Monday 15 February 2010

HOTEL PUISI

Di sini kubentangkan sajadah nasib
S. Ratman Suras

Di antara gerak dan guguran daun-daun kemarau
Dan musim basah bersemi ladang ini
Ada semerbak kamboja
Ilalang mengiris cuaca
Aku mekar mencium wangi matahari
Seperti selokan kecil
Di puncak bukit
Yang mencari laut muara segala hidup

Di sini aku terpeleset lumut basah
Yang memesrai batu-batu
Jiwaku terbanting
Koyak duka, kucaci maki nasib
Di dalam gebalai resah padang
Terasa sekali keterpencilan ini
Lalu kutemukan telaga
Kubasuh luka, kubasuh kaki
Kubentangkan sajadah hitam ini

Wahai puisi yang merintih
Aku ingin berzikir seperti angin
Aku ingin bersujud seperti batu-batu
Mekarku wangi bunga
Gugur pada bumi yang penuh cinta
Di sini pada puisi-puisi yang digerogoti sepi
Kubentangkan nasibku sendiri

Melepas doa airmata
M.Raudah Jambak

Sepeninggal tsunami
Kami rangkai doa airmata
Tanpa tabur bunga
Sepanjang ziarah, seluas samudera

Tetesnya tercipta
Menyentuh lembut pipi para bocah
Yang tengah menunggang cakrawala

Tetesnya tercipta
Melepas saudara-saudara kami
Yang tertimpa bencana

Tetesnya tercipta
Melepas busur zikir yang melesat
Meretas segala jarak
Dari banda sampai mandrehe
Dari kamala sampai berwala
Dari batin sampai perih mata

Sepeninggal tsunami
Kami lepas doa airmata
Tanpa tabur bunga
Kami hembuskan aroma surga jiwa
Buat saudara-saudara
Yang tertimpa bencana
Sepanjang ziarah, seluas samudera


Tentangmu aceh
Hasan Al Banna


Tentangmu aceh, sajakku adalah kata-kata yang terpana
Seperti mata yang hampa
Atau irama tak bernada

Tentangmu aceh, sajakku adalah makna-makna
Yang tergagap
Seperti tatap terkesiap
Atau langkah tak berderap

Tentangmu aceh, sajakku adalah deru atau bisu


Sembahyang Rumputan
Ahmadun Yosi Herfanda


Walau kau bungkam suara azan
Walau kau gusur rumah-rumah Tuhan
Aku rumputan takkan berhenti sembahyang
Inna sholati wanusuki
Wamahyaya wamamati
Lillahirabbilalamin

Topan menyapu luas padang
Tubuhku bergoyang-goyang
Tapi tetap teguh dalam sembahyang
Akarku yang mengurat di bumi
Tak berhenti mengucap shalawat Nabi

Sembahyangku sembahyang rerumputan
Sembahyang penyerahan jiwa dan badan
Yang berbaring di pangkuan Tuhan
Sembahyangku sembahyang rerumputan
Sembahyang penyerahan habis-habisan

Walau kau tebang
Aku akan tumbuh
Sebagai rumput baru
Walau kau bakar
Daun-daunku akan bersemi
Melebihi dulu
Aku rumputan
Kekasih Tuhan
Di kota-kota disingkirkan
Alam memeliharaku subur di hutan
Aku rumputan
Tak pernah lupa sembahyang
“sesungguhnya sholatku ibadahku
hidupku dan matiku
hanya bagi Allah Tuhan sekalian alam

Pada kambing dan kerbau
Daun-daun hijau kupersembahkan
Pada tanah akar kupertahankan
Agar tak kehilangan asal keberadaan
Di bumi terendah aku berada
Tapi dzikirku menggema
Menggetarkan jagad raya
Lailahailallahu
Muhammadurasulullah

Aku rumputan
Kekasih Tuhan
Seluruh gerakku
Adalah sembahyang


Padamu Jua
Amir Hamzah


Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku …….


Langkah-langkah
M.Raudah Jambak


Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah asap yang menggumpal-gumpal
Menjadi seonggok awan hitam
Di antara mendung-mendung dan menjadi hujan
Dalam mataku

Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Adalah kemarau yang menyengatkan bisa-bisa
Teriknya dan menusuk jantung-jantung
Hingga berdarah dan seketika detik-detik kematian
Menyelimuti jiwaku

Suara azan yang mengumandang di batas cakrawala
Menjadi lembah pada pabrik-pabrik kemaksiatan
Adalah bibit-bibit penyakit yang mengatupkan
Segala urat syaraf dan nadi-nadi darahku
Melafazkan asma-Mu

Suara azan itu adalah langkah-langkah
Kakiku yang terseret
Satu-satu


Lagu Sederhana
Acep Zamzam Noer


Inilah lagu yang sederhana
Untuk-Mu
Denting-denting rawan
Jiwa yang melayang-layang

Inilah nada-nada guram
Kasih yang terpendam
Lirik-lirik lebam
Kehidupan yang bergoyang-goyang

Matahari yang kupandang saja
Sambil menimbang-nimbang
Mata-Mukah yang memandangku
Yang sejuk mengelus dan membakar sekaligus?

Sadar harus berdiri
Meskipun kaki selalu goyah
Sadar harus bernyanyi
Walau tak mampu meredakan gelisah

Inilah nyanyianku
Lagu yang sederhana
Denting-denting kerinduan
Dan harpa jiwa yang teramat lengang


Masihkah dunia bertahta di hati kita
Elidawani Lubis


Angin badai bermunajat hampiri senja
Kabarkan nestapa alam di pembaringannya
Yang semakin terhimpit bencana

Masih belum terlepas dekapan tsunami
Dalam kebekuan tangis yang melelah
Kini, lumpur panas pun meradang
Melepuhkan harapan dalam genangan doa
Gempa, banjir, longsor, gunung meletus
Juga turut mengintai nyawa
Masihkah dunia bertahta di hati kita?

Melihat laut diaduk badai
Menghantam kealpaan kita padanya
Gelegar halilintar memekakkan telinga semesta
Mencabik permadani alam dalam puing-puing sesal
Masihkah dunia bertahta di hati kita?

Dengarkanlah gema takbir-Nya
Tergugahlah wahai hati yang teringkus fananya dunia
Dengarkanlah gema takbir-Nya
Tergugahlah wahai iman yang lalai bersimpuh sujud pada-Nya
Bersegeralah bertasbih mengingat keagungan-Nya
Karena Dialah Allahushshomad


IGAUAN PERTIWI
Suyadi San


senyumlah, Anakku, tersenyum
kau lihatlah negerimu nyaris pecah berantakan
ladang-ladang telah dibanjiri kebusukan
badai sepanjang masa penyebabnya
kau lihatlah bintang-bintang terus tertutup awan
perpanjang derita negerimu setiap masa
esok, apabila kaulihat alam angkasa raya
katakan pada burung-burung bahwa tanah air kita
telah dijahili tangan-tangan tak berdosa
bahwa rumah kita belum dibentengi ketabahan
sehingga lambat laun terancam bencana

senyumlah, Anakku, tersenyum
jangan pandang pemimpinmu yang bermimpi kursi beludru
lihat, lihatlah di hari yang Fitri ini mereka masih saja
belum bisa menguntaikan senyum sepertimu
karena tak bisa mengatasi negerimu dari ancaman prahara
hutan-hutan terbakar,
ikan-ikan berhamburan tak tentu arah
gunung-gunung kehilangan panorama,
tinggal menunggu rata dengan tanah
air mengalir tak sederas Mahakam,
menjadikan sawah tak sesubur lautan Hindia

senyumlah, Anakku, tersenyum
Allah telah menegur negerimu dengan cukup sopan
dengan api peperangan yang terus membara
berbagai badai bencana alam dan topan
semua menjelma menjadi sebuah ketersiaan,
menjadi sebuah keterasingan di negeri sendiri,
akibat nafsu serakah yang menjuntai-juntai
tersenyumlah, Anakku, tersenyum

andai kau bisa tersenyum,
sadarilah bahwa sesungguhnya negeri ini
diciptakan memang untuk generasi sepertimu
jika badai tak juga redah, camkanlah
bahwa Allah beserta Malaikat-Nya
akan terus mengawasi perjalanan ciptaan-Nya
senyumlah, Anakku, tersenyum,
insyaallah Dia selalu bersamamu.


Menungkan nasib
J.E. Tatengkeng


Mengapa melati tak riang kembang
Sedang pagi disepuh embun
Mengapa gelatik melayang bimbang
Sedang padi kumpul bertimbun

Mengapa cemara nan kian tunduk
Sedang syamsu asyik melambai
Mengapa anak bermurung duduk
Adakah cita yang tak tercapai

Ah, Ibu

Apa melati kan riang kembang
Kalau kuntum rindu penanam
Apa hati kan riang senang
Teringat untung di masa benam

Tapi ibu
Ananda tidak memendam angan
Tidak piara sakit di hati
Selama kuat kaki dan tangan
Ku abdi ibu, ku sedia hati


Seratus Untai Biji Tasbih
M. Raudah Jambak


Telah kurangkai
Seratus untai biji tasbih
Mengurai asma-Mu
Dalam amalan
Dalam Illahi Anta Maksudi
Wa ridhaka Matlubi
Telah kurangkai
Seratus untai biji tasbih
Telah kurangkai
Tapi gejolak jiwa ini
Tak mampu jua
Menampung tumpahan kerinduan
Yang membanjir air mata
Padahal telah kuarungi keluasan
Laut semesta-Mu
Padahal telah kukayuh sampan sajadahku
Menuju rahmat-Mu
Telah kurangkai
Seratus umtai biji tasbih
Bersama takbir
Bersama dzikir
Bersama air
Bersama semilir
Bersama musafir
Bersama fakir
Bersama Allah


Tanah airmata
Sutardji Calzoum Bachri


Tanah airmata tanah tumpah darahku
Mata air, airmata kami
Airmata, tanah air kami

Di sinilah kami berdiri
Menyanyikan airmata kami

Di balik gembur subur tanahmu
Kami simpan perih kami
Di balik etalase megah gedung-gedungmu
Kami coba sembunyikan derita kami

Kami coba simpan nestapa
Kami coba kuburkan dukalara
Tapi perih tak bisa sembunyi
Ia merebak ke mana-mana

Bumi memang tak sebatas pandang
Dan udara luas menunggu
Namun kalian takkan bisa menyingkir
Ke manapun melangkah
Kalian pijak airmata kami
Ke manapun terbang
Kalian kan hinggap di airmata kami
Ke manapun berlayar
Kalian arungi airmata kami
Kalian sudah terkepung
Takkan bisa mengelak
Takkan bisa ke mana pergi
Menyerahkan pada kedalaman airmata kami


NYANYIAN ANAK KECIL
Suyadi San


Pak, belikan aku permen mainan
biar aku senang punya banyak kawan
Pak, belikan aku bulan mainan
biar kusuruh ombak bergurauan
Pak, nantikan aku di ujung zaman
biar aku selamat di tempat tujuan
Pak, songsongkan aku nyanyian malam
biar kutangisi baju ukhramku
Pak, tolong tanyakan pada sang awan
apakah aku bisa bertanya
mengapa bintang tak lagi
punya warna

Pak, ku ingin kemerdekaan
tanpa kawan dan ancaman
Pak, jangan biarkan aku berteman
nanti aku kehilangan
marwah yang diselipkan ibu
dalam pangkuan
Pak, biar kupanah saja kemajuan zaman
biar aku senang bermuram durja

Pak, kan kutanya lagi ke mana dikau
rindu kenangan masa silam
tertatih-tatih aku menyelusuri ombak
dipermainkan mabuk kemudharatan
Tak kan kutanya lagi ke mana dikau
sebab aku sudah cukup senang
keterasingan

Medan, 1991

SEBAB PAHLAWAN NAMAKU
M. Raudah Jambak


Di dalam negeri yang penuh rahasia, aku terlahir

Dari seorang ibu yang tak henti mengumpulkan

Segala tetes air mata di pualam pipinya

Tumbuh besar sampai sekarang menjaga usia

Setua misteri yang beralis segala teka teki

Dan memberi namaku Pahlawan

Bukan aku yang meminta nama segagah itu

Bukan aku yang memaksa untuk ditabalkan

Bukan aku yang terpaksa atau bahkan rela

Merengek-rengek agar semua orang tahu

Tidak ada Pahlawan selain aku

Aku tidak harus mati dulu

Apalagi mengumpulkan kartu tanda penduduk

Atau mengumpulkan kartu keluarga sekian ribu

Bahkan harus PEMILU agar ibu menuliskan

Kata Pahlawan di keningku

Ooi, Aku bangun jiwa raga ini

Aku bangun cita-cita ini

Aku bangun negeri ini

Dengan nurani

sebab pahlawan namaku

Ooi, Tak harus kutempuh cara yang sama

Tak harus kutempuh jalan membabi buta

Tak harus kutempuh menikung suka-suka

Tapi kususuri cara yang sesederhana jiwa

sebab pahlawan namaku

Ooi, Sebab aku terlahir

di dalam negeri penuh rahasia dari seorang ibu

yang tak henti mengumpulkan segala tetes air mata

di pualam pipinya,

Maka pahlawan namaku

Bogor, 2008

No comments: