Tuesday, 22 September 2020

MULUT, DONGENG DAN MATI LAMPU

MULUT ia adalah surga bagi hamba-hamba yang faham tentang makna keabadian dan siap mengusir segala kefanaan, seperti adam dan hawa yang belum mengerti keberadaan diri entahlah mungkin juga karena kelihaian iblis mengaisngais segala najis ia adalah neraka bagi pendosa yang dihanguskan keakuannya dengan bara api dari dasar paling jahanam, seperti anak-cucu adam dan hawa yang terlalu berlebih memaknai diri entahlah mungkin juga karena kelelahan iblis mengiris-iris segala bengis ia adalah jalan menuju segala pilihan medan, 2012 D O N G E N G hidup begitu tak masuk akal kita tembus lorong kematian, terus menjelma air menjelma api menjelma tanah menjelma udara menjelma apa saja yang kita suka lalu setelah lelah mengolah akal kita masuki lorong kematian berharap sampai ke medan hidup entah menjelma apa saja yang kita suka menjelma aku menjelma kau menjelma iblis menjelma tuhan medan, 2012 MATI LAMPU menunggu mati lampu seperti minum obat menunggu mati lampu bertambah jerawat menunggu mati lampu gen- set pun bikin ampun ada yang mati tiba-tiba ada yang tak sengaja rekening listrik wajib dibayarkan tiap bulan kalau tidak, pemutusan dilakukan tanpa belas kasihan atau rekening meledak tak sesuai meteran ah, menunggu mati lampu tidurpun jadi kecepatan apapun tak bisa dilakukan, sebab aku ketakutan komunitas home poetry,2011 MENYUSURI SUNGAI BATANGHARI Menyusuri sungai batanghari, ketekketek merengek Menggeram di sela isakisak gemuruh mesin riakriaknya menari pada perih segala sedih rindu muara yang menawar teduh di gemuruh hati yang gaduh di sepanjang alirannya ada sesuatu yang belum sempat terbaca tentang sebuah pemandian putriputri raja melintasi perkampungan dan pabrikpabrik yang berdiri bagai raksasa pada tepiannya serta tegel lantai yang tersusun sempurna menutupi kubangan Lumpur di bawah kayukayu penyangga ah, apakah dayangdayang tengah menarikan tarian selamat datang atau sekelebat ibuibu yang tengah mencuci di depan jamban kayu? Eit, sepasang merpati saling bertatap mesra, di atas sampan yang melintas pelan. Wajah mereka terlihat kelelahan. Angin berhembus sangat lamban mengantar ke sebuah kota yang bernama kenangan setua candi muaro jambi Sambil meneguk setetes air membawa ingatan kita dari sebuah perjalanan pergi dan kembali, begitu sepanjang hari Di atasnya awan merangkak pelan mengabarkan sebuah permulaan sambil mengucap salam perjumpaan Menyusuri sungai batanghari, terbayang tongkang menerjang Berlari kencang garang melintasi aurduri yang sendiri Permukaannya membelah memberi jalan Musa Dari kejaran raja Fir’aun yang rusuh Pada peta hayalku yang aduh Menyusuri sungai batanghari, pengeruk klutuk pasir menyisir Laiknya seorang gadis yang menunggu sang kekasih Datarannya menggelombang sesekali mengembang Menghembuskan aroma sawit yang mencubit Di tepiannya bocahbocah telanjang menari Menyusuri sungai batanghari, angso duo menyendiri Sepucuk jambi sembilan lurah masih berbenah Keris menikam kesumat meriam sijimat Menenggelamkan segala prasangka Menghanyutkan segala duga komunitas home poetry,2011 SIKLUS Ketika itu sebuah kaca mata hitam berdiameter lebar tengah dikenakan dengan segala keyakinan. Benda itu baru saja dibeli dari sebuah Mall dengan harga yang terpaksa disepakati, sebab seorang teman sibuk menanyakan posisi kunci. Karena kurang konsentrasi setelah dibayar, aku lupa menagih kembalian. Alahai, lupa adalah senjata yang penghabisan dan kemudian kembali dilupakan pada ingatan yang berukuran paspasan. Termasuk rencana mendaftar segala ragam cinderamata. Serta hadiah perpisahan upah sebuah pelukan dan ciuman. Warna hitamnya menggambar sebuah kecemasan juga rahasia yang belum sempat terpecahkan. Aku lebih memilih yang berwarna bening, tetapi seorang teman masih mendesak menanyakan posisi kunci Di mana posisi dan posisi kunci, sms-nya, aku ingin menulis tentang Jambi, sambungnya kemudian. Tapi laksana kendaraan Musa, mobil yang kami tumpangi terjebak monopoli minyak Fir’aun. Kezoliman yang usianya melampaui batas keserakahan. Termasuk tentang sebuah keimanan dan keyakinan seorang anak angkat kepada Tuhan yang diyakininya. Serta kerakusan ayah angkat yang ingin melampaui kekuasaan Sang Maha Menjadikan. Dan ternyata warna hitam merupakan warna kegelapan. Memanasi mesin saat gelombang terbawa pulang. Riaknya yang tenang begitu meninabobokkan. Di depan terpampang jelas sebuah kanvas perjalanan yang kita susuri. Pada ketek yang bergoyang kita seolah diajak mencatat angkaangka dari panjangnya sebuah perjalanan komunitas home poetry,2007 SEBAB ANGIN YANG MENGGUGURKAN DAUN-DAUN entah daun yang ke berapa jatuh ke bumi dari pohon setua hembusan sedingin angin warna buramnya sesunyi kalender yang kelelahan disetubuhi beribu rayap pengab ! waktu melesat begitu cepat berkeliling merengsek masuk di celah-celah reranting dan cabang. Begitu gagap entah daun yang ke berapa gugur di diri memilah warna matahari yang menembus ke segala ruang dan lorong sesunyi titik air yang menitis di atas lantai lunglai sansai ! tanjung karang, 09 JENDELA TAK BERDAUN inilah catatan yang memang tak pernah selesai tentang perjalanan angin pengembara. bergerak layaknya penari telanjang tak jelas kapan datang kapan pulang dalam kediaman, debu-debu berkumpul menghalau segala dingin. kesunyian begitu membuncah dittingkahi titik air yang jatuh dari sisa hujan separuh malam inilah catatan tentang karat kemarau yang tak sempat dibersihkan dari sisa keping daun jendela yang jatuh terlelap di atas batu cadas berjambang lumut di bawah jendela rumah kita maka entah kapan lagi angin, debu, dan kemarau mencatatkan kembali segala kisah yang tak sempat terbaca pada rumah, pada sejarah perjalanan medan, 10 CATATAN DAUN-DAUN seperti pohon lainnya, tak pernah menyadari catatan daun-daun yang gugur, bersebab iri hati segerombolan angin dalam dendam kesumat yang tak berkesudahan seperti tanah lainnya, lelah menerima segala derita daun-daun yang terbuang, bersebab hunjaman matahari mengeringkan segala kerontang yang semakin garang seperti jiwa-jiwa lainnya, kehilangan rasa memahami resah daun-daun yang tergusur, bersebab nurani berkali-kali mati suri sementara nafsu dibiarkan membiak di kepala medan, 10 TENTANG SEBUAH CATATAN ada catatan yang tertinggal, di laci dan tas sekolah tentang pelajaran yang tak sempat tertuntaskan “seminggu lagi kita ujian...” ada catatan yang tertulis, di papan tulis dan buku-buku pelajaran tentang kisi-kisi standard kelulusan nasional “tolong kalian pelajari di rumah...” ada catatan yang tersobek, di saku-saku celana dan baju tentang jawaban yang tak sempat terhapalkan “jangan bocorkan...” PADA LEMBAR JAWABAN ini soal yang ke sekian yang tak dapat terjawab, sebab entah siapa yang menyusunnya ini soal yang ke sekian tak terpahamkan, sebab entah siapa yang mencatatanya ini soal yang tak sesuai dengan standard kelulusan, sebab entah siapa yang menharuskan ini soal yang ke sekian tak tertuntaskan, entahlah semoga tuhan yang memberi bocoran SEBELUM PENGUMUMAN entah debar yang ke berapa tercatat dalam gemuruh hati bertubi-tubi orang-orang berdesakan pada perasaan beragam aku hanya berdiri di barisan paling akhir demi menjaga kesedihan yang akan mengalir menjaga cuatan amarah, atau gundahan kecewa entah debar yang ke berapa tercatat pada sesak dada demi berharap satu kata tentang sebuah kelulusan tentang sebuah kejujuran MEMANEN PEDIH air mata memang tak pernah minta ditumpahkan sekecil atau sederas papun sebuah kepedihan tetapi, hati yang pedih seolah memaksa bendungan kesabaran membuncahkan debarnya air mata memang tak pernah ingin dialirkan dari suasana yang bagaimanapun tetapi, hati tak tahan menahan desakan alirnya membasahi luka yang sebenarnya tak pernah ada pada jiwa dengan luka yang terus menganga M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK Panca Budi – 2 Medan. Alamat Sekolah: Jalan Jenderal Gatot Subroto km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Alamat Rumah: Jalan Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E-10 Medan, Sumatera Utara. Hp. 085830805157

No comments: