Wednesday, 23 September 2020
PUISI : SAJAK RAUDAH JAMBAK
Sajak-sajak M. Raudah Jambak
INDONESIA, MERAH-PUTIHKU
Indonesia, Indonesia
di negeri ini aku dilahirkan
di negeri ini aku dibesarkan
di negeri ini aku menggapai
segala impian
segala harapan
segala cita
dan cinta
Indonesia, Indonesia
engkau adalah taman terindah
ibu yang paling ramah, penuh
kasih dan sayang
dalam suka
maupun duka
Indonesia, Indonesia
adalah do’a-do’a hikmat sebelum tidur,
adalah gula dalam setiap makanan maupun manisan
adalah cahaya penerang segala terang maupun yang kabur
adalah puncak segala warna dalam lukisan dan racik tenunan
Indonesia, Indonesia
laksana obat penghilang perih luka-luka
tilam paling nyaman setiap ketentraman berdiam
danau tempat membasuh tumpukan-tumpukan duka
dan senyuman dalam mata paling nyalang atau sebenam pejam
Indonesia, Indonesia
barisan semangat sepanjang carnaval
anak-anak yang berlari riang sepanjang jermal
kekasih segala pujaan, membenam segala gombal
Indonesia, Indonesia
merah darahku
putih tulangku
di tubuhku
kita menyatu
padu
medan, 10-12
MENJAGA INDONESIA
Mungkin tak pernah terpikirkan
entah berapa helai daun yang gugur di halaman rumah kita
dan membusuk, atau hangus begitu saja di gunungan sampah
yang berhari-hari kita biarkan. Pun, ketika ia terseret di arus banjir
dan terdampar di kehilangan pandangan kita
Adakah terbaca setumpukan debu
yang menebal di datar kaca jendela, bersebab
kemarau dan bising lalulalang jalan raya. Padahal
tanpa sadar ia selalu menari di hadapan kita, ketika kita
berpatut-patut diri sebelum berangkat kerja
Lalu sempatkah terhitung
berapa usia ruang depan rumah kita yang membiarkan
tetamu datang dan pergi, serta gelas yang terjatuh dikarenakan
keriangan anak-anak berkejaran di seputar meja. Termasuk perempuan
yang kemudian dikatakan istri, dikatakan ibu, berebut kisah laksana setrika, selalu berpindah
dari kasur, dapur dan sumur. Juga lelaki yang tercatat sebagai suami, tercatat sebagai bapak
memungut kisah dari rumah sampai rumah
begitulah Indonesia
ia menyediakan diri sebagai apa saja
dan mungkin tak pernah terpikirkan, terbaca, atau terhitung
tentang daun-daun, debu atau justru sebagai rumah, tempat orang-orang
memungut istrirah
Indonesia adalah rumah kita
yang penuh dengan sesak sampah
yang penuh dengan riuh debu-debu
yang penuh dengan tamu-tamu
datang dan pergi
Indonesia adalah rumah kita
yang berpagar, yang berubah-ubah warna dindingnya
yang bagian-bagiannya dihancurkan kemudian
dibangun kembali
Indonesia adalah rumah kita
yang menyimpan begitu banyak cerita
dan sepatutnyalah kita
jaga
medan, mei 2012
MASIH MERDEKAKAH KAU INDONESIA?
Masih merdekakah kau Indonesia
setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya
dalam kaleng rombeng
recehan angka milik pengemis belia
yang mendendangkan kidung lara
bersama hembusan dupa dari opelet tua
masih merdekakah kau Indonesia
ketika musyawarah berubah dari mufakat
menjadi siasat
ketika wakil rakyat lebih mewakili penjahat
ketika gedung dewan lebih mirip kandang hewan
dan ketika pejabat negara tega menjadi pengkhianat bangsa
Masih merdekakah kau Indonesia
dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham maknanya
karena matamu telah dibutakan
dan mulutmu disekat rapat-rapat
serta telinga cuma sekedar bunga tanpa rupa
Masih merdekakah kau Indonesia
padahal telah banyak disumbangkan darah dan air mata
dan berjuta nyawa yang akhirnya cuma sekedar wana luka
Masih merdekakah kau Indonesia?
Komunitas HP, 2002
INDONESIA BERKACA
telah lama indonesia terjebak dalam buramnya
kotak kaca, mulai dari wajah yang berdebu, sampai
tiga dimensi yang kaku, parabola tak lagi berguna
dikalahkan kecanggihan batok kelapa-
kejahatan, penipuan, kemunafikan-berlomba menjadi
pelaku utama-sementara kejujuran, keikhlasan,dan
kesabaran-cukup puas sebagai figuran biasa
telah lama indonesia terjebak dalam kumuhnya
media masa, mulai dari wajah yang penuh darah,
sampai bibir merah penuh gairah, headline kemanusiaan tak lagi berguna, politik haus kekuasaan di atas
segalanya-korupsi, prostitusi, anti ideologi-menjadi berita terkini-sementara harkat, martabat, dan
nurani-hanya penghias demi investasi
telah lama indonesia terjebak di atas panggung sandiwara, yang selalu kehilangan penonton setia
mulai dari fans tiba-tiba, sampai kelas utama
tiket pertunjukan tidak lagi berguna, sebab
undangan gagal membawa marwah cerita-pemain, penata, dan sutradara-saling curiga dengan honor
yang diterima-sementara proyek, eksebisi, dan
pertunjukan dalam rangka-menjadi penentu final
dalam berkarya
lihatlah aceh, ambon dan papua
lihatlah korupsi, prostitusi dan manipulasi negri
lihatlah segala amoral dan asusila
anak-anak bangsa
apa khabar munir yang menunggang garuda
apa khabar harry roesli dengan drs. arief-nya
apa khabar peter white dan sepakbola indonesia
apa khabar sby bersama seratus harinya
apa khabar hamid jabbar yang selalu menzikirkan puisinya, selalu tertawa gembira-walau dalam tangis indonesia
apa khabar tsunami yang selalu meneteskan
air mata
do'a takjim buat saudara-saudaraku,
yang mengawang di bukit lawang, menanam pusara badan di kuningan, menyerah di bandara adi sumarmo yang
gelisah, ambruk mengurusi nyamuk-nyamuk, menggigil digetarnya gempa tsunami
dan yang tiba-tiba pergi ke negeri entah
(tuhan mengarahkan langkah kalian menuju taman
di dalamnya mengalir sungai susu, tumbuh bunga-bunga indah, dan ranumnya beragam buah)
telah lama indonesia terjebak dalam lusuhnya cermin kaca, tapi yakinlah kami masih mampu
membaca makna-membersihkan wajah indonesia
indonesia bercermin
indonesia berkaca
dalam derita
kami akan terus berjuang untukmu
dalam bahagia
kami akan senantiasa mengharumkan
namamu,
indonesia berkaca-anak-anak bangsa berusaha
terangkai do'a, senantiasa
Medan, 2001
SEBAB PAHLAWAN NAMAKU
Di dalam negeri yang penuh rahasia, aku terlahir
Dari seorang ibu yang tak henti mengumpulkan
Segala tetes air mata di pualam pipinya
Tumbuh besar sampai sekarang menjaga usia
Setua misteri yang beralis segala teka teki
Dan memberi namaku Pahlawan
Bukan aku yang meminta nama segagah itu
Bukan aku yang memaksa untuk ditabalkan
Bukan aku yang terpaksa atau bahkan rela
Merengek-rengek agar semua orang tahu
Tidak ada Pahlawan selain aku
Aku tidak harus mati dulu
Apalagi mengumpulkan kartu tanda penduduk
Atau mengumpulkan kartu keluarga sekian ribu
Bahkan harus PEMILU agar ibu menuliskan
Kata Pahlawan di keningku
Ooi, Aku bangun jiwa raga ini
Aku bangun cita-cita ini
Aku bangun negeri ini
Dengan nurani
sebab pahlawan namaku
Ooi, Tak harus kutempuh cara yang sama
Tak harus kutempuh jalan membabi buta
Tak harus kutempuh menikung suka-suka
Tapi kususuri cara yang sesederhana jiwa
sebab pahlawan namaku
Ooi, Sebab aku terlahir
di dalam negeri penuh rahasia dari seorang ibu
yang tak henti mengumpulkan segala tetes air mata
di pualam pipinya,
Maka pahlawan namaku
Bogor, 2008
AKULAH WAKTU, KAULAH MASA, KITA CATAT SEJARAH
/1/
Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun
yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya
serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging
Akulah Waktu yang kehilangan makna beban
Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan
Sebab ia adalah cermin buat berdandan
Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering
panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku
tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah.
Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama
sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam
sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak
/2/
Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi.
perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara.
mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta!
Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan
Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara
bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba
Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa
yang berburu zikir bersama Khaidir
lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!
/3/
Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah
Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam
yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian.
di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak
Komunitas Home Poetry, 2008-2010
SEBAB AKU PEREMPUAN
Gerai rambutku
Binar mataku
Mancung hidungku
Tipis bibirku
Maka,
Membara kelelakianmu
Tunduk kepalaku
Terbungkus tubuhku
Terbata mulutku
Perlahan langkahku
Maka,
Surut perasaanmu
Selalu Hawa yang dipersalahkan
Ketika Adam mencicipi buah keabadian
Sebagai penyebab sebuah ketelanjangan
Bibit huruhara persengketaan
Yang memabukkan
Selalu Cleopatra menjadi cibiran
Ketika lelaki harus menghunus senjata
Membunuh saudara sendiri
Demi sebuah pengakuan
Dan cinta
Selalu aku merelakan pengorbanan
Untuk sebuah ketidakpastian
Dari janjijanji bersayap cumbu
Bagi kumbang
Penghisap madu
Sebab aku perempuan
Maka, perasaanku
Kau permainkan
BUKAN KARENA, TETAPI
Bukan karena hiba
Dan tetes air mata
melukis pilu segala warna duka
Menggores di kanvas segala luka
penuh amarah yang memerah
atau pedih segala perih
memudarkan rona
memudarkan rasa
Bukan karena apatis
hingga hasrat harus teriris
Meninggalkan catatan
Sebuah kenangan
Di buku harian
Pada halaman-halaman tertinggal
Tetapi, karena aku perempuan
Yang merawat segala cinta
Dan kasih sayang
Di hatimu
MEMBACA POTRET KARTINI
Membacamu adalah menerjemahkan makna
Alis yang bertengger di atas bening binar matamu
Yang mengisyaratkan cita-cita
Dan cinta
Membacamu adalah mencatat patahan
Pada sketsa hidungmu yang membaui
Aroma segar nurani
Murni
Membacamu adalah menafsirkan hakikat
Keperempuanan yang disalahartikan
Tentang kesamaan
Dan kesetaraan
PORTIBI
sesekali kutelusuri bilik sempit
sudut kusam, cagar sejarah
dan relief dingin memaknai kediamanmu
yang berdebu dan gosong pengetahuan
tak ada catatan yang tertinggal
selain kegalauan merubung dada
dan kanak berebut benang putus layang
serta sorak kegembiraan yang menyusup
di dinding-dinding senyap
komunitas home poetry, 2012
MENGHITUNG LANGKAH
sepanjang trotoar usang peradaban
kuhitung langkahmu sampai ke ujung jalan
kuhirup aroma tubuhmu yang melayang
dan terbang bersama debu jalanan
komunitas home poetry, 2012
SAJAK KEDIAMAN
rasuk aku pada kata-kata usang
pada baris-baris puisimu yang sungsang
goresan rindu dendam telah kusyairkan
pada lirik-lirik kalimat lantam
ia menyelinap disela-sela pesan
baris syair tentang matahari dan bulan
membawa ingatan pada catatan-catatan
terakhir tentang siang dan malam
komunitas home poetry, 2012
MEMBACA BIAS SILAU MATAHARI
membaca bias silau matahari
seperti melangkah di gurun padang pasir
tetabuh kegalauan meraung di pucuk gunung
menancapkan tegak siang yang gersang
komunitas home poetry, 2012
MEMBACA SERIMBUNAN AKAR
membaca serimbunan akar
yang menembus kedalaman bumi
menusuk di jengah ceruk-ceruk tanah
mengundang sedak dan terdesak
komunitas home poetry, 2012
MEMBACA ASPAL
Mungkin banyak yang belum mengerti
Mengapa aspal selalu memaknai kerebahannya
Ada yang datang dan pergi
Ada yang disambang dan terbuang
Ada yang menjelang dan menghilang
Ah, andai saja ia bercerita tentang kita, tentu
Kau dapat menebak ke mana arahnya
Tetapi, ia lebih memilih kebungkaman
Baginya hal itu lebih indah ketika menikmati
Segala kebisingan dan kecemasan kita
Serta kerahasiaan yang sampai saat ini
Belum dapat kita pecahkan, walaupun
Sesekali waktu kita mencoba membongkarnya
Lalu menutupnya kembali sambil membawa
Rasa kecewa sekaligus rasa lega dan bagi kita
Pun tidak faham ke mana muaranya
(tentang sebuah kelemahan adalah kekuatan)
MEMBACA USIA
mungkin aku yang terlalu bernafsu
mencumbui waktu
padahal jalanan ini masih seperti
yang kemarin, tempat kita selalu
menghitung jumlah tapak kaki yang
kita jejakkan
dan cuaca selalu bercanda dengan kita
membiarkan kita blingsatan membaca usia, lalu
ia tertawa diam-diam sambil melangkah pergi
tapi, hari ini aku hanya bisa mengutuki uban
yang tak pernah pergi walaupun
sesaat
PIRING
Bukan karena piring itu kosong atau berisi lalu kau merasa bahagia atau sedih. Tetapi, ia juga mampu menjerumuskanmu ke penjara. Bersebab karena perutmu yang kosong, atau malah kekenyangan.
“Jangan buang. Jual saja,” ujar istrimu yang tengah hamil tua. Entah mengapa, ia tak pernah berhenti mengidam. Padahal niatmu hendak memberikan piring usang itu ke tetangga dan ingin menggantikannya dengan yang baru.
Dan ketika makan malam bersama wajah istri dan anakmu berbunga-bunga melihat kilau piring baru. Mereka bersorak persis disaat siaran televisi menyiarkan sekumpulan bocah di penampungan mengangkat tinggi-tinggi piring kaleng di tangannya.
....perutmu mual bersama suara sirene di kepalamu.
MEJA MAKAN
Betapa luka perasaannya, seandainya kau tahu tidak ada apa-apa yang terhidang di sana. Pun, termasuk ketika kau selesai menikmati hidangan penuh selera. Tetesan sambal, serpihan tulang-tulang, ataupun tumpahan jus anggur yang tak kau sadari memerihkan hatinya. Walau kau lapis wajahnya dengan beludru merah jambu.
Untung saja pembantu setiamu segera menyadari itu, sambil sesekali mengutil rimah-rimah semur kambing kemudian diam-diam dibungkusnya dalam kantong plastik yang memang sudah dipersiapkan dari rumah, untuk suami dan anak-anaknya. Dan menghidangkannya kembali di atas meja makan dengan keropos-lapuk di kakinya.
TELUR REBUS
Anak-anakmu berebut telur rebus terakhir yang sebenarnya sengaja kau sisakan untuk sarapan pembantu setiamu. Padahal sebelumnya pembantumu sengaja menghadiahkan untukmu karena rasa bahagia, sebab seekor ayam betina yang tersesat di dapurnya diam-diam bertelur di atas bantal tempat tidurnya yang beralaskan jerami penuh rayap.
Entah mengapa kau begitu murka, begitu tahu ada setengah kehidupan yang menyembul di serpihan telur rebus yang jatuh berantakan dari tangan anak-anakmu.
SAMBAL TERASI
Pembantumu begitu gembira begitu sambal terasi asli buatannya kau lahap begitu saja. Padahal bau busuk yang enggan singgah dari mulut dan tanganmu membuat anak-anakmu kehilangan selera.
Sayang kau tak menyadari makna hakiki sebenarnya dari bau busuk dan pedasnya.
LOTUS
Mungkin setelah lotus bertunas pada hati kita
Tak ada ketakutan selain cinta berwarna merah muda
Yang terus membawa harumnya kemana-mana
Ia menjadi sebuah kekuatan yang mengagumkan
Ia menjadi keberuntungan yang menyadarkan
Dan ia menjadi hidup di setiap kematian kita
Maka, setelah lotus lahir dari hati kita
Kemanapun melangkah tak ada lagi jarak
Ruang maupun waktu yang berdetak
Sedegup jantung. Selalu berbinar
Seterang matahari, seindah bulan
TERATAI MERAH
Lalu, apa arti cinta sesungguhnya bagimu
Apakah ia laksana kuda jantan yang terengah-engah,
Ataukah ia seindah kelopak teratai merah yang terbuka?
MAWAR MERAH
Dengan segenap keyakinan, aku bertandang
Kuharap kau sedang menungguku di ruang tamu
Tempat biasa kita berbagi cerita dan cinta
Jangan lagi kau sulam amarah, dari sisa kebencian
Sehabis hujan deras semalam. Sebab, aku sendiri
Gamang apakah itu yang dinamakan cinta
Aduh. Getar dada ini semakin debar. Tetapi,
Dengan setangkai mawar ini kita akan raup
Aroma rindu di taman hatimu yang penuh warna
SYAIR SAJADAH
Mungkin zikirku zikir kayu hanyut yang terombang-ambing
Di permainkan laut. Kadang terdampar di pasir, kadang tenggelam dalam air.
Tak seperti perahu walau senantiasa basah, senantiasa pula ia belayar
Tapi tahu kemana harus terdampar mengenyahkan segala gigil
Menghalau segala debar
Amboi, adakah do’a ku kan sampai padamu Tuhanku
Seperti Nuh yang memutuskan tali-tali kufur dari tonggak-tonggak rapuh
Seperti Ibrahim yang mendinginkan bara-bara angkara api
Seperti Muhammad yang menebar maklumat sepenuh hikmat
Mungkin zikirku zikir debu dari rapuh kayu-kayu yang dihembuskan
Angin bisu. Semacam lagu-lagu rindu, semacam pilu kelu
Dan kemudian tersangkut entah kemana, entah dimana pula berimba.
Padahal syair-syairku adalah syair-syair sajadah
Syair-syair basah
Amboi, adakah zikirku zikir rindu atau zikir-zikir ragu padamu Tuhanku
Seperti kabil yang menghilangkan jejak-jejak habil
Seperti zulaikha yang menyusupkan syahwat di dada Yusuf
Seperti Syekh Sibli yang merampungkan cinta Al-Halaj dengan bunga
Mungkin zikirku zikir airmata yang mengalirkan
Syair-syair sajadah basah yang bermuara pada entah
KOMUNITAS HOME POETRY, 2012
M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Pernah bersinggungan di Komunitas Forum Kreasi Sastra, Komunitas Seni Medan, Komunitas Garis Lurus, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Komunitas Sastra Indonesia, Seniman Indonesia Anti Narkoba,dll. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK, Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan. Alamat tugas : Jalan Jenderal Gatot Subroto km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Alamat Rumah: Jalan Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E-10 Medan, Sumatera Utara. Hp. 085830805157. Kontak Person TBSU- Jl. Perintis Kemerdekaan, no. 33 Medan. Saat ini sebagai Direktur Komunitas Home Poetry. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pinang. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan dengan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se-Indonesia di Bogor (200&), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta , TSI 1-3, Juara Unggulan 1 Tarung Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang, Nominasi cipta Puisi nasional Bentara, Bali, dll.email: mraudahjambak@yahoo.com
PANTUN-PANTUNG MINANGKABAU
BEMO MATI HIDUIK BADORONG
MASINNYO IDUIK BUNYI MANDASAU
DEMO KINI SABANA TALONGSONG
AJO-AJO PAJABEK BAUMPAMOAN KABAU
TANGKOK DI TANGKOK ANAK LAMBAU
BUNGKUIH DIBAO KA SUNGAI DAREH
DISANGKO MARACAK PUNGGUANG KABAU
RUPONYO NILVA MAMAGUIK KARUANG BAREH
TANGAH MALAM URANG BASALUANG
BASULUAH DI ATEH RUMPUIK
AMBIEK SALUMUIK LALOK BAGALUANG
BULIEH BAKARUAH USAH TAKANTUIK
DEK SERO MAKAN JO CANCANG
NDAK SADAR RUMAH KANAI MALIANG
MANGALAH DUDUAK DI ATEH PANCANG
BEKO SARUPO JO AYAM GULIANG
JULUAK JO GALAH BUAH KUINI
BUAH TOMAIK DI ATEH LANTAI
DIMANOLAH POSISI UNI KINI?
TULIHLAH ALAMAIK KIRIMAN PATAI
RAMI ANAK SIKOLAH DI NAGARI PAUAH
RAMI MANUNGGU TAUFIK KIEMAS
BASABA SANAK NAN DI RANTAU JAUAH
PATAI NAN SADANG KITO KEMAS
RANG GADIH KA TAPI PANTAI
KA PANTAI MAMBASUAH KAKI
COITU BANA LAMAKNYO PATAI
NASI DIMAKAN NAN JO BAKI
USAHLAH SANAK KA KANDANG KUDO
BEKO KANAI SIPAK DUO JO TIGO
KLU SANAK INDAK PICAYO
MARONGGOKLAH DAKEK IKUA KUDO
KABEK AYAM DI ATEH LANTAI
AYAM DI KABEK JO BASI RANTAI
IYO SERO MAKAN DI PANTAI
SAMBALADO JO UWOK PATAI
DI ATEH PAGA AYAM BAJEJER
BAKUKUAK TANDO ARI KA SIANG
LAMAK BANA RASONYO BURGER
ALUN SA LAMAK GULAI JARIANG
RANG TARATAK PAMBUEK KAPA
MAMAKAI PANCANG KAYU KAMPER
LAH SAJAK TINGGA DI EROPA
TANTU LAH BATUKA RANDANG JO BURGER
TAKAN KANA FORUM NAN RANCAK
TAGALAK AMBO DIATEH OTO
JAN DITANYO MANGA KOK GALAK
KITO SADONYO KO NANA LAH BOCO
SAJAK BARANGKEK SI ANAK RAJO
PAI NYO MALAPEH SI DAYANG
SAJAK MATO DEK RABUN SANJO
LAH TATUKA AMEH JO LOYANG
BARUAK GILO MAMANJEK KARAMBIA
SIAMANG BURUAK DI DALAM RIMBO
ALAH LAMO AMBO BAPIKIA
ALUN JO SALASAI PANTUN AMBO
KINI WC BAUNNYO ARIANG
"BATAPA" SAJO KA TAPI PANTAI
BULIEH NAK ILANG BAUNNYO JARIANG
SANAK MAKAN SAJO UWOK PATAI
NASKAH LAKON : KEMBALIKAN SUNGAIKU
O P E N I N G
KUALA DELI
(Lagu Melayu Deli)
KUALA LAH DELI, KUALA LAH DELI
AIRNYA LAH BIRU
DISANALAH TEMPAT, DISANALAH TEMPAT
MANDILAH BERSAMA
SEDANG DIHATI, SEMAKINLAH RINDU
SEMAKINLAH RINDU
ORANG PUN JAUH APALAH NAK DAYA
KUALA LAH DELI, KUALA LAH DELI
BERDAYUNGLAH SAMPAN
HANYUTLAH BERKAYUH, HANYUTLAH BERKAYUH
SAMPAI KE MUARA
TUAN DIRANTAU, DAPATKANLAH BULAN
DAPATKANLAH BULAN
ORANG DI KAMPUNG TERANGILAH JUA
ORANG DI KAMPUNG TERANGILAH JUA
SEGMENT 01 (SATU)
Pak Boyak
Biar tau engkau Te’ah, dulu Medan ni dikenal dengan name Tanah Deli. Tanahnye berawe-rawe. Luasnye lebih kurang Empat Ribu Hektar. Banyak sungai-sungai melintas diselanye. Semuanye bermuare ke Selat Malake. termasuk Sungai Deli, yang saban hari engkau pakai mandi, mencuci, BUANG AER BESAR,…
Mak Te’ah
Tak usahlah abang merepet gitu. Selama ini abang buang aer besar dimana rupanya?
Pak Boyak
Iiiih, goli goman aku mengeleh kau ni, geram. Dikasitau malah merengkel. Kogonyoh mulut engkau nanti, baru tau rase.
Mak Te’ah
Jadi dimana lagi kita berMENCEKA bang? Di hotel bebintang? Ada rupanya duit abang?
Pak Boyak
Bukan begitu maksudku, usah engkau mendadal. Kualat kau nanti, betingkah sama lakik sendiri.
Mak Te’ah
Sudahlah bang, ponek aku mendengar cakap abang, capek. Sungai Deli luluh lantak, mari sama kita benahin, kalok udah bosan bebini awak, kusilakan abang bebini lain.
Pak Boyak
E, bijaknye mulut engkau tu. Kenape pule jadi ngelantur sampai kesitu? Ambe ni hanya mengingatkan kau, Sungai Deli tu tanggung jawab kite besame.
Mak Te’ah
Dulu bersih, sekarang cemar, dulu romantis sih, ih sekarang kasar !
Pak Boyak
Maksudku tu begini Te’ah. Air Sungai Deli sekarang tu sudah berwarne coklat, hitam, dan kuning…
Mak Te’ah
Terus mau abang kasi warna apa lagi?!
Pak Boyak
Kalau bukan kite yang membersihkan, siape lagi? Sebagai warge yang baik, eloklah kite jangan kita kotorin. Sudahlah kubikinkan kamar mandi, masih juge engkau bekutat di sungai, ape tak geram aku mengeleh kau.
Mak Te’ah
Kan bukan aku aja yang mengotori Sunge Deli bang, banyak lagi yang lain. Tuh, tetangga-tetangga kita, yang semuanya tinggal dipinggiran. Belum lagi tuh pabrik-pabrik, membuangi limbah kesitu.
Pak Boyak
Makanya tak usah engkau ikut-ikutan, habis pekare. Malu ambe ni Te’ah, malu. Kau tau sendiri kan, kemaren tu ambe same Pak Camat, Lurah, Kepling, terus dari Kepolisian, TNI, dari Kantor Walikota, belum lagi dari LSM, semuanye menanam beribu pohon di pinggiran Sunge Deli tu. Ape kate dunie, ditengoknya pulak engkau buang sampah ke sunge milik kite bersame tu.
Mak Te’ah
Abang pandenya menceramahi aku aja. Cari uang yang banyak, kita beli rumah di tempat lain, abes cerita.
Pak Boyak
Sudah berape lame engkau jadi binikku? Kalau sudah punye duitnya ambe, takkan mau ambe tinggal di pinggir Sunge Deli ni. Macam tak tau aje engkau, berapelah pendapatanku. Kojo seribu, tak kojo lima ratus, bagus ambe kojo tak kojo, seribu lima ratus. Pekerjaan ambe kan cuma konsultan, koncone wong-wong kesulitan, alias pengangguran.
Mak Te’ah
Ya udah, makanya yang riil-riil ajalah bang, nggak usah seperti pungguk merindukan bulan.
Pak Boyak
Ouaje, tinggi nian bahase engkau tu.
Mak Te’ah
Minta sana, rumah sama pemerintah, biar kita pindah.
Pak Boyak
Eh Te’ah, jage bibir engkau tu ye, mulutmu adalah harimau kau.
Mak Te’ah
Abes, abang banyak tuntutan, sementara abang kerjanya cuma melenggang-lenggok aja, persis langgam TANJUNG KATUNG.
LAGU PERALIHAN SEGMENT 01 (SATU) to SEGMENT 02 (DUA)_
TANJUNG KATUNG
(Lagu Melayu Deli)
TANJUNG KATUNG AIRNYA BIRU, TEMPAT NAK DARA MENCUCI MUKA
TANJUNG KATUNG AIRNYA BIRU, TEMPAT NAK DARA MENCUCI MUKA
DENGAN MEDAN HATIKU RINDU, KONONLAH PULAK SUMATRA UTARA
DENGAN MEDAN HATIKU RINDU, KONONLAH PULAK SUMATRA UTARA
ASAL MEDAN SI TANAH DELI, KINI MENUJU METROPOLITAN
ASAL MEDAN SI TANAH DELI, KINI MENUJU METROPOLITAN
SIAPA MERASA RASA MILIKI, MARI SAMA BERSIH LINGKUNGAN
SIAPA MERASA RASA MILIKI, MARI SAMA BERSIH LINGKUNGAN
HAI TUAN-PUAN
ELOKLAH KITA MENJAGA HATI
DENGAR SUARA RINTIHAN
HULU KE HILIR DI SUNGAI DELI
ALAH TUAN BERSIHKAN AKU
ALAH PUAN RAWATLAH AKU
DUA TIGA KUCING BERLARI, MANALAH SAMA SI KUCING BELANG
DUA TIGA KUCING BERLARI, MANALAH SAMA SI KUCING BELANG
SUNGAI DELI JANGAN CEMARI, TENGOKLAH NASIB DIA SEKARANG
SUNGAI DELI JANGAN CEMARI, TENGOKLAH NASIB DIA SEKARANG
PISANG EMAS BAWA BERLAYAR, MASAK SEBIJI DI ATAS PETI
PISANG EMAS BAWA BERLAYAR, MASAK SEBIJI DI ATAS PETI
APA PUN KALAU SUDAH TERCEMAR, BIARPUN HIDUP SERASA MATI
APA PUN KALAU SUDAH TERCEMAR, BIARPUN HIDUP SERASA MATI
HAI TUAN-PUAN
ELOKLAH KITA SADARKAN DIRI
JANGAN CUMA JANJIAN
BERI BUKTI ITU YANG PASTI
ALAH TUAN JANGAN BEGITU
ALAH PUAN BUDAYAKAN MALU
SEGMENT 01 (SATU) BERAKHIR
DURASI 15 (LIMA BELAS) MENIT
SEGMENT 02 (DUA)
Pak Boyak
Sudah berani engkau membantah aku ye ! (mau memukul)
Mak Te’ah
Pukul, pukullah, bagian mana yang mau abang pukul, kusilakan. Kalok abang sampek melakukan kekerasan dalam rumah tangga, aku akan kerasan dirumah tetangga, tau ! Ayo pukul, pukullah. Kenapa nggak jadi?!
MUNCUL PAK LURAH.
Pak Lurah
Halooo, … Pak Lurah datang…. Harap tenaaaang. Ada apa ini Pak Boyak, Mak Te’ah, lagi latihan sandiwara ya?
Mak Te’ah
Begaduh kami Pak Lurah, gara-gara Sunge Deli.
Pak Lurah
Ada apa dengan Sungai Deli? Sungai Deli kenapa? Tak perlu dijawab. Nah, terkait itulah saya datang kemari. Sungai Deli memang membutuhkan perhatian kita semua, ya kan? Terutama yang tinggal disekitarnya, seperti Pak Boyak dan Mak Te’ah. Kondisi Sungai Deli semakin memprihatinkan. Padahal sungai yang membelah kota tercinta kita ini punya potensi besar. Tapi apa yang terjadi? Tak perlu dijawab. Sekarang ini air Sungai Deli tak layak lagi diminum. Ikan-ikannya pun semakin berkurang, kalau tidak mau dibilang punah. Karena sudah dangkal, tak mampu lagi menampung banyaknya buangan air, akibatnya sering meluap, lalu menjadikan banjir. Akhirnya muncullah potensi yang lain.
Pak Boyak
Potensi apa itu Pak Lurah?
Pak Lurah
Berpotensi mengancam kesehatan warga di sekitarnya.
Mak Te’ah
Ah, Pak Lurah ini bisa aja, kirain tadi potensi apaan, gitu.
Pak Lurah
Serius. Saya lagi serius. Tidak bermasud bercanda.
Mak Te’ah
Ya udah, teruskan, saya jugak serius kok Pak Lurah.
Pak Lurah
Pak Boyak, Mak Te’ah, tau kenyataan semua itu kan? Sebagai warga yang bertempat tinggal di pinggir Sungai Deli, sadar akan betapa tidak membaiknya lingkungan hidup kita kan?
PAK BOYAK DAN MAK TE’AH SALING PANDANG.
Pak Lurah
Tak perlu dijawab. Karena pada prinsipnya, pertanyaan berulang yang saya ajukan sejak tadi itu adalah pertanyaan dalam diri kita semua. Dan jawabannya pun ada kita diri sendiri juga. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Karena kondisi riil pada Sungai Deli saat ini merupakan tanggung jawab kita semua untuk memperbaikinya. Dan untuk tujuan mulia itulah kita berkumpul disini, di malam yang berbahagia ini. Begitu bukan?
Pak Boyak
Bukan.
Pak Lurah
Kenapa bukan?
Mak Te’ah
Maksudnya bukan untuk tujuan yang bukan-bukan.
Pak Lurah
Ya, itu dia. Sebagai studi banding, untuk mengatasi banjir berulang yang melanda kelurahan kita ini, saya pernah pergi ke Japan.
Mak Te’ah
Jepang maksudnya Pak Lurah?
Pak Lurah
Bukan.
Mak Te’ah
Jadi?
Pak Lurah
Jalan Pancing, Karena daerah itu juga langganan banjir. Terus, saya pernah ke Rusia…
Pak Boyak
Bekas Uni Sovyet itu Pak Lurah?
Pak Lurah
Bukan. Nanti dikira orang saya Lurah yang suka jalan-jalan dan menghabiskan uang Negara.
Mak Te’ah
Jadi Rusia mana Pak Lurah?
Pak Lurah
Ruko Simpang Asia. Karena daerah itu termasuk juga rawan banjir. Dalam rangka kepentingan yang serupa, terakhir saya ke Kanada, Kawasan Jalan Gajah Mada. Nah. cukup sekian dulu saya bertandang kekamri. Semoga pertemuan yang kita ini, menjadi pertemuan yang mendatangkan manfaat bagi semua umat. Akur kan Pak Boyak, Mak Te’ah?
Pak Boyak & Mak Te’ah
Akur Pak Lurah.
Pak Lurah
Masih pengen dilanjutkan latihan sandiwaranya yang terputus tadi?
Pak Boyak & Mak Te’ah
Ah, Pak Lurah ini sukak bersandiwara jugak rupanya.
Pak Lurah
Baiklah, saya mohon pamit, masih banyak urusan yang harus segera saya tangani. Akur-akur ya, jangan begaduh lagi. Bersatu kita teguh, bercerai … ha, mau bilang kawin lagi ya? Jangan, kena free kick nanti. Mulai sekarang dan seterusnya, Marilah kita saling bergandeng tangan biar setiap permasalahan yang timbul bisa lebih mudah diselesaikan. Pemisi.
SEMUA TERTAWA. LEPAS. SEAKAN TAK PERNAH ADA BEBAN.
LAGU PENUTUP SEGMENT PENUTUP
GOYANG ANAK DELI
(Ciptaan Rinto Harahap)
GOYANG GOYANG ANAK DELI
GOYANG GOYANG SAMBIL MENARI
DI TANAH LAPANG
GOYANG GOYANG ADIK SAYANG
GOYANG GOYANG SIANG DAN MALAM
TERBAYANG-BAYANG
GOYANG GOYANG ANAK DELI
GOYANG GOYANG SAMBIL MENARI
DI TANAH LAPANG
GOYANG GOYANG ADIK SAYANG
GOYANG GOYANG SIANG DAN MALAM
TERBAYANG-BAYANG
DARI BELAWAN KE TANJUNG PURA
NAIK SEPEDA BERBONCENG DUA
DARI BELAWAN KE TANJUNG PURA
NAIK SEPEDA BERBONCENG DUA
DARI KAWAN, DARI KAWAN, JADI SAUDARA
MARILAH KITA BERGANDENG TANGAN
DARI KAWAN, DARI KAWAN, JADI SAUDARA
MARILAH KITA BERGANDENG TANGAN
SEGMENT 02 (DUA)/PENUTUP BERAKHIR
DURASI 10 (SEPULUH) MENIT
SEKIAN
PELAKON
PAK LURAH Yan Amarni Lubis
PAK BOYAK Dayon Arora
MAK TE’AH Ririn Prabu
PEMUSIK
RUBINO Akordion
SAMSIDI Pakpung
RIZKHA Biola
DADIK Gitar Bas
PENYANYI
EVA GUSMALA YANTI
SUTRADARA
YAN AMARNI LUBIS
DIMAINKAN OLEH
FORUM KOMUNIKASI MEDIA TRADISIONAL
SUMATERA UTARA (FK METRA-SUMUT)
KETUA : Dr. Ir. Hj. Hidayati, MSi
naskah lakon : NAGA BOTUL
THEME MUSIC (STANDARD)
MAIN TITLE (LOGO)
STORY TITLE
SETTING
: Level Kelompok Pemusik, yang kedudukan lebih tinggi dari,
: Level Pancarita dan Parende (Solo Lelaki & Duo Perempuan)
Siapa pun yang bertinggi pangkat, berlimpah harta, harus tetap mematut diri untuk menghormati orangtua ataupun leluhurnya. Jangan dikira ketika dia sudah punya semua, lantas bisa berlaku sesuka dan sekendaknya.
Sebagai pribadi, sebaiknya dia harus bisa jadi panutan buat orang lain. Dengan begitu, niscaya dia akan memperoleh kemuliaan.
Sebagai makhluk sosial, sudah galibnya manusia tidak dapat hidup dan berdinamika tanpa kehadiran manusia atau makhluk lain.
Melihat sesuatu yang tak beres, yang terjadi di lingkup kehidupannya, dan yang terang-terangan dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab, seharusnya jangan diam saja, apalagi sampai jadi patung pula.
Basmilah kebodohon, yang katanya sangat dekat dengan kemiskinan. Enyahkan segala bentuk ketidakpedulian yang hanya akan menuai ‘keberserakan’.
Bukalah mata ‘terang-terang’. Pasanglah kuping ‘jelas-jelas’. Langkahlah kaki ‘tegap-tegap’. Kepallah tangan ‘erat-erat’. Lawanlah penindasan.
Sebaik-baiknya manusia adalah yang mampu memberikan manfaat buat manusia lain.
OPENING/MUSIC (Kolaborasi Modern-Etnik Tradisi)
SONG BY PARENDE (Mengait Membuka Cerita)
PANCARITA (Menyeloteh Membuka Cerita)
SEGMENT 01
Di suatu lahan terbuka yang luas, terletak di pinggir sebuah desa, tak jauh dari Medan, tampak sesosok lelaki yang sedang duduk di atas potongan kayu besar, terpekur di depan tiga gundukan kuburan, dialah NAGABOTUL.
Nagabotul terlihat memandangi tiga kuburan di depannya. Paling kanan kuburan BUTONG, Sahabat kentalnya, lalu kuburan SAKDIAH, Omak tercintanya, kemudian kuburan ROHANA, Isteri tersayangnya.
Sambil berjongkok di antara kuburan Sakdiah dan Rohana, Nagabotul pun berkata setengah marende ;
Omaaak, Rohanaaa ... Aku akan pergi sebentar ke Ibukota ... Si Bauknaga, cucu Omak, anak kita Rohana... Mengajakku kesana. Katanya dia mau bikin pabrik belacan di Metropolitan. Dia mau aku melihat usahanya itu.... Jadi aku harus tinggalkan kalian sebentar? Tidak apa kan?
Hening sejenak. Boleh ya Mak? Ya Rohana ya?, ya..ya..ya.. lanjut Nagabotul dengan gaya dan khas bicaranya. Tak terdengar jawaban. Sebentar saja. Beberapa harilah...aku pasti kembali ke sini. Sudah aku siapkan tempat berbaringku di sampingmu.
Sepi, hening. Hanya dedaunan yang bergerak dihembus angin.
Nagabotul lalu berdiri pindah ke kuburan Butong di sebelah kuburan Mak. Butong..., kau jaga Mak dan Rohana selama aku pergi, ya? Urus mereka baik-baik. Awaass kau Butong, jangan makan saja kau bisanya. Butong juga diam. Nagabotul menepuk-nepuk kuburan Butong. Nagabotul lalu bangkit. Memandangi tiga kuburan sejenak, yang akan ditinggalkannya. Nagabotul lalu undur dan beranjak, baru tiga langkah, terhenti ...
NAGABOTUUUUUUL ……. !!!
Lalu Nagabotul membalik, tak dinyana, ada Sakdiah, Butong, dan Rohana disana. Tegak mantap, dan tepat-tepat menatap Nagabotul.
Bah, belum matinya kalian !
Menyadari sepenuhnya bahwa orang-orang terbaiknya itu masih ada, Nagabotul berusaha menormalisir situasi, agar aman terkendali. Lalu ia berkata, namun ……
Giliran aku buka suara, cegah Mak. Tega-teganya kau mengumbar kata, kau anggap kami sudah tak ada, jadi yang dihadapanmu ini siapa ?
Tapi ceritanya kalian sudah mati ?
Itukan cerita Nagabonar, inikan Nagabotul ! Apa kau sanggup menggendong Omak ???
Aku menggendong Omak ??? Apa nanti kata penonton Mak ….
Kalau Nagabonar memang begitu, tak boleh dia menolak kalau disuruh menggendong Omaknya, biar kau tahu, mau kau ???
Tidaklah Mak, tak kuat aku menggendong Omak. Mak tengok sendiri kan, aku kempes, Omak bongkak.
Sudah, jangan lagi kau berpanjang kalam, segment berikut mulai mengancam.
(Sakdiah dan Rohana OUT FRAME. Nagabotul dan Butong tetap IN FRAME).
MUSIC (Mengalirkan Cerita)
SONG BY PARENDE (Mengait Aliran Cerita)
PANCARITA (Menyeloteh Aliran Cerita)
SEGMENT 02
Butong merayu Nagabotul untuk bisa ikut bersamanya ke Ibukota. Karena alasan tak punya uang, Nagabotul mementahkan keinginan sahabat kentalnya itu. Butong terus merayu, bahkan memaksa.
Bauknaga memang anak kau. Tapi setelah kuhitung-hitung, dia juga anakku. Jadi apa salahnya aku ikut kau ke Ibukota, supaya aku bisa bekerja di pabrik belacannya disana.
Bandal kali kau Butong. Uangku pas-pasan hanya untuk ongkosku. Belum lagi untuk makan, rokok, pulsa …. , tegas Nagabotul.
Bah, cerita pulsa, pandenya kau menggunakan Hape?
Jangan sepele kau ya, jangankan Hape, telepon yang digenggam itu pun pernah kupakek.
Kan sama itu, Hape dengan telepon genggam.
Ah, tak penting sama aku itu, berdebat kusir pula nanti kita.
Diam sejenak.
Apa si Bauknaga tidak mentransfer uang ?
Itu bukan urusan kau.
(Mak dan Rohana kembali IN FRAME).
Suasana adegan praktis beralih.
Naga, setelah Mak pikir-pikir, sebaiknya kau jangan pergi sendiri.
Nah, itu yang botul, sambar Butong dengan gembira. Akhirnya aku ikut juga, pikirnya. Ketika ternyata Rohana yang diperintahkan Sakdiah yang ikut, Nagabotul tak berdaya. Butong kecewa.
Omak curiga kau nanti kawin lagi disana. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus kau bawa si Rohana ini. Faham ?
Ala Mak, keberangkatanku ini bukan bertujuan wisata, tapi semacam studi perbandingan kerja.
Jangan kau membantahku ! Sudah macam anggota itu bicaramu ku dengar.
Iyalah Mak, apa mau dikata, aku takut nanti Mak bilang aku anak durhaka, seperti si Samburaga.
Tak usah kau ungkit cerita itu, itu episode lalu. Pokoknya, kemana arah yang kau tuju, isterimu harus mendampingmu, itulah pesan spiritualku.
Maka berangkatlah Nagabotul dan Rohana ke Ibukota untuk memenuhi undangan Bauknaga, anak semata wayang mereka, dengan iringan lagu Mariam Tomong.
……. adong motor oppelet, marbeka sapuluh dua, abis omak marepet, berangkatlah kami ke Ibukota, dainang …. O, mariam tomong dainang, sinapang masin …. kalau omak marepet dainang, macam sinapang masin ……
MUSIK (Mengalirkan Cerita)
SONG BY PARENDE (Mengait Aliran Cerita)
PANCARITA (Menyeloteh Aliran Cerita)
SEGMENT 03
Nagabotul dan Rohana tiba di Ibukota. Karena tidak dijemput-jemput, dia minta tolong TAGOR, seorang tukang bajaj yang baru dikenalnya di terminal bus, untuk mengantarkan mereka ke alamat Bauknaga. Karena Tagor tak tahu alamat yang mau dituju, bingunglah dia.
Percuma kau, mengaku asal Medan, masak alamat si Bauknaga saja tidak tau. Dia itu anakku, pengusaha terkenal di Metropolitan ini, pemilik pabrik belacan, kau suka belacan kan ?
Pak, biar anak bapak itu terkenal sejagad raya sekali pun, kalau aku memang tak tau alamatnya, ya tidak tau, jangan bapak memaksa aku harus tau, nanti jadinya aku sok tau.
Eh, melawan kau ya. Belum kenal kau siapa aku, he !
Buru-buru Rohana melerai. Tapi Nagabotul penasaran, mau dipitingnya Tagor. Spontan tukang bajaj itu langkah seribu.
Mau dicobanya pulak aku, petentengan Nagabotul. Ayok, jalan kaki saja kita, pasti kita dapatkan rumah si Bauknaga.
(Nagabotul dan Rohana OUT FRAME).
MUSIC (Mengalirkan Cerita)
SONG BY PARENDE (Mengait ke Aliran Cerita)
PANCARITA (Menyeloteh Aliran Cerita)
SEGMENT 03
Ntah bagaimana ceritanya, ternyata memang sampai juga Naganotul dan Rohana dirumahnya BAUKNAGA.
Singkat cerita, Bauknaga mengutarakan keinginannya untuk melakukan pengembangan usaha belacannya. Dia sudah menyuruh para staf ahlinya, untuk membebaskan sebuah lahan luas, eh ternyata letaknya tak jauh dari Medan, eh ternyata lahan warisan mereka yang diatasnya berdiri tiga kuburan.
Jadi mau kau bebaskan tanah seluas itu? YA, PAK. Yang letaknya tak jauh dari Medan? BETUL, PAK. Tanah warisan kita, yang diatasnya berdiri kuburan leluhur kita itu???
Iya Pak.
Begitu banyak dan luas tanah di kawasan nusantara kita ini, kenapa bisa tanah kita yang dipilih, apa sebutan calon pembeli yang kau bilang tadi itu?
Ya, kenapa tanah warisan kita yang menjadi pilihannya.
Itulah yang membuat aku bingung Pak.
Itulah yang membuat aku bingung Pak.
Tak usah kau bingung. Kau bilang saja, tidak.
Pak, kalau ini jadi Pak, lanjut Bauknaga merayu, meyakini, mempengaruhi, membujuk Nagabotul. Nilai proyeknya tidak akan kurang dari 500 milyar, ya Pak ya?, ya … ya … ya … Ini proyek terbesar yang KITA kerjakan. Ini akan membuat anakmu ini jadi perantau Medan yang paling sukses di Ibukota. Kata orang, kesempatan baik cuma datang sekali. Sayang sekali kalau ini KITA lewatkan. Kalau gagal, investor akan menganggap KITA nggak becus. Mereka cari rekanan lain.
Kita ? YA, MEMANG KITA PAK. Kau telan sendiri belacan itu, jawab Nagabotul ketus. Sampai kapan pun tak kan kujual tanah warisan kakekmu itu. Baru berapa tahun saja kau tinggal di Jakarta, perubahanmu diluar akal sehatku. Lalu Nagabotul mengurak diri dari tempat pembicaraan itu. Rohana serba salah. Yang mana yang mau dibelanya. Betul kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Suami dan anaknya itu sama-sama tegas dan keras kepala.
Lihat saja dikemudiannya. Pertengkaran antara anak dan bapak itu pun tak terhindarkan. Sangking palaknya, Nagabotul mengajak Rohana kembali ke desa. Isterinya itu cuma bisa mengikut saja. Geleng-geleng kepala.
Ke Jakarta aku balek lagi …. ke desa ….. di Jakarta aku tak diharga …. Ke desaku aku kan kembali ……… Walau pun apa yang kan terjadi ……
MUSIK (Mengalirkan Cerita)
SONG BY PARENDE (Mengait Aliran Cerita)
PANCARITA (Menyeloteh Aliran Cerita)
SEGMENT 04 (ENDING)
Pertikaian yang terjadi antara Nagabotul dan anaknya, Bauknaga, mendapat reaksi serius dari Sakdiah. Bauknaga yang diam-diam menyusul ke desa, dikecam habis-habisan oleh neneknya. Rohana berupaya jadi penengah. Nagabotul jadi marah. Jangan kau bela anakmu yang salah. Inilah yang membikin dia banyak tingkah. Rohana diam seribu bahasa.
Belagak kau, sombong. Sama lagak lagumu dengan ayahmu, keras kepala. Ambisius ! Kata Sakdiah pada cucunya. Nagabotul hanya bisa menggaruk-garukkan kepalanya yang tak gatal.
Aku tau nek, tanah itu memang warisan kakek, lahan leluhur kita, tapi apa salahnya dijual, supaya kita cepat jadi orang kaya.
He, Bauknaga. Kalau begitu cara berpikirmu, kuputuskan sekarang juga, kau bukan lagi anakku. Biar kau tau ya, hidup sederhana itu lebih kaya daripada hidup kaya. Marah besar Nagabotul.
Jangan kau begitu Naga. Aku pun bisa melakukan hal yang sama kepada kau.
Maksud Mak???
Tak perlu kau mengambil keputusan sejauh itu. Cepat, kau tarik kata-katamu tadi.
Mana bisa Mak, nanti marah kru tivi, rekamannya diulang lagi.
Tak usah kau melucu.
Kalau nggak lucu, bukan Opera sian Sumut namanya Mak.
Maksudku, bagaimana pun juga si Bauknaga ini adalah cucuku.
Nah, sekarang aku mau tanya. Apa tindakan Mak terhadap cucu Mak ini?
Suruh dia cepat-cepat balek ke Jakarta.
Mak ajalah langsung.
Kau kan ayahnya.
Mak kan neneknya.
Si Rohana kan Omaknya. Sakdiah jadi teringat ke Rohana. Eh Rohana, besok pagi-pagi, naek penerbangan pertama, kau suruh si Bauknaga balek ke Jakarta, dengar kau?
Dengar Mak, jawab Rohana.
Dan ada satu hal penting yang perlu kubilang sama kalian. Naga, kau anakku, Botul. Dan kau Naga, cucuku, Bauk. Jadi antara Botul dan Bauk bisa diartikan, sebenarnya kalian berdua Naga, Botul-Botul Bauk. Eh, jangan ketawa dulu kalian, aku serius.
Mulai sekarang, siapa pun orangnya – jangan anggar tinggi pangkat, jangan sok harta berlimpah, jangan mentang-mentang ini, mentang-mentang itu – harus bisa menghormati leluhurnya. Kalau tidak, bisa kualat kalian nanti !
CLOSING/MUSIC (Mengakhiri Jalannya Cerita)
SONG BY PARENDE (Mengait Akhirnya Cerita)
PANCARITA (Menyeloteh Akhirnya Cerita)
PARA PELAKON BERTINGKAH
PANCARITA TAK MAU KALAH
HABISLAH CERITA
THEME MUSIC (STANDARD)
CREDIT TITLE
Cast
• PANCARITA M. Raudah Jambak
• PARENDE Sofyan Telangkai
Eva Gusmala
Syifa Batubara
• NAGABOTUL Munir Nasution
• BAUKNAGA Andy Mukly
• SAKDIAH Kiki Wulandari
• ROHANA
• BUTONG Rido Tambusei
• GUSTI Jamal Dee Dee
Music Player
• AFIT API-2 Biola, Hasapi, Suling
• RUBINO Keyboard, Accordion
• SAMSIDI Taganing, Pakpung
Tim Kreatif
• EDWARD PARDEDE (LPP TVRI SUMUT)
• FATWANTA HARAHAP (LPP TVRI SUMUT)
• DAHRI UHUM NASUTION
• YAN AMARNI LUBIS
• M. RAUDAH JAMBAK
• AFIT API-2
• ANDY MUKLY
Pelaksana/Penanggung Jawab Latihan
Sanggar 9 Bintang Medan
• YAN AMARNI LUBIS
Catatan
Sebagai bagan cerita selanjutnya, sudah dipersiapkan oleh Tim Kreatif tajuk-tajuk seperti Nujum Pak Belang, Preman Medan, Musang Berjenglot, dan lain seterusnya.
Medan, 20 Maret 2011
Yan Amarni Lubis
Penyusun ide Tim Kreatif
PANTUN-PANTUN MANDAiling
PANTUN – PANTUN SUKU MANDAILING
SIALA SAMPAGUL
SAHATA SAOLOAN
SAPANGAMBE SAPANAILI
SATAHI DOHOT DONGAN
MAROBAN SONANG PANGAROHAI
SONGON SIALA NA SAMPAGUL
SAI RAP TU GINJANG RAP TU TORU
MUDA MALAMUN SAULAK LALU
MUDA MAGULANG SAI RAP MARGULU
MUDA SABARA ASA SABUSTAK
BOPE SALUMPAT SAINDEGE
HASONANGANNA SO UNJUNG MANTA
BO BARITANA SAI TARBEGE
TU DIA ON MANOTO
TAJI NI MANUK DI RUMBUNGAN
TU DIA ON BINOTO
DAPOT DI ARI PARUNTUNGAN
PANGARITAN PAMONGGOLAN
OBANON TU RANTING NI BULU
PARKANCITTAN PARDANGOLAN
OBANON TU JAE TU JULU
LASIAK NI ROBURAN
BOLAS MARDANGKA PE SUADA
NA SIA PANOMUAN
BOLAS MARKATA PE SUADA
LAKLAK DI GINJANG PINTU
SINGKORU TAGOLOM GOLOM
MARANAK NIAN SAMPULU PITU
MARBORU SAMPULU ONOM
SIGANDA SIGANDUA
TU DANGKA NI SINGGOLOM
NA SADA ON GABE DUA
NA TOLU GABE ONOM
BINTANG NA RUMIRIS
OMBUN NA SUMOROP
ANAK PE NIAN RIRIS
BORU PE TOROP
MALOS DINGIN DINGIN
NA MALOS SARANG BANUA
HORAS TONDI MADINGIN
ULANG HITA BARANG MANGUA
MAGNUPA
HABANG MA LANGKUPA
NA SONGGOP TU HAPADAN
NIUNGKAP MA PANGUPA
PANGUPA NI TONDI DOHOT BADAN
NITAMPUL MA HAPADAN
NA NITAMPUL DOHOT HORIS
PANGUPA NI TONDI DOHOT BADAN
UPA HORAS UPA TORKIS
NIUMPAT MA DIUPA
NA MALOS DI LAS NI ARI
NIUNGKAP MA PANGUPA
DI HANANAEK NI MATA NI ARI
SALAK NI SIBANGKUA
PUTIHON DI LAS NI ARI
MANAEK SANGAP DOHOT TUA
SONGON PARNAEK NI MATA NI ARI
DURI NI PANGKAT
TU DURI NI HOTANG
TUSI HAMU MANGALANGKA
TUSI DAPOTAN PANCAMOTAN
KUMPULAN PANTUN DENGAN BAHASA BATAK MANDAILING
ASO ASO SIAN GUNUNG BARANI
NA HUM TABO SIAN GURITA
ASO INDA MUNGKAP KO BORNGINI
KUMPUL MARCATUR DI LOPO NITA
UGIMBAL ULOK NA LENONG
LARI DOMA MANDOIT DOIT
BORNGINI AU BENGONG
PAMATANGI URANG FIT
MANGARAJA NAJOLO GIOTNA BOJA
IPANGAN HALAI DI MILAS NI ARI
MANGASO MA JOLO PALA LOJA
ANSO SEHAT TU PUDI NI ARI
DI PASAR MANABUSI HITS
ULANG LUPA MANABUSI SONTANG
O ASHAR BADANI ULALA INDA FITS
MARULAK ULAK AU TONG BAGADANG
BOLA NAGODANG SONGON DUNIA
ICET JOGI BAHAT BOLANGNA
PALA BAGADANG DOT PIALA DUNIA
DAPOT TAGINA DAPOT SONANGNA
TABUSI SONTANG TU MUARA
PALA GET MARGURU TU KOTANOPAN
SPANYOL MONANG JADI JUARA
PANDUKUNG BOLANDA KALAH HODOKAN
TABUSI SONTANG TU MUARA
PALA GET MARGURU TU MUARA TAIS
SPANYOL MONANG JADI JUARA
BELANDA KALAH MARTANGIS TANGIS
UPOK UPOK NI TOBU
UPOK UPOK NI TANDIANG
PAMILIHAN NADUNG LALU
AHA BUSE DOPE SOI ULANG
MALA ILEHEN EPENG TU SI RUSDI
TARLUNGUN SAJO MA IBANA TU HOMU
PAMILU ULANG MADUNG MUSTI
HARANA ADONG NASO SATUJU
DICALONG PODOM PODOM
NA DIBOLGAN I UDON LOYANG
ANGGO NASO ICALONKO NOMOR ONOM
ULANG KITA RA PILKADA ULANG
BULUNG POKAT I PINTU PADANG
PAMBALUT SIRA GORTOP SANGGOLOM
MADUNG SAPOKAT MAMBAEN PAMILU ULANG
RAKYAT MADINA TOTOP NOMOR ONOM
SUNGKAP DANON SANGGOLOM
LENG GONTIMA DOT SILALAT
SIBURJU DOI NOMOR ONOM (6)
LENG MANYUMBANG NIAN IBANA TU RAKYAT
MOLO MABIAR KOMU KAYO TARIDA
TOTOP GULEMU SILALAT DOT DAHAN
MOLO MARPILI HOMU BUPATI MADINA
TOTOP MA PILI HIDAYAT DAHLAN
MANANGKOK TU ROBURAN
TARPAIDA SORIK MARAPI
DUNG LALU TUKUBURANBARU
TARASO MILAS NI API
....................................
SIPENGGENG AEK LATONG
ANTARA NAI PARKUBURAN
INDORAMI SONGON LATONG
SAULAKON DISEKSO TUHAN
.....................................
ANGKOLA JAE TU MANDAILING
ANTARA NAI PARBATASAN
BADANMI DISIKSA MARKALILING
HARANA DOSAMU NABORATAN
.....................................
IPUYU IJUK MAMBAEN TALI
OBANON TU USORTOLANG
MARMANTAKAN HALAK MANGAJI
HARANA GURUNA TOBANG-TOBANG
....................................
HUTOS-TOS SUHAT SADA
TUPOTPOT NIURUNG SIALA
HUTONGOS SURAT SADA
TUMOPOT ADIKKU DI BANGKU SIKOLA
.....................................
DUNG HITA SITARAK
JOLO SITANGKIS PODOM
DUNG HITA MARSARAK
JOLO TANGIS SO TARPODOM
....................................
HANCIT NI NAMANDURUNG
SADA-SADA INCOR DIBATU
HANCIT NI NAMALUNGUN
SADA-SADA ILU MADABU
.................................
SIABU SIGALANGAN
PASAR TAMIANG BARIS PAHULU
SIAMUN MARSIJALANGAN
SIAMBIRANG PANGAPUS ILU
..................................
ANGGO HUBOTO NA HARIRANG
INDA UBAEN JADI SOBAN
ANGGO HUBOTO DA ANGGI NAMARSIRANG
NADA HUBAEN HO JADI DONGAN
....................................
NA HOLONG MA BAYA TU DONGAN
HOLONGAN DOPE BAYA TU TUHAN
NA LONGON MA NA ONLINON
LONGON DOPE NAMAR JAGALON
...................................
MARTANDANG TU PURWODADI
MANGUBATI LUNGUNTINGGAL DIHUTAON
AHA MALUAI NANGKAN TARJADI
INDA TABO DOMPAK PARASOAN
.......................................
SIAN JAKARTA TU MEDAN
MARADIAN DI BANGKA
MALA INDA TABO PERASAAN
ULANG ITA MAR BURUK SANGKA
....................................
MARADIAN DI PULAU BANGKA
PAYAKKON BOBAN IJINJANG MEJA
INDA ARANA BURUK SANGKA
TAI ROHAON MARSAPA-SAPA
.......................................
SIAN RAO TU PARA-PARA
OBAN DOA DOHOT ROA
MALA ROA MANDUNG MAR SAPA-SAPA
PATENANG MA ROHA DOHOT DOA
......................................
RANTO NATAS SIMARE-MARE
MARADIAN DI MOSTAFAWIAH,
PANTAS DO NA TENANG DI ATE-ATE
HAPE KAKAK KU DAPOT MUSIBAH
......................................
MALA ADONG UTANG ANGKON DI TOBUS
ANSO ULANG LEK SOLOT-SOLOT DI ROA
INDA ADONG GUNA DIAU MARGABUS
HARANA KATA-KATA ADALAH DOA
.........................................
MAROBAN LADING TU SABA BONA
NADI PAHAT DOT API BAKAR
MALA DUNG MUSIBAH DO GOAR NA
PABAHAT MA DOA DOT SOBAR
......................................
MARSABA DISUAN BAYUON
BATANGI NAI MARTUBUAN ROBUNG
MURMATAMBA DO URASA ARSAKON
DI HUBUNGAN PE NARA MARSAMBUNG
....................................
NA BORAT ULANG IPABORAT
ANSO MANANYANG SONI
ANSO ULANG BORAT
PATENANG-TENANG MA SONI.
....................................
MARULOS ULOS DA ARI MINGGU
SUADA NASO MARSOLOP DI PALAKPAKMU
ULANG BE SAI OLOS ROAMU ANGGI DIAU
HARANA MADUNG DUA MA ISON KAKAKMU
.........................................
MABIAR AU MANAEK AYU JATI
NAPIONGOTON DOI BONANA
MABIAR AU MANJONTIK BORU SUTI
NABAHATAN DISI PARSYARATANNA
.............................................
UTIMBA AEK DI SUMUR GIT MARIDI
GIT MARSAMPO SUNSILK TAI NADONG
AU PE MABIAR DO AU TU BORU SOTI
GARI BORU HARAHAP DO DONGN MATOBANG
................................................
MUDA MADUNG KEHE HO TU PASAR ONJAP
ULANG KO LUPA MAROBAN RABAR DOHOT ANYANG
MUDA IBUATKON KO KAHANG BORU HARAHAP
INDA ARU ADONG DISI OBAR, NA MARSIANYANG
..................................................
NABAHAT MADA BATU NI PINING
SIAN SIBUHUAN DOI BONGGALNA
NABAHAT MA UTANDA BUJING BUJING
ANGGO HASIBUHAN INDA DONG DOPE BANDINGNA
INDA AU ANGGI NASO RA MAMBALAS
BENNA IBO DO ROANGKU TU ALAI NAPOSO
INDA AU ANGGI NASO GIOT TU BORU LUBIS
BENNA MABIAR DO AU INDA MARBALAS SIAN KO
......................................
JUGUK MA ITA DI SOPO-SOPO
ANSO UDOKON PE TUHO
HOLONG DO ROA BAYA TUHO
MA LOBI I TU DONGAN LAMA KU
......................................
BAKPAU NA ADONG DI SOPO-SOPO
BAHAT DO NA GIOT POSO-POSO
BOPE AU ANGGI INDA POSO-POSO
NA UM KEREN DOPE AU SIAN POSO-POSO
.....................................
SANNARI PE NIMU ANGGI UALAP
ASAL SAJO MAHO LEK NA OLO
TU DIA DOHO ANGGI NANGKAN UALAP
ANSO BINOTO LANGKA NIBA BO
.....................................
PULA RO RAMA-RAMA
ULANG KE HE TU LAMBUNG SOPO
PULA MADUNG AMA-AMA
ULANG BE GET MAPOSO
.................................
BOPE BAGAS MENEK NA SONGON SOPO
ADONG DI ALAMAN NAI ARAMBIR POSO
BOPE ABANG INDA POSO-POSO
CINTAKU TU ABANG LENG MAR GOSO-GOSO
.....................................
BOTUL DEI ANGGI NADI DOKON MI
SANGA MUMBANG KIBA DI DARATON
NASANTAK MA ANGGI PANDOKMI
MAMBAEN AU LUPA INGOTON..
....................................
INDA DONG KO UIDA SADARION
MAMBAEN ROHA JALAK-JALAKAN
RADOHO LALU NAGIT UOBAN
ANSO ULANG UJALAKI ALAK NALAIN
....................................
MANG MASUK KOMU UIDA
BAEN KOMU PANTUN MUYU
BOPE HAMU INDA ITANDA
PORDO ROHA MANANDA HAMU
.................................
KEHE AU MANDURUNG
DAPOT AU NILA DOT ABARO
NAHANCIT MADA NA MALUNGUN
SOMPAT RO ARUN DOT BARO
……………………………………….
MALA KEHE MAR TARUTUNG
TAGIAN DOHOT BUJING-BUJING
KEHE MA ITA TU TARUTUNG
DISI BAHAT BUJING-BUJING
..................................
KEHE ITA NIMMU TU TARUTUNG
HARANI BAHAT DISI BUJING-BUJING
PADE DOI NGABINOTO MARUNTUNG...
TAI AWAS KITA IKOJAR ANJING.
........................................
KETA BO NAMAR TARUTUNG
ULANG LUPA MAROBAN GONI NAI
LEGENAN MA DI KOJAR ANJING
DARI PADA IKOJAR GANDAK NAI
...........................................
ANAK NI BANGAU MAMBUAT SADA HAPUNDUNG
ITORU LAZO DOHOT PISANG NAIKAMPAK SAKALINAI
INDA DONGAU MANAKKO KARUTUNG
ONPE KEHE MAJOLO TUSI SAKALINAI
.................................................................
AUA NIBA DO MAMANCING KO ANSO KALUAR
SUANG NIDA HO BUJING-BUJING GIT EPEKKONON KU
KE MANI MUNAK NAMARTARUTUNG ULANG LUPA PAKE SARAOR
SANGA ADONG NARON MANDOIT SIAN BELAKANG MU
......................................................................
MANDUNG DO TONGA BORNGIN UIDA
LEK NASO RO DOPE BUJING-BUJING
BAEN KOMU BO PANTUN TONGA BORNGIN NA
ANSO KUAT SAMPE ANDOS TORANG
..............................................
IDIA SAJO DOHO ANGGI NAMAR TANDANG
JALAK-JALAK DIBAGASAN ROHA
BOPE ITA NGAPE MARSI TANDA AN
MAMBAEN LUNGUN DO DIBAGASAN ROHA.....
..............................................
NANGKON SI UTUK TARUTUNGI
INDARA MADABU NAPOSO DOPEI
NANGKON SENAJALAK" ABANGI
DOMPAK KE PASUO NANGKIN DOT ANGGI I
...............................................
INDA AU NA MANJALAKI TARUTUNG
NAGIT KEHE DO AU MARGALUNGGUNGON
UPAINTE MANTONG SATONGKIN TONG
PAT MURAK ROHA NA MALUNGUNON
CATATAN INTERNAL
Catatan Internal/Filling FK METRA SUMUT
Pergelaran Pertunjukan Rakyat (Petra)
Bertema Lingkungan Hidup
Berdasarkan arahan Ketua Forum Komunikasi Media Tradisional Sumatera Utara (FK METRA-SUMUT) Priode 2011-2016, Ibu Dr.Ir.Hj.Hidayati, MSi, pada pertemuannya dengan Saudara Sekretaris wadah organisasi kemasyarakatan atau media tradisional itu (Yan Amarni Lubis), yang juga dihadiri oleh beberapa staf beliau di ruang kerjanya di Kantor Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara (BLH-SU) pada hari Rabu tanggal 5 Desember 2012 sekitar Pukul 19.00 Wib hingga 20.05 Wib, diputuskan untuk perlunya diadakan sosialisasi tentang lingkungan hidup melalui pergelaran Pertunjukan Rakyat (Petra).
Pergelaran Petra yang direncanakan berlangsung pada Sabtu 22 Desember 2012 di Garuda Plaza Hotel Medan itu akan menghadirkan sekitar 300 undangan termasuk Guberbur Sumatera Utara Bapak H.Gatot Pujonugroho, ST, dan beberapa pejabat penting lainnya.
Guna mewujudkan program kerja FK METRA SUMUT tersebut (yang dalam hal ini bekerjasama dengan pihak BLH-SU) tentu perlu dilakukan persiapan-persiapan, antara lain dilibatkannya beberapa pemain serta pendukung lainnya, yang diyakini mampu saling bersinergis nantinya.
Adapun pemain/pendukung yang pada Kamis 6 Desember 2012 Pukul 16.00 Wib akan mengadakan pertemuan di Ruang Pameran Taman Budaya Sumatera Utara itu adalah sebagai berikut ;
1. Yan Amarni Lubis
2. Dayon Arora
3. M.Raudah Jambak
4. H.Munir Nasution
5. Andy Mukly
6. Rubino
7. Samsidi
8. Sofyan
9. Eva Gusmala Yanti
10. Rani Hamid
11. Ririn Prabu
12. Syifa Batubara
13. Delviani Siregar
14. Kiki Kawsyi Harahap
15. Rizkha Rahmaini
16. Liza Zahrina
Selain nama-nama tersebut diatas, pengurus FK METRA SUMUT juga akan melibatkan beberapa rekan seniman dari kelompok seni lainnya.
Demikian catatan ini dibuat, selain untuk diketahui pihak-pihak yang dilibatkan juga dijadikan sebagai arsip penting FK METRA SUMUT.
Medan, 5 Desember 2012
Yan Amarni Lubis
Sekretaris FK METRA SUMUT
TOR (Terms Of Reference)
Pergelaran Pertunjukan Rakyat (Petra)
Bertema Lingkungan Hidup
A. Latar Belakang mengapa Petra diplih sebagai media penyampai pesan tentang lingkungan hidup, dimana tujuan pokok dalam penyampaiannya adalah penekanan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup yang besih dan sehat sehingga terciptalah pendekatan di antara kedua elemen tersebut.
B. Menyiapkan lokasi pergelaran, jumlah pemain/pendukung, tema cerita, durasi cerita, jumlah undangan, hari/tanggal/waktu pergelaran. Kemudian tahapan kegiatan yang meliputi masa latihan, pengadaan property, serta hal lain terkait pelaksanaan pergelaran.
C. Membuat Rancangan Anggaran Biaya (RAB), antara lain biaya konsumsi serta uang transportasi pendukung semasa latihan hingga general repetisi, honor penulis naskah, honor sutradara, kostum serta make-up pemain, dekorasi, cetak undangan, konsumsi undangan, baliho/spanduk, backdrop, sewa lokasi pergelaran.
D. Outpout>cd, foto dokumentasi, baliho/spanduk.
E. Ami Wardhani, Wan Wahyuni, Jaya Arjuna,……
F. Cerita mengetengahkan etnis Melayu Deli/Pesisir, Batak, Jawa, Keling, Cina,…
G. Pemeran antara lain Pak Kades (Jawa), Batak (Juru Parkir), Hansip, Keluarga Cina, Keluarga Keling, Keluarga Medan
H. Setting menggambarkan satu sudut jalan di Medan yang sudah sangat dikenal banyak orang, yang ada jembatan sungainya, dan juga trotoar yang menjadi areal permainan para pemeran.
I. Cerita ada menyinggung tentang sosok pendatang dari daerah Tapanuli (Poltak) yang mencari saudaranya di Medan, berkisar lingkungan yang selalu diselimuti masalah sampah, polusi udara, asap kenderaan bermotor, limbah, suitnya air bersih,….
J. Vespa tua yang dibuat dari streofom dan berknalpot hitam.
RENSTRA TOR
1. Latar Belakang
A. LINGKUNGAN HIDUP
Makhluk hidup membutuhkan lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Sebagai tempat tinggal, tempat berlangsungnya interaksi antar sesama makhluk hidup, sebagai tempat untuk bertahan hidup, sebagai tempat untuk berlindung, dan lain-lain. Lingkungan bukan lagi menjadi salah sati hal yang terpenting bagi makhluk hidup. Tetapi, lingkungan sudah menjadi hal yang terpenting bagi makhluk hidup untuk kelangsungan hidupnya. Mulai dari manusia, hewan, hingga tumbuhan. Namun, dewasa ini, pada kenyataannya lingkungan masih dianggap sebagai salah satu hal terpenting. Bisa dilihat dari banyaknya kerusakan lingkungan, bencana alam, dan lain-lain. Kita semua tidak bisa menuduh siapapun atau menyuruh siapapun untuk bertanggung jawab kecuali kita semua menyadari kesalahan yang telah kita perbuat terhadap lingkungan. Sebagai makhluk yang dikatakan paling sempurna di antara makhluk lain seperti hewan dan tumbuhan, manusialah yang paling bertanggung jawab atas semua ini. Manusia memiliki akal dan pikiran. Semua itu diciptakan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan kita. Namun, mengapa akal dan pikitan itu disalah gunakan untuk merusak lingkungan? Pembalakan liar, asap pabrik, asap kendaraan bermotor, pencemaran air sungai, membuang sampah di sembarang tempat, dan lain-lain adalah merupakan ulah manusia. Karena hal itulah mengapa dewasa ini banyak terjadi masalah-masalah lingkungan seperti bencana alam, perubahan cuaca, banjir, sampai pemanasan global, yang kesemuanya itu kemudian berpontensi besar mendatangkan penyakit bagi makhkuk hidup. Bahkan dengan halnya pemanasan global, sudah mulai dirasakan oleh seluruh makhluk hidup di seluruh dunia. Kerusakan lingkungan yang diakibatkannya pun berdampak negatif pada beberapa spesies hewan dan tumbuhan misalnya, yang sudah mulai punah secara drastis. Kemudian di berbagai daerah terjadi bencana alam yang merenggut banyak nyawa manusia. Jadi siapakah yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Kita tidak bisa saling menuduh. Tetapi, kita harus saling bekerjasama untuk melestarikan lingkungan hidup kita. Karena masalah lingkungan hidup adalah urusan kita semua.
B. FORUM KOMUNIKASI MEDIA TRADISIONAL (FK METRA)
Modernisasi yang bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak serta merta menjadikan sesuatu yang tradisional hilang. Tetapi pada banyak fenomena sosial justru memperlihatkan adanya trend kerinduan untuk kembali pada nilai-nilai substamsial yang terkandung dalam suatu tradisi. Sehingga tradisi ditempatkan sebagai kekayaan bangsa yang perlu dijaga kelangsungan hidupnya.
Salah satu media yang perlu dijaga kelestariannya adalah Media Tradisional (Metra). Dipergunakannya Media Tradisional yang komunikatif sebagai media penyampai informasi ditengah-tengah pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi mengingat berbagai keunggulan tersendiri yang dimilikinya.
Sekalipun perkembangan teknologi sedemikian pesat namun terdapat suatu kondisi dimana media modern tidak bisa menggantikan peran Media Tradisional sebagai media komunikasi dalam masyarakat. Media Tradisional selain sarana hiburan juga sangat dapat berperan sebagai penyampai informasi dan pendidikan kepada masyarakat. Apalagi bentuk penyajian, bahasa dan materi yang terkandung di dalam pertunjukan rakyat (sebagai akar/kekuatan pada Metra) sudah sedemikian akrabnya dengan budaya penonton sehingga tetap menjadi suatu media komunikasi yang menarik dan efektif.
Forum Komunikasi Media Tradisional (FK METRA) sebagai organisasi kemasyarakatan yang bersifat terbuka, non diskriminatif, non politik yang menampung keanekaragaman potensi bangsa di bidang Media Tradisional bertekad melestarikan karya budaya luhur bangsa sebagai kekayaan dan aset bangsa yang harus terus dipelihara, diberdayakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dengan mendayagunakannya dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Demikianlah segenap paparan yang kemudian melatarbelakangi kami dari Forum Komunikasi Media Tradisional Sumatera Utara (FK METRA-SUMUT) tertarik bekerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara (BLH-SU) untuk mengadakan Pergelaran Pertunjukan Rakyat berthema “Pengrusakan Lingkungan Hidup” dan sub thema “Lingkungan Hidup yang Baik, Bersih dan Sehat adalah Urusan Kita Semua”.
2. Analisa Masalah dan Justifikasi Kegiatan (Rationale)
Kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan faktor penyebabnya, dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk kerusakannya akibat peristiwa alam dan karena faktor manusia.
Berbagai bentuk bencana alam yang akhir-akhir ini banyak melanda Indonesia telah menimbulkan dampak rusaknya lingkungan hidup. Dahsyatnya gelombang tsunami yang memporak-porandakan bumi Serambi Mekah dan Nias, serta gempa 5 skala Ritcher yang meratakan kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, merupakan contoh fenomena alam yang dalam sekejap mampu merubah bentuk muka bumi. Peristiwa alam lainnya yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup antara lain letusan gunung berapi, gempa bumi, angin topan, dan lain-lainya.
Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi berperan besar dalam menentukan kelestarian lingkungan hidup. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi mampu merubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana sampai ke bentuk kehidupan modern seperti sekarang ini. Namun sayang, seringkali apa yang dilakukan manusia tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi berikutnya. Banyak kemajuan yang diraih oleh manusia membawa dampak buruk terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Beberapa bentuk kerusakan lingkungan hidup karena faktor manusia, antara lain terjadinya pencemaran (pencemaran udara, air, tanah, dan suara) sebagai dampak adanya kawasan industri, terjadinya banjir, sebagai dampak buruknya drainase atau sistem pembuangan air dan kesalahan dalam menjaga daerah aliran sungai dan dampak pengrusakan hutan, terjadinya tanah longsor, sebagai dampak langsung dari rusaknya hutan. Kemudian beberapa ulah manusia yang baik secara langsung maupun tidak langsung membawa dampak pada kerusakan lingkungan hidup antara lain penebangan hutan secara liar (penggundulan hutan), perburuan liar, merusak hutan bakau (mangrove), penimbunan rawa-rawa untuk pemukiman, pembuangan sampah di sembarang tempat, bangunan liar di daerah aliran sungai, pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan di luar batas, dan lain-lainnya.
Terinspirasi dari masalah pengrusakan lingkungan hidup itu kami dari FK METRA-SUMUT berkepentingan untuk merapatkan diri dengan pihak terkait, yang dalam hal ini kami pilih BLH-SU yang tugas pokok dan fungsinya secara umum adalah menyusun, merumuskan, melaksanakan, memfasilitasi, memberdayakan, serta menyelenggarakan program-program ataupun kegiatan-kegiatan yang bersinggungan dengan lingkungan hidup, untuk mengadakan sosialisasi tentang lingkungan hidup melalui Pertunjukan Rakyat (Petra). Alhamdulillah, keinginan kami untuk ‘campur tangan’ itu disambut baik oleh pihak BLH-SU, karena memang effektivitas Pergelaran Petra dalam menyampaikan pesan-pesan lingkungan hidup ini sangatlah teruji dikarenakan media penyampai ini berkomunikasi langsung dengan publik atau penontonnya melalui dialog-dialog yang disampaikan para pelakunya, tanpa dibatasi oleh layar kaca pada pesawat televisi, atau layar lebar pada bioskop. Dan hal ini pun telah terbukti dan dapat dibuktikan di banyak Pergelaran Petra yang sudah dilakukan FK METRA SUMUT di berbagai kesempatan dan tempat.
3. Maksud dan Tujuan Pergelaran
Maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan pergelaran pertunjukan rakyat ini adalah :
a) Meningkatkan keterpaduan, kemitraan dalam pemanfaatan pertunjukan rakyat sebagai proses komunikasi informasi.
b) Ikut serta dalam berbagai kegiatan pemerintah khususnya dalam melaksanakan pelestarian, pengembangan, pendidikan dan pemanfaatan komunikasi informasi melalui pertunujukan rakyat.
c) Meningkatkan fungsi dan keberadaan pertunjukan rakyat dalam proses pelestarian, pengembangan pendidikan dan pemanfaatan komunikasi informasi.
4. Sasaran Pergelaran
a) Pertunjukan rakyat selain menjadi sarana hiburan juga dapat menyampaikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat.
b) Pertunjukan rakyat yang komunikatif sebagai media penyampaian informasi ditengah-tengah pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi mengingat berbagai keunggulan yang dimilikinya.
c) Bahasa dan materi yang terkandung didalam pertunjukan rakyat akrab dengan budaya penonton sehingga tetap menjadi suatu media komunikasi yang menarik dan efektif.
5. Hari/Tanggal/Waktu/Tempat Pergelaran
- Hari Sabtu tanggal 22 Desember 2012
- Dimulai pukul 20.00 Wib
- Di Garuda Plaza Hotel Medan
6. Sasaran/Target Audiens
- Semua umur dan kalangan
7. Durasi
- Alokasi waktu 60 menit
NASKAH : RINTIH SUNGAI DELI
O P E N I N G
KUALA DELI
(Lagu Melayu Deli)
KUALA LAH DELI, KUALA LAH DELI
AIRNYA LAH BIRU
DISANALAH TEMPAT, DISANALAH TEMPAT
MANDILAH BERSAMA
SEDANG DIHATI, SEMAKINLAH RINDU
SEMAKINLAH RINDU
ORANG PUN JAUH APALAH NAK DAYA
KUALA LAH DELI, KUALA LAH DELI
BERDAYUNGLAH SAMPAN
HANYUTLAH BERKAYUH, HANYUTLAH BERKAYUH
SAMPAI KE MUARA
TUAN DIRANTAU, DAPATKANLAH BULAN
DAPATKANLAH BULAN
ORANG DI KAMPUNG TERANGILAH JUA
ORANG DI KAMPUNG TERANGILAH JUA
SEGMENT 01 (SATU)
Pak Boyak
Biar tau engkau Te’ah, dulu Medan nih dikenal dengan name Tanah Deli, tanahnye berawe-rawe, luasnye lebih kurang Empat Ribu Hektar, banyak sungai-sungai melintas diselanye, semuanye bermuare ke Selat Malake, termasuk Sungai Deli, yang saban hari engkau pakai mandi, mencuci, BUANG AER BESAR,…
Mak Te’ah
Nggak usahlah abang merepet gitu. Biasa ajalah bilang buang aer besarnya. Selama ini abang buang aer besar dimana rupanya?
Pak Boyak
Iiiih, goli goman aku mengeleh kau ni, geram. Dikasitau malah merengkel. Kogonyoh mulut engkau nanti, baru tau rase.
Mak Te’ah
Jadi dimana lagi kita berMENCEKA bang? Di hotel bebintang? Ada rupanya duit abang?
Pak Boyak
Bukan begitu maksudku, usah engkau mendadal. Kalau tak kau dengar cakapku, kualat kau nanti sama lakik sendiri.
Mak Te’ah
Sudahlah bang, ponek aku mendengar cakap abang, capek. Sungai Deli luluh lantak, mari sama kita benahin, kalok udah bosan bebini awak, kusilakan abang bebini lain.
Pak Boyak
E, e, e, bijaknye mulut egkau tu. Kenape pule jadi ngelantur kesitu engkau? Ambe ni wajib mengingatkan kau, Sungai Deli tu tanggungjawab kite bersame.
Mak Te’ah
Dulu bersih, sekarang cemar, dulu romantis sih, ih sekarang kasar !
Pak Boyak
Maksudku tu begini Te’ah. Air Sungai Deli sekarang tu sudah berwarne coklat, hitam, dan kuning…
Mak Te’ah
Terus mau abang kasi warna apa lagi?!
Pak Boyak
Kalau bukan kite yang membersihkan, siape lagi? Sebagai warge yang baik, eloklah kite jangan mengotorin. Sudahlah kubikinkan kamar mandi, masih juge engkau ke sungai, ape tak geram aku mengeleh kau.
Mak Te’ah
Kan bukan aku aja yang mengotori Sunge Deli bang, banyak lagi yang lain. Tuh, tetangga-tetangga kita, yang semuanya tinggal dipinggiran. Belum lagi tuh pabrik-pabrik, membuangi limbah kesitu.
Pak Boyak
Makanya tak usah engkau ikut-ikutan, habis pekare. Malu ambe ni Te’ah, malu. Kau tau sendiri kan, kemaren tu ambe same Pak Camat, Lurah, Kepling, terus dari Kepolisian, dari Kantor Walikota, LSM, menanam beribu pohon di pinggiran Sunge Deli tu. Ape kate dunie, kalau ditengoknya engkau tu sukak buang sampah ke sunge milik kite bersame tu.
Mak Te’ah
Abang pandenya menceramahi aku aja. Cari uang yang banyak, kita beli rumah di tempat lain, cocok kan abang rasa?
Pak Boyak
Sudah berape lame engkau jadi binikku? Kalau sudah punye duitnya ambe, takkan mau ambe tinggal di pinggir Sunge Deli ni. Macam tak tau aje engkau, pendapatanku fluktuasi. Kojo seribu, tak kojo lima ratus, bagus kojo tak kojo, seribu lima ratus. Pekerjaan ambe kan cuma konsultan, koncone wong-wong kesulitan, alias pengangguran.
Mak Te’ah
Ya udah, makanya yang riil-riil aja…
Pak Boyak
Ouaje, tinggi nian bahase engkau tu.
Mak Te’ah
Minta sana, rumah sama pemerintah.
Pak Boyak
Eh Te’ah, jage mulut engkau tu ye, mulutmu adalah harimau kau.
Mak Te’ah
Abes, abang kerjanya cuma melenggang-lenggok aja, tau bang. kayak lagu TANJUNG KATUNG.
LAGU PERALIHAN SEGMENT 01 (SATU) to SEGMENT 02 (DUA)_
TANJUNG KATUNG
(Lagu Melayu Deli)
TANJUNG KATUNG AIRNYA BIRU, TEMPAT NAK DARA MENCUCI MUKA
TANJUNG KATUNG AIRNYA BIRU, TEMPAT NAK DARA MENCUCI MUKA
DENGAN MEDAN HATIKU RINDU, KONONLAH PULAK SUMATRA UTARA
DENGAN MEDAN HATIKU RINDU, KONONLAH PULAK SUMATRA UTARA
ASAL MEDAN SI TANAH DELI, KINI MENUJU METROPOLITAN
ASAL MEDAN SI TANAH DELI, KINI MENUJU METROPOLITAN
SIAPA MERASA RASA MILIKI, MARI SAMA GANDENGAN TANGAN
SIAPA MERASA RASA MILIKI, MARI SAMA GANDENGAN TANGAN
HAI TUAN-PUAN
ELOKLAH KITA MENJAGA HATI
DENGAR SUARA RINTIHAN
HULU KE HILIR DI SUNGAI DELI
ALAH TUAN BERSIHKAN AKU
ALAH PUAN RAWATLAH AKU
DUA TIGA KUCING BERLARI, MANALAH SAMA SI KUCING BELANG
DUA TIGA KUCING BERLARI, MANALAH SAMA SI KUCING BELANG
SUNGAI DELI JANGAN CEMARI, TENGOKLAH NASIB DIA SEKARANG
SUNGAI DELI JANGAN CEMARI, TENGOKLAH NASIB DIA SEKARANG
PISANG EMAS BAWA BERLAYAR, MASAK SEBIJI DI ATAS PETI
PISANG EMAS BAWA BERLAYAR, MASAK SEBIJI DI ATAS PETI
APA PUN KALAU SUDAH TERCEMAR, BIARPUN HIDUP SERASA MATI
APA PUN KALAU SUDAH TERCEMAR, BIARPUN HIDUP SERASA MATI
HAI TUAN-PUAN
ELOKLAH KITA SADARKAN DIRI
JANGAN CUMA JANJIAN
BERI BUKTI ITU YANG PASTI
ALAH TUAN JANGAN BEGITU
ALAH PUAN BUDAYAKAN MALU
SEGMENT 01 (SATU) BERAKHIR
DURASI 15 (LIMA BELAS) MENIT
SEGMENT 02 (DUA)
Pak Boyak
Sudah berani engkau membantah aku ye ! (mau memukul)
Mak Te’ah
Pukul, pukullah, bagian mana yang mau abang pukul, kusilakan. Kalok abang sampek melakukan kekerasan dalam rumah tangga, aku akan kerasan dirumah tetangga, tau ! Ayo pukul, pukullah. Kenapa nggak jadi?!
MUNCUL PAK LURAH.
Pak Lurah
Halooo, … Pak Lurah datang…. Harap tenaaaang. Ada apa ini Pak Boyak, Mak Te’ah, lagi latihan sandiwara ya?
Mak Te’ah
Begaduh kami Pak Lurah, gara-gara Sunge Deli.
Pak Lurah
Ada apa dengan Sungai Deli? Sungai Deli kenapa? Tak perlu dijawab. Terkait itulah saya datang kemari. Sungai Deli memang membutuhkan perhatian kita semua, ya kan? Terutama yang tinggal disekitarnya. Kondisinya semakin memprihatinkan. Padahal sungai yang membelah kota tercinta kita ini punya potensi besar. Tapi apa yang terjadi? Tak perlu dijawab. Sekarang airnya nggak bisa lagi diminum. Ikan-ikannya pada punah. Lalu muncullah potensi yang lain.
Pak Boyak
Potensi apa itu Pak Lurah?
Pak Lurah
Berpotensi mengancam kesehatan warga di sekitarnya.
Mak Te’ah
Ah, Pak Lurah ini bisa aja, kirain tadi potensi apaan, gitu.
Pak Lurah
Serius. Saya lagi serius. Pak Boyak, Mak Te’ah, tau kenyataan semua itu kan? Sebagai warga yang bertempat tinggal di pinggir Sungai Deli? Tak perlu dijawab. Karena pada prinsipnya, pertanyaan-pertanyaan saya sejak tadi itu adalah pertanyaan dalam diri kita semua. Dan jawabannya pun ada kita diri sendiri juga. Kenapa? Karena kondisi riil pada Sungai Deli merupakan tanggung jawab kita semua. Dan untuk tujuan mulia itulah kita berkumpul disini, di malam yang berbahagia ini. Semoga pertemuan yang tengah kita laksanakan ini, menjadi pertemuan yang mendatangkan manfaat bagi kita semua. Begitu kan Pak Boyak, Mak Te’ah?
Pak Boyak & Mak Te’ah
Akur Pak Lurah.
Pak Lurah
Masih pengen dilanjutkan latihan sandiwaranya yang terputus tadi?
Pak Boyak & Mak Te’ah
Ah, Pak Lurah ini sukak bersandiwara jugak rupanya.
SEMUA TERTAWA. LEPAS. SEAKAN TAK PERNAH ADA BEBAN.
LAGU PENUTUP SEGMENT PENUTUP
KEMARAU
(dari The Rollies)
PANAS NIAN KEMARAU INI
RUMPUT-RUMPUT PUN MERINTIH SEDIH
RESAH TAK BERDAYA
DI TERIK SANG SURYA
BAGAIKAN DALAM NERAKA
CURAH HUJAN YANG DINANTI-NANTI
TIADA JUGA DATANG MENITIK
KERING DAN GERSANG MENERPA BUMI
YANG PANAS BAGAI DALAM NERAKA
MENGAPA, MENGAPA HUTANKU HILANG
DAN TAK PERNAH TUMBUH LAGI
MENGAPA, MENGAPA HUTANKU HILANG
DAN TAK PERNAH TUMBUH LAGI
SEGMENT 02 (DUA)/PENUTUP BERAKHIR
DURASI 10 (SEPULUH) MENIT
GRAND FINALITY.
SELURUH PENDUKUNG TAMPIL KE DEPAN PANGGUNG. DAN DI TUTUP DENGAN LAGU TANAH AIRKU
CERPEN : ZULAIKHA
ZULAIKHA DAN SEGELAS AIR YANG TERTUMPAH DARI TANGANNYA
Perempuan itu termenung, menatap jauh menembus langit. Tangannya mengelus ubun-ubun Zulaikha, anaknya yang baru berusia dua tahun itu. Bocah perempuan itu memandang tak berkedip ke arah ibunya, seperti ikut merasakan keresahan hati ibunya. Zulaikha pun tak seperti biasanya, dialebih suka mengelendoti ibunya, padahal hari begitu cerahnya. Perempuan itu dengan lembutnyamembelai-belai rambut dan mengobral ciumannya ke seluruh wajah Zulaikha, seolah-seolah inilah hari terakhir kebersamaan mereka.Matahari tepat di atas kepala disaat perempuan itu memastikan Zulaikha sudah dibuai mimpi.
Matanya tak bekerjap sedikitpun menatap wajah anaknya yang terlelap. Dengan penuh hati-hati, perempuan itu menyingkirkan selimut yang melintas di dahi anaknya yang agak berkeringat. Akibat sentuhan itu bocah perempuan itu menggaruk dahinya sesaat. Wajah oval mungil itu tampak semakin cantik dalam bias matahari yang menembus kaca jendela, kamar tidur mereka.Perempuan itu, perlahan mengibas tangannya untuk mengusir lalat yang melintas tiba-tiba diatas wajah Zulaikha. Kemudian dia mengambil kelambu mungil yang biasa jadi tameng tidur Zulaikha semasa bayi dulu.
Selanjutnya perempuan itududuk dikursi dekat meja yang diatasnya ada segelas air putih yang siap untuk diminum. Di sebelahnya sebotol obat tidur yang berisi penuh. Kemarin perempuan itu telah membelinya di toko obat depan rumah mereka. Keinginan perempuan itu sudah bulat untuk menghabiskan obat itu sekaligus.Matanya bergantian menatap ke arah gelas minuman dan botol obat tidur itu, ia menganggap kedua benda itulah akhirnya menjadipenentu segalanya. Namun, seketika matanya menatap perlahan ke arah Zulaikha, ada terbersit semacam keragu-raguan disana.
Harus, semua harus kuselesaikan dengan caraku ! Harus kuselesaikan sekarang juga, jerit batinnya. Perlahan dengan tangan gemetar perempuan itu membuka tutup botol obat itu dengan perasaan berdebar-debar. Separuh lebih obat itu kini sudah berpindah ke tapak tangan kirinya. Dengan perasaan yang lebih mendebarkan tangan kanannya menggenggam erat segelas air putih yang telah dipersiapkan.Selanjutnya diletakkannya kembali gelas dari tangan kanannya, dan kini separuh obat tidur itu sudah berpindah ke tangan kanannya.
Perlahan-lahan tangan itu meninggi, mulutnya mulai menganga dan matanya mulai dipejamkan. Tapi suara igauan Zulaikha seketika menghentikan aksinya. Perempuan itu terpana dan meletakkan obat tidur itu di atas meja dan segera menuju ke arah Zulaikha, memandangnya.“Ampunkan ibu, anakku! Apakah kamu yang harus menanggung dosa-dosa ibu?” Isaknya tertahan.Perempuan itu menyingkirkan selimut kecil yang menaungi tidur anaknya. Tangannya perlahan mengusap keringat yang mulai membanjir di dahi bocah perempuan yang terlelap itu. Menyingkirkan selimut yang melintas seenaknya. Dalam perasaan yang yang sudah teraduk-aduk, makin teraduk-aduk, melihat wajah anak tanpa dosa itu. Beberapa saat kemudian kedua tangannya meraba wajahnya, dan seluruh tubuhnya, lalu berhenti diantara kedua pahanya.
“Kenapa kau tak mampu menahan diri!”
Seketika butir-butir air mata menetes satu-persatu membasahi pipinya, kemudian tergelincir jatuh. Tangannya segera meraih tisu dari sakunya, lalu menyeka pipinya yang basah. Pandangan matanya menyapu seluruh ruangan kamar, seperti mencari harapannya yang tertinggal. Dia terpaku pada sebuah foto yang berdiri tegak tepat di atas meja rias kamarnya. Dia segera duduk di depan kaca rias dan meraih foto itu. Tatapan matanya selalu berganti pada foto dan kaca rias.
Ya, perempuan itu menatap lekat bergantian wajahnya yang ada di foto dan di cermin. Batinnya berteriak, “Aku tidak minta dilahirkan cantik!”Mungkin! Ini penyebabnya. Kecantikannya telah menyebabkan munculnya berbagai peristiwa. Apalagi usianya masih cukup muda , 25 tahun, mewajarkannya berpenampilan seksi. Tubuh yang sintal dan kulit yang begitu halus , kuning langsat. Siapapun pasti tidak akan membantahnya. Akan tetapi hari ini dia begitu menyesali kecantikannya. Dia ingin berteriak sekuat-kuatnya, menjambak rambutnya, mencakari wajahnya biar wajahnya berubah mengerikan seperti monster.
Biar tidak seorangpun laki-laki yang memabukkannya dengan berbagai lena. Namun tangannya kaku, tenggorokannya seakan tersekat benda berat. Dengan perasaan yang tertekan, perempuan itu mengehempaskan tubuhnya keatas kasur. Dia menelentang di samping Zulaikha sambil menekan dan memukulkan bantal ke wajahnya sendiri.
Perempuan itu tidak ingin berpikir macam-macam. Perempuan itu tidak ingin melihat apa-apa. Perempuan itu tidak ingin mendengar apa-apa. Tidak ingin apapun. Tapi wajah itu, tubuh itu terbayang silih berganti datang memenuhi isi kepalanya. Puluhan kaum borjuis, puluhan kaum intelektual, bahkan ratusan lelaki seakan memperhatikan dengan mata penuh birahi. Datang berjubel menelanjangi dengan mata beringas mereka. Tepuk tangan dan decak syahwat yang riuh seperti menggemuruh ditelinganya. Trauma ketika ia memperagakan pakaian renang musim panas di atas catwalk. Dengan pakaian renang yang cukup transparan.
“Wah ….!”
“Hebat ….!”
“Luar biasa ….!”
“Sempurna ! Sempurna !”
Begitulah seterusnya.Tepuk tangan menggema menembus suara musik dan penerangan lampu sorot, dengan pandangan biji mata lelaki yang hampir muncrat keluar, perempuan itulah.Mulai dari barisan depan sampai barisan belakang berebut hendak mengabadikannya lewat foto.
Dia betul-betul primadona. Dia adalah sosok figure yang mengagumkan. Setiap inch yang ada ditubuhnya begitu sempurna. Wajahnya adalah wajah yang menjadi impian banyak wanita. Tubuhnya adalah impian keinginan setiap pria. Semuanya betul-betul mencerminkan segala kewanitaannya, melebihi Cleopatra yang pernah menaklukkan dua raja Romawi dalam pelukannya.Tuhan seperti telah memberikan anugerah yang begitu luar biasa padanya. Dan perempuan itu begitu menyadarinya. Dengan kecantikannya dia mampu menaklukan lelaki mana saja. Menyedot perhatian siapa saja. Sesungging senyuman telah semua lelaki yang menatapnya. Selain itu dia mampu menjadi duta budaya, kecerdasannya mampu membuat kagum siapa saja. Ketika dia bicara , dengan kharisma kecantikannyadia mampu membungkam ratusan orang untuk tetap tekun mendengarnya. Dia begitu paham politik. Sangat mengerti ekonomi. Tidak diragukan di bidang seni dan budaya dan sebagainya.
Sungguh-sungguh luar biasa. Kecerdasan dan kecantikannya berpadu luar biasa. Pernah dia diundang dalam lomba model tingkat internasional di sebuah negara tetangga. Tetapi hal itu mendapat reaksi keras rakyat negeri ini. Sebab mereka tidak ingin perempuan itu direbut negara lain. Dan sebab itu pulalah dia diminta untuk menjadi salah satu calon legislatif dari salah satu partai berkuasa negeri ini.Walaupun begitu, perempuan itu terus merasa diterpa kerasnya gelombang kehidupan. Hingar bingar dan kekaguman orang-orang terhadapnya tetap menghempaskannya ke pantai kesepian.
Bagaimanapun dia tetaplah wanita. Perseteruan antara mantan pacarnya yang anak pejabat dengan pengusaha kaya terhadap keabsahan Zulaikha anak siapa, terus merongrong batinnya. Ada tawaran tes DNA, justru itu kesimpulan yang menyakitkan. Dan perempuan itu belummemberi persetetujuan. Karena wajah inilah yang menyebabkannya menjadi janda dan kini hatinya menganga dalam kekosongan.
Di sudut hatinya kerinduan untuk keluar menghantarkannya mendapatkan hasrat terhadap kehadiran seorang hakiki. Tidak hanya sekedar dalam hati, tapi hadir dalam kehidupan nyata.Semula dia beranggapan dengan kecantikan ini, dia berpikir dapat memilih lelaki mana saja yang disukai. Tidak seperti lelaki yang selalu memaksakan terhadap keabsahan Zulaikha. Tetapi ternyata kecantikan dan kelebihannya justru membuatnya terkungkung terhadap ketakutan lelaki meminangnya, meragukan kesetiaannya.
Lelaki hanya beranggapan dia hanya untuk digelimangi dengan suasana hura-hura.Dan perempuan itu menyadarinya, ketika beberapa pengusaha muda yang kaya datang padanya dia lebih banyak menolak. Hanya satu yang dia tidak ragu, Romi seorang pria tampan, aktivis organisasi pemuda di daerahnya.dia berusia 30 tahun, berstatus bujangan. Pertemuan mereka bermula ketika memperagakan busana dari bahan bulu hewan. Romi protes habis-habisan dan perempuan itu justru terkagum-kagum padanya.
Sejak itu mereka sering bertemu, memanen benih rindu. Dan atas prakarsa Romi pulalah yang mengantarkan perempuan itu menjadi salah seorang caleg dari partai terbesar negeri ini. Namun perempuan itu tetaplah wanita, perempuan itu selalu menyerah dalan pelukan Romi dengan segenap gairah kewanitaannya. Berkali-kali perempuan itu memanen kerinduan, berkali-kali pula menggugurkanbuahnya.
Perempuan itu selalu kalah.Kekalahannya semakin nyata setelah Romi digantikan Romi, Romi yang lain. Lebih ganas danberingas.Sampai pada satu titik, perempuan itu tidak sedikitpun mencium aroma Romi, apalagi menikmati sosoknya. Pupus sudah harapannya.Seketika dia bangkit. Perempuan itu meraih gelas yang berisi air putih di atas meja dan meraih obat tidur yang teronggok liar disana.
“Sayonara ! Selamat tinggal anakku, Zulaikha! Kita tidak akan bertemu lagi!” Rintihnya.
Tiba-tiba Zulaikha terbangun, dia memandang manja padaibunya, setengah merengek.
“Ma, bobok yok….!” Ajak Zulaikhameringis.
Perempuan itu gelagapan. Segera dia meletakkan gelas dan obat tidur itu di atas meja. Dan segera menuju Zulaikha, rebah di sampingnya. Perempuan itu kembali membelai dahi Zulaikha sambil menyanyikan lagu nina bobo. Zulaikha kembali tenteram.Suara azan magrib dari kejauhan terdengar sayup-sayup. Bersahut-sahutan dengan suara azan dari mesjid terdekat.
Perempuan itu merasa begitu lelah. Dia menatap langit-langit kamar, menelentang. Suara jangkrikpun mulai beradu mengantar suasana senja yang temaram. Perempuan itu setengah ragu, bangkit atau merebahkan diri? Perempuan itu lantas merebahkan dirinya. Selebihnya dia tak ingat apa-apa lagi. Tertidur dan terlelap.
*****
Subuh mengambil alih waktu, perempuan itu terbangun. Dia tersentak sebab suara azan terakhir beradu dengan dengus nafas disertai desah yang berat. Zulaikha, putrinya tergeletak meradang di lantai kamar.Badannya menggelepar hebat dengan kaki dan tangan mengehentak-hentak, serta mulut yang berbuih. Perempuan itu seketika merasa jantungnya berhenti berdetak saat dia tidak menemukan obat tidur di atas meja dan segelas air putih yang kosong tergeletak di samping Zulaikha yang hampir berhenti bergerak.
BIODATA
M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Pernah bersinggungan di Komunitas Forum Kreasi Sastra, Komunitas Seni Medan, Komunitas Garis Lurus, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Komunitas Sastra Indonesia, Seniman Indonesia Anti Narkoba,dll. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK, Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan. Alamat tugas : Jalan Jenderal Gatot Subroto km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Alamat Rumah: Jalan Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E-10 Medan, Sumatera Utara. Hp. 085830805157. Kontak Person TBSU- Jl. Perintis Kemerdekaan, no. 33 Medan. Saat ini sebagai Direktur Komunitas Home Poetry. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pinang. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan dengan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se-Indonesia di Bogor (200&), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta , TSI 1-3, Juara Unggulan 1 Tarung Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang, Nominasi cipta Puisi nasional Bentara, Bali, dll.
No. Rek BNI : 0208306885. a.n. MUHAMMAD RAUDAH JAMBAK. Kancab. USU MEDAN
CERPEN : TUKANG PUNDAK TUKANG TUNDAK
Cerpen M. Raudah Jambak
Tukang Pundak
Lampu tiba – tiba padam. Suasana yang terasa bukan hanya gelap, tapi lebih dari mencekam. Baru pukul 22.00 WIB. Penduduk memang tak bisa tidur. Mereka terjaga. Menanti kejadian apa yang akan datang selanjutnya. Suasana sunyi masih terasa menyeramkan. Kampung gelap. Kampung sunyi. Kampung dingin. Hanya degup jantung yang semakin kencang saja yang terdengar.
Bukan hanya sekali ini saja kejadian seperti ini. Kejadian seperti ini sudah berlangsung berkali–kali, malah sudah mulai rutin. Ini bukan perkara pemilihan pemimpin. Bukan perkara yang sering kita dengar cukup menghebohkan di surat kabar. Seperti kasus Sampit, Aceh, Ambon dan kasus haus kekuasaanlainnya.
Bagi penduduk sebenarnya hal ini cukup mengherankan. Masalahnya kejadian seperti ini sudah pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Terjadi di salah satu daerah di Labuhan Batu. Ketika itu suasana yang masih rentan. Muncul pada masa jayanya golongan merah kiri.
Golongan merah kiri ini menghimpun kekuatan dari berbagai kalangan. Mulai dari anak–anak sekolah, SD kalau perlu, sampai ke tingkat yang tidak jelas. Mereka mempengaruhi rakyat dengan propaganda, rayuan, dan juga bujukan. Mereka terkenal sangat ganas dan kejam sehingga apapun akan mereka lakukan demi meluluskan segala keinginan mereka. Tapi sesuai dengan iringan zaman, waktu ternyata berubah. Golongan merah kiri kalah.
Kekalahan mereka membawa dampak negatif. Lawan–lawan politik mereka memunculkan isu–isu yang cukup meresahkan. Munculnya istilah "Dendam Lama". Jika selama golongan kiri berkuasa dan mereka melakukan tindakan yang semena–mena. Maka, sekarang para lawan politik yang disemena – menakan waktu itu, kini bertindak semena – mena pula terutama pada golongan merah kiri.
Dan dibentuklah satu kelompok aksi yang diberi nama Aksinger. Bertugas membersihkan para pengikut, simpatisan, para kroni dan semua yang terlibat golongan merah kiri, terlepas mereka bersalah, atau hanya ikut–ikutan, atau malah terjebak. Dan jika dijumpai, maka harus dibersihkan.
Persis seperti di kampung ini, lampu tiba–tiba padam, sebagai pertanda bakal ada yang menjadi korban dari golongan merah kiri. Mereka yang tertangkap dibawa dengan truk ke daerah Pinang Lambong. Dan setelah itu mereka akan ditanyai satu persatu oleh Aksinger. Dan esok paginya rakyat akan berteriak. "Rakit… rakit… rakit… hanyut…"
Beberapa dari penduduk akan segera berlari ke arah sungai untuk melihat kejadian secara langsung. Setelah terlihat, maka akan tampak tubuh beberapa orang yang dijadikan rakit, diikat. Mereka bergelayutan tanpa nyawa, dan tanpa kepala di aliran sungai. Bau amis darah sudah menjadi hal yang biasa bagi penduduk di kampung itu. Dan hal itu tidak hanya berlangsung di Pinang Lombang. Tapi juga di Aek Nabara dan Aek Toa.
Pak Norta selalu menyaksikan kejadian seperti itu. Rumahnya tidak begitu jauh dari sungai dan memang Pak Norta juga satu dari sekian banyak saksi sejarah.
"Ampun Bang. Jangan dipukul Bapak kami, ya," Norta kecil meminta belas kasihan Kepala Aksinger yang hendak menangkap Haji Odah.
"Tidak, Bu. Justru kami ingin mengamankan Bapak. Mereka pasti menghabisi bapak.
"Tolonglah, Nak Nema. Kasihan Bapak. Kamu kan murid Bapak … ?
"Ya, Bang. Bapak sebenarnya tidak terlibat. Dia terjebak …" Aminah kakak Norta, mengharap.
"Bu, kalau kami yang membawa Bapak. Bapak akan aman–aman saja. Tapi kalau bukan kami yang membawa, kami tidak berani jamin."
Uraian dan deraian air mata anak beranak itu sungguh menyanyat. Morta kecil yang paling sedih. Walaupun sebetulnya dia tidak tahu apa–apa. Dia hanya bisa merasakan, akan terjadi sesuatu yang tidak baik. Tapi karena tidak tahu harus lari kemana terpaksa dipaksakan juga sembunyi disekitar sawah. Berkubang dirimbunan daun – daun padi.
"Bu, ada dua puluh orang daftar orang yang dicari oleh Aksiner. Dan kebetulan Bapak masuk dalam salah satu daftar orang yang dicari. Nah. Maksud kami ingin menyelamatkan bapak supaya tidak jatuh ke tangan para Aksiner merah yang dikenal tanpa konpromi. Beritahu kami, Bu. Dimana Bapak ?"
Masih suara isak istri Haji Odah menyayat. Dia tidak menginginkan ini. Dia hanya teringat ketika beberapa orang datang kerumahnya membawa kertas yang harus ditandatangani Bapak. Dia mendengar sayup–sayup, orang–orang ini menawarkan Bapak masuk organisasi yang menjual nama agama. Bapak sebagai seorang haji menyanggupi permintaan ini. Tapi, entah mengapa kok Bapak malah dituduh orang yang tidak berTuhan? Masuk organisasi yang tidak berTuhan. Dan saat ini organisasi tersebut sudah terlarang?
"Bu, kami akan membawa Bapak ke tempat kami. Dan kami akan menyembunyikan Bapak. Kami melakukan ini, karena kami ingat jasa – jasa Bapak yang telah memberi kami ilmu pengetahuan. Bapak yang telah menjadi guru kami. Dan inilah kesempatan kami untuk membalasnya."
Istri Haji Odah terpikir. Dia ragu. Tapi akhirnya yakin. Pelan–pelan ia menghapus air matanya. Lalu mengangkat tangannya, mengarahkan jari telunjuknya ke suatu tempat.
"Bapak di sana. Di tengah pematang sawah…"
"Terima kasih, Bu. Yakinlah kami akan menyelamatkan Bapak…"
Suasana hening. Suasana tidak seperti ada perasaan yang sedang bergolak. Keprihatinan demi keprihatinan muncul ke permukaan. Dalam batin sebenarnya ada keraguan. Hati lebih menginginkan suami tercinta selamat dan sehat. Tapi yang diharapkan adalah murid dari suami. Ada warna kejujuran di mata mereka, tetapi ternyata keraguan lebih benar. Ingin rasanya melepaskan diri dari beban masalah yang sebenarnya tidak diharapkan.
Dia teringat dengan suami adiknya. Tarsih. Suaminya ketika itu tidak sempat melarikan diri. Dia terjebak. Dan pada saat itu menurut pengakuan Tarsih, yang menjemput suaminya justru mengaku untuk menyelamatkan suaminya. Dan dia percaya suaminya percaya, anak – anaknya juga percaya. Lalu dibawalah suami Tarsih dengan penuh harap keluarga. Apa lacur, keesokan harinya Tarsih pingsan, karena daftar suaminya masuk sebagai orang yang ditembak mati kemarin malam. Kepala terpisah dai badan setelah selesai melakukan kewajibannya kepada Tuhan.
Istri Haji Odah memilih untuk percaya. Lalu ditunjuknya tempat persembunyian suaminya. Pasukan Aksinger segera menuju ke lokasi. Dipimpin oleh Nema, bekas murid Haji Odah, mereka melalui rumah belakang, kemudian menaiki tapak–tapak pematang sawah. Melihat ke arah dangau. Tidak ada. Dicari di sebelahnya juga tidak ditemukan. Lalu di tempat irigasi juga tidak ada.
"Hei, kemari. Orangnya ada disini !"
Pasukan segera bergerak. Beberapa orang mengacungkan senjata. Nema menyuruh menurunkan senjata. Haji Odah terlihat ketakutan bersembunyi di balik rumputan dan daun – daun padi.
"Ampun, Ma. Jangan pukul Bapak."
"Tidak, Pak. Saya hanya ingin menolong Bapak."
"Ya, ampun. Kasihan adik – adikmu."
Nema memberi penjelasan yang akhirnya dapat dijelaskan langsung. Dan Haji Odah mau menerima. Haji Odah dibawa, berpeluk–pelukan dengan anak istrinya kemudian naik ke truk. Di dalam truk Nema mengawasi Haji Odah, mengajaknya untuk berbicara. Diperlakukan selayaknya orang istimewa. Dalam pembicaraan itu, Nema kembali meyakinkan Haji Odah, dan sekali lagi Haji Odah percaya. Dan pembicaraannya yang akrabpun terbina.
Sesungguhnya Nema memang hendak menolong Haji Odah. Tidak ada maksudnya untuk mencelakakan guru yang sangat dikaguminya. Kekhawatirannya hanya jika Haji Odah jatuh ke tangan Aksinger merah, yang menghabisi korbannya di tempat tanpa sempat di tanya. Dan keyakinannya setelah mendengar instruksi dari komando utama agar mengamankan dua puluh orang dalam daftar cari.
Tapi, Nema sangat marah. Nema menelan kemarahannya dalam hati. Dia merasa bersalah karena salah menafsirkan kata "pengamankan" dari komandannya. Nema merasa malu. Tidak bisa menyembunyikan wajahnya sendiri. Bagaimana perasaannya jika bertemu dengan keluarga Haji Odah, terutama Morta yang ketika itu menjerit, menangis supaya ayahnya diselamatkan.
Haji Odah ketika itu dibawa ke kantor, dan tanpa ditanya kepalanya ditutup dengan kain hitam. Nema ingin bertanya, tapi komandan utama yang langsung bertindak, dia terpaksa diam. Dengan kasar Haji Odah dibawa ke belakang rumah, direbahkan di tempat pembantaian. Dan Sodis sudah berada di sana sebagai tukang pundak… Bless…
Pak Morta ingat semua itu. Ingat Nema, terutama Sodis. Ingatannya yang kuat kepada Sodis karena Sodis si tukang tundak telah menjadi Bupati. Dan ingatannya makin kuat setelah kejadian yang sama mulai lagi sejak kepemimpinan Sodis. Pak Morta tahu betul tentang Sodis, tapi yang mengherankan kenapa Sodis si tukang tundak menjadi Bupati? Sekolahnya sampai sekarang tidak jelas. Dan Pak Morta mengetahui itu. Pembantaian–pembantaian selalu terjadi, layaknya yang dibantai itu bukan manusia. Layaknya seperti membuat roti.
Pak Morta pernah menyaksikan di TV bagaimana Sodis sang Bupati menyayangkan tindakan–tindakan yang tidak berprikemanusiaan. Dan mengingatkan rakyat agar berhati – hati dengan segala tindakan provokasi. Pak Morta bingung. Satu sisi ia sangat bersyukur yang terdalam. Dengan kata lain mereka telah bertobat.
Masalahnya bagaimana kenyataannya? Dan Pak Morta masih ingat ketika itu temannya si Mogit, tertangkap. Ia diketahui sebagai anggota kelompok golongan Merah Kiri. Ia ditanyai tentang keberadaan pemimpinnya. Mogit yang ketika itu berumur 13 tahun, sesuai dengan umurnya yang angka sial Mogit rupanya juga bernasib sial. Setelah lewat penyiksaan – penyiksaan, dia memberitahukan tempat keberadaan pemimpinnya.
Pasukan Aksinger segera bertindak. Bersama Mogit mereka menuju lokasi. Begitu sampai, yang dicari ternyata tidak dijumpai. Mogit lantas disiksa kembali. Kali ini Mogit memberitahukan lokasi lain. Tempat kedua mereka biasa melakukan pertemuan–pertemuan rahasia. Pasukan lalu bergerak, membawa Mogit yang sudah sulit bergerak. Tiba di lokasi, Mogit disiksa kembali, karena yang dicari tidak kembali.
Mogit akhirnya disiksa berkali–kali, setelah ia menunjukkan lokasi yang tidak pasti kepada pasukan Aksinger. Dengan sadis Mogit disiksa, kemudian disiapkan untuk kubang pembantaiannya. Mata Mogit bengkak dan sulit terbuka, kakinya kaku dan sulit bergerak. Mogit dicampakkan ke lobang. Di lobang Mogit masih terlihat bergerak gerak. Pasukan Aksinger mengangkat Mogit kembali, dia ditelanjangi. Pelirnya dihantam dengan palu, seketika darah muncrat di mana–mana. Akhirnya Mogit pun terkapar tanpa nyawa.
Pak Morta mengingat itu semua. Dia kenal dengan peristiwa Mogit. Dan ia masih ingat Sodis melakukan semua waktu itu.
Lampu–lampu tiba–tiba padam. Suasana yang terasa seram sudah tidak terasa apa–apa. Kejadian itu telah biasa. Pembantaian di mana–mana sudah menu utama berbagai sumber berita. Baru pukul 22.00 WIB. Penduduk kini tidur nyenyak. Mereka bermimpi tentang bunga dan matahari pagi. Sudah mengetahui akan apa yang sedang terjadi. Hanya mulut mereka saja yang terkunci. Suasana sunyi, tapi di dalamnya ada api. Menerangi kampung–kampung sunyi. Degup jantung sudah biasa menari lagi.
Kejadian ini mungkin kejadian yang terakhir. Walaupun kejadian ini sudah berlangsung beratus–ratus kali. Dan ini titik akhirnya. Ini adalah perkara keadilan bukan dendam. Ini perkara kebenaran bukan kebohongan–kebohongan. Tidak menyangkut masalah korupsi, kolusi apalagi nepotisme. Bukan lagi percobaan perebutan kekuasaan. Tapi semata–mata menegakkan kebenaran.
Akhirnya, matahari telah bersinar kembali. Kejadian semalam juga bukan lagi kejadian menakutkan. Justru kejadian semalam adalah kejadian yang dinanti – nantikan. Koran dan media massa lainnya telah mengabarkan kejadian dan berita kebenaran walau lebih banyak yang ditambah–tambahkan. Dengan judul di halaman utama, Dead linenya. Tertulis dengan huruf–huruf besar dan kapital. Semua orang, semua senang, termasuk Nema, apalagi Morta yang membaca berita harian di Jakarta. Terpampang di sana gambar –gambar sebelumnya tentang sejarah yang hampir dilupakan dengan tulisan besar–besar :
"BUPATI SODIS MATI MENGENASKAN DENGAN KEPALA BERPISAH DARI BADAN."
CERPEN : TELAGA DI BAWAH BUKIT
CERPEN M. RAUDAH JAMBAK
TELAGA di BAWAH BUKIT
“Tunggu. Raja Lagoi akan datang. Pasti datang!” teriak lelaki itu, setelah seorang pengantar surat datang padanya. Pengantar surat itu hanya tersenyum. Dia mengangguk. Mengangkat ibu jari tinggi-tinggi.
Lelaki itu perlahan membuka surat yang baru saja diberikan. Sambil menghisap gulungan tembakau. Percikan api tertiup angin masuk ke lipatan keriput matanya. Lelaki itu sontak bergetar. Matanya memicing perih berair. Mulutnya menganga nyeri mengepulkan asap putih.
Di atas pom-pong, lelaki itu terkekeh sendiri, “Hm, malam ini.”
Segera ia mengayuh pom-pong, sebuah perahu kecil, yang selalu dipergunakannya untuk mencari gong-gong di tepian laut. Mengayuh secepat mungkin sampai ke gubuk, seperti rumah panggung miliknya. Meneruskan perjalanan berikutnya. Tempat ini telaga baginya. Bukit-bukit menjulang, lahir dari imajinasinya. Mengitari tempat, selain mencari makan, yang juga biasa digunakan untuk berdialog imajiner dengan Raja Ali Haji.
“Ya, malam ini.”
Lelaki itu harus melalui sebuah betung, buluh atau bambu besar, yang ditumbuhi semak belukar yang rimbun.
Sepanjang jalan, lelaki itu membayangkan, malam nanti tak seperti biasanya. Suasana pulau begitu sumringah. Laksana intan tersemai di rambut para mambang jelita. Cahaya berkilau di mana-mana. Berkedip-kedip. Kemeriahan itu ditingkahi lagi dengan alunan musik penuh gairah. Hentakan gubano (gendang), denting rebab, kentongan calempong dan degup gong, begitu harmonis. Bersamaan dengan itu tarian persembahan, tari tepuk tepung tawar, tari olang-olang, dimainkan.
Para penari begitu gemulai. Laksana elang yang terbang ke angkasa raya. Mengingatkan tentang kisah Putri Mambang Linau sejak pertemuan sampai perpisahannya dengan Bujang Enok. Kisahnya diakhiri dengan tarian persembahan untuk Raja Negeri. Gerakannya persis menyerupai burung elang yang sedang melayang (elang babegar).
Putri Mambang Linau melambaikan selendangnya seraya mengepak-ngepakkannya. Perlahan-lahan kakinya diangkat seperti tak berpijak di bumi. Tiba-tiba Mambang Linau meliukkan badannya, dan seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju kayangan. Semua yang hadir terperangah menyaksikan peristiwa tersebut.
Sejak itu, Putri Mambang Linau tidak pernah kembali lagi. Sejak itu pula, Batin Bujang Enok bercerai kasih dengan Putri Mambang Linau. Betapa besar pengorbanan Bujang Enok. Ia rela bercerai dengan istrinya demi menjunjung tinggi titah sang Raja. Menyadari hal itu, sang Raja pun menganugerahi Bujang Enok sebuah kehormatan yaitu dilantik menjadi Penghulu yang berkuasa di istana. Dari peristiwa ini pula lahir sebuah pantun yang berbunyi:
Ambillah seulas si buah limau
Coba cicipi di ujung-ujung sekali
Sudahlah pergi si Mambang Linau
Hamba sendiri menjunjung duli
***
Pesta itu, tentu begitu meriahnya. Orang-orang tak sedikit yang ambil bagian. Anak-anak berkesempatan bermain gasing sejak pagi hingga petang. Tak perlu risau dengan istilah, kalau anak sudah kena hantu gasing, ia tidak dapat bekerja apa pun. Kesempatan bermain gasing dibebaskan, asal tidak lupa dengan kewajiban pada Sang Khaliq. Permainan itu selalu ditandai dengan nyanyian :
Sing… Tali gasing
alit gasing dan buah keras
sampai hati ibu!
ditanaknya saya gasing
digulainya tali gasing
menjadi punai-punai jugalah saya hendaknya
makan buah kayu ara.
Lalu dibalas :
anak dididik pada yang baik
diajar pada yang benar
dibela pada yang mulia
dituntun pada yang santun
ditunjuk pada yang elok
dipelihara pada yang sempurna
dijaga pada yang berguna
anak dididik dengan kasih,
kasih jangan berlebih-lebihan
kasih berlebih membutakan
anak dididik dengan keras,
tetapi jangan terlalu keras
terlalu keras membawa naas
Orang-orang tua tentu tak mau kalah membuat acara yang berbeda di balai adat, lebih serius. Sambil menikmati berbagai hidangan, mulai asam pedas ikan sembilang dengan kuahnya yang agak kental, dengan warna merah cabai yang cukup pekat, dan bumbunya yang masih tampak kasar terkesan lebih garang. Sampai gonggong, atau otak-otak. Pulau kecil yang panjangnya dua kilometer dan lebar sekitar satu kilometer itu, menjadi seolah intan yang muncul tiba-tiba dari dasar telaga. Indah.
Lelaki itu masih membayangkan, semuanya bergembira. Musikpun tak henti dimainkan. Mulai dari musik Melayu bersama dentam rebana, dalam bentuk langgam atau senandung, sampai musik nobat yang bisa digunakan pada acara ritual kerajaan. Mengiringi tari-tarian. Mulai dari tari zapin, sampai tari Engku Puteri. Termasuk juga dimeriahkan dengan teater wayang bangsawan.
Sungguh surga yang tercipta begitu saja. Tak seorangpun yang bersedih.
***
Sesampai di gubuk, lelaki itu segera mempersiapkan diri. Di depan cermin, lelaki itu berlatih syair sedikit. Tangan kanannya sesekali membuka lembaran gurindam dua belas gubahan Raja Ali Haji, seorang tokoh budaya yang terkemuka. Seorang pujangga, seorang ahli siasat dan politikus, seorang ulama dan seorang ahli bahasa.
Lelaki itu sesekali mengutip petikan gurindam dua belas, untuk melengkapi pantun dan syair yang nanti akan dia peragakan.
Bukan titik yang membuat tinta
Tapi tinta yang membuat titik
Bukan cantik yang membuat cinta
Tapi cinta yang membuat cantik
Kalau kehendak tidak dipilih
Sudah berkobar mendatangkan pedih
Kalau anak tidak dilatih
Sudah besar orangtuanya letih
“Hm, ...!”
Seolah tak puas, lelaki mengulangi terus menerus. Termasuk menggubah sebuah syair tentang Hang Nadim,
Bismillah itu permulaan kalam
Dengan nama Allah kholiqul Alam
Dipermulaan kitab diperbuat nazam
Supaya diingat sejarah yang tersulam
Menantu Hang Tuah, Hang Nadim Laksemana
Khodam setia Paduka Sultan Mahmud Syah dan putranya
Mendapat tugas menjaga tanah-air Melayu Raya
Setelah laksemana Khoja Hassan dan Marhum Bukit Pantar Perkasa
Portugis dibabat, di laut dan di darat
Pedang Jenawi berkelebat secepat kilat
Portugis terbirit-birit mengupat-upat
Sebab si tangan kiri tinju sakti menghembat
Langkah kaki jurus silat timur jauh
Tendangan mendadak bikin rubuh musuh
Takkan hati begitu saja jatuh
Kehendak Allah takkan mudah merapuh
Sahabat dihormati, seteru pantang dicari
Tapi jika ada yang hendak menjual, ia pasti membeli
Di Segantang lada tempat mengkaji strategi
Setelah itu melakukan penyergapan berkali-kali
Hang Nadim melesatkan tiga puluh dua nyawa
Melayang-layang terbang ke angkasa raya
Bukan melawan kehendak Yang Kuasa
Tapi, berkat izin dan Ridho dari-Nya
Hang Nadim-lah itu Gelar Lang lang Laut
Suaranya menggema menghantam gelombang laut
Bersama Seri Paduka dan Putra yang diturut
Memimpin 300 perahu dan kapal penebar maut
Semangat juang Hang Nadim patut dikenang
Setia tidak hanya dimulut tapi berjuang
Membangun bangsa yang bercabang-cabang
Akibat keserakahan kekuasan yang terus berkembang
Tak Melayu hilang di bumi
Mengucap Allhamdulillah kami akhiri
Segala khilaf dan salah adalah kelemahan diri
Mohon maaf dengan satu kepala dan sepuluh jari
***
Lelaki itu betul-betul mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk semambu, tongkat rotan, sebagai salah satu properti pertunjukannya nanti. Sebelum Magrib, lelaki itu telah sampai. Selesai menunaikan salat magrib berjamaah, lelaki itu menuju alon-alon, sebuah lapangan, tempat pelaksanaan pesta rakyat.
Seperti bayangannya, Orang-orang telah berkumpul menyambut malam. Hiruk pikuk kian mengetuk, seolah riuh pesta perkawinan saja. Ada debar terdengar. Balai adat semakin sesak. Alon-alon terasa menyemak. Gong mulai dipalu, gubano membahana. Dan beberapa alat musik dengan bentuk, serta ukuran berbeda-beda. Rata-rata terbuat dari kayu dan kulit lembu. Dimainkan tujuh orang pemusik. Variasi pukulan dipadu sedemikian rupa, sehingga menghasilkan gelombang irama yang khas. Seperti suara alam. Tampak penabuh gubano paling ujung menari-nari. Sesekali matanya terpejam, larut dalam irama. Bagai digerakkan kekuatan misitis, ia melompat-lompat. Terkadang menunggangi gendang sambil memukul. Seperti kesurupan. Meski atraktif begitu, pukulannya tak pernah sumbang. Begitu juga pemain calempong.
Di balai adat para petinggi kampung telah hadir. Juga Batin, kepala kampung, Julela. Ada diantara mereka. Duduk di atas tikar pandan berlapis dua , kedua ujungnya disatukan dengan menjahitkan kain warna kuning pada keempat sisinya.
“Kita buat upah-upah!” perintah Batin Julela. Seseorang datang meninting nyiur. Kepala kambing diletakkan di atasnya, beralas daun pisang. Di sampingnya, seseorang lagi meninting piring besar, berisi bahan upah-upah lainnya: nasi putih, tiga buah telur ayam, garam, ikan lebam, udang, dan daun ubi. Juga ditutup dengan daun pisang. Paling atas ditutup dengan kain adat.
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Segera ia melangkahkan kaki. Hatinya berkecamuk. Dengan gontai, ia melangkah. Perlahan. Tiba-tiba, ia merasakan kesunyian mendekapnya.
”Syirik!” sebuah teriakan terdengar menggelagar.
Suara musik terhenti. Hiruk pikuk pesta senyap. Orang-orang membalik arah. Semua mata tertuju ke arah panggung. Beberapa diantara mereka berbisik.
Lelaki itu terus berteriak. Semambu ditangan diacungkan ke udara. Syair dan pantun yang ia latih seolah tak lagi bertempat. Hanya sumpah serapah yang terdengar, terlontar keluar.
”Syirik!” Lelaki itu kembali meraung-raung. Tak ada yang berani mendekat, mencegah. Aksinya kali ini lebih berani. Dari sakunya, ia keluarkan sebilah pisau. Lalu, menerjang kesana-kemari. Tak henti berteriak. Liarnya terhenti seketika, tatkala sebuah tangan mencengkram pergelangan tangannya kuat-kuat.
”Hentikan! Hentikan, Lagoi, ” sesosok lelaki tegap menatapnya tajam,”kau telah merusak kebahagiaan semua orang!”
Batin Julela, lelaki tegap itu, terus menatap garang. Lelaki itu tersenyum. Ia kemudian terkekeh, sambil menghentakan cengkraman tangan Batin Julela.
”Kebahagiaan ?! Kebahagiaan siapa, ha?!”
”Kebahagiaan semua orang!”
”Orang yang mana?!”
Batin Julela menarik napas,”sudahlah.”
”Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan.”
”Apanya yang tidak bisa dibiarkan?”
”Syirik!”
”Apanya yang syirik?”
”Yang kalian buat ini, syirik!”
”Darimana letak syiriknya? Ini budaya. Beginilah cara kita memancing para peminat yang mau berkunjung ke pulau kita yang terpencil ini.”
“Tak ada budaya kita seperti ini! Ini mengada-ada.”
Sehabis mengucapkan itu, lelaki itu melangkah. Sepanjang jalan, ia terus berteriak. Merusak apa-apa yang terdekat. Dari kejauhan Batin Julela menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian menoleh sebentar ke sudut panggung. Mengerdipkan mata kepada sekelompok lelaki berpakaian pendekar.
***
Lelaki itu meraih pompong, ia tersengal-sengal. Tangannya menutupi perutnya yang koyak. Mengayuh pompong sepanjang aliran air. Matanya masih menatap sekitar permukaan air yang sepi. Sebagai keturunan langsung orang suku laut, lelaki itu harus bertahan.
Hamparan air inilah negeri kami. Berdinding bukit-bukit. Tempat kami dilahirkan. Hitungan ratusan tahun kami mendiami tempat ini. Menghirup segala. Hidupkan segala. Menyatu dengan segala. Bermain dengan angin, dengan kecipak air, dengan bentangan permukaan laut yang beriak. Anak-anak, kaum perempuan, dan para lelaki telah terbiasa melukis garam. Berpeluk kesiur udara. Sebab kami adalah orang-orang laut.
Berenang dan berkayuh bagi kami seringan hembusan angin menembus dasar laut dan riak-ombak di tepi pantai. Segala telah tersedia dalam rentang waktu yang tak dapat dihitung dengan rumusan angka-angka. Segala telah terjaga dengan aturan adat yang paling beradab. Amboi, masa-masa gemilang itu perlahan di gebuk gelombang. Menusukkan amuk, remuk.
Lelaki itu mengendap-endap dalam rimbunan betung. Setelah posisinya agak jauh, ia merayap dalam di antara semak belukar yang rimbun. Ia bersembunyi di bawah sebuah betung yang paling rimbun semak belukarnya. Nafasnya terengah-engah. Ia melihat sekelilingnya untuk memastikan keadaan. Ia sudah tak sanggup bergerak lebih leluasa. Ia memutuskan untuk bersembunyi disitu dulu.
Sementara itu malam semakin pekat. Kelompok orang berpakaian pendekar itu mengerahkan bantuan untuk mencari Raja Lagoi, lelaki itu. Mereka menyusuri seluruh pantai, juga sepanjang aliran sungai. Menyisir setiap bukit dan lembah. Hari tenggelam di jubah kelam dan mereka harus bisa menyelesaikan Raja Lagoi. Degup-degap orang yang datang semakin dekat. Lelaki itu segera menghindar. Mereka melihat Raja Lagoi yang bergerak cepat, lalu segera mengejar. Lelaki itu segera menuju pompong. Mereka terus mengejar Raja Lagoi. Mengepungnya. Lelaki itu terkepung. Dia mencoba membebaskan diri, pukulan hantaman, dan tikaman berkali-kali tak dirasakan lagi. Dia terus saja mengayuh tanpa henti. Laut seolah mendekapnya. Tangannya membekap perutnya yang sudah tak berasa.
***
Di dalam pompong yang terapung ada syair yang belum ditunaikan, orang-orang menangis terisak-isak. Mereka mendapatkan tubuh seorang lelaki telentang berendam sewarna darah. Menyembul. Matanya menatap tajam ke arah langit.
Namun, entah siapa yang silap merangkai do’a. Bala bencana itu datang mengacungkan senjata. Satu persatu orang-orang tenggelam dalam kawasan banjir air mata. Terjerambab pada wajah murka penuh sengsara. Teringat petuah para Raja-raja. Tentang tumbuhnya pohon derita berbuah gundah gulana di masa yang tak sempat tercatat tanggalnya. Petuah tentang sebuah kesetiaan pada keteguhan adat. “Bacalah derap riak yang merayap di tepi pantai . Dengarlah lantunan angin yang mengalun di sela-sela perahu. Simaklah air yang mengalir yang menyibak cengkraman ombak. Atau dengung bebatuan pada geliat tanah di wajah bumi. Serta gema do’a sungai pada segala. Jika tidak, terang akan terasa mengahanguskan. Melumat segala peradaban yang telah lama terpelihara dari abad-abad yang telah ter-pahat,” demikian siraman penyejuk jiwa dari pemuka adat di akhir kisah dalam sulaman kelam.
Dan apakah memang suratan badan atau memang kami yang berkhianat dari aturan garis adat yang telah ditancapkan. Orang-orang datang mengusung Tuhan pembaharuan. Melelang sejarah peradaban yang memabukkan. Kami terjebak dalam kotak-kotak tak berjejak. Terjerambab dalam lobang-lobang derita.
“Tanamlah jiwa-jiwa kalian pada setiap riak air lautan. Tanam pula jiwa-jiwa anak cucu dan seluruh garis keturunan kalian pada tanah dan air tempat berpijak. Pada kenyamanan udara, serta pasir dan bebatuan. Maka yakinlah hidup kalian akan selalu diselimuti ketentraman dan kedamaian. Jika tidak bersiap-siaplah kalian menghuni makam tak bertuan. Kalianlah yang paling mengerti dengan laut ini, paham dengan pulau ini, maka pertahankan sampai titik darah penghabisan…”
Dan malam ini Raja Lagoi bertekad bercerai dalam ketiadaan. Menjadi sebatang lara pada sejarah yang terus menerus dijarah. Raja Lagoi jatuh terjerembab. Tangannya terus menutupi perutnya yang koyak, terasa lelahnya selama berada di atas pompong, perahu kecil, berdinding kulit kayu. Dan beratap langit. Matanya terasa semakin samar menatap sekitar permukaan yang berubah telaga yang dikelilingi bukit-bukit, menatap senyum Raja Ali Haji yang melantunkan ayunan gurindam, perlahan menina-bobokkannya.
“Tunggu. Raja Lagoi akan datang. Pasti datang!”
Komunitas Home Poetry, Tanjung Pinang-Medan, 11-10
Cerpen M. Raudah jambak
CERITA DARI KAMPUNG PETALANGAN
Hujan masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Lelaki itu melangkah berkendara engah. Lelaki itu berjalan mengikis pongah. Hujan seperti bersimpati padanya. Tak henti membasuh luka sekujur tubuh yang mulai ringkih itu. Lelaki itu sesekali menggigit bibirnya. Bukan. Bukan karena perih tubuhnya. Bukan lantaran guyur hujan dan deru angin. Tetapi, ada yang lebih pedih dari itu, hatinya.
Hatinya gulana. Semacam beliung yang tak henti-henti menderes batang nadi. Mengoyak bilah-bilah dada. Lelaki itu hanya tak menyangka. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala makna. Sehingga ia tak lagi sanggup mengunyah defenisi-defenisi setia. Tak sanggup meneguk tuak-tuak nisbi, Mardiah, istrinya.
Pagi-pagi sekali, setelah menyusun botol jamu, Mardiah menitip pamit padanya. Setelah melabuhkan bakul berisi otak-otak di punggungnya, Mardiah segera menapak langkah. Lelaki itu pelan-pelan mengutip kembali jejak yang ditinggalkan.
Biasanya Mardiah selalu mengusung pulang sebelum magrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, meski otak-otak hanya sedikit yang berkurang.
“Hati-hati di jalan, ya...”
“Ya, Abangda...”
Selalu saja seperti pengantin baru. Kecupan sayang tak pernah dilupakan. Meski usia perkawinan beranjak dewasa, dan momongan tak pernah singgah digendongan, tak pernah ada kata luka dalam diksi puisi cinta mereka.
Kalau dihitung mungkin hanya sekali pertanyaan mengejutkan terlontar. Pertanyaan itu langsung terasa begitu mengganggu. Mencemari kisah hari-hari mereka.
“ Tadi siang aku melihatmu di pelabuhan...”
“Ya, tadi aku sempat singgah...”
“Siapa bujang yang kerap memelukmu dari belakang itu?”
“Hanya pelanggan.”
“Pelanggan?”
“Ya, pelanggan.”
“Hanya demi sebungkus otak-otak kau biarkan jantan itu berbuat sesukanya?”
“Itu diluar kendaliku...”
“Kebetulan hanya satu itu yang sempat terlihat...”
“Maksudmu?”
“Mungkin yang tidak terlihat lebih dari itu...”
“Ooo, berarti kau sudah berpikiran, bahwa aku perempuan murahan begitu!?”
“Aku tidak berpikiran seperti itu.”
“Tetapi kata-katamu menuduhku seolah-olah aku bukan perempuan baik-baik,” Tumini menarik napas, “Abangda, dengar. Seburuk apapun aku dipikiranmu, aku tidak akan menodai mahligai perkawinan kita.”
“Aku percaya.”
“Kalau kau percaya mengapa kau menuduhku seburuk itu.”
“Aku hanya cemas.”
“Percayalah, Abangda. Kalau kau percaya itu lebih cukup bagiku untuk tetap setia.”
“Aku percaya.”
“Ya, aku juga percaya padamu. Aku percaya kau tidak akan pernah berkhianat padaku...”
Setelah pembicaraan itu memang tak ada lagi kata-kata. Kata-kata sepertinya hanya pengantar ke puncak gairah. Kata-kata berganti irama desah. Berganti lumatan, pagutan, dan rangsang gelinjang. Hujan pun seperti telah ditakdirkan mengambil perannya sendiri. Menghadirkan orkestra romantik yang begitu puitik.
***
Sebagai seorang pengangguran, lelaki itu selalu menimbun malu. Harga dirinya sebagai seorang lelaki sering terusik. Ia ingin mendapatkan pekerjaan tetap, tetapi hanya pekerjaan semrawutan yang bisa ia dapat.
Ada rasa sedih, marah, kecewa, bercampuraduk dalam benaknya. Ingin rasanya ia menjadi suami seutuhnya. Kepala keluarga yang sebenarnya. Suami yang mencari nafkah, istri yang menjadi ratu di rumah. Tetapi, hal itu belum mampu diwujudkannya. Istrinya yang mencari nafkah, ia sebagai suami hanya melukis sesal di rumah.
“Kita belum punya anak...” Lelaki itu mulai mengeja cerita, suatu kali di balai-balai.
“Abangda, jangan mulai lagi...” Mardiah menyeka air mata.
“Maksudku, sebagai seorang lelaki, aku ingin kau menjadi istri seutuhnya,” lelaki itu menyalakan sebatang rokok di tangannya,”aku hanya tidak sampai hati melihatmu yang harus luntang-lantung mencari nafkah. Sementara aku hanya penjaga rumah yang tidak memiliki daya.”
“Abangda, aku ikhlas menjalani ini semua. Aku hanya ingin membantumu..”
“Dan aku tidak sampai hati melihat semua itu...”
“Abangda, dengarkan aku. Tidak ada setitikpun dalam pikiranku merendahkanmu. Kau adalah pahlawanku. Sebagai seorang pahlawan aku ingin berbuat sesuatu untukmu. Dan aku hanya bisa melakukan itu. Aku hanya bisa sebagai penjual otak-otak. Aku tidak bisa lebih dari itu. Percayalah.”
Kembali lelaki itu tersengat tak berdaya. Di matanya Mardiah adalah sosok perempuan yang betul-betul sempurna. Selalu saja siraman-siraman sejuk yang terlontar dari bibir mungil Mardiah. Keyakinannya semakin cadas. Rasa percayanya kepada Mardiah sepadat logam. Lelaki itu semakin pasti. Pasti akan kesetiaan Mardiah.
***
Pagi-pagi sekali lelaki itu pergi, setelah merapikan bungkus otak-otak Mardiah. Mardiah berselubung sakit. Menitip maaf padanya. Setelah melabuhkan kecup di dahi Mardiah, lelaki itu segera menapak langkah. Lelaki itu diam-diam merangkai kejutan, mencatat pada jejak yang ditinggalkan.
Kali ini lelaki itu seolah mendapatkan kesempatan mengusung pulang sebelum magrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, menabalkan niat kejutan cinta yang lama terpendam walau hanya sekadar setangkai kembang.
“Hati-hati di rumah, ya...”
“Ya, Abangda...”
Selalu saja seperti pengantin baru. Kecupan sayang tak pernah dilupakan. Meski usia perkawinan beranjak dewasa, dan momongan tak pernah singgah digendongan. Dan kesempatan ini tidak akan begitu saja dilupakan sebagai pengerat diksi puisi cinta mereka.
Sampai beranjak malam setangkai melati baru didapatkan. Tapi hujan yang mencurah tak kunjung henti. Lelaki itu sempat menunggu beberapa saat, angin yang mendesau seolah tak memberi ruang untuk sekadar lewat. Hujan masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Lelaki itu membulatkan tekad menapakkan langkah. Lelaki itu menelusuri ruang-ruang basah. Lelaki itu sesekali menggigit bibirnya. Bersebab guyur hujan dan deru angin, demi mengabulkan ingin. Seputih hatinya.
Hatinya membunga. Semacam taman yang tak henti-hentinya menebarkan semerbak aroma surga. Menyusup pada bilah-bilah dada. Sesampainya di rumah, lelaki itu menggelupurkan sesak dada. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala bahagia. Sehingga ia tak paham lagi mengunyah defenisi-defenisi setia.
Entah apa yang merasuk di kepalanya. Ada amuk yang mengelora. Ranjangnya membanjir gairah. Ranjangnya ditenggelamkan irama desah. Bukan gairah miliknya. Bukan irama desah miliknya. Setangkai melati di tanganya ikut merasakan deru amarah. Seketika tenggelam bermandikan darah.
Belati di tanganya memerah. Melukis Kampung Petalangan sewarna darah.
Komunitas Home Poetry, Tanjung Pinang-Medan, 11-10
CERPEN M. RAUDAH JAMBAK
BUDAK PENGHAYAL KELAS TINGGI
”Hei, tak jadinya kau melaut?”
”Sebentar, Mak. Awak nak menjadi Sultan sebentar.”
”Hei, tau dirilah kau sikit. Nak jadi Sultan? Cari duit yang banyak. Baru kau bisa nak jadi Sultan.” Emak menarik napas,”sudahlah. Kau jangan hayalkan macam-macam. Emak ni janda. Anak cuma kau seorang. Kaulah tulang punggung Mak saat ni...”
”Iyalah, Mak. Doakanlah aku nak cepat jadi Sultan!”
”Sudahlah. Payah becakap sama kau. Mak mau masak. Awas. Kalau Mak tengok kau tak melaut. Azab kau mak buat nanti...”
”Iyalah, Mak...”
***
Langit mulai tampak kemerahan. Ini pertanda matahari mulai menggeliat membebaskan cahayanya. Embun pagi yang bening tampak menyatu pada atap limasan dan dinding istana yang diukir dengan relief yang indah. Tiang tangga yang tujuh tingkat juga tampak lebih memesona karena pahatan berbentuk ular seakan menyelusup dari dedaunan segar yang berada di samping kanan dan kiri tangga untuk mengintai tamu yang datang. Di bagian belakang istana terlihat kediaman erajaan yang dibangun dengan sangat sederhana tanpa ukiran dan hanya bertangga bulu (tangga bambu) yang rendah dinaungi pepohonan besar nan asri yang turut menambah indahnya panorama di pagi hari.
Burung-burung ke luar dari sarangnya dan terbang kian indah mengitari perbukitan dan sungai. Orang-orang kampung pun mulai berangkat melaksanakan aktivitasnya sehari-hari. Ada yang menangkap ikan, mencari sayur-mayur dan buah-buahan dari ladang, bersawah, berternak dan berburu binatang telah menjadi sumber pencarian nafkah mereka demi kelangsungan hidup segenap anggota keluarga. Setelah berkerja, mereka menikmati pasir di tepi sungai yang sangat lembut dan terasa sejuk di kaki sebagai pelepas lelah. Dari sungai mereka kembali ke rumah masing-masing untuk menyambut senja bersama keluarga.
Itulah keseharian di sebuah kampung yang dirajai oleh Raja Yang Dipertuan Agung. Semua rakyat kerajaan sangat patuh pada titah raja. Tanda kepatuhan mereka terlihat dari betapa bersahajanya mereka memberikan hasil panen kepada raja untuk dinikmatinya terlebih dahulu. Konon, apabila norma tersebut tidak dilaksanakan, maka mereka tidak akan mendapat keberkahan dan hasil panennya lagi selama tujuh tahun. Begitu juga dengan hasil tangkapan binatang liar seperti rusa dan kijang. Sepulang dari berburu rakyatnya akan memberikan bagian paha sebelah kanan sebagai tanda hormat kepada raja.
Raja juga terkenal sangat adil, sehingga tidak terdapat seorang pun dari rakyatnya yang serakah akan mendapat celaka. Apabila ada yang berani mencoba menggeser perbatasan, maka pada malam harinya berkeliling kampunglah kesedihan untuk mendapatkan perhatian orang kampung agar segera ke sawah menuju kelimpahan. Di sana orang-orang kampung akan melihat kesedihan berjalan mondar-mandir sambil mengembek senyaring-nyaringnya di atas batas tanah yang sudah digeser. Dari situlah dapat diketahui pemilik tanah yang berniat curang. Keesokan paginya, kecurangan tersebut dilaporkan kepada raja. Orang yang serakah itu pun dikenai denda dengan memberikan hasil panen padinya sebanyak sepuluh kaleng kepada pemilik tanah yang telah dirugikan.
Pernah juga ada pengawal raja yang membawa lari seorang gadis dari kampung seberang. Awal ceritanya, ketika pengawal istana diutus raja untuk mengantarkan surat ke kerajaan seberang, ia melihat seorang gadis yang hanya berkain sarung menutupi bagian dada hingga lututnya, tengah menelusuri jalan kecil di bawah rindangnya pepohonan menuju sungai dengan berjalan seorang diri. Pengawal istana pun tidak bisa menahan nafsunya. Untuk menutupi perbuatan buruknya, pengawal istana membawa gadis tersebut ke rumahnya. Ternyata perbuatan tersebut tidak terlepas dari pengawasan pemuka istana. Demi kelestarian adat, Batin selalu berkeliaran di hutan untuk menjaga keharmonisan dan ketentraman kampung.
“Dengarlah wahai rakyatku! Siapa pun diantara kalian yang telah berani berbuat nista di kampung ini, segeralah bertaubat dan mengakui kesalahan. Aku takut memutuskan sendiri yang akan memaksa kalian mengakui perbuatan tersebut lalu mencabik-cabik tubuh pelakunya.” Titah raja membuat hati dan pikiran rakyatnya semakin bergejolak dengan segudang pertanyaan mengenai siapa gerangan pembuat nista. Ketika itu putusan mengaum bagai kesurupan mengelilingi orang-orang yang berkumpul.
“Saya khilaf. Sa...sa…saya telah memperkosa seorang gadis penduduk kampung seberang. Biarlah saya yang menanggung semua hukuman yang akan raja berikan.” Ujar pengawal istana. Peluh dingin mengalir deras di dahinya. Semua orang yang mendengarnya pun langsung berang ingin mengubur hidup-hidup pengawal tersebut.
“Siapa nama gadis itu? Sungguh beraninya kau mencoreng nama baik kampung. untuk itu, Setelah kalian dinikahkan, kalian harus segera angkat kaki dari kampung ini dan jangan pernah kembali.” Titah raja tegas menahan murkanya.
“Saya bersedia menerima hukuman dari Raja Yang Dipertuan Agung.” Ucapan pasrah seorang gadis yang tiba-tiba muncul dari kerumunan orang menuju tengah halaman lalu bersimpuh kepada raja. Sebagai hukuman, mereka dinikahkan secara adat tanpa perayaan lalu diberangkatkan ke kampung seberang dengan berbekal seadanya.
Di dalam kepemimpinannya, Raja Yang Dipertuan Agung didampingi oleh beberapa Megat dan Daeng. Mereka adalah orang-orang kepercayaan raja. Di suatu malam, raja mengumpulkan mereka untuk menyampaikan hajatannya.
“Telah terbesit dipikiranku untuk melakukan sesembahan kepada laut dengan hajatan menjadikan kerajaan tampak berwibawa dan disegani oleh kerajaan lainnya. Bagaimana pendapat kalian?” Titah raja kepada para hulubalang dan datunya ketika bermusyawarah di ruang tengah istana dengan beralaskan tikar.
“Hamba bersedia memimpin upacara untuk mengundang Mambang Perkasa Alam. Hajatan raja perlu dilaksanakan demi kelangsungan nama baik kerajaan.” Ujar daeng membenarkan titah raja.
Upacara adat pun dipimpin oleh daeng. Mula-mula datu menyediakan bambu panjang yang bagian atasnya dibelah menjadi beberapa bagian agar ruasnya bisa direnggangkan untuk menjadi tempat melekatnya tempurung kelapa. Dibakarlah kemenyan di atasnya sampai kepulan asap ke luar. Raja pun menghajatkan niatnya untuk mengundang Mambang Perkasa Alam.
Sebagai pertanda hadirnya Mambang Perkasa Alam dapat dibuktikan dengan adanya warga yang kemasukan roh Mambang Perkasa Alam. Biasanya sesembahan adalah seorang perempuan. Mereka menganggap perempuan lebih lembut, penyabar dan memiliki rasa hormat yang tinggi apabila berbicara kepada raja. Adakalanya raja tidak suka mendengar kabar buruk yang disampaikan Mambang Perkasa Alam , maka perempuan lebih mampu menahan amarah untuk tidak berbalik membalas murka raja.
“Wahai sahabat setiaku Si Mapoi dan Kelong. Aku mengundang kalian untuk menyampaikan hajatanku. Aku ingin nama baik kerajaan terus harum dan tampak berwibawa sehingga disegani oleh kerajaan lainnya.” Titah raja kepada Mambang Perkasa Alam sahabatnya.
“Ampun Raja Yang Dipertuan Agung. Raja harus menyanggupi persyaratan yang hamba ajukan. Selama lima tahun, Tuhan tidak akan mengaruniai seorang pencerah di kampung ini.” Kata Mambang Perkasa Alam melalui tembus pandang dari cermin kerajaan.
Raja terlihat termenung. Kerutan keningnya begitu dalam sedalam pemikirannya yang penuh kehati-hatian. Semua yang hadir terdiam resah menantikan jawaban raja. Demi nama baik kerajaan, raja pun menyanggupi persyaratan yang diajukan Mambang Perkasa Alam.
Di masa penantian lima tahun, demi menyambut kelahiran seorang pencerah, raja memerintahkan hulubalang untuk segera mendata semua perempuan yang tengah hamil lalu menyarankan rakyatnya untuk menyempatkan diri berkumpul di rumah perempuan yang akan melahirkan tersebut.
Rakyatnya pun berkumpul dengan sejuta harapan demi mendengarkan tangis si pencerah. Sambil berkumpul mereka mengingat-ingat dan mengumpulkan data-data pengidaman perempuan yang tengah melahirkan. Sebagai hiburan dikala menunggu, data-data tersebut pun mereka jadikan permainan tebak-tebakan demi mendapatkan seekor ayam jantan.
“Ketika perempuan Putri sedang mengidam, dia sangat suka berdandan. Maunya berpenampilan cantik di depan orang-orang sambil tersenyum mengelus-elus perut buncitnya. Aku yakin ini pertanda akan lahir si pencerah. Kenang Daeng Mantang sambil memeragakan hasil pengamatannya sehingga membuat pendengarnya terpingkal-pingkal.
“Aku berani bertaruh, kalau yang lahir pasti si kelam. Masih ingat kisah perempuan Betung yang sangat suka bertaman. Selama kehamilannya, bunga-bunga yang ditanamnya bermekaran dan di kelilingi kupu-kupu yang indah. Hasilnya apa? Yang lahir si kelam. Pilihanku tetap si kelam. Kalau perempuan yang hamil tidak suka berdandan, barulah yang lahir si pencerah. Sanggah Daeng Julela tidak mau kalah. Mendengar kedua pendapat, mereka pun mulai pertaruhkan ayam-ayam mereka.
Tidak lama kemudian, terdengarlah suara tangisan bayi. Setelah dimandikan, secara bergantian orang-orang datang menjenguk sambil membuktikan sendiri bayi yang telah dilahirkan. Untuk yang kesekian kalinya mereka merasa kecewa karena yang lahir si kelam.
Entah sudah beberapa kali raja membuat sesembahan di istananya. Ia juga telah menikahi seorang puteri raja dari kerajaan lain, tetapi si pencerah yang dinantikan belum juga hadir diantara mereka yang berkasih sayang.
Tinggallah penantian terakhir dari Putri Mawar Indah. Tiga hari sudah rakyatnya berkumpul di lapangan istana. Mungkin Mambang Perkasa Alam pun sudah mulai jenuh mendengarkan keluhan raja yang tidak sabar ingin menimang si pencerah. Sungguh disayangkan, buah hatinya masih betah berada di dalam perut ibunya.
“Dengarkanlah aku! Pencerah Raja Yang Dipertuan Agung telah lahir. Tuhan telah mengabulkan doa kita. Besok kita akan berpesta merayakan kebahagiaan ini.” Teriakan pengawal istana yang riang gembira mengabarkan lahirnya seorang pencerah setelah seminggu lamanya setia menemani Putri Mawar Indah yang terus dihantui rasa kegelisahan karena takut mengecewakan raja dan rakyatnya.
“Syukur atas rahmat Tuhan.” Sorak-sorai orang kampung yang bersuka cita mendengarkan kabar dari Pengawal kerajaan.
Kicau burung dan kokok ayam yang bersahut-sahutan menambah semarak suasana pagi. Semua orang kampung beserta pengawal kerajaan mulai mengadakan syukuran atas berkah yang telah diberikan Tuhan. Acara pertama adalah upah-upah. Upah-upah dilakukan untuk membangkitkan semangat ibu dan bayi yang baru dilahirkan. Penabalan nama bayi pun dilakukan. Putri Pandan Wangi adalah nama yang diberikan Putri Mawar Indah kepada bayinya yang sangat cantik. Setelah itu, dilakukanlah upacara adat timbang berat. Upacara dilakukan untuk membuang naas yang ada di dalam diri anak. Anak tersebut ditimbang dengan beberapa bahan makanan seperti beras, tepung, dan kelapa yang jumlahnya sama berat dengan tubuhnya. Sore harinya, sesembahan seekor kambing dilepaskan setelah diritual ke hutan untuk diserahkan kepada Mambang Perkasa Alam sebagai tumbal. Hal ini juga merupakan tanda persahabatan antara raja dan rakyatnya kepada Mambang Perkasa Alam. Para tamu raja berkumpul kembali untuk menikmati hidangan yang telah disusun rapi di atas talam yang berada tepat di hadapannya. Mereka pun berpesta sampai pagi guna melepas kegembiraan setelah lima tahun menanti resah lahirnya si pencerah.
Sebagai rasa syukur, setiap tahunnya raja selalu mengadakan pesta besar selama tujuh hari atau minimal tiga hari. Untuk menyiapkan pesta yang besar maka raja dan rakyatnya bahu membahu mencari binatang buruan, kayu bakar maupun buah-buahan. Tidak heran apabila sebagian rakyatnya menghadiahkan hasil laut yang dikumpulkannya.
Penyembelihan seeokor kerbau pun merupakan tanda bahwa akan diadakannya pesta besar. Dalam hitungan jam, seekor kerbau tergeletak di atas rumput yang kini dihiasi cairan berwarna merah, kakinya bergerak menendang tetapi tidak leluasa karena tali pengikat begitu kencang melilit lehernya. Pergerakan kerbau pun mulai melemah diiringi dengusan yang panjang. Penonton bertepuk tangan sambil tertawa riang lalu berpencar untuk melakukan pekerjaannya masing-masing. Sebagian orang bertugas memotong kerbau, menguliti, memisahkan tulang dengan dagingnya lalu yang lainnya mencincang dan mencuci daging. Setelah itu, barulah mereka memasak kerbau dengan berbagai jenis masakan.
Pada pesta tersebut bersabdalah raja kepada rakyatnya.
“Wahai rakyatku. Janganlah pernah melupakan tanah kelahiran kita. Karena dengan masih bersamanya saudara sepiring semakanan maka akan menimbulkan tuah dan wibawa juga kebahagiaan dan kesenangan. Dan agar tuah dari nenek moyang mau hinggap, maka seharusnya rakyat tetap semufakat dan sependapat seiring sejalan. Seperti kata orang-orang terdahulu, kalau datang kemarau maka tumbuhlah pakis di tanah napah (tanah rendahan). Kalau adanya kesepakatan dan seiasekata maka jadilah doa untuk mendapatkan tuah. Kalaulah doa menimbulkan tuah maka datanglah kebahagiaan. Marilah bersama-sama kita mengikuti langkah-langkah leluhur yang pandai berpikir seperti gendang mengingat masa yang lalu.” Sapata raja yang bijaksana membuat rakyatnya bermenung lalu meresapi makna dari titah raja tersebut.
Di pestanya raja juga mengundang kedua sahabatnya, Si Mapoi dan Kelong. Raja mengundang kedua Mambang Perkasa Alam untuk menyampaikan bala atau kejadian yang akan menimpa kampung dimasa yang akan datang, baik yang bersifat keuntungan maupun kerugian sekaligus penangkal balanya.
Tahun demi tahun, Putri Pandan Wangi kian beranjak dewasa, dan semakin cantik jelita parasnya. Banyak yang terkagum, terkesima, terpesona bahkan tergoda untuk mendekatinya. Apabila Putri Pandan Wangi menerima surat dari pengagumnya, maka secara spontan ia perlihatkan wajah garang dengan tatapan mata tajam penuh kegeraman lalu mengembalikan surat tersebut kepada yang empunya. Hal ini telah mengakibatkan kelam dari kampung sendiri maupun dari kampung lain langsung mengurungkan niatnya untuk berkenalan atau pun mendekatinya. Tersebarlah berita ke seluruh pelosok kampung yang menyatakan bahwa Putri Pandan Wangi yang tinggi hati atau sombong.
Pernah datang ke istana seorang sultan untuk berkenalan dengan Putri Pandan Wangi. Sambil tersenyum ramah, ia pun menatap dengan dalam wajah lembut Putri Pandan Wangi yang begitu memesona.
“Sudah lama saya mendengar kabar tentang kecantikan si pencerah di kampung ini. Saya ingin mendengar langsung nama adik dari bibir merah delima yang selalu tersenyum manis membuat serpihan jantung gugur ke bumi.” Rayuan sultan perlihatkan kelihaiannya memikat perhatian Putri Pandan Wangi. Sayangnya, gadis yang dimaksud hanya diam menunduk lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun terucap. Keesokan harinya sampailah surat dari Putri Pandan Wangi kepada sultan melalui pengantar surat, yang menyatakan jangan pernah datang lagi sebelum meratakan dua buah gigi bagian depan yang besar seperti kapak. Sultan tersebut merasa terpukul hatinya mendengar pesan dari Putri Pandan Wangi hingga remuk redam menahan amarah karena merasa dihina lahir dan batin. Ia pun bersumpah kepada Tuhan, bahwa tidak seorang pun yang akan mau menyunting Putri Pandan Wangi.
Pernah juga Putri Pandan Wangi merasa terpikat dengan ketampanan dan budi luhur seorang pemuda yang hanya rakyat biasa. Raja Jenang namanya. Tubuhnya yang jangkung perlihatkan kegagahan dan kewibawaan. Senyumnya yang manis juga keramah-tamahannya ketika menyapa setiap orang yang ditemui telah membuat para gadis termasuk Putri Pandan Wangi tergila-gila. Terlebih lagi ketika mengetahui Raja Jenang seorang pelaut yang hebat. Diam-diam Putri Pandan Wangi mengutus pengawal istana untuk memberikan surat cinta kepada Raja Jenang.
“Maafkan hamba, ini surat cinta yang Putri Pandan Wangi berikan kepada Raja Jenang.” Ujar pengawal dengan tatapan lesu diikuti rasa takut akan menyinggung perasaan Putri Pandan Wangi.
“Mengapa kamu tidak memberikan suratnya kepada Raja Jenang? Apa dia tidak menyukai seorang Putri Pandan Wangi yang terkenal sangat cantik penuh daya pikat ini? Berani sekali dia mengembalikan surat cinta dariku. Atau mungkin dia langsung memberikan jawaban di kertas surat yang sama? jawablah pertanyaanku?” Desak Putri Pandan Wangi dengan pertanyaan yang bertubi-tubi karena rasa penasarannya yang besar.
“Maafkan hamba, Putri Pandan Wangi. Surat ini tidak jadi hamba berikan kepada Raja Jenang.” Jawabnya berhati-hati lalu bersimpuh di kaki Putri Pandan Wangi karena merasa bersalah atas kelancangannya tidak mematuhi perintah puterinya.
“Mengapa demikian? Apa dia sudah menikah? Kau melihat dia bersama istri dan anaknya?” Ujar Putri Pandan Wangi dengan nada rendah penuh rasa kecewa.
"Hamba melihat Raja Jenang tengah bertelanjang dada menantang teriknya matahari yang menjilati kulitnya yang terus berkeringat. Terlihatlah penyakit kulit yang aneh ditubuhnya.” Jawab pengawal resah karena melihat raut muka Putri Pandan Wangi menyimpan kekecewaan.
Keesokan harinya, secara sengaja Putri Pandan Wangi mengumpulkan semua temannya di taman istana. Disanalah tersebar kabar mengenai Raja Jenang. Ketika Raja Jenang tengah menuju laut, melewati halaman istana, terbingkailah senyum sinis di wajah para gadis. Dengan sengaja mereka menggunjingkan penyakit kulit Raja Jenang dengan nada mengejek agar terdengar ke telinganya. Gunjingan tersebut pun membuat Raja Jenang murka.
“Tuhan, renggutlah kecantikan Putri Pandan Wangi dan gadis lainnya secara paksa.” Teriakan Raja Jenang sambil melibas-libaskan pedangnya ke ranting pohon hingga daunnya menggugurkan sesal mengiris pilu. Sayangnya, para gadis semakin terbahak-bahak melihat amukan Raja Jenang. Raja Jenang pun berteriak mengelilingi para gadis lalu membawa salah seorang dari mereka. Para gadis berteriak histeris meminta pertolongan.
Mendengar teriakan di taman istana, raja laut yang tengah berada di dasar laut merasa terganggu lalu menyuruh pengawalnya mencari tahu tentang keributan yang mengusik ketenangannya. Setelah mengetahui penyebab keributan tersebut, Raja laut pun berkeinginan melihat Putri Pandan Wangi yang terkenal sangat sombong.
“Sungguh cantik Putri Pandan Wangi. Aku harus bisa mencairkan bongkahan batu di hatinya. Aku ingin memperistrikan gadis secantik bidadari itu?” Decak kagum raja laut setelah melihat Putri Pandan Wangi.
Keesokan harinya, datanglah ke istana seorang sultan yang tampan menghadap raja. Dengan bersahaja raja menyambut kedatangan tamunya, meski sebelumnya ada firasat buruk yang dirasakan ketika memakai pakaian kebesaran yang biasa dipakainya bila hendak menjamu tamu. Ketika itu pakaian kebasaran terasa berat, tidak bisa dibawa. Tetapi ia mencoba menepis firasat buruk tersebut.
“Saya Sultan Samudra. Kedatangan saya untuk mempererat hubungan kekerajaan diantara kita. Saya berkeinginan menyunting Putri Pandan Wangi untuk dijadikan istri.” Titah Sultan Samudra yang sebenarnya adalah jelmaan raja laut.
“Saya belum siap melepas Putri Pandan Wangi untuk disunting oleh siapa pun. Dialah permata hati kampung ini. Lama kami mendambakan kehadirannya. Usia Putri Pandan Wangi masih sangat muda, dia masih belum bisa menjalani hidup berumah tangga” Penolakan raja penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan Sultan Samudra.
Sultan Samudra berang mendengar penjelasan raja. Perkelahian pun hampir terjadi diantara mereka. Dengan menyimpan dendam, Sultan Samudra berjanji akan kembali untuk merebut Putri Pandan Wangi.
Setelah kejadian tersebut, Putri Pandan Wangi selalu pergi ke laut seorang diri. Di sana ia seakan berkasmaran dengan seseorang. Ia duduk di atas pom-pong yang sudah tua sambil bernyanyi riang. Sesekali ia berkayuh mengejar dan menangkap ikan-ikan. Tidak seorang pun berani mengganggu kesenangannya. Melihat keanehan yang terjadi pada puterinya, raja pun menanyakannya kepada Mambang Perkasa Alam.
“Putri Pandan Wangi hanya merasa kesepian. Biarkan saja ia mencari kesenangannya.” Penjelasan Mambang Perkasa Alam terkesan renyah, seperti ada yang tersembunyi di balik perkataannya. Dengan perasaan tidak nyaman, raja pun mencoba menerima alasan yang telah diberikan Mambang Perkasa Alam.
Tiga hari kemudian, seharian penuh Putri Pandan Wangi berada di kamarnya sambil menyanyikan sebuah lagu yang syairnya menyatakan keinginan untuk meninggalkan kampung halaman. Semua penghuni istana merasa iba mendengar nyanyian Putri Pandan Wangi yang menyayat hati. Keesokan paginya, para pengawal istana tidak menemukan lagi Putri Pandan Wangi di istana. Ia menghilang entah kemana.
“Jangan dicari lagi Putri Pandan Wangi. Ia telah dibawa oleh raja laut, Sultan Samudra, ke istananya.” Ujar Mambang Perkasa Alama penuh kepasrahan. Sebenarnya Mambang Perkasa Alam sudah mengetahui rencana raja negeri bunian terhadap Putri Pandan Wangi, tetapi ia tidak kuasa menghalangi pinta rajanya tersebut.
“Bagaimana caranya aku bisa merebut Putri Pandan Wangi dari tangan Sultan Samudra.” Tanya raja geram menahan luapan amarahnya.
“Ampun beribu ampun, Raja Yang Dipertuan Agung yang mulia. Hamba tidaklah berdaya untuk membantu menyerang kerajaan laut. Hamba juga tidak bisa membawa raja ke kerajaan laut. Maafkanlah hamba.” Perkataan terakhir Mambang Perkasa Alam menyisakan kepiluan di hati raja. Sejak itu, Mambang Perkasa Alam tidak memiliki keberanian lagi untuk menghadap raja.
Satu per satu para gadis di kampung juga menghilang dibawa raja laut ke istananya untuk dijadikan dayang bagi Putri Pandan Wangi. Di malam bulan purnama, terdengarlah suara pesta dari kejauhan yang lama kelamaan suaranya tepat berada di atas istana kerajaan. Ketika itulah raja laut menjemput ruh Putri Pandan Wangi dan perawan lainnya. Hingga akhirnya suaru tersebut pun semakin menjauh dan menghilang. Ketidakberdayaan merelakan kepergian Putri Pandan Wangi beserta perawan lainnya telah membuat raja sakit-sakitan.
Habislah semua perawan yang ada di kampung seperti seolah lebah yang datang dan pergi tiba-tiba. Tersebarlah kabar ke luar istana akan peristiwa duka yang membuat raja terbaring kaku di ranjangnya. Mereka pun menamai kampung itu menjadi pulau lebah perjaka.
***
”Akulah sekarang Sultan. Kalau nak selamat patuhi titahku...hahahaha!”
“Bangun! Dasar pemalas!”
“Ampun, Mak!”
Lelaki lajang itu lari terbirit-birit. Segera ia meraih pompong, menuju laut.
”Nak jadi Sultan sebentar ja tak boleh...”
”Dasar budak penghayal kelas tinggi!”
Komunitas Home Poetry, Tanjung Pinang-Medan, 11-10
BIODATA
M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pinang. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan dengan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se-Indonesia di Bogor (200&), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta 2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Ikut membidani Cublis di Lampung (2009). Membacakan Puisi di Gedung Idrus Tintin Riau (2010),dll. Karyanya dimuat di berbagai surat kabar/maja lah Indonesia-malaysia. Saat ini bertugas sebagai guru sastra dan dosen filsafat Panca Budi Medan. Asyik membidani Komunitas Home Poetry. Alamat kontak-Taman Budaya Sumatera Utara, Jl.Perintis Kemerdekaan No.33Medan.HP.085830805157.E-Mail: mraudahjambak@yahoo.com. Selain itu beberapa buku yang memuat karyanya juga sudahterbit,misalanya:MUARATIGA (antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malay sia), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK), TENGOK (antologi pui si penyair Medan), Antologi Puisi MEDITASI (Sastra religius, 1999), Antologi Puisi Seratus Untai Biji Tasbih (Sastra religius, 2000), Antologi esay PARADE TEATER SEKOLAH (Aster, 2003), Antolgi Esay 25 Tahun Omong-Omong Sastra (2004), Antologi Puisi 50 Botol Infus (Teater LKK UNIMED:2002) , Antologi Puisi Amuk Gelombang (Star Indonesia Production :2005), Antologi Puisi Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Medan:2005), Antologi Puisi Jogja 5,9 Skala Richter (Ben tang:2006), Antologi Puisi Medan Puisi (2007), Antologi Puisi TSI 1 Tanah Pilih (Disbudpar Jambi:2008), Antologi Pusi Penyair Muda Malaysia-Indonesia (PENA Malaysia:2009), Antologi Puisi, Cerpen, dan Naskah Drama Medan Sastra (TSS-TSSU:2007), Antologi Puisi Medan Internatio nal Poetry Gathering (2008), Antologi Puisi dan Cerpen Merantau ke Atap Langit (Teater LKK UNIMED:2008), Antologi Cerpen 30 Terbaik Lomba Cerpen Tingkat Nasional Fes tival Kreativitas Pemuda 2007: LOKTONG (CWI:2007), Antologi Cer pen Tembang Bukit Kapur (ESCAEVA Jakarta:2007), Antologi Puisi FLP Indone sia (2008), Penyair Urban Antologi Puisi Laboratarium Sastra (2008), Antologi Cerpen RANESI – RADIO NEDERLAND SIARAN IN DONESIA (GRASINDO: 2009), Antologi Cerpen Denting (DKM:2006), Antologi Cerpen Jalan Menikung ke Bukit Timah (Disbudpar Pangkalpinang:2009), Antologi Cerpen Dari Pemburu Sam pai Ke Teraupetik Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Pusat Bahasa: 2003), Novel Putri Run duk (Pusat Bahasa Jakarta, 2008), Antologi Cerpen LMCP Guru (2007-2008-2010), Antologi Cerpen TSI 2 Jalan Menikung ke Bukit Timah (Disbudpar Pangkal Pinang-BABEL,2009), Antologi Cerpen TSI 3 UJUNG LAUT PULAU MARWAH (Disbud par Tanjung Pinang : 2010), dll. Alamat Rumah : Jl. Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E. 10 – sei Sikambing B – Sunggal – Medan – SUMUT – Indonesia 20122.
Subscribe to:
Posts (Atom)