Sunday 21 February 2010

SINGA PODIUM

Naskah wisran hadi

SINGA PODIUM
Sebagaimana yang dijanjikan oleh tulisan pada spanduk, poster dan papan pengumuman yang di pasang di halaman, di depan pintu masuk dan dalam ruangan besar itu, memang, sekarang sedang berlangsung acara ceramah umum luar biasa. Didahului rombongan musik rebana menyanyikan lagu-lagu qasidah dengan merdunya.
Setelah sampai waktunya, EMSI datang dan berdiri di samping mimbar yang tinggi dan besar. Melalui sebuah alat pengeras suara, dia mengumumkan lanjutan acara dengan suaranya yang bersih dan sugestif.
EMSI:
Selanjutnya, acara ini kita lanjutkan. Ceramah Umum Luar Biasa!
Disampaikan tokoh terkenal dan populer dengan julukan yang disenangi beliau – Singa Podium! Malam ini kita mengharapkan beliau akan mengaum lebih hebat lagi. Beliau adalah Abu Tausi Jaiha. Sebuah kejutan! Dan kita tidak perlu terkejut!
Hadirin dan hadirat sekalian.
Para hadirin yang benar-benar mengikuti ceramah ini dengan sepenuh hati, tidak ribut, batuk-batuk atau bising, Abu Tausi Jaiha akan mendoakan semoga Allah subhanahuwataala melimpahkan taufiq dan hidayahNya kepada kita bersama.
Ceramah Umum Luar Biasa! Waktu dan tempat dipersilahkan kepada,
(tertegun dan bingung)
Seorang wanita tiba-tiba datang langsung menuju mimbar dengan tenang dengan langkah-langkah mantap. Pakaiannya “ultra modern” dan membawa sebuah tas yang bagus tempat segala keperluannya berhias diri.
Emsi masih bingung dan terpaku, seperti tidak tahu apa yang harus dikerjakannya.
WANITA:
Maaf saya agak terlambat. Karena semua yang datang ke sini membawa kendaraan dan memenuhi lapangan parkir, mobil saya terpaksa diletakkan di seberang jalan. Petugas keamanan di sini ada kan? Tolong agak tiga orang menjaganya. Tiga, ya.
Sausaudara sekalian. Saya sebagai isteri dari,
EMSI:
Tunggu. Tunggu. Tunggu dulu, eh, ibu, nyonya. Ya Tunggu. Yang bicara saat ini seharusnya Abu Tausi Jaiha.
WANITA:
(tersinggung dan segera memberikan sebuah amplop besar pada Emsi)
Baca! Ayo, baca! Baca dulu. Baca dengan tenang!
(sementara Emsi membaca, dia membuka tasnya dan menghiasi diri)
EMSI:
O,o jadi, ibu istrinya, wah, maaf bu. Setahu saya istri beliau tidak cantik dan semuda ini. Maaf bu. Ibu istri beliau yang keberapa? Saya percaya, beliau tentu tidak punya istri simpanan.
WANITA:
Baca. Baca. Jangan bicara dulu, baca.
EMSI:
(setelah membaca sebagian dari surat itu)
Hadirin sekalian. Izinkan saya menjelaskan perobahan yang mendadak seperti ini. Agar tidak menimbulkan kegelisahan, saya langsung saja membacakan surat pengantar ini. Ditujukan kepada kita bersama.
(membaca surat)
Dengan segala hormat.
Dengan sangat menyesal saya terpaksa tidak dapat menghadiri pertemuan yang berbahagia ini, karena secara mendadak sekali harus menghadiri rapat penting sehubungan dengan erosi kepercayaan dan krisis kepemimpinan yang melanda masyarakat Melayu. Supaya tidak mengecewakan kita sekalian, istri saya mengambil inisiatif menggantikan saya. Hal ini membuktikan, seorang istri harus dapat menggantikan tugas-tugas suaminya.
(Berhenti membaca dan mengangguk beberapa kali)
Ya, memang harus begitu. Dan semuanya sudah begitu sekarang.
(Membaca lagi)
Istri saya yang berdiri di hadapan kita sekarang, nama sesungguhnya adalah Bida Duri. Bida Duri tidak punya hubungan apa-apa dengan duri-duri yang lain. Apalagi dengan Baiduri, Rafika Duri, duri dalam daging, durian runtuh. Nama Bida Duri berasal dari kata Bidadari. Bukankah bidadari adalah huria-huria yang cantik rupawan, yang disediakan Tuhan di sorga bagi orang-orang beriman?
Pada kesempatan ini, istri saya akan menyampaikan sebuah pembicaraan dengan judul – pandangan seorang isteri terhadap operasi plastik.
(Berhenti membaca)
Waw! Apa hubungannya dengan ceramah yang diadakan ini?
(Membaca lagi)
Topik pembicaraan ini sengaja dipilih istri saya berdasarkan pengalamannya sendiri, secara langsung, yang telah melakukan operasi plastik baru-baru ini. Kalau dulu orang-orang tua pernah mengajarkan kita bahwa kelakuan dapat dirobah, tapi muka tidak, maka menurut istri saya, dia telah membuktikan bahwa pepatah petitih itu salah. Menurut istri saya, jangankan muka, kelaminpun dapat dirobah sekarang. Bahkan dengan operasi plastikpun wanita bisa kembali menjadi perawan!
Menurut istri saya lagi, operasi plastik guna mempercantik diri merupakan idaman setiap wanita untuk menggairahkan suaminya. Tidak terkecuali istri kiyai, sech atau ulama manapun, apalagi tokoh-tokoh politik, birokrat dan bisnisman. Istri seorang politikus misalnya, maaf ini sebagai contoh saja, harus tetap cantik dan harus berusaha tetap cantik. Sebab, itulah sumbangan terbesar kaum wanita kepada perjuangan bangsa. Dan bagi para ulama, istri cantik itu perlu, agar di sorga nanti tidak risi atau keki menghadapi bidadari-bidadari yang berseliweran di lorong-lorong sorga dan yang menunggu-nunggu di taman-taman indah. Di samping itu pula, bila istri seorang ulama cantik, pastilah citra ulama semakin baik sebagaimana juga tokoh-tokoh politik lainnya. Bukankah selama ini istri-istri para ulama, tokoh-tokoh politik itu selalu tampak kurus, keriput pipinya, kempes dada dan pinggulnya karena terlalu banyak menanggung beban kemasyarakatan? Operasi plastik merupakan terapi yang ampuh bagi jiwa yang tertekan.
(berhenti membaca).
Bu Bida Duri. Topik pembicaraan yang ibu sampaikan ini tidak sesuai dengan judul yang kami minta. Pembicaraan malam ini akan membahas masalah bahasa dengan judul – Bahasa Koran, Bahasa Persatuan dan Bahasa Quran -.
Judul ini sengaja kami mintakan karena sekarang banyak sekali orang beranggapan bahasa Quran adalah bahasa Arab. Lalu disimpulkan saja Quran hanyalah milik orang Arab sedangkan Islam milik semua ummat. Oleh karena itu Quran harus memakai bahasa yang dimengerti oleh ummat itu sendiri. Anggapan demikian terus berkembang dan bahkan di antara mereka sudah mulai menganjurkan supaya sembahyang menjadi khusyuk, lebih baik memakai bahasa sendiri yang mudah dimengerti. Menurut mereka lagi, bersembahyang memakai bahasa Arab sama artinya menghina Tuhan. Seakan Tuhan hanya mengerti bahasa Arab saja.
Menurut anggapan orang-orang itu lagi, tidak masuk akal bila Islam hanya didasarkan pada bahasa Arab, karena tidak semua orang yang berbahasa Arab adalah orang Islam. Anggapan begini sangat berbahaya Bu Bida. Oleh karena itu kami meminta Abu Tausi Jaiha mendudukkan persoalannya pada ceramah luar biasa ini. Beliau sependapat dengan kami, bahwa orang-orang saleh pada masa depan tidak ditentukan lagi apakah dia memahami bahasa Arab atau tidak. Menurut Abu Tausi Jaiha, bila penguasaan bahasa Arab saja yang akan dijadikan ukuran saleh atau tidaknya seseorang, tentulah yang paling saleh adalah komputer, setelah itu orang Arab dan seterusnya onta.
WANITA:
E,e,e, apa hubungan operasi plastik dengan onta? Teruskan dulu membaca surat itu. Baca lagi agar tidak salah mengerti.
EMSI:
Baik. Baik. (membaca lagi) Operasi plastik adalah usaha manusia yang sah. Manusia yang selalu berusaha mempercantik dan menyempurnakan dirinya. Wanita-wanita yang melakukan operasi plastik, sama nilainya dengan seorang sufi, seorang alim. Seorang sufi akan selalu mempercantik diri dengan zikir dan doa-doanya kepada Tuhan. Jika seorang sufi lebih cenderung pada hal-hal yang abstrak, gaib, maka wanita yang melakukan operasi plastik cenderung untuk hal-hal yang nyata, karena suaminya adalah realita yang tak mungkin diabstraksikan.
Memang ada juga anggapan sebagian orang, bahwa wanita yang melakukan operasi plastik dianggap budak pisau bedah, hamba sahaya kecantikan, debu-debu realitas, atau, dianggap sebagai wanita yang terganggu keseimbangan jiwanya. Tapi itu kan hanya anggapan. Kenyataannya, boleh kita uji di lapangan penelitian. Jika setiap wanita punya kesempatan dan cukup uang, pertama kali yang dilakukannya adalah mempercantik diri, melakukan operasi plastik. Dunia perempuan penuh dengan keunikan.
Hanya suami-suami yang sudah tidak berselera atau laki-laki yang tidak normal yang melarang istrinya mempercantik diri. Simaklah kembali sejarah nabi kita!
Nabi sangat mencintai Aisyah karena putri Saidina Abu Bakar itu cantik dan selalu tampak cantik. Aisyah pulalah istri nabi yang dibiarkan memakai perhiasan. Apa arti semua ini? Artinya adalah bahwa nabi sangat mencintai istri yang cantik dan boleh berhias untuk kencantikan itu. Ringkasnya, Islam membenarkan operasi plastik dengan segala bentuk perkembangannya. (Berhenti membaca) Saya mengharap agar Bu Bida jangan sampai dipanggil orang Bu Bidaah. Penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran maupun hadist-hadist nabi untuk menghalalkan operasi plastik perlu didiskusikan dulu dengan para ulama. Berijtihad tidak boleh dilakukan secara nekad, atau dengan kebulatan tekad sekalipun.
Sebagai tokoh penting, Abu Tausi Jaiha pernah mengatakan bahwa hanya tiga hal yang dapat dibawa seseorang ke akhirat. Amal saleh, kerja yang bermanfaat dan doa anak yang saleh. Istri cantik tidak pernah disebut-sebut. Bahkan menurut beliau lagi, yang sering membuat seorang suami frustrasi, korupsi, bahkan jadi gila umumnya disebabkan istri cantik. Dengan lantang beliau mengatakan; “Istri cantik, bahkan lebih cantik, tanpa operasi plastik akan disediakan di sorga bagi orang yang beriman!” Ini menurut Abu Tausi Jaiha. Apakah waktu itu Bu Bida belum melakukan operasi plastik?
WANITA:
Teruskan dulu membaca surat itu. Teruskan dulu.
EMSI:
Baik. Baik. (membaca lagi) Demikianlah pokok-pokok pikiran istri saya tentang pembicaraan yang akan disampaikannya. Sebelum surat pengantar ini ditutup, perlu saya ingatkan. Panitia penyelenggara jangan mencoba pula membisikkan kepadanya agar mengakhiri pembicaraannya dengan meminta sedekah, wakaf dan infak kepada pengunjung, walaupun hal seperti itu sudah biasa dilakukan mubaligh-mubaligh pada setiap akhir pidatonya di masjid-masjid. Dalam hal ini istri saya berpendapat lain.
Menurut istri saya, semenjak lama, setiap ada acara hari-hari besar, selalu saja dipungut sedekah, wakaf, infak dari jamaah atau dari semua yang menghadiri acara hari besar itu. Bahkan sudah menjadi kebanggaan pihak penyelenggara apabila mereka dapat mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Selalu saja uang ummat Islam menjadi incaran panitia.
Jika uang itu benar-benar dikumpulkan untuk kesejahteraan umat, sejak dulu, tentu umat Islam kita telah dapat membeli fabrik-fabrik yang besar, yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Pengemis-pengemis yang antri dan bahkan terinjak-injak sewaktu meminta dan menampung zakat fitrah setiap hari raya, tentu tidak akan ada lagi.
Menurut istri saya lagi, uang dari hasil sedekah, wakaf dan infak itu telah disamun oleh penyamun-penyamun terhormat. Oleh karena itu, daripada memperkaya para penyamun, lebih baik ummat Islam tidak melakukan kebiasaan seperti itu lagi. (Berhenti membaca) Bu Bida. Pikiran Bu Bida melarang mengeluarkan zakat, infaq dan sedekah itu sangat berlawanan dengan apa yang telah dianjurkan Abu Tausi Jaiha.
Maaf Bu Bida. Saya jadi sangsi, apakah surat pengantar ini benar-benar dibuat Abu Tausi Jaiha ataukah karangan orang lain.
WANITA:
Kau harus tahu. Empat orang ahli sudah memperbaiki sebelum kamu membacanya. Teruskan sampai selesai.
EMSI:
Baiklah. Tapi, (Melihat Abu Tausi Jaiha muncul tiba-tiba) Alhamdulillah. Abu Tausi Jaiha. Hadirin dan hadirat. Yang kita tunggu-tunggu kini telah datang. Singa podium telah berada di depan mata.
WANITA:
O, si bapak..E, Pak Abu kan? Yang datang beberapa kali ke rumah meminta sumbangan untuk masjid… masjid apa ya? Apa Pak Abu juga menerima undangan menghadiri acara Ulang Tahun Organisasi Perempuan sekarang ini?
EMSI:
Wah..wah. Jadi bukan suami Bu Bida?
WANITA:
Suami saya? Uh! Apa boleh wanita bersuami dua? Gila kamu! (pada Abu Tausi Jaiha) Pak Abu akan memberikan ceramah agama dalam acara ini atau hanya membaca doa penutup saja?
EMSI:
Bu Bida. Maaf, maaf. Di sini bukan acara Ulang Tahun Organisasi Perempuan.
WANITA:
Ah! Acara apa ini? Hari ini adalah hari Ulang Tahun Organisasi Perempuan se Dunia bukan? Di mana-mana diperingati dengan meriah.
EMSI:
Di sini acara Ceramah Umum Luar Biasa, bu Bida.
WANITA:
Apa sudah mendapat izin? Kenapa saya tidak diberitahu sejak tadi?
EMSI:
Tapi bu Bida mengakui sebagai istri Abu Tausi Jaiha, tentu saya membiarkan untuk mewakili beliau.
WANITA:
Bodohnya! Tadi kau hanya menyebutkan – ibu kan istrinya, – tidak pernah kau katakan apa-apa lagi. Abu Tausi Jaiha kah, Abu Hurairah kah, Abu Jahal kah, Abu Lahab, Abu abuan atau Abu di atas tunggul sekalipun.
Emsi, kau bisa ditangkap kalau suka mempermainkan istri pejabat! Uh! Tampang keren otak senewen! (mengemasi barang-barangnya) Pir! Sopir! Cepat bawa tasku. Aku salah mimbar. (Ke luar dengan tenang).
EMSI:
Maaf Pak Abu. Semuanya kini sudah campur baur. Salah alamat dianggap sudah biasa. Salah langkah juga sudah dibiasakan. Salah kamar selalu disukai. Tapi salah mimbar jika jadi kebiasaan, kita akan susah nanti membedakan mana yang khotbah Jumat dan mana yang pidato penjual obat. Pak Abu. Mimbarnya kini sudah kosong. Dipersilahkan pak.
(bicara sendiri, agak kesal) Kalau penceramah suka terlambat, beginilah akibatnya.
Silahkan Pak Abu. Semoga Tuhan tidak ikut mentertawakan kita.
EMSI masih berdiri di samping mimbar memperhatikan Abu Tausi Jaiha (ATJ) menaiki mimbar dengan agak gemetar. Setelah berdiri di mimbar, beberapa buah buku yang dibawanya dibuka dan diletakkan di depannya. Dia seakan mau mulai berpidato, tapi kali ini terasa asing baginya. Dicobanya memulai pembicaraan, tapi suaranya sulit untuk dapat dikeluarkan.
ATJ:
Yang ter, (suaranya tidak terdengar tapi mulutnya tetap bergerak-gerak) Yang terhormat, (suaranya hilang tapi mulutnya terus komat kamit) Yang terhormat Ba, (suaranya hilang mulutnya terus komat kamit) Yang ter, yang terhor,
EMSI:
Wah! Pengeras suara itu macet lagi. (satu-persatu pengeras suara yang ada di mimbar diperiksa) Tes. Tes. Tes. Teeeeh es! Sss, ssss. The, tessss. Tiga, dua, satu. Dua, tiga satu.
ATJ:
(di antara suara Emsi mencek pengeras suara) Yang ter, yang terhormat, yang ter, ter ter, yang terhormat bapak, ba,
Tidak satupun pengeras suara itu yang rusak. Emsi semakin bingung. ATJ terus berusaha bicara, tapi suaranya semakin sulit dikeluarkan.
EMSI:
Bagaimana pak Abu? Ada apa rupanya? Tidak biasa hal seperti ini terjadi. Biasanya yang bikin kita susah adalah mikrofon, tapi sekarang pembicaranya. Bagaimana ini?
Emsi menunggu beberapa saat, tapi ATJ tidak berhasil mengeluarkan suara. ATJ membaca dan membalik halaman buku. Emsi tidak sabar lagi. Apalagi setelah dia menoleh kepada pengunjung yang mulai gelisah.
Jadinya, selama Emsi bicara, ATJ terus membalik-balik halaman bukunya sambil berusaha untuk dapat berbicara.
EMSI:
Ayo pak Abu. Wah, pak Abu mendapat kesulitan bicara? Apakah pak Abu menerima surat khusus atau surat kilat atau telepon yang melarang pak Abu bicara malam ini? Atau, pak Abu masih terpengaruh kecantikan wanita yang tadi salah mimbar?
Pak Abu, ceramah umum kali ini sangat penting dan luar biasa. Hal ini sesuai dengan keinginan pak Abu sendiri. Sarana sudah disiapkan dan pak Abu tinggal bicara menyampaikan segala sesuatunya.
Bicaralah pak Abu. Percayalah, di atas mimbar pasti ada kebebasan mimbar. Sekarang larangan untuk bicara di atas mimbar sudah tidak ada lagi. Berpikir dan berbicara sudah dibebaskan. Tentang kebebasan lainnya, walau beringsut-ingsut jalannya, pasti akan ke luar juga.
Bicaralah pak Abu. Orang-orang pasti akan mengangguk-anggukkan kepala selama pak Abu bicara. Apakah mereka mengerti atau tidak apa yang pak Abu bicarakan, itu persoalan lain lagi. Mengangguk-angguk saat ini sudah menjadi adat dan tatacara. Apalagi dalam pergaulan tingkat atas.
Bagaimana pak Abu? Benar-benar suara pak Abu tak dapat dikeluarkan? Atau, pak Abu kena pengaruh mantra dukun-dukun dari Bukit Siguntang sampai akhirnya lidah pak Abu jadi kelu? Atau, pak Abu kehilangan suara? Tapi sekarang masa penghitungan suara sudah lama selesai. Memang banyak suara yang hilang. Dan tidak mungkin suara pak Abu sekarang ini masih hilang. Atau, pak Abu sangsi orang lain tidak mau mendengarkan pembicaraan pak Abu lagi?
ATJ:
(Masih sulit bicara)
Ha, ha, halam, halaman, tiga, tiga be, tiga belas.
EMSI:
Wah, pak Abu jadi terbata-bata. Gagap karena gugup atau gugup karena terkejut? Yah, mungkin karena selama ini tidak boleh bicara dan pada saat diberi kesempatan bicara pak Abu jadi gagap. Memang ada larangan bicara untuk pak Abu tempo hari, tapi hal itu dapat dimaklumi. Waktu itu keadaan begitu bising dan hiruk pikuk. Suara mesin fabrik, suara kelaparan, suara caci-maki, suara tembakan penembak-penembak gelap di siang hari, suara ketakutan, suara ketidakadilan, suara ketidakpastian bercampur baur memekakkan. Tapi sekarang suara-suara itu tidak ada lagi. Bahkan sudah tidak ada suara sama sekali.
Kalau pak Abu tidak bicara untuk memecahkan kesunyian ini, pasti orang lain menganggap kita masih berada dalam hutan larang-melarang. Ayo, pak Abu. Untuk memecahkan kesunyian ini, bicaralah. Bicara apa saja. Pokoknya asal bunyi.
ATJ:
(Masih sulit bicara)
Menu, menu, menu, menurut, buk, buk, bu, ku, buuuuku,
EMSI:
Pak Abu. Saat ini nilai seseorang ditentukan oleh kemampuannya berbicara. Ilmiah atau tidak, masuk akal atau tidak, menurut tatabahasa atau tidak, menurut ejaan yang disempurnakan atau tidak, tidak lagi dipersoalkan. Pokoknya bicara. Bicara itu penting. Didengar orang atau tidak juga tidak dipersoalkan. Bahasa Koran, Bahasa Persatuan atau Bahasa Quran tidak pula mereka dapat membedakannya.
Ayolah pak Abu, bicara. Jika pak Abu diam, diam sama artinya dengan bisu. Bisu artinya sama dengan sakit. Jika ilmuwan diam, pengetahuan demam. Jika ulama diam, agama sakit. Jika masyarakat diam pertanda masyarakat itu sedang sakit.
Tapi ya susah juga. Jika semua orang hanya mau bicara saja dan tidak berusaha membuktikan kebenaran bicaranya, pengertian-pengertian kata bisa kacau. Misalnya, seseorang bicara – kerja – , tapi kalau dia menyebutkan kata itu sewaktu mau tidur, artinya kata – kerja – itu berarti tidur. Dan masyarakat yang maunya hanya bicara saja, namanya masyarakat gila. Gila bicara.
ATJ:
(Masih sulit bicara)
Den, den, deng, dengan, demi, kian, kian..
EMSI:
Jelas sudah kini, bahwa mulut pak Abu terkunci. Mungkin karena banyak bergerak atau terlalu lama diam, atau terlalu banyak digunakan untuk hal-hal lain selain untuk bicara. Jika mulut pak Abu terkunci terus menerus, apa artinya acara ceramah luar biasa ini. Kalau pak Abu tidak mau bicara, orang-orang yang telah menunggu sejak tadi akan bicara sendiri-sendiri. Jika hal itu terjadi, pastilah lebih membisingkan.
Kita sekarang berada dalam keadaan yang serba sulit, pak Abu. Kita diam, orang akan bicara. Membicarakan kenapa kita diam. Jika kita mulai bicara, orang-orang itu terus saja melanjutkan pembicaraan, membicarakan kenapa kita mulai bicara. Mereka akan berdiskusi riuh sekali, mendiskusikan kenapa kita bicara. Bukan isi pembicaraan kita yang mereka diskusikan, tetapi keuntungan apa yang dapat diperoleh dengan menggunakan pembicaraan kita.
Ya, apa boleh buat pak Abu. Semua harus menguntungkan dan semua harus mendapat untung. Pak Abu harus bicara di antara pembicaraan mereka, walau tidak menguntungkan.
ATJ:
(Masih sulit bicara)
Du, dul, dul, dulu, pe, per, pernah, seo, seo, seorang,
EMSI:
Pak Abu sebaiknya jangan seperti dulu lagi, menganggap diri pak Abu tidak penting dan menganggap apa yang pak Abu bicarakan bukan persoalan penting.
Pak Abu, sampai sekarang semua orang sudah bicara. Bahkan orang-orang penting sering membicarakan hal-hal yang tak penting. Dan sebagian lagi hanya bicara sepanjang kepentingan.
Dalam ceramah luar biasa kali ini, apakah pak Abu akan menyampaikan hal-hal penting atau tidak penting, itu tidak penting dipersoalkan, karena semua orang telah bicara, penting tidaknya sebuah pembicaraan. Hal ini dalam tulisan Arab Melayu akan jelas membuktikan bahwa penting, puntung, pentong ataupun pontang-panting tetap dituliskan dengan tulisan yang sama.
Ayo, pak Abu. Cobalah bicara. Coba.
Saat ini zaman bagi setiap orang untuk bicara. Mengeluarkan pendapat tanpa perlu mengeluarkan pendapatan. Menjelaskan pandangan-pandangan, mengumumkan pengumuman, mengumumkan pengumuman yang diumumkan untuk umum, membuat kredo, kiat, catatan pinggir, catatan kaki, editorial, dari hati ke hati, ya, semua dilakukan. Mereka ingin menjelaskan sesuatunya sejelas-jelasnya. Yang jelas, semua penjelasan itu semakin tidak menjelaskan penjelasan mereka.
Pengantar minuman datang. Beberapa minuman kaleng diletakkan di mimbar. Abu Tausi Jaiha mengambil salah satu dan segera meminumnya.
Emsi juga merasa haus. Dia mencegat membawa minuman.
EMSI:
Aku? Ya ini saja, aqua.
(berpacu minum dengan ATJ)
ATJ:
Minuman apa ini! Lidahku digigitnya!
EMSI:
(Terkejut)
Hei, pak Abu! Pak Abu sudah bisa bicara. Bagus sekali. Bagus sekali. Tapi pak Abu, sebelum pak Abu mulai bicara, hendaknya dijelaskan dulu kepada siapa pak Abu bicara. Dan tentu pak Abu telah pula mempertimbangkan segala risikonya. Berapa lama waktu yang akan dipakai untuk pembicaraan, apakah pembicaraan itu tidak bertentangan dengan kebiasaan, sopan santun, hukum, peraturan? Apakah pembicaraan itu akan bersifat menuding, menfitnah, memaki, mencemooh, melakukan kritik langsung atau tidak langsung? Dan yang paling penting, apakah pembicaraan itu terarah dan dapat diarahkan. Kalau tidak demikian pembicaraan bisa rancu dan racun bagi keselamatan kita semua.
Bagaimana pak Abu?
Tidak mau bicara? Tidak mau? Benar-benar tidak mau?
Baiklah kalau pak Abu tidak mau bicara. Tapi kalau pak Abu memang tidak mau bicara, sebaiknya pak Abu menjelaskan dulu kenapa pak Abu tidak mau bicara. Apa sebabnya, latar belakangnya dan kapan pak Abu mulai berhenti berbicara.
Nah, kalau pak Abu benar-benar tidak mau bicara, apakah hal itu pak Abu lakukan karena pak Abu dibayar atau tidak? Kalau dibayar, siapa yang membayar dan berapa bayarannya. Dibayar dengan apa? Uang tunai? Mata uang apa? Atau dibayar dengan cek? Cek undur, cek kosong atau kuitansi kosong?
ATJ:
Kaaaaaaa…baaaaaa…uuuuuu!
EMSI:
Wah, pak Abu tiba-tiba bicara kumuh. Kumuh sekali! Pak Abu memakai kata kabau. Pak Abu. Pak Abu perlu saya ingatkan, kalau pak Abu memaki dengan memakai kata kabau, supaya tidak menyinggung perasaan orang Minangkabau, sebaiknya pak Abu menjelaskan apa arti kata kabau itu. Kerbau maksudnya? Atau kabau itu jengkol hutan yang enak tapi busuk baunya? Sebab antara kerbau dan jengkol hutan bagi orang Minangkabau disebut kabau saja. Nah, jika kabau yang pak Abu maksudkan iu kerbau, pak Abu juga harus menjelaskan kerbaunya. Kerbau siapa? Kerbau itu jantan atau betina? Yang sedang menarik pedati, menghela bajak atau yang sedang santai di kubangan? Atau yang selalu ditarik-tarik ke sana ke mari karena hidungnya dicucuk dan diberi tali plastik?
Juga pak Abu harus menjelaskan lagi, apakah kerbau yang dimaksudkan itu, tahi kerbau, susu kerbau, kedunguan kerbau atau perutnya yang gendut atau apanya?
Pak Abu. Pekerjaan yang paling mudah adalah memaki. Tapi yang paling sulit adalah adalah menjelaskan kata makian yang dipakai. Mungkin untuk menjelaskan kata makian itu saja akan memakan waktu yang cukup panjang dan cukup membuat kita lupa, apakah kita sedang memaki atau menerangkan sebuah kata makian.
Di sini letak kuncinya pak Abu, kenapa orang sekarang tidak suka memaki, di samping risikonya sangat berat, juga sebuah makian dapat membuat orang itu dilenyapkan dari muka bumi.
ATJ:
Ya Allah, di mana aku sekarang?
EMSI:
Di sini! Di sini! Di sini! O, pak Abu. Tanpa dijawab Tuhan, sayapun dapat menjawab secara pasti di mana pak Abu berada sekarang.
Ingat pak Abu. Tuhan tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Tuhan bukan tempat bertanya, bukan petugas informasi atau buku pintar, komputer atau polisi lalu lintas. Tuhan memberi petunjuk, manual, terhadap apa yang diciptakanNya. Mestinya pak Abulah yang akan ditanya Tuhan. “Hei, Abu Tausi Jaiha, kau tahu di mana Aku? Tidak? Aku dekat sekali denganmu. Lebih dekat dari batang lehermu sendiri”.
Para hadirin.
Tuhan lebih suka memberikan semacam teka-teki silang kepada kita dengan hadiah yang menggiurkan, sorga! Jika ingin memperoleh hadiah besar itu, isilah petak putih yang disediakan di kolom jawaban. Tetapi, jika hanya asal jawab saja, apalagi tidak mempedulikan petak-petak putih dan hitam, sangsinya neraka! Neraka, para hadirin dan hadirat sekalian! Ne, ra, ka!
Tiba-tiba listrik mati. Ruangan jadi gelap. Emsi kaget dan kalang kabut. Abu Tausia Jaiha tidak tampak lagi.
EMSI:
E, lampu. Lampu! Wah! Kenapa panitia tidak menyediakan lampu petromak setiap mengadakan acara besar seperti ini! Mana lilin. Lilin? O, jangan lilin. Jangan. Kita tidak mau dikatakan acara hari ini acara peringatan ulang tahun. Senter! Yaya, batrei. Bodohnya! Flash light!
Kini mimbar yang besar itu diterangi cahaya dari sorotan dua lampu batrei. Sedangkan Emsi menerangi dirinya sendiri dengan lampu batrei lain. Emsi bertambah bingung, karena Abu Tausi Jaiha tidak ada lagi di mimbar.
EMSI:
Pak Abu. Pak Abu. Abu Tausi Jaiha. Abu Tausi Jaiha!
Sesuatu yang mengejutkan Emsi terjadi. Didahului suara ledakan kecil dan jerit kesakitan tertahan serta tepuk tangan, dua potong tangan muncul di atas mimbar. Kedua tangan itu melayang-layang dan menggapai-gapai. Emsi ketakutan.
EMSI:
Masya Allah! Apa yang terjadi. Itu! Itu. Tangan siapa yang terlepas dari tempatnya? Mengapa dalam gelap begini berkeluyuran di atas mimbar?
Para hadirin. Siapa yang ketinggalan tangannya, ambillah segera di mimbar ini. Tangan siapa ini? Apa yang dicopet di atas mimbar? Hei tangan! Tangan siapa kau!
TANGAN:
Aku, tangan Abu Tausi Jaiha.
EMSI:
Ha? Tangan Abu Tausi Jaiha? Ya Allah. Kenapa bergentayangan?
TANGAN:
Aku tercabut dari tubuhnya karena banyak sekali melakukan kesalahan.
EMSI:
Kesalahan macam apa?
TANGAN:
Kesalahan dalam penulisan. Sewaktu Abu Tausi Jaiha menyuruh saya menulis, saya sering sekali melompati jarak dan spasi. Abu Tausi Jaiha bermaksud ke kebun tuan, karena saya tidak memberikan jarak yang jelas, menyebabkan Abu Tausi Jaiha sampai ke kebuntuan.
Begitu juga ketika Abu Tausi Jaiha mau berkunjung ke keraton. Karena saya membuat jarak, akhirnya dia tersesat ke pameran seekor kera yang beratnya satu ton.
Dalam penulisan Arab Melayu, saya sering lupa memberi baris. Ya, tentu saja semua pengertian jadi jungkir balik. Abu Tausi Jaiha mengatakan tukang pancing. Tapi setelah dituliskan dan dibaca kembali menjadi tukang pancang. Akibatnya tukang pancing masuk penjara dan dipukuli dengan pancang sampai pencong.
Abu Tausi Jaiha ingin membeli seekor kambing, tapi setelah saya tulis apa yang dibelinya, kambingnya hilang karena telah dibaca jadi kumbang, lalu kumbang terbang menuju kembang. Tentu saja perut si Kambang jadi kembung.
EMSI:
Itu tidak penting, semua kan sudah pontang-panting. Pasti ada kesalahanmu yang paling berat. Kalau tidak, tidak mungkin kau copot dari tubuh Abu Tausi Jaiha.
TANGAN:
Memang. Terutama dalam hal memegang kekuasaan. Sebenarnya Abu Tausi Jaiha sudah ingin melepaskan kekuasaannya. Tapi aku tetap saja mengenggamnya. Akibat saya genggam begitu kuat, Abu Tausi Jaiha jadi semakin liar dan tidak dapat dikendalikan. Abu Tausi Jaiha ternyata kemudian menjadi diktator.
Begitu juga sewaktu Abu Tausi Jaiha ingin menjalin persahabatan. Dia ingin berangkulan dan bersalaman, tapi saya mengepalkan diri menjadi tinju. Ya, persahabatan berubah menjadi perkelahian.
Emsi, aku ingin kembali pada tubuh Abu Tausi Jaiha. Tolonglah. Apa artinya sepasang tangan bila terlepas dari tubuh. Masihkah akan dikatakan tangan juga kalau tidak menempel pada tubuh? Emsi, jika nanti listrik menyala, dan aku belum terpasang lagi pada tubuhnya, bagaimana jadinya ceramah umum ini.
EMSI:
Tanganku sendiri tak dapat kukendalikan, apalagi tangan yang terlepas dari tubuh.
TANGAN:
Jadi, kau tidak mau membantu? O, Emsi. Percayalah. Aku tidak akan memegang kekuasaan itu lagi. Semua kekuasaan Abu Tausi Jaiha akan kulepaskan.
(terkulai dan lemah dipinggir mimbar)
Diiringi dengan suara derap kaki, sepasang kaki muncul di mimbar dan menyepak kiri kanan. Bahkan kaleng minuman yang terletak di mimbar kena sepakan dan jatuh di lantai.
EMSI:
Hei! Kaki siapa yang menerjang-nerjang mimbar ini?
KAKI:
Kaki Abu Tausi Jaiha.
EMSI:
Kau juga akan minta tolong ditempelkan lagi pada tubuh Abu Tausi Jaiha?
KAKI:
Ya. Jika nanti listrik menyala dan aku masih bergentayangan di sini, tentu akan ditangkap untuk dibuat sup. Sup kaki.
EMSI:
Kalau mau minta tolong kenapa harus menyepak-nyepak di mimbar ini. Sopanlah sedikit.
KAKI:
Maaf Emsi. Tabiatku memang agak buruk. Itu sebabnya aku terlepas dari tubuh Abu Tausi Jaiha. Kalau dia berada di depan, didahulukan selangkah, aku senang sekali menyepak dari belakang.
EMSI:
Buruk sekali. Apa saja yang kau sepak, yang kau injak, sehingga Abu Tausi Jaiha mencabut kau dari tubuhnya?
KAKI:
Yang sering kuinjak-injak adalah,
EMSI:
Katakan saja terus terang. Apa yang sering kau injak?
KAKI:
Kebenaran.
EMSI:
Hanya itu?
KAKI:
Kesucian.
EMSI:
Lainnya?
KAKI:
Kejujuran. Kesetiaan. Kebebasan. Ya, banyak sekali. Akibatnya sangat buruk. Pendirian Abu Tausi Jaiha jadi goyah.
EMSI:
Hei kaki. Sulit sekali saya dapat menolongmu.
KAKI:
Emsi, ingat. Aku memang buruk. Jika Abu Tausi Jaiha harus berdiri lagi di mimbar ini setelah lampu menyala kembali, dia memakai kaki apa? Meminjam kaki orang lain untuk dapat berdiri? Pasti Abu Tausi Jaiha akan dituduh tidak mampu berdiri di kaki sendiri.
Apalagi kalau orang Minang yang meminjamkan kakinya. Mereka berdagang di kaki lima.
EMSI:
Memang sulit juga. Apalagi kalau Abu Tausi Jaiha memakai kaki langit. Kalau dia hanya satu kaki, betapa pendeknya dia jadinya, tidak sampai satu meter. Tapi, hei kaki. Aku sulit juga memberikan kaki padanya.
KAKI:
Kalau tidak mau menolongko, terserah. Tampaknya aku harus menunggunya di mimbar ini.
(kedua kaki menunggu di samping mimbar)
Lalu, muncul sepasang telinga.
TELINGA:
Aku telinga Abu Tausi Jaiha, percayalah. Aku terlalu banyak mendengar kecurigaan.
EMSI:
Selain kecurigaan, apa lagi yang kau dengar?
TELINGA:
Ya, suara suara.
EMSI:
Suara apa?
TELINGA:
Ada yang lucu. Sekali waktu Abu Tausi Jaiha ingin mendengar suaranya sendiri. Tapi aku tidak mendengarkan apa-apa. Setelah diusut ternyata suara Abu Tausi Jaiha hilang. Memang waktu itu orang sedang musimnya kehilangan suara. Abu Tausi Jaiha marah padaku. Suaraku hilang, katanya. Jawabku membela diri – ya mungkin salah hitung.
EMSI:
Selain mendengar suara Abu Tausi Jaiha sendiri, suara apa lagi yang sering kau dengar?
TELINGA:
O, banyak sekali. Suara kemiskinan, suara kepalsuan, suara-suara sinis, sumbang, kritik. Yang mengasyikkan mendengar suara desah nafas para pejabat mengejar kupu-kupu malam. Suara erang terakhir laki-laki yang mati terbunuh. Pekikan perempuan yang haknya dirampas. Keluhan anak-anak yatim yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Suara-suara itu seperti irama musik rock! Menggetarkan, menggairahkan, panas tanpa dicampuri kelembutan.
EMSI:
Tidak pernahkah kau mendengar riak air dipermukaan danau? Suara burung berkicau menyambut matahari pagi, suara kokok ayam jantan menyongsong fajar? Lagu kanak-kanak yang rindu kasih sayang?
TELINGA:
Pernah. Pernah memang. Tapi kapan ya? Aku lupa.
EMSI:
Suara azan? Suara orang membaca Quran?
TELINGA:
Pernah juga.
Mata muncul. Telinga menggantung di pinggir mimbar.
MATA:
Emsi. Aku tidak melihat cahaya. Apa di sini sedang terjadi pembicaraan gelap?
EMSI:
Siapa yang bergentayangan seperti bola kasti ini? Apa ini? Granat?
MATA:
Aku mata. Mata Abu Tausi Jaiha.
EMSI:
Kenapa kau keluyuruan di luar tubuh Abu Tausi Jaiha? Banyak kesalahanmu, pasti!
MATA:
Abu Tausi Jaiha mengajarkan bahwa manusia itu sama dalam pandangan Tuhan. Tapi menurutku, manusia tidak sama dan sangat berbeda-beda kedudukannya. Ya, mungkin karena aku diberi kaca, berbagai rupa warna dan ukuran yang berbeda-beda menyebabkan pandangan Abu Tausi Jaiha selalu berubah-ubah.
Sewaktu kacamata politik dipasangkan padaku, kulihat semua ulama seperti hantu. Begitu juga sewaktu kacamata agama dipasangkan, kulihat semua tokoh politik itu munafik semua. Anehnya, sewaktu dipasangkan kacamata seni, tokoh politik, ulama atau siapa saja, kulihat sebagai sosok dari kegelisahan manusia. Kadang-kadang pandanganku dikaburkan dengan puji-pujian kosong dan aku sendiri menerima pujian itu dengan bangga.
Tapi sewaktu semua kacamata dilepaskan dariku, aku tiba-tiba menjadi silau. Aku melihat lingkaran-lingkaran hitam yang semakin menghitamkan pandanganku. Abu Tausi Jaiha marah padaku. Dikatakannya aku silau oleh Nur Tuhan.
EMSI:
Mungkin karena kau tidak mampu melihat Nur Tuhan lalu Abu Tausi Jaiha melemparkanmu dari kepalanya.
MATA:
Begitulah. Nur Tuhan memancar menyinari Abu Tausi Jaiha, tapi aku memejamkan mata. Tentu saja Abu Tausi Jaiha waktu itu mengatakan Tuhan tidak ada. Emsi, kuakui, kesalahanku pada Abu Tausi Jaiha banyak sekali. Emsi, tolonglah aku. Kebetulan lampu listrik mati, inilah kesempatan untuk memasukkan aku kembali ke kepala Abu Tausi Jaiha.
(mata menangis)
EMSI:
E, mata jangan menangis. Aku takut nanti yang kau keluarkan air mata buaya. Pergilah.
MATA:
O, Emsi. Haruskah aku menjadi mata-mata? Atau menjadi mata pisau. Emsi, tolonglah aku.
Sepasang mata itu kini tergantung di pinggir mimbar.
Tiba-tiba lampu kembali menyala.
Abu Tausi Jaiha tampak berdiri di mimbar sebagaimana sebelum lampu mati. Tapi pada wajahnya tampak perobahan besar terjadi. Keringat mengalir di dahinya dan letih sekali. Sewaktu Emsi memandangnya, dia berusaha tersenyum.
Emsi terkejut dan sekaligus gembira. Dilihatnya Abu Tausi Jaiha sudah berdiri di mimbar. Dia tersenyum puas.
EMSI:
Alhamdulillah. Lampu menyala dan kita kembali mendapat cahaya.
Para hadirin. Dikehendaki atau tidak, ternyata setiap orang akan berada dalam keadaan bersih diri. Apalagi sebelum memulai ceramah umum ini, sebagaimana yang baru saja dialami Abu Tausi Jaiha. Bersih diri mungkin sangat menyakitkan, tapi bisa jadi setelah itu akan menenteramkan. Bagaimana pak Abu? Apa memang begitu?
ATJ:
(mengangguk membenarkan)
Alhamdulillah.
EMSI:
Para hadirin. Abu Tausi Jaiha dipersilahkan melanjutkan ceramahnya. Silahkan pak Abu.
ATJ:
Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati,
(tertegun memandang dua lelaki tiba-tiba datang)
hasanah, waqina, azab, azab, azab, azab..
EMSI:
(Melihat dua lelaki asing itu)
Masya Allah. Persoalan apa lagi?
Siapa kalian? Apakah kalian utusan Bu Bida untuk menangkapku? CIA? FBI? BIN? Atau anggota CPM? Polisi? Hansip? Satpam?
E, bung! Acara ceramah umum seperti ini tidak perlu dimata-matai. Semua pihak sudah mengizinkan acara ini dilaksanakan.
Atau kalian wartawan? Kalau wartawan, ya harus tahu aturan jugalah. Wawancara sebaiknya setelah acara selesai.
Pak Abu. Ayo, pak Abu. Silahkan terus.
LELAKI I:
Abu Tausi Jaiha baru saja membersihkan diri, tapi dia belum bersih lingkungan. Dia tidak layak memberikan ceramah apapun.
EMSI:
Bersih lingkungan? Soal apa yang menyebabkan lingkungannya tidak bersih?
LELAKI I:
Dia punya maksud-maksud tertentu. Dia berusaha mempengaruhi semua orang dengan melakukan bersih diri di tempat terbuka. Dia ingin tetap dianggap sebagai Singa Podium yang bersih padahal nama Abu Tausi Jaiha disebut-sebut dalam peristiwa pembunuhan massal 20 tahun yang lalu.
EMSI:
Tunggu. Abu Tausi Jaiha sudah dinyatakan tidak bersalah, bukan? Dia tidak terlibat.
LELAKI I:
Siapa mengatakan dia tidak terlibat? Pengadilan? Mass media? Masyarakat awam yang fanatik? Semua itu sudah diatur sedemikian rupa oleh Abu Tausi Jaiha sendiri. Dia tahu peristiwa itu, dia terlibat, tapi berusaha meyakinkan semua pihak bahwa dia tidak terlibat.
EMSI:
Punya bukti-bukti?
LELAKI I:
Lebih dari bukti!
LELAKI II:
Emsi. Keterlibatan Abu Tausi Jaiha dalam pembunuhan massal itu merupakan usaha pihak-pihak tertentu. Mereka memakai nama Abu Tausi Jaiha supaya lebih aman dan supaya sulit dicari jejaknya. Abu Tausi Jaiha tidak bersalah. Aku dapat membuktikan kepada siapapun.
EMSI:
Juga punya bukti?
LELAKI II:
Lebih dari bukti!
EMSI:
Wah bagaimana pak Abu? Bagaimana ini?
Abu Tausi Jaiha berusaha bicara tapi mulutnya terkunci.
LELAKI II:
Abu Tausi Jaiha tidak akan dapat bicara sebelum kami pergi. Jangan tanya dia.
EMSI:
Ada bukti Abu Tausi Jaiha terlibat. Juga ada bukti Abu Tausi Jaiha tidak terlibat. Tunggu. Anda berdua siapa? Darimana? Dari pengadilan internasional?
LELAKI I,II:
Lebih dari itu.
EMSI:
Begini bung. Soal pro dan kontra terhadap Abu Tausi Jaiha perlu data tertulis.
LELAKI I, II:
Baik.
Kedua lelaki secara serentak meletakkan masing-masing sebuah buku yang sangat tebal di atas mimbar di depan Abu Tausi Jaiha. Kedua buku itu masing-masing berkulit merah dan berkulit putih. Setelah kedua buku itu diletakkan, tiba-tiba listrik mati lagi. Kedua lelaki menghilang dalam gelap. Abu Tausi Jaiha pun hilang.
Emsi kalang kabut
EMSI:
E, lampu. Lampu! Lampu! Ceramah kita belum dimulai! Lampu! Uh, kalau ada kepala PLN di sini, bisa dipecat kalian. E, lampu.
Lampu kembali menyala. Emsi semakin bingung karena Abu Tausi Jaiha dan kedua lelaki itu tidak ada lagi. Dia segera naik ke mimbar.
EMSI:
Pak Abu! Pak Abu! Abu Tausi Jaiha! Ah, pasti kedua lelaki itu menculiknya. Keterlaluan! Orang yang sedang ceramah di atas mimbar juga bisa diculik! E,e,e, wartawan mana. Wartawan! Jangan tulis. Jangan tulis tentang penculikan di mimbar ini.
Para hadirin.
Ini benar-benar sebuah kejutan. Ini baru dapat membuat kita terkejut. Ya, boleh juga tidak terkejut sama sekali, karena sudah diatur sebelumnya.
Agar tidak menimbulkan kegelisahan lagi, terutama misteri tentang kedua buku ini, baiklah saya bacakan saja mukadimahnya.
(Meneliti halaman pertama kedua buku tebal itu)
Mukadimahnya sama.
(membaca)
Buku ini adalah catatan tentang Abu Tausi Jaiha yang terlengkap, terperinci dan teruji kebenarannya serta terpelihara baik. Buku berkulit merah berisi catatan tentang segala kesalahan Abu Tausi Jaiha, sedangkan yang berkulit putih tentang kebenaran dan kejujurannya.
Buku kembar ini disusun tidak untuk diterbitkan dalam bentuk apapun, atau diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, tidak untuk pihak kepolisian, kejaksanaa, biro bantuan hukum, hakim apalagi wartawan. Juga tidak untuk kalangan terbatas atau kalangan khusus atau kalangan lainnya, selain untuk Abu Tausi Jaiha.
Buku yang berkulit merah disusun oleh Kitab. Buku berkulit putih disusun oleh Katib.
(berhenti membaca)
Ya Allah. Ini nama samaran malaikan yang bertugas di kiri kanan Abu Tausi Jaiha! Kenapa diserahkan sekarang? Menurut penuturan, buku-buku seperti ini harus diserahkan nanti di Padang Mahsyar. Apa mungkin malaikat bisa lupa? Tidak mungkin dia lupa! Tidak mungkin.
(membalik-balik halaman kedua buku)
Para hadirin.
Buku merah ini menjelaskan segala kesalahan dan dosa-dosa Abu Tausi Jaiha, sedang buku yang putih menguraikan pula segala kebaikan dan pahala-pahala Abu Tausi Jaiha. Kedua buku ini tampaknya mempunyai kebenaran sendiri-sendiri dan kita tidak mungkin begitu saja menghakimi.
Yang jelas, kedua buku ini membuktikan bahwa Abu Tausi Jaiha telah membuka diri seluas-luasnya untuk diperhatikan dan dipelajari. Abu Tausi Jaiha tampaknya mau jujur pada dirinya. Apakah dia bisa jujur, itu persoalan lain lagi.
Tapi para hadirin, bisakah kita jujur pada diri sendiri? Hal inilah yang paling sulit. Agaknya itulah sebab kenapa kedua lelaki itu sengaja datang memberikan kedua bukunya pada Abu Tausi Jaiha.
Para hadirin.
Sebenarnya Abu Tausi Jaiha sama saja halnya dengan sebuah gading. Jika tidak retak atau retak semua, pasti gadingnya palsu. Karena kata pepatah orang tua-tua kita – tak ada gading yang tak retak -.
Jika tidak berdosa sama sekali, malaikat namanya.
Berdosa berkepanjangan, namanya setan.
Tapi yang tak terhindar dari dosa, namun terus berusaha agar tidak berdosa, dialah Abu Tausi Jaiha. Dia sendiri mencatat dosa-dosanya. Dia sendiri memahami jasa-jasanya. Dia sendiri penuntut, pembela, hakim bagi dirinya. Dia sendiri yang akan menanggung segala keputusan yang dibuatnya.
Para hadirin,
(Tertegun melihat ke suatu tempat).
Ya Allah, itu dia! Itu! Itu! Abu Tausi Jaiha! Abu! Tausi! Jaiha!
Podium kita di sini. Di sini. Di sana mimbar yang lain!
Uh, penceramah pun juga bisa salah mimbar!
(Pergi mengejar Abu Tausi Jaiha ke luar)
- tammat -
Padang, Oktober 1988/1995

No comments: