meneruskan gulungan benang tenun sampai memulai tenunan baru. berhari-hari, berbulan-bulan. batara guru dari bagian biliknya nampak tidak sabar lagi untuk mendesak salah satu putrinya dipersunting siraja odap-odap. “Kemarilah kalian berdua,” panggil Batara Guru. siboru sorbajati akhirnya melangkah sendiri memenuhi panggilan ayah, mendengar suara-suara yang menanti di halaman rumah. benar-benar melakukan niatnya dengan melompat dari puncak rumah sambil menyumpahi diri agar menjadi batang enau saja. “Siboru Sorbajati lebih suka mengutuk dirinya daripada patuh kepada ajar. Satu lagi putri kakanda yang sangat turut pada ajar, pastilah itu Siboru Deak Parujar.” “Tidak, ayahanda. Lagi pula tenunanku belum selesai.” sampai menjelang pagi dia mengeluarkan bunyi alat tenunnya itu sambil menikmati. dan terpikir melemparkan hasoli, masih tergulung benang yang dipindah dari hulhulan. semalaman batara guru tetap berjaga agar putrinya tidak melarikan diri. bunyi alat tenun siboru deak parujar didengarnya mulai berhenti. “putriku, deak parujar!” siboru deak parujar menyahut panggilan batara guru sekali, selebihnya dia sudah bergayut pada benang yang menjulur entah sampai ke mana. semakin turun, nampaknya dunia bawah tidak jelas dan sangat gelap. angin kencang dan lebih dahsyat kacaunya dari sebelum penciptaan kahyangan. “Leang-leang Mandi, Untung-untung Nabolon…! Kumohonkan agar engkau meminta sekepul tanah untuk tempatku berpijak di bawah! Aku tak mau kembali ke Banua Ginjang.” sekepul tanah yang dikirimkan, ditekuk siboru deak parujar, langsung menghampar tempat berpijak menjadi awal banua tonga. naga padoha menggoyang guncangan. dari bawah tanah menyulam amarah. sebab frustrasi dengan nai rudang ulubegu. “Ompung Mulajadi Nabolon, mohon kirimkan kembali sekepul tanah lewat pesuruhmu Leang-leang Mandi, si burung layang-layang!” permohonannya sampai untuk ditekuk kembali, lengkap dengan sebilah pedang dan tutup kepala. menghindari terik delapan matahari mengeringkan banjir air di banua tonga. menghunus pedang menaklukkan naga padoha yang berang. naga padoha masih menyimpan dendam mengguncang dari banua toru, tempat segala kegelapan, kejahatan, dan kematian. “Suhul! Suhul!” mulajadi nabolon mengirimkan bibit-bibit tumbuhan dan hewan, memasukkan ke dalam sebuah lodong poting, potongan batang bambu, berisi benih bercampur jasad siraja odap-odap, menghampiri siboru deak parujar di sebuah pancuran yang dihalangi rimbun tetumbuhan. “Boru Deak-Parujar, tenunlah sehelai ulos ragidup, kemudian lilitkan ulos itu pada lodong itu lalu bukalah tutupnya.” pertemuan siboru deak parujar dengan siraja odap-odap, sebagai tuan mulana di banua tonga tak bisa lagi ditolak. mulajadi nabolon memberkati mereka hingga melahirkan, raja ihat manusia dan pasangannya bernama itam manusia, manusia pertama. siboru deak parujar dan siraja odap-odap kembali ke banua ginjang, melalui seutas benang. “Kalau kalian rindu kepadaku, terawanglah purnama bulan. Di situlah aku kelihatan kembali bertenun dan menyulam.” 2013 Hobar Namora Alunan sordam berlayar bersama kesiur angin Menelusuri persawahan di antara padi-padi Sepanjang hamparan sigalangan membakar dingin Dan burung-burung yang sibuk memetiki hasapi “oi, sahala na mar tondi dan para penguasa huta ni humang aku kawini si jelita dari lubu yang menitiskan si langkitang yang menitiskan si baitang” beribu pustaha memerciki ceracau kemarau meratapi pepohonan yang hibuk menghitung usia huta-huta daun-daun berguguran di atas hamparan surat tulak-tulak dan ruas-ruas bambu yang melantunkan andung-andung “oi, tondi na marsahala aku penuhi janjian di sopo sio rancang magodang aku nikahi nan tuan layan bulan yang melahirkan sutan borayun yang melahirkan sutan bugis” tetabuh gondang mengaduh bersama hentakan ogung menggebuki langit yang menahan beribu jerit “oi begu na mar sahala dohot mar tondi akulah namora pande bosi yang kehilangan makam sendiri “ 2013 Pada Langit, Pada Bumi, dan Pada Segala Pada langit. Pada bumi Pada pucuk-pucuk daun hariara Tenunan selesai digelar sepanjang selendang Deak Parujar merengkuh banua ginjang menancap banua tonga mengakar banua toru Pada langit. Pada bumi Pada sayap-sayap hulambujati Kisah telah menjadi hobar Tentang Odap-odap memburu Deak Parujar menyesap dalam darah menembus rongga-rongga menyembul dari mulut dan mata Bakkara, O, Bakkara di timur aku tertancap di segala penjuru aku disergap mulut dibekap, suara disadap Pada langit. Pada bumi Pada titah Ompu Mulajadi Deak Parujar menitipkan benihnya Tuan Mulana mencapai orgasmaya Naga Padoha menggaruk punggungnya 2013 Lukisan Rambutmu Pada Kibar Senja Itu lukisan rambutmu merebak rindu di antara lulur debu meretas gairah di antara bilurbilur biru di bawah remang cahaya yang memburu waktu, ah aku seolah menemu lakumu dalam dekapan diam tetapi nganga itu seolah mencair di antara mimpimimpi semu kemarilah ! biar kita kejar bias matahari di antara rintik gerimis senja yang mengucur di kaca jendela menggelitik rasa kita kau tentu mengerti betapa hasrat memiliki tak pernah berhenti dan tembang malam perlahan melintas dari jembatan senja yang berkibar di antara kibar lukisan rambutmu mewarta segala cinta, maka cuaca bukanlah penghalang segala cinta dari segala tariantarian yang meliuk di antara lukisan rambutmu pada tatap mataku yang menunggu Kakimu Yang Melangkah Adalah kakimu yang melangkah adalah tapaktapak yang membekaskan segala sejarah di atas kering rumputrumput itu menyibak segala rahasia yang tersembunyi di tepian trotoar berdebu dan irama knalpot jalan raya yang menembus telinga para musafir jalanan menembus segala tuju yang masih semu kakimu yang melangkah adalah retakretak dadaku yang rerak di antara tanahtanah membatu mencuri serpihan cinta yang melayang seolah debu menembus dindingdinding angin yang dingin menggigilkan segala hasrat yang sempat membara dan lunglai bersama gugurgugur daun yang jatuh ke bumi kakimu yang melangkah adalah getar segala debar yang terkapar dari resah segala gelisah meliukkan hati yang gundah tentang sebuah hasrat yang terpendam menembus dindingdinding diam yang mewarta segala cerita menembus loronglorong hatimu menembus kisikisi hatiku yang penuh kesumat berdebu Sebab Angin Yang Menggugurkan Daun-Daun entah daun yang ke berapa jatuh ke bumi dari pohon setua hembusan sedingin angin warna buramnya sesunyi kalender yang kelelahan disetubuhi beribu rayap pengab ! waktu melesat begitu cepat berkeliling merengsek masuk di celah-celah reranting dan cabang. Begitu gagap entah daun yang ke berapa gugur di diri memilah warna matahari yang menembus ke segala ruang dan lorong sesunyi titik air yang menitis di atas lantai lunglai sansai ! Mengenang Si Burung Merak /1 kaulah penyair itu yang menyihir kata yang membunuh berjuta pendusta mengajarkan bagaimana berdiri tegak pada bumi, pada hati jarak mungkin tak berbatas pada peta yang selalu mengukung peradaban gersang meliukliuk menarinari di bola mata nanar pada bumi, pada hati kaulah penyair itu yang membebaskan kata dari segala keruwetan maknamakna pedih dan luka, menyatu satu kata kebenaran pada bumi, pada hati medan, 09/13 Mengenang Si Burung Merak /2 sebab perjuangan adalah sebuah pembebasan pelacurpelacur mengibarkan beha kemerdekaan sepanjang peradaban kotakota yang dikotakkotakkan merdekalah, bebaslah aduh, betapa likuliku itu membatas setiap langkah kita yang tak pernah menapakkan segala jejakjejak yang sengaja diciptakan merdekalah, bebaslah sebab perjuangan adalah nyanyian angsa pada danau yang meliukkan kebenaran menjadi sebuah pembenaran merdekalah, bebaslah medan, 09/13 Maka Batu Sehingga Lubang pada lorong ini kata-kata berlumut di dinding-dinding gua suara-suara beradu teriak di gendang telinga entah mengapa desing peluru itu tak juga enyah ia menyusup terus pada kisi-kisi pikir pendatang yang datang dan pergi pada lorong ini saudara tua pernah mencatat kuasa di dinding-dinding gua ada sejarah yang mengering tapi kemanakah halaman lembar-lembar yang terkoyak dari buku pelajaran sekolah? Ah, mungkin ia sekadar singgah di negeri entah pada lorong ini batu-batu mengeraskan kata-kata saudara tua di dinding-dinding gua mewartakan sejarah dan kisah-kisah lama adakah luka tercatat pada peta atau lubang yang semakin meruang? Lalu kemana pendatang yang datang dan pergi? Mungkinkah mereka sekadar singgah di negeri entah, ah komunitas home poetry, 2013 Portibi sesekali kutelusuri bilik sempit sudut kusam, cagar sejarah dan relief dingin memaknai kediamanmu yang berdebu dan gosong pengetahuan tak ada catatan yang tertinggal selain kegalauan merubung dada dan kanak berebut benang putus layang serta sorak kegembiraan yang menyusup di dinding-dinding senyap komunitas home poetry, 2013 Tugu Guru Patimpus ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan yang terlepas hurup-hurupnya dari paragraf-paragraf usang sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan perjalanan, mengekalkan peradaban urban di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya diam-diam pada bulan ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari menghibur para petualang yang sejenak datang mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain membenam teriak segala pongah, mencampak derak suara ke langit terbelah di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara percik riwayat kisah-kisah semangat juang di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula pemancakan gedung-gedung nan gagah dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang, yang entah kapan pergi Komunitas HP, Medan, 10-13 Di Kota Ini di kota ini, para migran menyulam hidup dari sejarah paling dingin di kota ini, cahaya temaram dalam diam orang-orang kerontang berebut air sampai tetes paling akhir di kota ini, tahun bersambut pada suasana yang paling haru, rumah-rumah merapat mencari hangat KHP, 2011 SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK Ternate Menjelang Senja bukan karena pedagang asongan yang enggan pulang, yang membuat perempuan itu tak beranjak dari bangku batu bukan karena para nelayan yang terlambat menambatkan sampan, maka perempuan itu tak juga beranjak menuju pulang bukan karena hujan yang mengguyur sepanjang jalan, sehingga perempuan itu menyulam catatan diam bukan karena pedagang asongan, nelayan atau hujan lalu perempuan itu menyimpan penyesalan, tapi tuhan telah berbisik pelan-pelan ketika ia berada tepat di persimpangan komunitas home poetry, 2011 Negeri Kepompong Kali ini ia tidak melahirkan kupu-kupu, tetapi ular bersayap kupu-kupu. Kali ini ia tidak menghisap madu, tetapi darah semanis madu-madu Kali ini ia ia tidak menghadirkan warna-warna, tetapi memuntahkan hitam sepenuh kelam komunitas home poetry, 2011 SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK Mantra Pelaut Sampan kayu, dayung kayu, kayu segala kayu Janganlah kayu segala tangkapanku Laut asin, keringat asin, asin segala asin Janganlah asin segala tangkapanku Sampan laut, dayung keringat, kayu segala asin Janganlah asin segala kayuku Puah, puah, puah .... komunitas home poetry, 11/13 Kololi Kie Mengelilingi Gamalama adalah menyulam sebuah kelahiran Berhenti dari satu jagoru lamo ke jere lain seolah ziarah Ke makam nabi-nabi Mengelilingi Gamalama adalah menghirup nafas kehidupan Memberangus satu bencana menjeput gairah-gairah seolah Melontar jumrah Mengelilingi Gamalama adalah mewariskan kasihsayang Menikmati kelembutan toma nyolo, mendekap kehangatan Toma nyiha Mengelilingi Gamalama Aku dodoki ali Aku dodoki mari komunitas home poetry, 12/13 Sungai Siak Dari jembatan letong kukunyah riak air menitip intip patin-patin. Entahlah, mungkin muntah pasar bawah mungkin batuk tanjung datuk dari jembatan letong kuhapus tetes air merayap jatuh di pipinya yang keruh. Entahlah, mungkin gertak tongkang Mungkin gerah limbah Dari jembatan letong kusaksikan peluh air terkenang sejarah sirih yang pedih. Entahlah, mungkin sejarah pohon-pohon batu mungkin rerak sendi tanah-tanah retak dari jembatan letong siak begitu kepompong rumbai, 10-13 Sebab Aku Perempuan Gerai rambutku Binar mataku Mancung hidungku Tipis bibirku Maka, Membara kelelakianmu Tunduk kepalaku Terbungkus tubuhku Terbata mulutku Perlahan langkahku Maka, Surut perasaanmu Selalu Hawa yang dipersalahkan Ketika Adam mencicipi buah keabadian Sebagai penyebab sebuah ketelanjangan Bibit huruhara persengketaan Yang memabukkan Selalu Cleopatra menjadi cibiran Ketika lelaki harus menghunus senjata Membunuh saudara sendiri Demi sebuah pengakuan Dan cinta Selalu aku merelakan pengorbanan Untuk sebuah ketidakpastian Dari janjijanji bersayap cumbu Bagi kumbang Penghisap madu Sebab aku perempuan Maka, perasaanku Kau permainkan 2013 SAJAK-SAJAK M. RAUDAH JAMBAK Bukan Karena, Tetapi Bukan karena hiba Dan tetes air mata melukis pilu segala warna duka Menggores di kanvas segala luka penuh amarah yang memerah atau pedih segala perih memudarkan rona memudarkan rasa Bukan karena apatis hingga hasrat harus teriris Meninggalkan catatan Sebuah kenangan Di buku harian Pada halaman-halaman tertinggal Tetapi, karena aku perempuan Yang merawat segala cinta Dan kasih sayang Di hatimu 2013 Membaca Serimbunan Akar membaca serimbunan akar yang menembus kedalaman bumi menusuk di jengah ceruk-ceruk tanah mengundang sedak dan terdesak komunitas home poetry, 2013 Membaca Aspal Mungkin banyak yang belum mengerti Mengapa aspal selalu memaknai kerebahannya Ada yang datang dan pergi Ada yang disambang dan terbuang Ada yang menjelang dan menghilang Ah, andai saja ia bercerita tentang kita, tentu Kau dapat menebak ke mana arahnya Tetapi, ia lebih memilih kebungkaman Baginya hal itu lebih indah ketika menikmati Segala kebisingan dan kecemasan kita Serta kerahasiaan yang sampai saat ini Belum dapat kita pecahkan, walaupun Sesekali waktu kita mencoba membongkarnya Lalu menutupnya kembali sambil membawa Rasa kecewa sekaligus rasa lega dan bagi kita Pun tidak faham ke mana muaranya (tentang sebuah kelemahan adalah kekuatan) 2013 Membaca Usia mungkin aku yang terlalu bernafsu mencumbui waktu padahal jalanan ini masih seperti yang kemarin, tempat kita selalu menghitung jumlah tapak kaki yang kita jejakkan dan cuaca selalu bercanda dengan kita membiarkan kita blingsatan membaca usia, lalu ia tertawa diam-diam sambil melangkah pergi tapi, hari ini aku hanya bisa mengutuki uban yang tak pernah pergi walaupun sesaat 2013 Lelaki Tua Di Tengah Danau o, batara guru… kubuat tuah ni gondang dengan tujuh kali putaran dari gondang mula-mula somba-somba maupun liat-liat angin mengelus, air mengalir pada danau segala desau adakah rahasia pada segala atau hati sembunyikan misteri padamu, padaku, atau pada kita o, batara guru… kulakukan mangase homban agar senang si boru saniang naga agar senang si boru deak parujar agar terjaga tanah negeri kami riak-riak menciptakan irama para bocah yang berebut mencapai dasar, ah, adakah rindu masih terpaut atau dendam masih tersudut padamu, padaku, atau pada kita o, batara guru… sampaikan kepada ompu mulajadi na bolon jagalah bona ni pinasa segala suka jagalah bona pasogit segala cita jagalah hati kami dari segala angkara menarilah dengan penuh sukacita bernyanyilah dengan segala keindahan nada angin akan membawa kabar berita air akan menyatukan segala cinta padamu, padaku, atau pada kita 2013 Menatap Wajah Danau ada yang beriak di bola matamu pada setiap sudutnya mengalirkan rindu mengenang hasrat boru deak parujar di bawah pohon hariara ada yang tergenang di sudut matamu melihat ihan yang menari di dasarnya bukan bersebab tambak-tambak yang membelukar atau kiambang yang membenam segala kenang ada yang terbaca di kornea matamu mencatat partoba menuliskan setiap harap di antara klutuk-klutuk mengutuk batuk pada sepanjang erang boru saniang naga 2013 M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi. Koordinator Omong-Omong Sastra Sumatera Utara. Direktur Komunitas Home Poetry. Antologi Puisinya Seratus Untai Biji Tasbih (1999).

No comments: