Sunday 28 December 2008

Jones Gultom

Euforia Natal Pada Sebuah Kampung

Jones Gultom

SUARA meriam bambu dari seberang dolok * tetap saja berdentum- dentum, memecah sunyi pada malam yang berkabut di Samosir. Meski rumputan yang basah, mungkin pacet, juga lintah atau serangga- serangga malam lainnya, menempel di kaki yang mengerut, toh semangat dan keriangan anak- anak di kampung saya ketika menyambut Natal dan Tahun Baru, tak pernah surut.

Peristiwa itu adalah momen yang sangat berharga bagi mereka. Tak hanya bermakna religius, euphoria itu justru merupakan puncak dari rangkaian peristiwa gembira lain yang datang beruntun di kampung saya.

Natal dan Tahun Baru selalu ditandai dengan datangnya musim panen. Berbarengan pula dengan libur panjang anak- anak sekolah. Kepulangan mereka mengubah kampung yang biasa sunyi dan adem menjadi ramai dan meriah. Pada hari- hari terakhir, para perantau juga pulang untuk bersilatuhrahmi dengan sanak famili. Kepulangan para perantau, apalagi mereka yang sukses di perantauan biasanya disambut hangat sanak keluarga.
Tak jarang dengan sebuah pesta lengkap dengan iringan musiknya pula. Bisa dibayangkan, bila dua puluh keluarga saja yang melakukan itu, betapa setiap malam pesta tak henti- hentinya digelar. Malam- malam menjadi ramai, oleh musik,handai tolan, anak- anak yang bermain- main di halaman rumah yang berpesta, dan juga pedagang yang ikut ambil kesempatan.

Bagi para perantau, inilah saat yang tepat untuk memamerkan tajinya. Ada yang membawa mobil pribadi, tidak perduli apakah itu cuma rentalan, ada yang mengenakan segudang perhiasan, layaknya toko emas berjalan, ada yang pamer- pamer handphone terbaru dengan berpura- pura mengangkat telepon sekeras- kerasnya sembari berkecak pinggang dan menyebutkan sejumlah proyek.

Selain pamer- pamer harta, soal bahasa dan retorika juga ditata. Mereka yang merantau di kota Megapolitan, tiba- tiba jadi tak tahu berbahasa batak. Dialeknya menjadi kebetawi- betawian, dengan logat retro yang metropolis. Yang agak santun, mencoba tetap menujukkan kebatakannya.

Memang tak semuanya demikian. Ada juga yang biasa- biasa saja. Biasanya kelompok ini adalah mereka yang tak terlalu berhasil di perantauan. Nasibnya di perantauan juga tak jauh beda dengan di kampung. Masih juga mengandalkan tenaga. Soal logat biasa saja. Pun pergaulan, masih kerap mengatakan; “Horas bah!” atau “Bah hamu di lae!”

Kelompok ini masih mau ngumpul di parker tuak bersama teman- teman seangkatannya dulu. Masih tetap ngejreng… ngejreng… minum tuak sambil menyanyi oh inang… oh amang. Walau sesekali dengan latah mencoba lagu terbarunya Kerispatih………

Begitulah hiruk- pikuk Natal di kampung saya. Tidak hanya menyiratkan kemeriahan yang didasarkan kerinduan akan sebuah pesta, tapi juga memperlihatkan bagaimana pola sosial dan psikologi masyarakatnya. Sebenarnya momen ini bisa menjadi acuan untuk mendalami watak dan pola hidup masyarakatnya, seperti yang coba diungkap Baharuddin Aritonang dalam bukunya; “Orang Batak Berpuasa”

Lepas dari semua itu, saya tak mungkin lupa, ketika tiba harinya, pada pagi hari yang masih berembun, lonceng gereja berdentang- dentang, bersahut- sahutan dari satu kampung ke kampung lain. Dan tentu saja, sebarisan anak- anak kecil dengan mengenakan baju, sepatu, rok, celana, pita, dandanan yang baru, terlihat riang dan sedikit tergesa, bergandeng menuju gereja. Mereka bersiap menyambut Natal dengan wajah yang bersahaja! (0815 3328 8476)

* bukit.

Bercakap Dengan Skizopren
Jones Gultom

BEBERAPA waktu lalu saya berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa, guna observasi psikologi di sana . Gentar juga, sebab kedatangan saya disambut insiden, ketika seorang pasien hendak melarikan diri dari bangsal. Syukurlah para petugas yang sempat kalang kabut, dengan sigap menyergap dan menangkapnya, kemudian “mengadilinya”

Saya agak tak enak hati, melihat perlakuan mereka. Tapi begitulah, menghadapi skizopren, kadang mesti tanpa simpati.

Saya yang tak punya bekal menghadapi para skizopren ini, sempat bingung, ketika dengan PD masuk ke bangsal, tempat skizopren berkumpul. Padahal lazimnya, observer cukup bercakap- cakap dari balik jeruji jendela; face by face, untuk menghindari kemungkinan yang tak diinginkan.

Saya bingung. Bagaimana saya mewawancarai salah satu dari mereka? Bagaimana caranya agar seorang yang sudah saya pilih sebagai objek, berpisah dari kerumunan itu? Bagaimana pula saya membuka percakapan dan memperkenalkan diri, sementara mereka telah mengerumuni saya? Saya jadi teringat Frodo dan Sam yang terjebak di antara monster pohon yang menakutkan, dalam film The Lord of The Rings.

Merasa terkepung, saya lantas perlu bersandiwara. Dengan serta merta, saya tepuk pundak salah seorang yang paling dekat, layaknya sahabat lama. Dia merespon. Saya Mulailah saya nanya ini- itu. Sementara yang lain masih mengerumuni. Saya merasa seperti sinterklas yang sedang membagikan hadiah natal kepada anak- anak Bosnia .

Saya tak merespon, pura- pura cuek. Saya hanya fokus kepadanya. Tapi mereka tetap saja melungu, seperti pengungsi menunggu sekardus mie dari dalam tenda.

Saya nyaris tak bisa membedakan normal dengan abnormal ketika bercakap- cakap dengannya. Apa yang saya tanyakan dijawabdengan porsi yang pas. Berkali- kali saya tanyakan pertanyaan sama, berkali pula dia menjawab dengan jawaban sama. Saya jadi kesulitan mendiagnosa. Bahkan ketika saya tanya bagaimana dia sampai di tempat ini, dengan jujur dan alur yang rapi dia mengisahkannya.

“Aku diajak bapak untuk melihat kakak yang akan diwisuda dengan menyewa mobil. Tapi nyatanya tiba- tiba aku sudah di sini, padahal aku sehat- sehat saja,” jelasnya.

Yang membuat heran, adalah kemampuannya berkisah dan mengingat satu peristiwa. Nyatalah orang skizopren, yang jiwanya terpecah, ingatannya malah makin kuat.
Berkali- kali dia mengisahkan kekecewaan kepada bapaknya tapi secara bersamaan mengaku rindu. Saya menduga, dia seorang dengan tipe; ‘rindu- rindu benci’ ingin disayangi, di sisi lain menyimpan benci.

Dalam percakapan itupun saya jadi banyak diamnya. Diam mendengar dia curhat. Tentang keluarganya, tentang pernikahannya yang berantakan, tentang anak- anaknya, bahkan tentang nasibnya di RSJ.

Saya mendengar kisahnya dengan khusuk. Saya baru mengintervensi bila dia mulai ngalur ngidul. Hingga tiba- tiba dia berkata; “Kata ibu itu (menyebut petugas) bapakku akan datang siang ini. Kami akan pulang. Tapi kurasa dia takkan datang.” Kalimat itu diucapkannya berkali- kali seperti berharap penegasan saya.

Saya jadi simpati. Saya jadi terpancing untuk berjanji (padahal ini paling dipantangkan bila berhadapan dengan skizopren)

“Datangnya nanti itu!” kata saya. Dia jadi bersemangat. Merasa sadar akan kekhilafan itu, saya langsung meninggalkan bangsal.

Tak berapa lama, ketika duduk- duduk di bangku luar bangsal, dia melintas bersama laki- laki tua. Dia menyapa bahkan menyalami saya. “Aku mau pulang!” katanya bangga. Saya sempat terpelongo. Yang saya tahu dari petugas, mereka hanya mau makan siang di luar. Tapi dia terlalu bersemangat. Dari belakang, saya lihat betapa bangganya dia berjalan saling bersebahuan dengan bapaknya. (0815 3328 8476)



Mati dan Hujan
Jones Gultom

BEBERAPA hari lalu saya melayat seorang sahabat. Bapaknya meninggal karena sakit yang kabarnya tak bisa didiagnosa medis. Tahulah kita, kalau sudah seperti itu, pasti akan muncul pandangan- pandangan beragam dari masyarakat.

Dia seorang pensiunan tentara. Sebagai prajurit, kefanatikannya terhadap satuan memang sangat kental. Beliau masih menyimpan beberapa longsong peluru dan granat di rumahnya. Dia sering menceritakan kisah- kisahnya kepada saya. Terus terang saya terharu, setiap kali, dengan berapi- api, alm bercerita. Hingga akhirnya Minggu pagi, beliau meninggal dan saya turut ikut dalam pemakamannya.

Menjelang kematian, beliau sempat minta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tetapi keluarga tidak sepakat, dengan alasan perawatan yang tak bisa dijamin. Beliau maklum dan akhirnya minta dikuburkan di kampung kelahirannya saja.
Inilah tabiat manusia, bahkan saat nafas sudah di ujung hidung saja, toh kita masih perlu tawar- menawar.

Yang lebih menarik perhatian saya ketika dalam perjalanan menuju pemakaman, tiba- tiba hujan turun dengan derasnya. Kondisi itu sempat membuat seisi penumpang dalam mobil jenazah panik. Spontan ada yang berdoa, ada pula yang tiba- tiba melantunkan lagu rohani. Saya lantas ingat fenomena mati dan hujan. Apa benar setiap ada yang mati pasti turun hujan?

Setelah dua jam perjalanan, kami tiba di sebuah kampung, di Tebingtinggi. Bayangan saya, pasti akan ada penyambutan bersedih- sedihan. Apalagi ketika memasuki gerbang kampung, Sang Istri kembali mangandungandung (meratap) katanya; “ Nunga ro hita bapa tu huta ni parsirangan ni (kita sudah sampai di kampung perpisahan)

Saya merinding setiap kali mendengar andungandung (ratapan) semacam ini. Biasanya dalam kematian orang batak, momen inilah yang paling mengaharu- biru. Apalagi jika dia berstatus saurmatua (anak- anaknya semua sudah menikah). Bapak sahabat saya ini statusnya sarimatua (anak laki dan perempuannya sudah menikah)

Saya jadi teringat ompung saya yang sudah saurmatua meninggal beberapa tahun lalu. Kami menghantarkan jenazahnya ke kampung asalnya, Limbong, sebuah desa di kaki Gunung Pusuk Buhit ( gunung yang dianggap tempat asal mula orang batak)

Ambulance yang meraung- raung sepanjang memasuki kampung, seperti mewakili kesedihan kami. Memasuki kampung, orang- orang sudah berbaris di pinggir jalan. Ada yang tertunduk, ada yang menangis tersedu- sedu, ada yang bisik- bisik, ada yang tertawa kecil, ada yang tanpa ekspresi cuma dibalut sarung.

Saya melihat ragam rupa itu dari balik kaca Ambulance. Dan ketika tiba di rumah yang dituju, orang- orang yang sudah berselempangkan ulos, menyambut dengan ledakan tangis, padahal belum lagi peti diturunkan. Betapa gampangnya mereka tersentuh, betapa solidnya hubungan kekeluargaan , meski beliau sudah meninggalkan kampung itu, ketika pertama kali berkeluarga, toh masih disambut hangat.

Entah siapa- siapa saja yang menangis. Adapula yang meraung- raung. Saya yakin mereka tak hanya sekedar menangisi ompung saya, tetapi secara bersamaan juga tengah menangisi dirinya sendiri. Karena dengan matinya ompung saya, mereka jadi terbayang kematiannya sendiri. Maka pada malam- malam berikutnya, mereka (khususnya yang satu angkatan dengan yang meninggal) berbincang- bincang tentang siapa kemudian yang akan menyusul. Mereka cemas. Mereka gelisah.

Sama dengan kematian bapak teman saya, waktu itu hujan juga turun. Bahkan ikut mengiringi pemakamannya sampai di liang kubur. Padahal waktu itu Bulan Mei yang notabene musim kemarau. Saya jadi makin bertanya ada hubungan apa kematian dengan sebuah hujan?

Akhirnya bapak sahabat saya itupun diturunkan. Hujan belum juga reda. Di dalam bus orang- orang saling menatap. Mungkin saling bertanya; “Siapa lagi sesudahnya?” (0815 3328 8476)


Cacing
Jones Gultom
PAGI hari sekali saya sudah memburu cacing- cacing di balik- balik tanah lembab ladang saya. Keponakan saya sakit. Kena gejala thypus. Menurut pengobatan tradisional, cacing merupakan salah obat yang ampuh untuk jenis penyakit itu. Tapi sampai nyaris satu jam, saya baru mendapati tidak lebih dari lima ekor yang kecil- kecil, merah- merah dan masih sangat belia. Padahal dalam bayangan saya, tiga- lima kali cangkul saja, saya akan mendapatkan setidaknya setengah cangkir binatang melata itu. Kenyataan itu membuat saya berpikir, “Kemana gerangan cacing- cacing pergi?”
Saya lantas teringat satu cerita tentang cacing yang ditulis Anthony de Mello, SJ, penulis yang juga seorang imam. Kalau tidak salah bukunya berjudul “Doa para binatang”
Saya tak pasti. Tapi dalam ceritanya itu, dikisahkan bagaimana para binatang berdoa dan mengadu kepada Sang Pemilik Semesta.
Doa si cacing kira- kira bunyinya begini, “Oh Tuhan aku adalah binatang yang paling lemah dan tak berdaya. Tidak punya kaki apalagi tangan. Aku sembunyi di balik- balik tanah. Dan aku tak pernah bisa menikmati sinar matahari. Hidupku tersuruk dari satu lubang ke lubang lain di dasar tanah. Meski begitu aku sangat bahagia dan patut bersyukur, karena meski demikian tugasku sungguh begitu mulia. Aku menggemburkan tanah sehingga menjadi subur, dan manusia bisa bercocok tanam di atasnya. Tapi aku juga sedih, akhir- akhir ini aku dan sahabat- sahabatku sedang diteror manusia untuk dijadikan umpan pancing mereka. Pernah aku melihat sahabatku dicucuk perutnya dengan mata kail. Aku melihat sahabatku itu menggelepar kesakitan. Yang tidak fair lagi, ketika manusia mengatakan, ‘dasar cacingan!” untuk mengejek saudarnya yang malas- malasan. Apa dikira manusia kami makhluk pemalas? Aku sadar Tuhan, bahwa kami diciptakan memang untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia. Biarlah begitu asalkan manusia dapat tetap mempertahankan hidupnya. Dengan begitu manusia selalu bisa mengucap syukur padaMu.”
Saya sempat termenung. Apakah cacing- cacing saat ini, tepatnya pagi ini, lagi ngambek, lagi merajuk, sehingga tak mau keluar untuk membantu pengobatan ponakan saya?
Atau mereka sengaja melakukan itu untuk menyadarkan dan mengetuk hati, bahwa manusia, terutama saya akhir- akhir kurang bersyukur atas segala hidup yang telah saya terima?
Saya jadi malu. Saya merasa kecil dan tak lebih melata dari cacing. Mestinya saya sadar diri untuk segala yang telah saya terima dari alam, termasuk sumbangsih seekor cacing. Karenanya saya merasa perlu lebih bijak lagi, takdir saya sebagai manusia yang tercipta secara sempurna.
Maka pagi itu, di ladang itu, saya bernyanyi- nyanyi sendiri sambil terus mengayunkan cangkul, “Cacing- cacing janganlah bersembunyi. Saya membutuhkan kalian. Keluarlah mari kita saling berbagi dan melengkapi.” Tepat saja, setelah mendendangkan mantra itu, berkeluaranlah cacing- cacing dari onggokan tanah di mata cangkul saya. (MedanBisnis 9 Nopember 2008/ 0815 3328 8476)

Dunia Usaha


Menggunakan akses jaringan kerja Kadin/Asosiasi untuk mengadakan kontak kerja dengan Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait dan mendiskusikan program praktek kerja industri dengan pihak Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait dengan Kadin sebagai fasilitator
b. Menggunakan akses murid atau orang tua murid maupun sekolah dan pendidikan luar sekolah lain atau siapapun yang mengenal calon Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait penerima program siswa/warga belajar praktek kerja industri.

c. Menggunakan akses jaringan kerja Dinas Pendidikan Dikmenti untuk mengadakan kontak kerja dengan Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait dan mendiskusikan program praktek kerja industri dengan pihak Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait dengan Dinas Dikmenti sebagai fasilitator
d. Membuat janji untuk bertemu dengan calon Institusi pasangan dan dipastikan bertemu dengan pimpinan/petugas Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait yang berkompeten untuk memutuskan masalah program praktek kerja industri.
e. Memperkenalkan profil lengkap sekolah dan pendidikan luar sekolah dan profil siswa/warga belajar serta mengajukan permohonan untuk bekerjasama dalam program praktek kerja industri

SISWA SMK PANCA BUDI - 2


Praktek Kerja Industri (prakerin) merupakan program wajib yang harus diselenggarakan oleh sekolah khususnya sekolah menengah kejuruan dan pendidikan luar sekolah serta wajib diikuti oleh siswa/warga belajar. Upaya prakerin ini dimaksudkan agar siswa/warga belajar secara mental dan keterampilan nantinya siap bekerja di industri yang sesungguhnya. Menyelenggarakan prakerin bagi sekolah dan pendidikan luar sekolah menjadi kendala ketika institusi pasangan atau dunia usaha/dunia industri/instansi terkait yang diinginkan tidak secara kondusif mendukung program ini. Beberapa penyebab yang mungkin timbul adalah berkenaan dengan (i) kesesuaian waktu, program prakerin yang dijadwalkan oleh sekolah dan pendidikan luar sekolah tidak sesuai dengan waktu kerja yang dimiliki oleh Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait untuk menerima siswa/warga belajar; (ii) kesesuaian program, program prakerin yang dilaksanakan oleh sekolah dan pendidikan luar sekolah tidak secara spesifik dialokasikan oleh Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait; (iii) kesesuaian jumlah, jumlah peserta program prakerin yang dialokasikan oleh sekolah dan pendidikan luar sekolah dan kemampuan daya tampung oleh Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait; (iv) kompetensi siswa/warga belajar program prakerin yang tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait; (v) asumsi Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait bahwa program prakerin hanya mengganggu aktifitas mereka.
Menggunakan akses jaringan kerja Kadin/Asosiasi untuk mengadakan kontak kerja dengan Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait dan mendiskusikan program praktek kerja industri dengan pihak Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait dengan Kadin sebagai fasilitator
b. Menggunakan akses murid atau orang tua murid maupun sekolah dan pendidikan luar sekolah lain atau siapapun yang mengenal calon Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait penerima program siswa/warga belajar praktek kerja industri.

c. Menggunakan akses jaringan kerja Dinas Pendidikan Dikmenti untuk mengadakan kontak kerja dengan Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait dan mendiskusikan program praktek kerja industri dengan pihak Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait dengan Dinas Dikmenti sebagai fasilitator
d. Membuat janji untuk bertemu dengan calon Institusi pasangan dan dipastikan bertemu dengan pimpinan/petugas Dunia Usaha/Dunia Industri/Instansi Terkait yang berkompeten untuk memutuskan masalah program praktek kerja industri.
e. Memperkenalkan profil lengkap sekolah dan pendidikan luar sekolah dan profil siswa/warga belajar serta mengajukan permohonan untuk bekerjasama dalam program praktek kerja industri

Thursday 11 December 2008

Harta Pinem dkk

AFRION Lahir di Kisaran, 29 April 1963. Rumah Jl. Pematang Pasir Gang. Famili No. 71 Tanjung Mulia - Medan 20241. Nomor Handphone. 0816 312 0974. E-mail : afrionblok@yahoo.com Mulai menulis di media massa tahun 1976 antara lain puisi, cerpen, esay, artikel, dan resensi pertunjukan Aktif berteater mulai tahun 1976. Sempat hijrah ke Jakarta tahun 1987. Bergabung mengikuti latihan teater di Bengkel Teater Rendra dan mendapat kesempatan ikut dalam lakon drama "The Ritual of Solomons Children" yang di pentaskan dalam acara The First New York International Festival of The Art di kota New York. Kembali ke Medan tahun 1989, membentuk Genta Enterprise bersama Ali Jauhari Productions. Mengundang kelompok seni pertunjukan Bengkel Teater Rendra, Teater Kecil Arifin C Noer, Ikranagara dan N. Riantiarno Teater Koma Jakarta. Sebelumnya, 1984 membentuk Teater Blok Medan dan memainkan naskah-naskah dramanya antara lain Orang Orang Tercecer (1985), Janin dan Orang Orang Terasing (1986), Dialog Batin (1987), Di Ujung Malam (2002 - 2003), Huma (nyanyian hantu (2003), monolog Orang Orang Tercecer (1986), monolog Tanah Negeri dan Semak Kuburan (2004), Dumen dan Waktu Beku, Kaki Langit di Tubuhku (2005). Kumpulan puisi Gelombang, 1985, diterbitkan CV. Kencana Ungu Medan. Sangsi, 1987, CV Sinar Agung Medan. Nyanyian Jiwa, 2003, Politeknik Negeri Medan. Waktu Beku, 2004, Laboratorium Sastra Medan. Antologi puisi Amuk Gelombang, 2005, Star Indonesia Productions. Ragam Jejak Sunyi Tsunami, 2005, Balai Bahasa Medan. 1 Bahorok Dan airlah membawa maut sejak mula riwayat hutan dihabiskan Pekik yang merajam dendam di tanah bebatu yang kerap kita lalui berlompatan ranting pohon puncak bukit menghadap hutan gundul membangunkanmu yang lelah menyaksikan tapak-tapak kaki pembalakan mengupak-ngapik tanah runtuh Airlah ia yang datang tiba-tiba diciptakan ruh dari padanya batang kayu bersampan-sampan ke dalam hidupmu seketika tak kau jawab langit runtuh matikah? Berhamburan mata air illegal logging sepanjang hutan Bukit Barisan berapakah usiamu kini? Lihat betapa sesak nafasmu menunggu sepanjang terang menghitung bencana tak jera-jera merenggut anak dalam buaian tak ingin lekas pulang menghadap Tuhan Dan airlah membawa maut sejak mula riwayat hutan dihabiskan jadi gurita mencengkram nyawa 2004 2 Kota Batu Di kota bertumbuhan kesombongan tanah merekah memekik amarah membabat rumput dan daun-daun jadi batu baru bertingkat-tingkat menggapai langit Tak ada bangga selain keluh kesah menutup beban sejarah setiap sudut menjadi bocah melukis cahaya batang pohon bergulingan di atas marmar - lantai keramik menerbangkan layang-layang menyaksikan ruang terhina bangunan tua Runtuhlah bangunan tua itu berdiri di antara dinding batu baru diremuk hawa panas dan debu bertahun tidak bersisa ruang meleburkan diri bersama kisah bergulingan di atas rumput Celakalah kesombongan membiarkan yang lain sakit dirajam sesak nafas berhari-hari udara kotor di tabur pendurhaka kota membiarkan pencemaran menjadi semak Berapa rupiah sudah kau habiskan? Kota bertumbuhan batu-batu baru sungai berlumpuran limbah aku pun tak ingat entah sudah berapa kali mengantar jenazah 2004 3 Toba Samosir I Dulu pernah kujelajah berapa pinus tumbuh puncak bukit dengan daun dan bunga mengembang pinggiran danau hijau membentang lalu air membawaku berkeliling begitu jernih begitu bersih Menelusuri jalan berangin-angin mengitari tanah bertingkat, sawah, dan wangi daun bersama basahi tubuh, selalu gemetar merasa dingin menikmati sekumpulan ikan bunga-bunga sepanjang jalan melantunkan bunyi; Boraspati - Boraspati pada peta abadi menenun ulos pengantin tak merasa lagi dingin menziarahi makam atau membarakan perapian menghangatkan tubuh menghias langit tujuh pelangi mendongengkan orang asing datang berkunjung berganti-ganti lalu pergi membawa ulos pengantin Boraspati lenakah tidurmu dalam kabut puncak bukit daun yang tak lagi remaja berbunga-bunga melantunkan kenangan yang kini terlupakan terhina dan terlunta Tanah maha luas dulu pernah kuhitung berapa pinusmu debit air dan wajah ikan berkejaran 4 II Kini di antara jejak tapak kaki tak kulihat pinus tumbuh berlapis-lapis atau tubuh lelaki kekar memanjat pohon Selain luka panas tanah membakar tak ada tersisa dingin angin cahaya kunang-kunang menembus gelap dan anak-anak ikan berkejaran ke pantai Tak ada pantai karena bangunan menjorok ke danau ikan mati dilimbah racun pinus habis menggelandang Menyaksikan retak tanah disapu angin membawa daun-daun kering pada setiap butir batu nyanyi pilu anak-anak di tubuh berdebu sudahkah kau dewasa? Menyaksikan tanah moyang dijarah puluhan kerambah ikan orang asing mengapung limbah pelet menjadi lumpur racun di dasar danau Menyaksikan batang kayu ditebangi bertahun-tahun menjelmakan kerawanan menjadi kiamat yang tak tercatat Sudahkah kau berpikir dewasa menuliskan sebaris riwayat menutup luka? 5 III Akan kunyanyikan padamu tentang tanah negeri dan semak kuburan sukma yang luruh di setiap sudut mendongengkan sejarah makhluk raksasa menjaga hutan sampai ke akar ke puncak ubun Melintasi kota sepanjang hari mengikut jejak demonstran meski gemetar keluar dari tubuh keriput karena ancaman senjata dan palu godam pengadilan Menyisir petaka menampung mata air, menjelmakan sungai menuju danau, lalu istirah membiarkan tubuh basah menulis tanah dan air rintik hujan menyeka rambut dan mata Akan kuperdengarkan pula bisik Boraspati menyusukan anak-anaknya dari getah pohon pinus beratus tahun minum dari liur ikan juga kepadamu akan kuberi ciuman sepasang pengantin melahirkan putik bunga mengambangkan daun, buah masak Tapi sudahkah kau cukup dewasa atau tua hanya pandai mereka-reka? 6 IV Air keruh, bau, dan kotor menggegaskan langkah mengakhiri penjelajahan karena tanah kian gaduh pohon gundul, hilang tempat berteduh Kenangan lalu menjerat ketakutan pada tubuh sekarat bahkan tanpa nyawa di pinggir pantai berbatu mengutip sampah pembawa maut Danaumu - danaumu oh raja dan datu-datu yang kau jaga siang malam mendendangkan lagu keindahan tanahmu menjadi hina dan terlunta-lunta V Apakah menjadi sia-sia tubuhku melontarkan amarah anak sorga dibungkam dengan hukum dan palu godam Aku atau kitakah tak berdaya melawan segala khianat menyeka bau udara lembab Sebab besok adalah kematian ditumpangi malaikat menutup muka dalam sedih yang hitam sakit yang mencekam 2005 7 Deknong (airmatamu riwayat duka Aceh) 1. Laut menggemuruh menggunung ombak datang bergelombang Di tengah pagi menghantam daratan menyapu jiwa - melayang - hilang senyap suara-suara menyayat mendekap tangisan meratap Seperti murkanya alam maut datang dari laut bagai melepas dendam tangannya mencengkram ribuan nafas kemudian seketika raib ke samudera lalu nampaklah di tengah puing berserakan puluhan tubuh bergelimpangan Langit memayungkan duka air mata kutulis syair menjadi prosa kutulis pilu tangis membanjir puisi luka puisi duka maha dahsyat luka maha dahsyat duka Maha bijak Allah! 8 2 Kau pun tahu, Deknong begitu tak berdayanya kita di tengah amuk perang dan politik dunia di tengah amuk senjata dan mortir penguasa taklah gelombang sekejam itu meratakan tanah huma Berhentilah mengenang anak-anakmu atau menghitung kesalahan masa lalu Pagi ketika maut dijemput laut biarkan senyum menebar wajah antara hidup dan mati alangkah dekatnya kita meski membayang derita menghantam sepanjang riwayat tanah Aceh Kehendak pengetahuan tak sampai membangunkan kesadaran pikiran berhentilah menangisi gelombang menyaksikan riak air, batu, dan pantai berpasir Jika dikenang begitu jauhnya ujung pulau lalu laut mengkafani jasad menghilang ke negeri lain antara langit, daratan, dan perasaan melumpuhkan hari-hari berkabung menghitung satu dua pertempuran maka biarkan laut menjemput maut biarkan mereka tidur melepas lelah di sisi Allah 2005 9 Resah (tentang sebuah negeri) Berpuluh resahku menghambur ke pucuk kalbumu lahir berpuluh gundah - berpuluh gelisah berpuluh rumah dan kanak berselimut kain belacu Istana bagi semua - mengalir airmata tetesnya menusuk jantung - hati dan paru debar menyesak - menghantam tengkuk kepala kemana membawa pikiran - sedang tanah tandus beratus luka perempuan-perempuan Adalah ibuku berkisah tentang sebuah negeri bertumbuhan kepalsuan; Sekumpulan orang meniup sangkakala sementara ibu di tengahnya mengelus hiba merangkul amuk manusia pinggiran bangun dari tidur - melihat jalanan terbakar minyak bertumpahan - nafsu merubah kehidupan Bumi dilamun petaka prahara menghancurkan hati - tanah dan air dikubangan kota - mengiris hati - menghentak langkah memamah kenakalan sejarah siapa meneteskan mata air padahal di mimbar kerakyatan langit berkabut lalu antara bayangan memanjang melewati negeri gelap gulita - segala menghilang membentang khianat tanah huma tanah dari negeri menangiskan mimpi-mimpi 2004 - 2005 10 Bumi (di tengah musim) Jika menjadi ibu di kepalanya penuh kunang-kunang Jika menjadi abu habislah sudah cahaya kehidupan Jangan pernah tak bertenaga membuka suara membentang pergolakan - mengabarkan perilaku tentang tangis dan penindasan berpuluh gundah - hak dinistakan kehidupan ditelantarkan terbuang jadi debu di tengah musim; masa suram Setelah amuk perang, senjata, dan pembodohan jadi lorong labirin - tenggelamkan sejarah peradaban bumi dikelilingi dataran rumit penuh sukacita pecahan tabung kaca lalu pesta jumpalitan melepas lelah, tidur dangan kemenangan Pada selembar surat yang kutulis pandanganku teriris-iris Bahwa aku menghempang kematian menjadi abu atau menjadi patung batu monumen sejarah berziarahlah membuka sejarah kota dan kehidupan kugantikan pisau batu dengan baja bermata seribu 11 Setajam bibir ombak menguras pasir di pantai sesekali ke tengah berenangan dengan angan-angan menjadi beribu pisau pisau-pisau peradaban kebudayaan 2005 Langkah Mendaki jalan-jalan - tanah rumputan kaki telanjang nyeri menggapai-gapai gapaiku gapaimu di puncak langit biru Jalan-jalan bebatuan - mata bersimbah darah hidup di angin apa dengan perut keroncongan Aku inikah bumi tak sampai-sampai langkahku mencapaimu lelah mencari telaga di tanah kering Gapaiku gapaimu tak sampai-sampai bertemu 1986 - 2005
12
Dunia Bayangan kita memutus barisan di kerajaan angin kutu dan kecoa di daratan berlupaan lupa segala yang tiada, ada yang membenam hati dan jiwa penuh kelancangan yang bergelayutan di kafir puncak kota-kota jadi pelacur jadi anjing kekuasaan jadi rebutan 1987 - 2005 Laut Telah dikabarkan riwayat gelombang melekat di tanah menghitam Jika dikenang begitu dekatnya kita bertempur dengan maut antara hidup dan mati Maka biarkan laut menjemput biarkan aku menidur melepas lelah di sisi Allah 1990 13 Maut Ada malaikat meneteskan gerimis ada wanita tenggelam di langit jangan menangis menahan sakit meski waktu datangkan perih lalu maut memungut sisa nafas kita Khuldiku Lelah sukmaku lepas sukmamu cemas penghabisan di segala muara masuklah-masuklah silahkan kau rebah jatuh karmaku jatuhlah Cahaya adakah cahaya membenahi keterlanjuran yang tercipta sejak lama? Khuldiku jemputlah dosa kita itu kiamat jatuh sepanjang dunia tempat adam dan hawa samsara 1985 - 2005 14 Demi Bumi Jangan letakkan hukum di bawah bantal dalam mobil mewah berwarna hitam pekat yang tak bisa kutandai entah simpang mana menuju jurang jejak kaki nyeri pada kulit mata berkunang sepanjang jalan selalu kalah di tikungan Setiap muara berhenti di laut logam berat melebur lewat tailing setelah lalui meja dan kursi duduk bersandar membuka jendela membersihkan kemeja membungkam suara menerka-nerka warna seperti buih menepi menampar karang pasir pantai jejak hilang meninggalkan bau karatan Lelakiku tertinggal jauh selalu kalah di tikungan jalan ke mana perginya orang-orang itu? Menjelajahi bumi menyisir udara, tanah, dan air sedimentasi mengancam Timika limbah muara Otakwa ke laut Arafura merenggut jiwa Amungme, Komoro, Dani, dan Ekari Merkuri, Arsen, Sianida, dan Tembaga logam berat pencemar Teluk Buyat di Sulawesi Utara rintihan korban Tembaga Pura, Rampa, dan Teluk Jakarta raib entah ke mana 14 Penebangan hutan Ladia Galaska Illegal logging di Kalimantan dan Papua sama parahnya menggelandangkan pinus ke Porsea Kalau tanah menjadi debu debu menjadi abu abu menjadi udara kotor udara kotor menjadi panas panas menjadi uap air uap air menjadi gas gas mencemari angkasa di angkasa lapaisan ojon menganga lalu sepanjang perjalanan waktu senantiasa menghitung maut menggali makam sampai tenggelam abadi lebih abadi dari matahri 14 Jones Gultom Lahir di Perbaungan 26 Oktober 1982. Tulisan- tulisannya berupa puisi, cerpen dan artikel budaya diterbitkan di sejumlah media cetak dan nasional. Di antaranya Analisa, Waspada, SIB, Mimbar Umum, Sumut Pos, Kiprah, Harian Sumatra, Medan Bisnis, Suara Pembaruan, Majalah Salus, Suara Hati dan Menjemaat. Berkesenian di beberapa kota di Indonesia antara lain, Yogyakarta, Lampung, Jakarta, Pekanbaru dan Medan. 15 Bulan di atas toba dari dolok ke dolok aku menyusuri bayangmu setiap kali kutemukan jejakmu selalu ada yang tertinggal bula di atas toba seperti Tuhan yang sedang berkaca senyumnya luka- luka yang indah di atas toba bulan tak pernah mati meski di tanah ini mendung selalu menggantung memasung hariara, hoda, anggir hingga tak lagi bertuah dari dolok ke dolok di antara pinus dan hariara aku menyusur bayangmu yang tersangkut di antara gundukan enceng gondok seperti Li Tai Po kau pun mengajakku bersidekap 2005 Hutan Gugur di gerbang rimbamu kau menyambutku dengan nyanyian chainsaw dan deru pohon yang berjatuhan aku pun ragu melanjutkan perjalanan! 2005 16 Di Toba Aku Berpulang Telah kutaburkan serpihan jiwaku ke dasarmu toba Hantarkanlah pada Nan Tinjo si penjaga tao Hanya itu yang bisa kuberikan Sisanya secuil nyeri dan sakit hati Melihat hutanmu tak lagi menyisakan ranting bagi leang- leang mandi Melihat airmu yang berlumpur Sengaja kubakar dengan dupa dan kemenyan Bair aromaku merajai tubuhmu Kelak angin dolok menyeretnya ke hulu Mengetuk- ngetuk setiap pintu! 2005 Kabar Dari yang Berebahan Kayu yang berebahan di gerbang pintu Mengucap salam padamu Tentang penjarahan besar- besaran tadi malam ; mereka membawa traktor, buldozer dan chainsaw mereka juga membunuh anak- anak kami lalu menunjukkan luka- lukanya kabar dari hutan siapa yang tahu kabar dari rimba siapa yang mau tahu bila di balik itu ada yang lebih menggairahkan! 2005 17 Nyanyian Burung yang Hutannya Hilang Rimba Kusaksikan di antara ranting dan dedaunan Burung- burung kehilangan cengkeraman Menggantung di udara Karena hutan telah kehilangan rimba Di udara burung- burung tak henti berkepak Sayapnya mulai terbakar Dan gugur satu persatu Burung- burung melengking Mencoba menghentikan auman cainsaw Hanya udara yang mendengarnya Sementara di sebelah sana orang sibuk menghitung angka- angka 2005 Temaram Rebah di Toba Matahari patah Ketika temaram rebah di dadamu Aku mengayuh perahu sampai jauh Sampai lapuk biduk dan robek layarku Menuju ujung jubahmu Yang kau ikatkan di perahuku Toba adalah airmata para dewa Dan aku terombang- ambing di atasnya 18 Bandang Terima kasih telah kau ingatakan kami akan serakah ini! Tsunami Tolong kirim yang lebih dahsyat lagi Biar dunia tahu Di Indonesia banyak anak yang memperkosa ibunya! Mengungsi ke Kepala Karena tak ada tempat Gajah, harimau, monyet burung, ular pohon- pohon Mengungsi ke kepalaku Lantas beranak- pinak Menjelmalah kepala menjadi hutan rimba Aku memang tak punya bahtera Seperti Nuh Tapi aku punya jiwa Bagimu Hutanku! Inilah kelemahanku! 2005 19 Surat dari rimba untukNya Katakan padaku siapa yang menyembunyikan surat itu Hingga Dia tak pernah tahu kabar kami di sini Lalu murka mengirim bencana Sejak dulu kami rajin mengirim surat Walau aku ragu sampaikah ia padaNya Sebelum akhirnya bencana Dan kami sadar tak sekalipun ia pernah membacanya Lalu siapa yang menyembunyikan surat itu? 20 M. Raudah Jambak Lahir di Medan, 5 Januari 1972. Aktif diberbagai kegiatan seni sastra dan budaya. Selain menulis puisi, cerpen, artikel, dan esai. Ia dikenal sebagai aktor dan sutrdara teater. Tahun 1993, melakonkan Tessemata di Open Stage TBSU. Tahun 1994, Sang penyair di Open Stage TBSU. Tahun 1995 mengikuti PEKSIMI-NAS III di TIM Jakarta, membawa naskah Abrakadabra. Tahun 1997, menampilkan Menyibak Tirai Masa Depan di Pardede Hall. Tahun 1998, membawa Petang di Taman. Tahun 2000, melakonkan Tragedi Al-Hallaj di Tiara Convention Hall. Tahun 2001, Kecubung Pengasihan di TBSU. Tahun 2002, menampilkan lakon Jodoh di TBSU. Tahun 2003, Tamu Terakhir di GKJ Jakarta. Tahun 2004, monolog Anjing Masih Mnggonggong di Taman Budaya Banda Aceh. Puisinya diterbitkan dalam antologi Kecamuk ( ), Tengok (.......... ), Seratus Untai Biji Tasbih (....................), Meditasi (..................). Muara Tiga ( cerpen Indonesia dan Malaysia,..............). Easainya dimuat dalam buku 25 tahun Omong-Omong Sastra. Bekerja sebagai guru di Perguruan Panca Budi dan Budi Utomo, serta dosen honorer di Universitas Negeri Medan. Kegiatan lainnya sebagai redaktur budaya di tabloit Media Ummat. Kini tinggal menetap di Kapten Muslim/gang Jawa, lorong Muhammadiyah No. 7 C. Handphone 0815164545. Semboyan hidupnya, jika ingin hidup maka berjuanglah. 21 Di Bawah Rintik Hujan Hujan bercakap-cakap dengan rindu, rindu dengan pohon, pohon dengan perempuan perempuan dengan hujan di serambi sunyi, sunyi hampir malam, malam makin menghitam Dari balik jendela, kau memahami percakapan hujan dengan takdir yang mengalir bersama nadi diri, bersama nurani, padahal takdir sendiri takut kau hadapi Setidaknya kau merangkai kata dalam nyanyian tentang lelaki; atau bunyi cecak dari balik jendela atau kau bisa mengakui; takdir adalah kelam berisik angin yang patah di serambi tapi sampai kini kau masih juga tidak mengerti sebab tak kau sadari ada seorang lelaki yang bersunyi-sunyi diri menggenggam matahari bersama untaian melati Hujan bercakap-cakap dengan rindu, rindu dengan pohon, pohon dengan perempuan, perempuan dengan melati, melati dengan matahari dan lelaki itu dan perempuan itu akhirnya tak sendiri Medan, 2000 22 Rindu Daun-daun Kemana daun-daun itu? sedang kemarau menabur-tabur luka di setiap nyanyian kita : rindu daun-daun angin siang ini, kekasih bertutur pada kembara riwayat kita rindu yang merindu beraroma melati begitu kemaraunya membabat tangis dalam isak sampai angin membawanya pada segala kitapun lunglai asyik dalam nyanyian diri mengharu biru dalam deru rindu daun-daun ke puncak angin ke puncak bianglala menikam pada dada setiap perawan menghujam jantung para jejaka kemana daun-daun itu? Medan, 2000 23 Sepasang Kelinci Suara kelinci betina di kandang suara kehilangan tentang si jantan yang kaku jadi bangkai hawa nafas kurungan jadi rantai ada kehidupan terikat mati ada kematian dalam cengkraman kehidupan sepanjang peradaban Medan, 00-06 Tembang Burung Malam Kau lihatkah burung-burung terbang pada pelukan malam tangisnya semakin dalam; dari senja sampai batas kelam Sayap-sayap berpatahan satu persatu gugur menyentuh bumi Sayap-sayap berpatahan diterbangkan angin pada matahari namun gerimis, tak cukup untuk mengurai tangis kau lihatkah? Medan, 2000 24 Sajak Burung Lelah Burung yang lelah mengigau dalam sangkar emas terkunci di balik pintu kebebasan Dalam jari mencengkram, suaranya beku dalam bius dinding-dinding dingin. Hanya ada biji-biji padi, jagung atau pisang serta minuman penuh ganggang Burung yang lelah mengigau dalam sangkar emas suaranya dan bulu keemasan telah jadi pajangan, di dalam istana para junungan. Ia lupa warna cahaya mentari, apalagi pelangi Tak terdengar kokok ayam hutan jantan di pagi hari dan rinai hujan yang menari Burung yang lelah mengigau dalam sangkar emas kebebasannya telah mati bulu-bulu halusnya jadi tas tangan untuk ibu-ibu dan remaja putri dalam sandangan Medan, ‘01 25 Balada Daun-daun Gugur Di puncak pepohonan ranting patah, dahan patah. Selembar daun jatuh dia tidak melambai ketika angin bertiup karena ia gugur sebelum menguning sebelum tubuhnya mengering kemarau dan hujan telah menjebaknya membius dengan sengatnya, mengguyur tanpa iba menyeret daun ke liang kubur Pepohonan diam, dahan diam, ranting diam, Daun diam, anginpun diam Seperti telah dibungkam Medan, 2000 Nuri dan Musang Seekor nuri menjerit di bubungan atap pekik kerasnya ditelan warna kesunyian seekor musang mengintai di balik kelam mata jalangnya menatap garang menjelma ujung tombak menembus jantung nuri yang tercekik, menggelepar di kebisuan malam Medan, 00-06 26 Masih Merdekakah Kau Indonesia Masih merdekakah kau Indonesia setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya dalam kaleng rombeng, di antara recehan miliknya para pengemis belia yang mendendangkan asap kanalpot dari oplet tua Masih merdekakah kau Indonesia ketika musyawarah berubah dari mufakat menjadi siasat, ketika wakil rakyat lebih mewakili penjahat, ketika gedung dewan lebih mirip kandang hewan, dan ketika para pejabat negara tega-teganya menjadi penghianat bangsa Masih merdekakah kau Indonesia dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham maknanya karena matamu telah dibutakan dan mulutmu disekat rapat-rapat, serta telinga cuma sekedar bunga tanpa aroma Masih merdekakah kau Indonesia padahal telah banyak disumbangkan darah dan airmata dari berjuta nyawa yang akhirnya cuma sekedar warna luka Masih merdekakah kau Indonesia masih merdekakah? Medan, Agustus 00-04 27 Hutan Dalam Lukisan Aku tahu ada macan dalam hutan ada kera dalam belantara aku tau buasnya hutan rimba Di sana juga ada surga bagi ikan bersinggasana di jernihnya kali dan kerajaan lumut rumput yang lembut dan seperti musafir, tempat para unggas singgah sehabis perjalanan yang lelah. Dan angin di pucuk pepohonan yang menari antara mayang-mayang menggapai langit antara gesekan lantun para daun Aku tahu ada hewan yang bebas dalam lindungannya ada tumbuhan yang beraneka rupa seperti lukisan hutan para maestro dunia karena keindahannya. Tapi yang aku tidak tahu mengapa ada gesekan gergaji kanan dan kiri berbuah gurun untuk generasi penerus negeri sementara kita masih senyum-senyum sendiri. Medan, ‘00 28 Dikotaku Walet Jadi Penguasa Di desa, para sesepuh rapat bersama berdiskusi tentang pengadilan lokasi swadaya tentang tangsi-tangsi pengungsi tentang pengadaan pangan, sandang dan papan untuk para pengungsi, saudara-saudara kita dari kota Di desa, para sesepuh berdoa bersama memanjatkan harapan pada Yang Maha Kuasa bagi penghuni-penghuni yang terusir dari rumahnya mengungsi entah kemana, berkumpul membangun desa bersama-sama Di desa, para sesepuh menggantungkan harapan dan impian, bagi keselamatan diri dari inspeksi virus imbas kota, walet-walet telah jadi penguasa, membangun istana untuk kerajaannya. Medan, ‘00 29 Kepodang Kehilangan Sarang Pada pelepah pisang kepodang biasa memandang sawang dengan tenang Pada pelepah pisang kepodang biasa menyambut fajar yang terang cemerlang Pada pelepah pisang kepodang biasa bersiul masygul Kuning bercahaya bersih bersahaja bulunya melodi pagi sering terdengar nyaring riangnya Tapi, pagi tadi kepodang menyeringai garang. Dia telah kehilangan sarang Kehilangan mangkuk bulu poleng hitam di mata tengkuk, yang kuning keemasan. Kehilangan serangga buahan, sebagai makanan, terantuk sarang manuasi yang tinggi diantara gedung-gedung pencakar langit. Tak ada suaka, sementara deru knalpot membabat lantunnya 30 Di etalase toko sarang kepodang dipajang menantang dengan harga bandrol khusus buat para pialang Di gedung-gedung bioskop, dan stasiun radio dimunculkan nenek moyang para kepodang dengan alunan lagu tembang kenangan Kepodang dengan paruh dan kaki merah jambu telah kehilangan sarang Kepodang dengan paruh dan kaki merah jambu telah jadi sejarah dalam kotak kaca sebagai cinderamata antar pengusaha. Dan anak cucu kita hanya melihatnya di musim-musim millenium Medan, ‘01 31 M. Yunus Rangkuti Lahir di Medan, 21 Maret 1966. Alumnus Program Studi Diploma III Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Tulisannya di muat di harian Analisa, Mimbar Umum dan Waspada (Medan), mingguan Swadesi dan Bisnis Indonesia (Jakarta). Puisi-puisinya terangkum dalam antologi bersama, ASA, 1984, diterbitkan Senat Mahasiswa Fak. Sastra USU. Katarsis, 1987, majalah dinding dan Senat Mahasiswa Fak. Sastra USU. Dalam Kecamuk Hujan, 1997, sanggar Kedai Sastra Kecil. Indonesia Berbisik, 1999, Dewan Kesenian Sumatera Utara. Muara Tiga, 2001, Dialog Utara IX. 25 Tahun Omong-Omong Sastra, 2002, Satra Leo. Tengok 4, 2003, Arisan Sastra Medan. Aktif mengikuti kegiatan sastra, khususnya di lingkungan Taman Budaya Sumatera Utara, menjabat sebagai Ketua Forum Kreasi Sastra (FKS) Medan. Kini bermukim di desa Sampali, kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang. Nomor kontak telepon (061) 6623492. 32 Seharusnya Kita Hidup Makmur di tanah gembur tetumbuhan menyubur seharusnya kita hidup makmur tapi dedaunan mengering gugur tapi hutan digundul hancur tapi lahan hijau terus tergusur konglomerat rakus, pejabat tak jujur di tanah gembur tetumbuhan menyubur seharusnya kita hidup makmur tapi bencana terus menjulur tapi kemiskinan kian melumpur kita berkubang, lalu terkubur Sampali, Juli 2005 Limbah Limbah poradaban kian mengental dalam darah menjalari sekujur tubuh bersama degup jantung membiak bak riak hujan lahirkan gelembung sesaat bertahan, kemudian pecah limbah kian melarut dalam pagut maut bermuara ke tangis samudera duka seperti embun pagi sejuknya sesaat membasuhi balita kita lahir senyumnya sesaat membahagiai hanya sesaat! Sampali, Desember 2005 33 Limbah (2) Limbah telah menganak sungai melimpah pada muara darah. Orang-orang tak henti menari dan berlari gapai pelangi hingga lelah sendiri limbah kian melimpah mendarah luka memburu pada cumbu semu. Orang-orang tak malu melagu lalu berlalu pacu waktu hingga kaku beku Sampali, Desember 2005 Limbah (3) Limbah cair tambah meruah di air membuncah setiap hari industri muntah. Anyir membaui ikan gobi mati sendiri Limbah cair tak henti menjalari tanah, sungai, danau terkontaminasi seratus juta warga mengkonsumsi limbah cair terus melarut kentali laut biota laut terancam, dalam sampan nelayan muram limbah cair bagai arus menggulung tak terbendung limabelas juta ton setahun, hanya dua juta bisa dikelola. Air, tanah dan udara diperkosa kita-kita tak berdaya saat tubuh kita limbung sebab lambung telah jadi tabung limbah cair terus mengalir, maut terus menggilir Sampali, 2005 34 Maut dari Mulut-Mulut Asap menebar maut menyebar dari mulut-mulut para pengisap akrab merasa beradab merasa tak menyalah, meski gelisah mendera-dera dalam layar kaca tak cela, dalam papan iklan] bak jantan, di bis kota bagai raja bermahkota dari beratus juta batang dibakar asap menebar maut dibalut dalam kemas pantas selubungi racun ganas, tutupi rasa cemas asap maut terus menyebar dari mulut-mulut para penghisap dalam pesona perangkap tawarkan cita rasa, malah hadirkan binasa suguhkan nikmat sejati, justru mempercepat mati Laut Dendang, 2003 Pesta Madu Seribu kumbang dan kupu-kupu berdendang merdu sejuta bunga melambai tari suguhkan madu sebegitu mempesona jangan usik kemesraan mereka! Ini pesta naluri alami, bukan umbar birahi Desember, 2005 35 Ketika Aku datang, Ketika Aku Pergi Ketika aku datang kota berhamparan kehijauan aku masih bocah gamang melangkah pematang sawah serombongan kami bersorak serentak burung-burung pipit terbang berhamburan Ketika aku datang kota bernaungkan kerimbunan aku masih belia senang menyusuri lengang jejalanan sekelompok kami melempar memunguti mangga dan sentul berjatuhan (tahun berganti, kota meramai aku meniti hari, hingga lelah sendiri) Ketika aku pergi kota kian sesak bebangunan aku telah menua bimbang melangkah persimpangan hamparan kehijauan ditelan deru pembangunan pipit menjerit gelisah kehilangan sawah sejuta walet pongah seliweran meresah mangga dan sentul telah lama tak berbuah Ketika aku pergi kota bertebaran sesampahan aku telah letih limbung menanggung beban kesedihan di hati berjanji: tak kembali lagi Sampali, 2004 36 Kisah Kota Megah Inilah kisah dari kota megah: banjir melimpah-ruah, sebab parit ditumpat sampah. Sungai jadi sempit sebab bantaran disesaki bebangunan nyaris tak tersisa keluasan penuh tanaman dan tanah kehilangan akar-akar serapan beton-beton menghunjam ke dasar bumi pipa dan kabel menjalar melingkari bebangunan menjulang gapai awan pepohonan menghilang dari pandangan bebangunan meluas kuasai lahan dedahanan dipangkas, akar ditebas protes selalu ada, proses begitu saja penghijauan dilakukan lewat anggaran sejuta Pinang Merah di pinggir jalan sesaat tumbuh, lalu rubuh tak utuh hilang dari pandang yang tersisa merana sia-sia wargakah tak bertanggung jawab? Atau selalu ada oknum penuh harap? Anggaran kembali turun untuk dilahap! Sampali, 2003 Limbah (4) Limbah tiada bermuara, hanya mengembara lalu kembali meracuni kita-kita Sampali, Desember 2005 37 Tiada yang Liar, Hanya Kita yang Barbar Tiada yang liar dalam hutan terhampar kita sendiri bertindak tak benar memburu penuh nafsu, menebang dengan garang harimau, badak dan gajah melangkah lelah menuju punah. Berjenis unggas terbang gamang hilang sarang gaharu, cendana satu waktu tinggal nama hutan terus dirambah, jutaan batang telah rebah oleh tangan-tangan serakah Tiada yang liar di keluasan hutan terhampar kecuali kita pemburu dan penebang liar kecuali kita yang bertindak barbar Sampali, 2005 38 Rida HR Nama lengkapnya Ridahati Rambey, Lahir 03 April 1983 di desa Asam Jawa, sebuah desa di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. E-mail: arida_01@yahoo.co.id Handphone: 081361462150. Anak ketiga dari enam bersaudara dari ayah yang bernama Amalan Rambey dan Ibu Fatimah Siregar. Hidup dan dibesarkan dari keluarga yang sederhana. Menyelesaikan SD tahun 1995, SMP tahun 1998, dan SMA tahun 2001 di Kabupaten Labuhan batu. Tahun 2005, menamatkan kuliahnya di Departeman Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Puisi-puisinya di muat di harian Analisa, di antara Sepi, Lumrah, Ziarah pada Pusara yang Tak Bernama, Buatmu, Puisi Anak Negeri, Atas Nama Rintihan Alam, Padamu Jua. Semasa kuliah, aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, dikenal sebagai seorang aktifis lingkungan hidup yang peduli terhadap pelestarian hutan. Dalam Komunitas Pena Kehutanan Universitas Sumatera Utara (KOMPEN-USU), Komunitas Pembibitan USU (KOMBIT-USU), dan Himpunan Mahasiswa Sylva USU (HIMAS-USU). 39 Di Antara Jengkal-Jengkal Tanah Puluhan tahun negeri berhutan rimba belantara dan satwa di dalamnya menampung air mengalir ke akar-akar pohon daun-daun tumbuh, dan embun menyentuh Namun kini di antara jengkal-jengkal tanah kita berdiri berubah jadi tembok-tembok angkuh memaksa bumi merusak alam memotong ranting dan pohon membuahkan padang gersang dan banjir bandang illegal loging, pertambangan, dan pembalakan jadi bencana Berteriaklah bumiku berteriaklah alamku gncangkan dunia dengan tangismu guncangkan jiwa dengan bencanamu Sebab esok tak ada embun yang datang bergeming di hati tak ada tajuk pohon menaungi karena hati keruh dan penuh debu Kitakah yang diagungkan sebagai khalifah bumi berdiri di antara jengkal-jengkal tanah negeri? Medan, 2005 40 Bahasa Alam Air yang mengalir dari gunung hingga ke lereng-lereng adalah bahasa alam sinar matahari dan angin yang berhembus riuh satwa di belantara adalah bahasa alam Sesungguhnya bahasa alam adalah bahasa aba-aba maka, jika pandai membaca aba-aba takkan mungkin sengsara takkan ada bencana Wahai, kembalilah memaknai bahasa alam untuk damai dan tenang hidup segala makhluk Medan, 2005 Ziarah Pada Pusara Tak Bernama Di bawah rimbun pohon kamboja beberapa helai daun dan bunga jatuh di atas pusara yang tak bernama adakah kau di sana ditemani malaikat berwajah garang atau riang? Aku berharap kau bergelar syuhada dari sang pencipta karena yang aku tahu kau pergi dalam gelombang dan bumi yang berguncang abadi dalam lukisan di tanah ini Medan, 2005 41 Buatmu Bahorok Segala kisah yang kita rangkai tersandar pada luka pada masa yang diakhiri sang waktu berbaringlah pada tidur panjangmu Waktu yang tersisa adalah semai cinta yang harus kujaga dan doa yang harus kulantunkan setiap saat buatmu Kenangan bersama akan terkubur dalam rindu masa lalu dawai-dwai kerinduanku akan menghasilkan nyanyian tanpa isyarat tenanglah di sisiNya Medan, 2005 Dalam Perjalanan Mencari Cahaya Kami adalah buah cemara yang digerogoti dalam perjalanan mencari cahaya di belantara ini Kami hanya bisa mendengar nyanyian asmara cerita kami terpotong-potong dalam kolong sesekali bolehkah kami rindu pada pantai dan teka-teki gemersik pasir Medan, 2005 42 Buat Para Pemimpin Negeri Geliat dan ratapan bocah jalanan gambaran penderitaan setumpuk kesumpekan peradaban yang tercipta oleh sang waktu Berbagai peristiwa mencengkram jiwa, lara keriuhan pikiran terhadap fenomena yang tercipta membuahkan beribu pertanyaan padamu para pemimpin negeri Cahaya apakah yang akan kau suguhkan pada kami adakah ia cahaya matahari yang terangnya hingga ke lubuk hati? Medan, 2005 Celoteh Kura-Kura Aku seekor kura-kura kecil tak tahu kenapa dikurung dalam akuarium tinggal sendiri, dijatah makan hanya sekali karena kecil tubuhku geliatku tak kuat memecah kaca Berkali-kali membenturkan kepala, kukatakan menghiba; lepaskanlah aku tinggal di tepi laut bersama teman-teman bermain di pasir, menggulung riak-riak ombak tapi majikanku tak juga mengerti Medan, 2005 43 Banjir Bandang Air mengeruh berubah warna ini pertanda air menjelma jadi bencana banjir bandang datang tiba-tiba Hanyutkan berjuta jiwa manusia bayi yang ditimang pun kehilangan susu ibunya para remaja pun kehilangan kisah asmara tenggelam duka ditelan masa Tak ada daya Alam marah Tuhan marah Harus lari kemana kehadiratNya pasrah saja kenapa? Alam tak dijaga manusia tak amanah Konservasi didemo milik bersama eksplorasi milik siapa? Medan 2006 44 Harta Pinem Lahir 25 Juni 1958 di Juhar, Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo. Pendidikan akhir Sarjana Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia di IKIP Medan, 1987. Aktif menulis puisi, cerpen, esai seni budaya sejak 1986. Karya puisinya dimuat di harian Analisa, Singgalang, lampung Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Nusa Tenggara, dan Bali Pos. Sejumlah puisinya turut dimuat dalam antologi Serayu (Purwokerto, 1995), Refleksi setengah Abad Indonesia (Solo, 1995), Tabur Bunga Penyair Indonesia (Blitar, 1994), Mimbar Penyair Abad 21 (Jakarta, 1996), Antologi Puisi Indonesia 1 (Bandung, 1996), Dari Bumi Lada (Bandar Lampung, 1996), Songket (Pelembang, 1996), Makam (Pekanbaru, 1999), Bumi (Medan, 2000) Bersama puluhan penyair dan pekerja seni atas undangan seniman Mbeling Sutanto, ia turut membawakan pidato kebudayaan di Studio Mendut, Magelang pada 1994. Saat ini ia menjadi staf penyunting dan pengasuh rubrik sastra di majalah bulanan rohani Menjemaat, komsos Keuskupan Agung Medan 45 Kepada Manusia Kami ribuan satwa yang mengungsi dari daerah kelahiran kami sebab hutan yang tinggal sedikit terus ditebangi Kami tak tahu perjalanan hari depan kami raungan mesin sinso semakin akrab dalam pendengaran kami seolah musik pengantar tidur Kami tak takut mati sebab maut kini sahabat setia kami bahkan para alien semakin bergentayangan mengincar hari-hari kami yang bertambah sempit Teruskan, teruskan perbuatanmu wahai sahabat kami manusia tak usah kalian hiraukan gerak hidup kami yang makin terjepit jangan pula kalian hiraukan tentang arti sebuah persahabatan Teruskan menghamba pada kesementaraan tutup telingamu dan jangan asah nuranimu setelah ini Medan, 2005 46 Gerak Tersebutlah kau sebagai rumpun gelagah dikremasi waktu sehabis abad berlalu para hewan perkasa berlalu lalang rayakan jasadmu Di hamparan tanah pekuburan milik semua bangsa tak lagi siapa pun yang dapat lanjutkan kekuasaan di sana sebab alam telah mencabutnya secara paksa Angin meneruskan embusannya sepanjang detik dan jam hujan melanggengkan sedu sedannya bagi bumi yang kini tinggal sebu semata Sungai mengalir deras dengan desirnya menembus semenanjung laut pun bergelombang merayakan kesunyian sepeninggal manusia di bumi tempat kediamannya Medan, 2004 47 Perjuangan Kalah Menang Dan sekawanan singa menggerayang di tubuhku minta daging empuk dan darah segar pemuas dahaga dan lapar yang meruyak di badan Singa-singa itu mendengus dan menggeram dalam aortaku mengoyak-ngoyak dinding kesadaranku Tubuhku jatuh amukannya melebihi hujatan badai Haruskah aku menyerah pada kebuasaannya tubuhku menggeliat laksana ular kesetanan mengunci tubuhnya dengan lilitan mematikan Kami bergumul saling meronta kalah dan menang nyawa taruhannya Medan, 2001 48 Perpisahan Sehabis Perang Kita berpisah sehabis perang pecah di lautan nafsu bukan suratan tangan, kata beliis jantan lalu terbang dan hinggap dari kolam ke kolam sambil membawa hujan Kata-kata bergema rindu bermekaran bagai bunga di sepanjang taman orang-orang bertangisan seraya menabur bunga ke nisan Angin bertiup kencang diikuti deru hujan belibis-belibis itu tak pernah berhenti menaburkan benih harapan meski selalu dikejar pemburu haus nafsu Dilayarkannya rindu dari kolam ke kolam sebelum menidurkannya di sebuah taman segar penuh semerbak mawar kita pun berpisah sehabis perang pecah di lautan nafsu menyimpang dari jalan keteduhan memilih jalan sendiri-sendiri Medan, 2001 49 Di Rimbun Daun Tembakau sunyi mengendap di sela-sela ladang tembakau kaktus-kaktus tua ranggas daunnya seperti kenangan sehabis perang mimpiku melata di dalamnya mencari bentuk aku masih ingin minum anggur dari guci biar kunimati lagu erangan burung undan bersama aroma bunga tembakau dan kau rangkum kisah sejarah kita dengan untaian lagu yang kukarang dari sejuk udara kampung jika kelak kita harus pulang ke pangkuan bunda berteduh di bawah rerimbun daun tembakau mengemas sisa rindu bersama anak cucu bersenang-senang meniti takdir meski langitdi atas sana masih berselimut mendung rerimbun daun tembakau pun masih gembira bertiup diembus angin 50 Sejak Aku berjalan berkendaraan angin menelusuri seisi alam Aku rahmat bagi semesta lepaskan busana ago Tubuhku mengecil berbagi kasih bersama si miskin yang hidupnya tersisih dari pusaran arus angin Ibuku putri ayu saudara-saudaraku penggembala domba bersama bapakku kami bekerja di ladang anggur Setiap pagi bermasmur agungkan penciptaan hujan jadi kawan dan kemarau jadi penyeimbang harapan kami untuk setia memelihara kehidupan Aku mengembara bersama impian melawat kekasih jiwaku di sana riang membaca kalam menyanyikan syair kehidupan digerakkan roh keabadian bersatu hati rayakan kehadiran-Nya Medan, 2004 51 Dalam Cintaku Dalam cintaku kau melebihi danau di permukaannya perahu cintaku berlayar mencari kedamaian berkeliling dari pantai ke pantai wartakan kasih kerinduanku yang semakin hari semakin dalam pada semesta seperti dirimu yang tetap kurindu sepanjang waktu Dalam cintaku kau melebihi laut dikeluasan airmu kapal cintaku berlayar dari teluk ke palung menyelami rahasia diri dalami hakikat ziarah dari titik awal aku ada di sini hingga ke akhir nanti 52 Nanar Aku tak ingin matamu nanar memandang kelelawar lalu-lalang terbang ke luar masuk ke dalam goa sebab sudah di sanalah memang tempatnya bersama keluang dan satwa gelap lainnya mereka nyanyikan senandung pengharapan bagi jiwa-jiwa yang rindu pulang ke kampung halaman sebab hidup di rantau hanya menambah antrian panjang para penganggur sedang perasaan bertambah rentan dirundung gelisah pikiran bercabang pula Zaman berlari, abad berlari berpacu mengejar asa sedang kita tertinggal jauh di belakang mengejar kesia-siaan angan aku tak ingin matamu nanar memandang keadaan sebab kita bukan kelelawar kita makhluk penebar benih harapan setiap jengkal perkataan kita adalah buah cinta janganlah pernah kita biarkan berhamburan jadi sampah Medan, 2005 53 Senandung Sebuah senandung kau lantunkan dengan penuh penghayatan bagi kekasih di seberang lautan ahoi sinandong! ahoi sinandong! Di mana kepala kuletakkan dan tangan kudekapkan ahoi, mambang segala mambang! maut tak kupuja hatiku hancur, siapa sangka, o, dara jelita! Ahoi nandong sinandong! Di manakah beta meletakkan cinta padahal laut telah kusingkap padahal jarak telah kutangkap padahal rindu telah kutimang di manakah kekurangannya, mestikaku! Sebuah senandung telah kau lantunkan dengan penuh kesabaran apalagi yang kurang, tanyamu pada angin di laut ombak berkejar-kejaran pohon bakau meliuk lambai perlahan di sana dara, di sini dara engkau di tengahnya merindu tanya Medan, 2005 54 Seperti Capung Seperti capung-capung di permukaan air hidupku mencari kesejukan di tengah kegersangan bumi sejak pepohonan, gua, dan sungai tak lagi terpelihara kehidupan satwa dan tumbuhan liar kucar kacir tak tentu arahnya seperti kehidupan bangsaku saat ini saling berebut peluang dan cakar-cakaran mengorbankan tumbal sesama tubuh yang kecil babak belur, Tuhanku diimpit kesesakan maka beri kami kekuatan melepaskan diri dari hukuman kutuk dan siksa ini seperti capung-capung itu menikmati kesementaraan dan kebahagiaan sejati di ladang-Mu Medan, 2003 55 Hidayat Banjar Lahir di Medan, 1 April 1962. Rumah Jl. Kapten M. Jamil Lubis - Aspol Blok A. No. 4 A Medan Telepon 061 7356324, Handphone 0812 6461581 Mulai menulis puisi, cerpen, cerbung dan esay/artikel tahun 1980 di media massa Waspada, Analisa, Bukit Barisan, Garuda, Mimbar Umum, Perjuangan Mandiri, Portibi (Medan) dan Harian Merdeka, Pelita (Jakarta). Karya cerpennyanya dimuat dalam Antologi cerita pendek Ah... Gerimis Itu cetakan I, 1990, diterbitkan oleh CV Monora Medan. 50 puisi Serenada, 1994, dipentaskan teater Kartupat Medan. Menerbitkan SKM Mediamassa, 2003. Sebagai pimpinan redaksi Tabloid Tona MUSALA. Staf ahli dr. Robert Valentino Tarigan SPd, BT/BS Bima. Aktif dalam seminar, diskusi sastra dan jurnalistik, masalah HAM serta lingkungan hidup dan pertelekomunikasian 56 Prodeo et Patria Kebersamaan kau dan aku dengan rakyat melarut di rimba-rimba, di liku-liku kota di sungai-sungai peradaban urban karena kita adalah rakyat jutaan tangan yang lunglai Bersebab kita melarut jutaan tangan yang lunglai berubah jadi karang yang tahan segala tiba Duhai sahabat benih yang kau tabur di kebun dan ladang-ladang cinta kasih membuahkan keikhlasan menerima segala tiba sebagaimana para santo kau berjuang bersama rakyat melawan kezaliman tidak untuk dan jadi apa-apa prodeo et patria Bersama rakyat kita lalui siang terik berdebu gulita malam berembun membuhul makna perjuangan, harapan cinta kasih dan kesetiaan Duhai sahabat bukan perjuangan dan semangat perlawananmu yang membuat nurani bergemuruh dan burung-burung elang mengepak-ngepakkan sayapnya di langit jingga bukan...... bukan perjuangan dan perlawananmu 57 Barusjahe, beratus kilometer dari tempatmu bekerja kami catat dalam sejarah pergerakan kaum lingkungan kemudian menyebar ke seluruh tanah karo simalem siosar, kacinambun, kutakendit dan rimba-rimba lainnya Sahabat, bukan perjuangan dan perlawananmu benar yang membuat nurani bergemuruh bukan..... bukan itu kasetiaan dan keridhaanmu menerima segala tiba bagai mazmur, menyirami jiwa-jiwa kering Kebersamaan yang melarut membuahkan pengertian tentang hak-hak rakyat yang dimarjinalkan tawaran uang, jabatan, dan todongan pistol kau lawan agar mata air rakyat tak berubah menjadi air mata agar tanah karo simalem tak berubah jadi simelas agar ibu pertiwi tetap lestari Medan, 2004 58 Jangan Menangis Valentino Jangan menangis Valentino ketika jutaan tangan lunglai menggapai-gapai pundakmu meraba-raba kegelapan tertatih-tatih menghimpun kekuatan agar mata air yang dirampok kezaliman kekuasaan tak berubah menjadi airmata, darah dan nanah Inilah negeri kita untaian zamrud di khatulistiwa jutaan hektar hutan perkebunan dan laut energi yang besar jutaan ton tambang emas, batubara, minyak dan gas energi yang masih tersimpan milik negeri ini milik kita tapi tak didistribusikan dengan adil Puluhan tahun orang-orang marjinal terus menanti terus bermimpi tentang bintang harapan yang terus menyinari siapa saja penduduk negeri ini sebuah negeri indah dengan nyanyian nyiur melambai dengan deru ombak Samudra Hindia dan Selat Malaka dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun namun rakyatnya kekurangan energi Kini engkau datang Valentino saat hutan bakau berubah jadi laut hutan gunung berubah jadi ladang-ladang pertikaian 59 hujan yang merupakan rahmat berubah jadi bencana banjir sinar mentari yang hangat berubah jadi kemarau Inilah negeri kita Valentino sebuah sorga yang dibangun dengan air mata, darah dan nyawa rakyat tapi mereka terus terpinggirkan dan tak berdaya Hadirlah bersama rakyat tanpa tangis kepedihan mencari sorga kemerdekaan yang hilang entah ke mana Valentino, jadilah kidung bagi rakyat membasuh luka tak bertepi menerangi jalan-jalan panjang agar tak terjebak labirin berbau apek yang tanpa pintu dan jendela 60 Bahorok 1 Ada banyak alasan menyalahkan kami berumah di bantaran sungai dalam diskusi panjang di hotel berbintang yang mengantarkan kalian menjadi pemerhati lingkungan sejati Medan, 2004 Bahorok 2 Sudahlah, hentikanlah pertikaian jadikan kami, ratusan nyawa yang meregang tanpa arti sebagai jejak sejarah bahwa kita memang abai menjaga lingkungan Medan, 2004 61 Bahorok 3 Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini aku manusia biasa, yang menyimpan kenangan Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini bandang itu membuatku bagai sebatang pohon di tengah gurun anak, istri, orang tua, mertua dan orang-orang terkasih lenyap ditelan air yang membawa ribuan ton kayu Rusuk retak, kepala pun nyaris pecah keajaiban jualah yang melemparku dari timbunan balok kematian itu Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini aku manusia biasa, bukan batu bersendiri di penampungan sesekali amis darah menelusup di rongga jiwa Hai para maling kayu masih sanggupkah bersembunyi memakai mulut dan tangan penguasa menyebut kami makhluk yang pantas menerima bencana ini Medan, 2004 62 Tiga Senja di Banda senja pertama januari kususuri pantai yang terlihat di sini adalah jejak tsunami langit memerah dalam lnskap menggoda bianglala memayungi banda burung-burung laut masih sempat menyambar-nyambar ombak pantai yang kian melebar senja kedua januari, aku masih di sini terpana menatap jejak tsunami yang perkasa tak sanggup membayangkan nazli si kecil yang belum usai esde tercampak dansyat ke gunung mata’i dan tersangkut di ranting-ranting pohon sementara nazli-nazli yang lain lenyap ditelan gelombang tiga senja aku di banda sejauh-jauh mata memandang adalah silhuet hitam dengan mulut menganga ulee lheu, meuraxa, pekan bada, dan lainnya adalah genangan duka serta ketakutan tiga senja di banda adalah perasaan yang melompat-lompat merah-jingga-hitam-merah-jingga-hitam kemudian tsunami menggumpal di dada Allah Medan, 2005 63 Pagi adalah nyanyian pengantin yang membasahi bunga-bunga mekar taman pun mewangi dalam berjuta kemungkinan kapal-kapal yang bersandar menarik jangkar kawan pagi adalah senyum perwan yang menggerai rambutnya memanggil sang jejaka untuk mengolah lahan Medan, 2005 Siang adalah arena kurusetra tempat para lelaki mempertaruhkan tanggungjawab kawan, tak usah ragu majulah kalah dan menang bukan tujuan nilai terletak pada seberapa besar kesanggupanmu menerima segala tiba dengan keikhlasan bumi yang siap memikul beban apa pun Medan, 2005

Wednesday 26 November 2008

Puisi-puisi Ardani

Pusuk Buhit

Sawah Menguning
di bawah lembah Siargur Mula-Mula
dari kaki gunung Pusuk Buhit
mulanya orang Batak


Bogor

Gerimis di pagi-pagi
merangkul dingin
yang membeku
di kota hujan

Bogor yang gerimis
Mengiris-iris
diseharian
di kota yang hening

Rindu

Rumah batu
jendela besi
di sini kusimpan rindu
Padamu mutiaraku

Jatinanggor

Rindu padamu
membuat kuseberangi lautan
dalam sejuk senja Jatinanggor
kutemui bidadriku

dara dan pemuda
berdiri tegar dengan unifrom
menimba ilmu jadi pamong
untuk kelak jadi pemimpin

Kavleri Berkuda

Lembang yang dingin
ada sepasukan kavleri berkuda
begitu gagah
lindungi negeri

Pahlawan

Satu tujuh delapan tahun empat lima
awal kemerdekaan bangsa ini
saksi sejarah
Veteran yang telah tua renta

jika mereka tiada
kepada siapa kita berguru
tentang kepahlawanan
tentang cita-cita merdeka


Orang Istimewa Bernama Koruptor

Tak bisa dibedakan
antara pengacara dan terdakwa
sama parlentenya

tak bisa dibedakan
antara seleberiti dan terdakwa
saling umbar senyum dan tertawa

tak bisa dibedakan
antara jaksa dan terdakwa
karena mereka bisa main mata


Tak Punya Malu

Seorang ayah bertanya pada anak
apalagi yang kau butuhkan, nak
mau mobil ada
mau rumah ada
mau uang ada
mau bini tinggal tancap

seorang ibu bertanya pada anaknya
apa yang kau risaukan nak
semuanya kita punya
tetapi bu kita tak punya malu

Kelahiran

Embun gugur ke halaman rumah
dinginnya yang menyekap
malam yang pekat
perempuan itu menyerit
seorang bayi lahir



Rumah Rakyat

Katanya gedungnya rumah rakyat
ketika kau minta suara kami kau wakil kami
tak menyuarakan nasib kami

musim datang lagi
dengan 34 wajah
berjanji-janji
apa iya nanti


Perut

Kisah tentang perut
melahap
tahu, singkong, tempe,ramos , kuku balam
sampai raskin

kisah tentang perut
tentang nafsu dan kekuasaan
melahap segalanya
semen, besi, hodmix….


Parpol

Kini kau hadir lagi
berganti kulit
kutu loncat
melompat-lompat

memikat lagi
membujuk-bujuk
marah, tak ada yang mau
golput


Suap

Ketika bayi
mereka disuapi ibu
ketika besar
mereka masih suka suap
suap untuk sebuah jabatan
suap untuk proses hukum

Shafwan Hadi Umry : Pencetus Program Pentas Siswa

Oleh : Ardani

Berangkat dari minatnya pada sastra Indonesia saat menjadi siswa SMA di Lubuk Pakam lelaki ini melanjutkan pendidikanya ke IKIP Negeri Medan pada Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia (FBS). Selesai jadi sarjana bekerja sebagai guru dan akhirnya dia menjabat Kepala Balai Bahasa Medan tahun 2001-2006.
Jabatan itu diberikan kepada Shafwan Hadi Umry karena selain akademis juga dia praktisi di bidang itu. Ditunjuk atau dipromosikan oleh Kepala Pusat Bahasa di Jakarta, Gogi Sujono untuk menjabat Kepala Balai Bahasa Medan menggantikan Prof Dr Teguh Amin Ridwan.
Dia ditugaskan untuk membenahi Balai Bahasa Medan karena diangap mampu mengembangkannya. Setelah menjabat dia pun membenahi balai bahasa itu. “Jabatan itu diberikan karena saya berhasil melaksanakan program rutin Pentas Siswa atas prakarsa saya di sekolah-sekolah yang ada di Sumatera Utara saat saya menjabat Kabid Kesenian di Kanwil Dekdikbud Sumut,” kata Shafwan Hadi Umry terkenang.
Saat Kanwil Dekdikbud Sumut di reorganisasi dia dipindahkan tugas sebagaiPelaksana Tugas Kepala Taman Budaya Sumatera Utara selama empat bulan.
Setelah tidak menjabat Kepala Balai Bahasa Medan dia kembali sebagai dosen diperbantukan (DPK) di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing (STIBA) Swadaya, dan dosen di Fakkultas Sastra USU untuk mata ajar Bahasa Indonesia, dan di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangnan (STKIP) untuk mata ajar media massa dan masyarakat.
Dia ditemui di Fakultas Sastra USU usai mengajar dan kini di kampus itu dia juga mahasiswa program pasca sarjana untuk program studi Kosentrasi Wacana Kesusastraan (KWK). “Saya memang berminat besar sekali pada sastra dan bahasa Indonesia, jadinya baru sekarang bisa mengambil program magister. Soalnya bidang studi itu baru dibuka tahun ini. Saya tak mau magister yang lain akan tidak sejalan dengan sarjana saya,” katanya.
Baginya, seorang sastrawan tidak cukup menghasilkan karya sastra saja tetapi perlu juga diimbangi pengetahuan teoritis. Teori-teori sastra saya peroleh di universitas. “Guru formal saya peroleh dari dosen di IKIP Negeri Medan. Sedangkan guru non formal saya banyak di antaranya BY Tan dan Sabaruddin Ahmad yang ahli Bahasa Indonesia itu,” kata pria yang dilahirkan di Bedagai , 27 Januari 1961.
Suami dari Zulhaida yang disuntingnya pada 1981 saat dia berstatus Pak Umar Bakrie megajar di SMP Tebing Tingi Deli. Di sela kesibukannya mengajar dia aktif menulis puisi, cerpen, esai sastra di koran Wasada, Analisa , Mimbar Umum, Harian Angkatan Bersenjata dan lainnya, Di harian Angkatan Bersenjata mengisi tetap untuk rubrik Titian yang diasuh Gunawan Tampubolon.
Dari kegiatan menulis itu beberapa puisinya telah dibukukan dalam kumpulan puisi Tiga Muka yang terdiri dari penyair Shafwan Hadi Umry, Damiri Mahmud, dan Jamak Samil, antologi Titian Laut kumpulan puisi penyair Indonesia-Malasyia, antologi Puisi Nusantara dengan editing Lazuardi Anwar, kumpulan puisi Muara program Dialog Utara, Sumatera Utara dengan Wilayah Utara Malasyia.
Buku lainnya berupa kumpulan cerpen berisikan 25 cerpen Sumatera Utara dengan editor Johan A Nasution, Damiri Mahmud dan Zakaria M Pase, buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA diterbitkan Yudistira Jakarta tahun 1991, dan kumpulan esai dengan judul Apresiasi Sastra diterbitkan Peneribit Wina Jakarta 1995.
Shafwan menilai, saat ini dan seterusnya agar globalisasi menjadi baik harus ada program mempertahankan budaya. Pentas siswa dulunya dan sekarang masih dipakai di Sumut atas usulan saya sebagai Wiyata Mandala memperkenalkan budaya lokal kepada siswa SMA. Sebelum siswa mengenal budaya nasional dia harus kenal budaya lokalnya dan seterusnya kenal budaya nasional dan budaya global. Dengan demikian siswa paham budaya global dan lokal. Dalam budaya kita harus fundamentalis.
Dia aktif di organiasi kesenian dan budaya, di ataranya Wakil Ketua Cabang Sumatera Utara Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), Ketua Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU) sampai sekarang ini.
Pertemuan /seminar yang pernah diikutinya di dalam negeri ketua tim membawa lakon pentas Tunggul Panaluan pada Festifal Teater di Bandung, Jawa Barat. Sedangkan pertemuan/seminar di luar negeri sebagai Ketua Tim Rombongan Tari Batak Ke Jepang tahun 1995, Instruktur Bahasa Indonesia tingkat nasional di Sidney Australia utusan dari Sumut, pemakalah Dunia Pendidikan di Indonesia yang berlangsung di gedung Dewan Bahasa dan Pustaka di Malasyia tahun 2002. Pembicara pada seminar Dunia Melayu dalam Konteks Generasi Muda di Bangkok.
Agar dia tetap bisa terus mengajar dia telah mempersiapkan magisternya, namun soal pendidikan dia kalah dengan anaknya yang perempuan Dra Weni Hawayuni MEc yang saat ini sedang menyelesaikan kandidat Doktor di Universitas Islam Antar Bangsa , Kuala Lumpur, Malasyia. Kini Syafwan tinggal bersama istri dan anaknya Miftahul Ikhsan di Jalan Mandala By Pass Gang Selam Lima 41 Medan.




Medan, 9 September 2008

Sunday 9 November 2008

KEDIGDAYAAN PEREMPUAN DALAM KARYA SASTRA

KEDIGDAYAAN PEREMPUAN DALAM KARYA SASTRA
Oleh: Kiki Amelia, S.S.

Apabila berbicara tentang wacana perempuan seolah tak pernah kering untuk dibahas. Di berbagai wilayah kehidupan kita selalu melihat dan mendengar pembahasan mengenai kaum hawa, baik di bidang sosial, hukum, politik, ekonomi, agama maupun dalam seni budaya. Terlebih jika mengikuti perkembangan yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini yaitu rencana pengesahan RUU antipornografi dan pornoaksi. Meski sampai saat ini masih diwarnai pro dan kontra di berbagai kalangan. Suka tidak suka kita kembali mengaitkannya dengan perempuan yang dianggap menjadi objek RUU tersebut, setidaknya begitulah anggapan para aktivis feminis.
Agaknya kita perlu menyadari bahwa posisi perempuan sejak dahulu seakan termarginalkan di bawah dominasi superioritas kaum laki-laki bahkan hingga kini masih saja kita saksikan adanya kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Kondisi inilah yang membuat para aktivis perempuan tersebut memberontak yang pada akhirnya memunculkan gerakan feminisme yaitu “gerakan yang menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan dan dikendalikan oleh kebudayaan dominant” (Ratna,2004).
Pemikiran gerakan pembebasan perempuan ini turut pula berimbas pada karya sastra yang notabene merupakan wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebuah karya sastra boleh dikatakan sebagai wadah untuk menanggapi berbagai peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata sekaligus sebagai kritik sosial dari sang pengarang.
Demikian halnya jika menilik beberapa karya sastra. Dalam karya sastra dunia kita mengetahui beberapa tokoh yang menggunakan media sastra untuk melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki (mengutamakan pihak lelaki). Sebut saja Virginia Woolf yang menulis A Room of One’s Own atau Alice Walker, penulis feminis kulit hitam pemenang Pulitzer Prize untuk bukunya The Color Purple. Pesan inti kedua karya ini setali tiga uang bahwa perempuan juga memilki hak atas dirinya. Orang lain, siapa pun itu tidak berhak untuk memaksa perempuan melakukan apa yang tidak disukainya.
Kembali ke tanah air, kita melihat pengarang feminis yang didominasi oleh perempuan mulai menjejali jagad kesusasteraan Indonesia terutama pada era Angkatan Modern sekitar tahun 1970-an. Nh. Dini, Toety Heraty, Titis Basino, Titis said adalah sedikit contoh pengarang perempuan yang selalu menyelipkan pesan emansipasi dalam setiap karya mereka.
Seiring dengan arus globalisasi dan semakin majunya pola pikir pengarang perempuan turut memengaruhi cara mereka menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan. Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya. Karya-karya mereka dirasakan telah berhasil mendobrak keterkungkungan nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya bahasa yang digunakan. Pesan ideologi feminisme yang disampaikan umumnya tidak sampai menceramahi pembaca. Kadangkala hanya dengan bahasa tubuh, tokoh perempuan dengan mudahnya menaklukkan laki-laki. Meski banyak mendeskripsikan seksualitas, namun para feminis ini beranggapan bahwa hal tersebut merupakan simbol kedigdayaan perempuan.
Membicarakan masalah ini (seksual) secara gamblang tentu bukan tanpa rintangan. Sebagian besar masyarakat kita masih menganggap tabu ketika membaca tulisan-tulisan beraroma seksual dan berlindung di bawah payung sastra. Para penulisnya dikecam karena dianggap menyebarkan pornografi. Hingga kini polemik mengenai sastra dan seks terus berlangsung. Para pembela sastra feminis berargumen persoalan seksualitas perempuan sebenarnya hanya metafora untuk menggambarkan masalah sebenarnya yang dihadapi perempuan, yaitu ketertindasan yang masih dialami oleh perempuan (Arivia,167). Sedangkan yang kontra mengganggap bahwa membanjirnya cerita tentang kekuasaan perempuan melalui adegan-adegan yang dinilai mesum telah merendahkan harga diri kaum perempuan itu sendiri dan dianggap karya sampah, demikian pendapat sastrawan Taufik Ismail di sebuah media.
Terlepas dari polemik kedua kubu yang bertentangan tersebut agaknya kita perlu mengulang ingatan terhadap tokoh-tokoh fiksi perempuan dalam khasanah sastra Melayu Klasik. Tokoh perempuan bernama Tun Teja dalam Hikayat Hang Tuah dilukiskan sebagai perempuan yang bermarwah tinggi dan berani bersuara jika sesuatu itu tidak disukainya..Dikisahkan bahwa Tun Teja dengan yakin menolak pinangan Sultan Malaka (Syaifuddin,1999).
Begitu pula yang tergambar pada tokoh sentral perempuan dalam Syair Siti Zubaidah Perang Cina. Siti Zubaidah berjuang tanpa henti demi mempertahankan keluarga dan negaranya dari pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan dan pada akhirnya beliau dinobatkan menjadi Raja Kembayat Negara (Samin Siregar,1997).
Dari kedua kedua contoh cerita klasik di atas menunjukkan bahwa sedari dulu terdapat kisah-kisah yang menampilkan perjuangan dan kekuatan perempuan yang tentunya jauh dari unsur seksualitas seperti yang banyak dilukiskan dalam karya sastra kontemporer.
Menarik jika kita simak karya sastra teranyar dan sedang menjadi pembicaraan hangat yaitu novel laris Laskar Pelangi. Selain menceritakan anak-anak yang tergabung dalam kelompok laskar pelangi juga dikisahkan tentang tokoh perempuan sederhana bernama Bu Mus alias Bu Muslimah. Ibu guru yang ikhlas mengabdikan hidupnya untuk anak-anak didiknya yang tercinta meski ia harus mengalami pasang surut pengorbanan dan penderitaan. Perjuangan Bu Mus inilah yang menginspirasi Andrea Hirata untuk mempersembahkan Laskar Pelangi kepada guru sekolah dasar sang pengarang tersebut.

Penutup
Kedigdayaan atau kekuatan perempuan dalam kesusasteraan, baik karya sastra dunia maupun pada karya sastra lokal sebenarnya bukan hal yang baru. Karya-karya sastra klasik (Melayu) ternyata sudah melompat cukup jauh dalam menggambarkan kekuatan perempuan. Tokoh perempuan dikisahkan tidak hanya bertindak pasif, cengeng serta tunduk pada keadaan, melainkan dapat berlaku aktif, pantang menyerah demi harga diri sebagai seorang perempuan. Apabila dibandingkan dengan karya sastra kontemporer masa kini tentu telah terjadi pergeseran ideologi yang cukup signifikan.

• Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Linguistik USU

Sastra dan Realitas

Sastra dan Realitas
Oleh : Muharrina Harahap, S.S.

Dunia fiksi itu merupakan dunia lain yang berdiri di samping kenyataan. Tetapi menurut beberapa aspek menunjukkan persamaan juga dengan kenyataan. Sekalipun seorang pengarang melampiaskan daya khayalnya dengan menciptakan makhluk-makhluk yang tidak ada, yang hidup di dalam suatu lingkungan khayalan namun tetap ada kaitan-kaitan tertentu antara tokoh-tokoh dan perbuatan mereka yang dapat dimengerti oleh pembaca dan dapat diterima berdasarkan pengertian mengenai dunia nyata, seperti hubungan ruang dan waktu, sebab akibat, dan pola-pola bereaksi secara psikologis.
Dunia yang diciptakan pengarang oleh pembaca selalu dialami berdasarkan pengetahuannya tentang dunia nyata, termasuk pengetahuannya tentang dunia nyata dan tradisi sastra. Kadang-kadang dunia ciptaan itu mirip dengan dengan kenyataan (novel yang realistik atau biografik), dan tak jarang menyimpang jauh dari kenyataan (science fiction dan dongeng). Dalam roman Kejahatan dan Hukuman, Dostojevski (Rusia) menyebut jumlah langkah Raskolnikov dari pondokannya ke rumah si nenek tua yang rentenir itu dan yang kemudian dibunuhnya. Suatu penelitian yang pernah dilakukan di kota Leningrad (dulu Petersburg) membuktikan bahwa jumlah langkah itu ternyata klop dengan kenyataan dan jarak itu tidak dikhayalkan oleh Dostojevski.
Masalah serupa juga terjadi jika kita membaca novel-novel historik, misalnya Rumah Kaca karya Pramudya Ananta Toer. Pada novel tersebut ditemukan nama-nama para intelektual dalam organisasi Indonesia di zaman Hindia Belanda, termasuk tokoh-tokoh nasional yang kemudian terlibat dalam gerakan PKI. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa novel ini pernah dilarang beredar di Indonesia.
Fiksi vs Nonfiksi
Kadang-kadang memang sukar membedakan sebuah teks fiksi dari sebuah teks nonfiksi. Sebuah kasus perbatasan kita jumpai dalam otobiografi si pengarang. Pengarang melaporkan fakta dari hidupnya sendiri, ia berpretensi melukiskan kenyataan. Tetapi, mungkin juga ada hal-hal yang diciptakannya atau yang dilukiskannya lain daripada apa yang sesungguhnya terjadi. Pembacalah yang memutuskan apakah itu sebuah realitas atau tidak.
Sebuah teks fiksi tidak melukiskan kenyataan, tetapi menampilkan segala macam hubungan dan kaitan yang kita kenal kembali, berdasarkan pengalaman kita sendiri mengenai kenyataan. Itulah sebabnya teks fiksi sangat cocok untuk melukiskan segi-segi yang khas dalam kenyataan. Dengan melukiskan sebuah peristiwa yang jarang terjadi, maka teks fiksi dapat memperlihatkan masalah-masalah dari ilmu jiwa yang berlaku umum, atau suatu aspek dari hidup manusia pada umumnya.
Di sini, Aristoteles menilai sastra dalam kemampuannya memperlihatkan yang tipik, yang khas, dalam suatu peristiwa individual, sehingga pengertian kita mengenai kenyataan makin diperdalam. Menarik juga bahwa di sini fiksi dan mimesis, dua pengertian yang rupanya bertolak belakang, bergandengan tangan.
Kehidupan dalam sastra dan kehidupan nyata memiliki hubungan yang dapat saja sama, mirip, dan bahkan mustahil. Fakta dan fiksi senantiasa saling memengaruhi sehingga pembaca mau tidak mau harus menempatkan kehidupan dalam sastra pada posisi persinggungan dengan kehidupan yang realistik. Oleh karena itu, kajian sastra sebagai institusi sosial yang memakai medium bahasa dengan masyarakat pun berawal dari frase De Bonald yang menyatakan bahwa, “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.” (Wellek dan Warren, 1989:110).
Sejak manusia mempelajari sastra, secara kritis timbul pertanyaan sejauh mana sastra mencerminkan kenyataan. Sering dikatakan bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan, sering juga dituntut dari sastra agar mencerminkan kenyataan. Kedua pendapat ini disebut penafsiran mimetik mengenai sastra..
Mimetik
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau jiplakan) pertama-tama dipergunakan dalam teori-teori tentang seni yang diutarakan oleh Plato (423-348) dan Aristoteles (384-322) yang dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.
Menurut Plato, tukang yang membuat barang-barang lebih berguna daripada orang-orang yang hanya melukiskan barang-barang itu. Para penyair kalah penting dibandingkan dengan para pembuat undang-undang, penemu-penemu, panglima-panglima, dan seterusnya karena mereka hanya menggambarkan sesuatu, maka mereka tak pernah dapat dijadikan contoh atau teladan. Maka dari itu, menurut Plato para penyair tak ada gunanya di dalam sebuah negara ideal. Mereka bahkan harus dikeluarkan dari dari negara itu, apalagi karena puisi memberi umpan kepada emosi dan meredupkan akal budi. Itu sebabnya mengapa puisi menghalangi usaha manusia untuk menjadi lebih bahagia dan sejahtera. Satu-satunya bentuk puisi yang boleh dilaksanakan ialah puisi yang berisikan pujian terhadap para dewa dan tokoh-tokoh yang berguna bagi umat manusia; puisi serupa itu mengarahkan manusia kepada aspek-aspek positif dalam tata negara.
Sekalipun ucapan Plato itu hendaknya kita baca dalam konteksnya (yang ingin digambarkannya ialah sebuah negara yang ideal, yang utopis), tetapi penolakan Plato terhadap puisi cukup mengherankan. Plato tidak melihat kenyataan bahwa seorang seniman, bila ia melukiskan sesuatu, sekaligus juga menciptakan sesuatu. Dengan menolak suatu bentuk sastra tertentu dan menerima suatu bentuk sastra lain (yang bersifat pujian), maka Plato dapat dipandang sebagai penemu lembaga sensor yang tak terpuji itu.
Aristoteles mengoper pengertian tentang mimesis itu dari Plato, yakni seni melukiskan kenyataan, tetapi karena pendapat Aristoteles tentang kenyataan menyimpang dari pengertian Plato, maka teori mimesis ala Aristoteles juga lain daripada teori mimesis ala Plato.
Menurut Aristoteles penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas dari yang satu dengan yang lain; dalam setiap obyek yang kita amati di dalam kenyataan terkandung idenya dan itu tidak dapat dilepaskan dari obyek itu. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif; penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru.
Dengan bermimesis penyair menciptakan kembali kenyataan: adapun bahannya ialah barang-barang seperti adanya, atau “barang-barang seperti pernah ada, atau seperti kita bayangkan, atau seperti ada menurut pendapat orang, atau seperti seharusnya ada” (yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, cita-cita).
Berdasarkan pendapatnya mengenai kenyataan serta mimesis, maka dalam bukunya yang berjudul Poetica Aristoteles mengutarakan beberapa pandangan yang bagi perkembangan teori sastra selanjutnya teramat penting. Ia tidak lagi memandang sastra sebagai satu copy atau jiplakan mengenai kenyataan, melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dan ini bukan seperti dalam pandangan Plato, yakni dunia Ide, melainkan sebagai pikiran, perasaan, dan perbuatan yang khas dari seorang manusia.
Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga : mimesis tidak mungkin tanpa kreasi, tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis. Takaran dan perkaitan antara keduanya dapat berbeda menurut kebudayaannya, menurut jenis sastra, zaman, kepribadian pengarang, dsb. Tetapi, yang satu tanpa yang lain tidak mungkin. Dan, catatan terakhir : perpaduan antara kreasi dan mimesis tidak hanya berlaku dan benar untuk penulis sastra. Tak kurang pentingnya untuk pembaca. Dia pun harus sadar bahwa menyambut karya sastra mengharuskan dia untuk memadukan aktivitas mimetik denga kreatif-mereka. Pemberian makna pada karya sastra berarti perjalanan bolak-balik yang tak berakhir antara dua kenyataan dan dunia khayalan. Karya sastra yang dilepaskan dari kenyataan kehilangan sesuatu yang hakiki, yaitu pelibatan pembaca dalam eksistensi selaku manusia. Pembaca sastra yang kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang tak kurang esensial bagi manusia, yaitu alternatif terhadap eksistensi yang ada dengan segala keserbakekurangannya. Atau lebih sederhana : berkat seni, sastra khususnya, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian, yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia.

Penulis adalah mahasiswa Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara

Mari Membangun Jiwa¹ Siswa Melalui Pembelajaran Puisi

Mari Membangun Jiwa¹ Siswa Melalui Pembelajaran Puisi
Oleh : Saripuddin Lubis

Pengantar
Beberapa tahun sejak ditetapkannya standar kelulusan minimal bagi siswa kelas tiga (belakangan kelas XII) dalam menentukan kelulusan, tidak dapat dihindari kalau guru-guru bahasa Indonesia akhirnya hanya berperan untuk menciptakan siswa menjadi penembak-penembak jitu soal-soal pilihan ganda pada ujian nasional. Guru menyiapkan siswa yang harus menjawab soal-soal ujian nasional secara tepat sasaran, sebab kalau meleset akan berakibat fatal dalam menentukan kelulusan siswa.
Pro dan kontra pelaksanaan ujian nasional setiap tahun terus berkembang. Berbagai pihak mengacungkan bermacam argumentasi dan sibuk mencari pembenaran terhadap argumentasi yang mereka ajukan. Dalam sebuah proses, hal tersebut tentu saja sesuatu yang lumrah terjadi. Tetapi kalau dibiarkan terlalu berkembang akan memberi warna yang negatif bagi perkembangan pendidikan di tanah air.
Salah satu imbasnya adalah, tugas pokok guru (terutama guru kelas tiga/ XII) telah banyak yang melenceng dari hal utama yang termaktub dalam kurikulum.Yang salah tentu saja bukan kurikulumnya. Banyak indikator yang menyebabkan kesalahtafsiran dalam menghadapi ujian nasional. Dan guru sebagai laskar terdepan harus selalu siap sedia mengangkat senjata menerima instruksi sang atasan dalam menghadapi arena ujian nasioal tadi.Guru pun harus siap menjadi tumbal mortir yang ia tembakkan sendiri.
Sementara itu sejak awal di dalam kurikulum telah diamanatkan pembelajaran bahasa Indonesia yang (untuk sementara) sebenarnya sudah cukup baik dalam mengakomodir pembelajaran sastra. Jika kita buat pemetaan pembelajaran sastra di sekolah menengah atas (khususnya pembelajaran puisi), maka keadaannya kira-kira seperti berikut.
------------------------------------------------------------------------
¹) Mengutip istilah yang digunakan Habiburrahman el Shirazy dalam novel Ayat-Ayat Cinta

Halaman 1 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.



No Kelas Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1 X (sepuluh) 1. Memahami siaran atau
cerita yang disampaikan
secara langsung/ tidak
langsung

2. Membahas cerita pendek
melalui kegiatan diskusi




3. Memahami wacana sastra
melalui kegiatan membaca
puisi dan cerpen



4. Mengungkapkan pikiran,
dan perasaan melalui
kegiatan menulis puisi


5. Memahami cerita rakyat
yang dituturkan







6.Mengungkapkan pendapat
terhadap puisi melalui
diskusi





7. Memahami sastra Melayu
klasik



8. Mengungkapkan pengalaman
diri sendiri dan orang lain ke
dalam cerpen Mengidentifikasi unsur sastra (intrinsik dan ekstrinsik) suatu cerita yang disampaikan secara langsung/melalui rekaman


1. Mengemukakan hal-hal yang menarik
atau mengesankan dari cerita pendek
melalui kegiatan diskusi
2. Menemukan nilai-nilai melalui kegiatan
diskusi

1. Membacakan puisi dengan lafal, nada,
tekanan, dan intonasi yang tepat
2. Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik
suatu cerpen dengan kehidupan sehari-
hari

1. Menulis puisi lama dengan memper-
hatikan bait, irama, dan rima
2. Menulis puisi baru dengan memper-
hatikan bait, irama, dan rima

1. Menemukan hal-hal yang menarik ten-
tang tokoh cerita rakyat yang disampai
kan secara langsung dan atau melalui
rekaman
2. Menjelaskan hal-hal yang menarik
tentang latar cerita rakyat yang
disampaikan secara langsung dan atau
melalui rekaman

1. Membahas isi puisi berkenaan dengan
gambaran penginderaan, perasaan,
pikiran, dan imajinasi melalui diskusi
2. Menghubungkan isi puisi dengan
realitas alam, sosial budaya, dan
masyarakat melalui dskusi

1. Mengidentifikasi karakteristik dan
strukur unsur intrinsik sastra Melayu
klasik
2. Menemujkan nilai-nilai yang terkandung
di dalam sastra Melayu klasik

1. Menulis karangan berdasarkan kehidupan
diri sendiri dalam cerpen (pelaku,
peristiwa, latar)
2. Menulis karangan berdasarkan
pengalaman orang lain dalam cerpen
(pelaku, peristiwa, latar)


Halaman 2 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
.


No Kelas

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

1
XI (sebelas)
1.Memahami pementasan
drama





2. Memerankan tokoh
dalampementasan drama




3. Memahami berbagai hikayat,
novel Indonesia/ novel
terjemahan


4. Memahami pembacaan
cerpen



5. Mengungkapkan wacana
sastra dalambentuk
pementasan drama




6. Memahami buku biografi,
novel, dan hikayat



7. Menulis naskah drama
1. Mengidentifikasi peristiwa, pelaku dan
perwatakannya, dialog, dan konflik pada
pementasan drama
2. Menganalisis pementasan drama
berdasarkan teknik pementasan


1. Menampaikan dialog disertai gerak-gerik
dan mimik, sesuai dengan watak tokoh
2. Mengekspresikan perilaku dan dialog
tokoh protogonis dan antagonis


1. Menemukan unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik hikayat
2. Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan

1. Mengidentifikasi alur, penokohan, dan
latar dalam cerpen yang dibacakan
2. Menemukan nilai-nilai dalam cerpen
yang dibacakan

1. Mengekspresikan dialog para tokoh
dalam pementasan drama
2. Menggunakan gerak-gerik, mimik, dan
intonasi, sesuai dengan watak tokoh
dalam pementasan drama


Membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan dengan hikayat


1. Mendeskripsikan perilaku manusia
melalui dialog naskah drama
2. Menarasikan pengalaman manusia
dalambentuk adegan dan latar pada
naskah drama



Halaman 3 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.


No Kelas Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1 XII
(dua belas) 1. Memahami pembacaan novel





2. Mengungkapkan pendapat
tentang pembacaan puisi





3. Memahami wacana sastra
puisi dan cerpen




4. Mengungkapkan pendapat,
informasi, dan pengalaman
dalam bentuk resensi dan
cerpen

5. Memahami pembacaan teks
drama



6. Mengungkapkan tang-
gapan terhadap
pembacaan puisi lama


7. Memahami buku
kumpulan puisi
kontemporer dan karya
sastra yang dianggap
penting pada tiap priode



8. Mengungkapkan pendapat
dalam bentuk kritik dan esai 1. Menanggapi penmbacaan penggalan
novel dari segi vokal, intonasi, dan
penghayatan
2. Menjelaskan unsur-unsur intrinsik dari
pembacaan novel

1. Menanggapi pembacaan puisi lama
tentang lafal, intonasi, dan ekspresi
yang tepat
2. Mengomentari pembacaan puisi baru
tentang lafal, intonasi, dan ekspresi
yang tepat.

1. Membacakan puisi karya sendiri
dengan lafal, intonasi, penghayatan,
dan ekspresi yang sesuai
2. Menjelaskan unsur-unsur intrinsik
cerpen

1. Menulis resensi buku kumpulan cerpen
berdasarkan ursur-unsur resensi
2. Menulis cerpen berdasarkan kehidupan
orang lain (pelaku, peristiwa, dan latar)

1. Menemukan unsur-unsur intrinsik teks
drama yang didengar melalui pembacaan
2. Menyimpulkan isi drama melalui
pembacaan teks drama

1. Membahas ciri-ciri dan nilai-nilai yang
terkandung dalam gurindam
2. Menjelaskan keterkaitan gurindam
dengan kehidupan sehari-hari

1. Mengidentifikasi tema dan ciri-ciri
puisi kontemporer melalui kegiatan
membaca buku kumpulan puisi
kontemporer
2. Menemukan perbedaan karakteristik
angkatan melalui membaca karya sastra
yang dianggap penting setiap priode

1. Memahami prinsip-prinsip penulisan
kritik dan esai
2. Menerapkan prinsip-prinsip penulisan
kritik dan esai untuk mengomentari karya
sastra.
Sumber: Permen 22, 23 tahun 2006 ²
-------------------------------------------------------------------------------------------
²) Kurikulum Bahasa Indonesia SMA

Halaman 4 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.

Agaknya pada pembelajaran sastra di sekolah-sekolah, kedua hal tersebut di atas selalu yang menjadi alasan mengapa pembelajaran sastra selalu diabaikan. Pertama, ujian nasional selalu dianggap sebagai monster yang sangat menakutkan. Kedua materi sastra dan ketersediaan alokasi waktu yang tidak memadai.
Padahal kalau melihat realitas pembelajaran yang ada, kedua alasan tersebut sungguh sangat tidak realistis. Logikanya, kalau semua yang diamanatkan pada kurikulum yang terdiri dari kompetensi membaca, menulis,mendengar, dan berbicara benar-benar diajarkan dengan maksimal, maka secara tidak langsung penembak-penembak jitu soal ujian nasional tersebut sebenarnya sudah siap tempur. Mengapa demikian? Bukankah sebenarnya materi soal ujian nasional tersebut adalah pengejewantahan dari kompetensi membaca, menulis, mendengar, dan berbicara tadi?
Kedua, kalau materi sastra dan alokasi waktu yang menjadi alasan, maka itu juga tidak realistis. Lihatlah materi sastra yang tersedia pada pada kurikulum sekolah menengah pada tabel di atas. Untuk kapasitas seorang siswa sekolah menengah, materi sastra di atas sudah cukup kaya. Lalu tentang alokasi waktu? Bukankah pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, guru benar-benar sudah harus mampu memanej sendiri pembelajarannya? Artinya, guru sudah harus mampu mengelola sendiri alokasi waktu sesuai dengan materi yang tersedia. Cheng dalam Abu-Duhou (2003: 127) menyatakan anggota pengelola sekolah (termasuk guru) memiliki otonomi dan tanggung jawab lebih besar atas penggunaan sumberdaya dalam memecahkan persoalan dan kegiatan pendidikan yang efektif ³
Memang, masih banya persoalan yang acap kali muncul di permukaan yang kalau dicermati cukup sensitif juga dalam memengaruhi pembelajaran misalnya persoalan seputar sarana pembelajaran. Namun bagi seorang guru yang profesional, kiranya hal-hal semacam itu akan dapat diatasi secara baik. Benar memang kalau didukung sarana sekolah yang lebih lengkap, maka pembelajaran sastra akan dapat berlangsung lebih baik. Tetapi untuk pembelajaran sastra sebenarnya cukup memberi peluang yang sangat besar dalam menggunakan berbagai sarana/ media alternatif.
--------------------------------------------------------------------
³) Ibtisam Abu-Duhou, School-Based Management, (Jakarta, 2003), hlm. 127. Lihat juga Zamroni dalam Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Jakarta, 2003), hlm. 26: Sebagai pekerja profesional dan orang yang paling tahu keadaan peserta didik dan lingkungannya, guru harus diberikan kebebasan penuh dalam menjalankan tugas. Instruksi, pengarahan , dan petunjuk dari atas perlu direduksir semaksimal mungkin.

Halaman 5 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara15 Novemberi 2008.
Pembelajaran Puisi, Pembelajaran Penuh Warna Membangun Jiwa
Adalah suatu anugerah bagi seorang guru yang ditawari untuk memberikan pembelajaran puisi kepada siswa melalui kurikulum bahasa Indonesia di sekolah. Pembelajaran puisi tersebut sungguh akan dapat memberi warna bagi perkembangan mental siswa ke arah yang lebih positif. Bahwa sebuah keniscayaan kalau materi pembelajaran bahasa Indonesia (terutama pembelajaran sastra) tentulah memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan materi mata pelajaran lain di sekolah. Materi pembelajaran sastra (puisi) harus hadir sebagai pembelajaran yang tidak saja sebagai ladang ilmu pengetahuan, namun lebih dari itu harus hadir untuk dinikmati bersama-sama oleh guru dan siswa. Siswa harus ditempatkan sebagai subjek pembelajaran. Hal tersebut sangat dimungkinkan dengan sistem school based management 4 Artinya, guru hasrus benar-benar mampu menerjemahkan tujuan utama yang diharapkan oleh kurikulum.Guru lah aktor utama di dalam kelas.
Pembelajaran puisi bukan sekadar pembelajaran yang diselaraskan dengan kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan matematis yang diajukan guru. Pembelajaran puisi (juga) adalah sebuah sebuah proses pematangan diri siswa yang hasil akan diperoleh dalam sebuah proses yang panjang. Proses ketika siswa melakoni kehidupannya yang akan banyak memiliki hubungan simetris dengan peristiwa-peristiwa yang dihadirkan dalam (pembelajaran) puisi. dan bukan sekadar pembelajaran. Karena itu juga guru harus mamp menghadirkan proses pembelajaran yang menyenangkan. Ini tentu saja sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-undang Repuplik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, seperti yang termaktub pada Pasal 40 ayat 2 yang menyatakan bahwa seorang pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis 5
Pembelajaran puisi juga harus diselelaraskan antara pembelajaran yang menghasilkan kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep dasar puisi dengan kompetensi komunikatif siswa secara praktis tentang puisi. Bahkan kalau ditarik benang merah, maka porsi untuk kemampuan praktis siswa harus menjadi prioritas. Kurikulum bahasa Indonesia tentu saja juga lebih mengamanatkan kemampuan praktis tersebut dibandingkan kemampuan teoretis belaka. Kalau kemampuan teoretis tersebut yang diutamakan, maka tujuan utama
---------------------------------------------------------------------
4) Zamroni, Manuju Masyarakat Belajar (Jakarta, 2003), hlm.20 yang artinya manajemen berbasis sekolah.

5) Depdiknas. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. (Jakarta, 2003), hlm.37.
Halaman 6 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
pembelajaran puisi tidak akan tercapai selain sekadar menciptakan siswa menjadi penembak-penembak jitu seperti pembicaraan awal tulisan ini.
Agar pembelajaran puisi dapat hadir seperti yang diharapkan, yaitu sebuah proses pematangan diri siswa dan mampu mengapresiasi puisi serta hubungannya dengan nilai-nilai kehidupan di sekitar siswa, maka tentu saja harus diciptakan sebuah proses pembelajaran seperti yang dimanatkan oleh undang-undang di atas. Zamroni mengatakan kalau dalam mengajar guru tidak boleh terpancang pada materi dalam kurikulum semata, melainkan guru harus aktif untuk mengaitkan kurikulum dengan lingkungan yang dihadapi siswa, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial 7. Berikut ini akan ditawarkan beberapa teknik dalam melakukan pembelajaran puisi di kelas. Sebagian mungkin saja pernah dilakukan oleh para guru. Namun jika belum, maka teknik-teknik yang seluruhnya sudah pernah dicobakan ini akan mampu membawa ke sebuah proses pembelajaran yang benar-benar mengasyikkan siswa (juga guru).

1. Menulis Puisi Ala Pak Taufik Ismail
Materi ini diajarkan pada kelas X dengan standar kompetensi, Mengungkapkan pikiran, dan perasaan melalui kegiatan menulis puisi. Sedangkan kompetensi dasarnya adalah,1. Menulis puisi lama dengan memperhatikan bait, irama, dan rima, dan 2. Menulis puisi baru dengan memperhatikan bait, irama, dan rima. Menulis puisi ala Pak Taufik Ismail ini dapat dipraktikkan dengan sangan menarik di kelas.

2. Publikasi Puisi dalam terbitan Antologi Puisi Sederhana, Mading, Koran, dan Majalah
Setelah siswa menulis puisi, maka sebaiknya beberapa karya mereka diterbitkan secara priodik dalam antologi puisi yang sederhana. Penerbitan dalam bentuk antologi puisi tersebut akan menambah rasa percaya diri siswa dalam menulis puisi. Penerbitan antologi puisi ini langsung di bawah bimbingan guru. Selain itu, publikasi pusi siswa dapat pula dilakukan pada majalah dinding, koran, dan majalah.

3. Musikalisasi Puisi
Materi ini terdapat pada kelas X dengan standar kompetensi, mengungkapkan pendapat terhadap puisi melalui diskusi. Kompetensi dasar yang ditawarkan adalah, 1. Membahas isi puisi
--------------------------------------------------------------------------------------------
7) Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan (Jakarta, 2003), hlm. 31.
Halaman 7 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara15 Novemberi 2008.
berkenaan dengan gambaran penginderaan, perasaan, pikiran, dan imajinasi melalui diskusi, dan 2. Menghubungkan isi puisi dengan realitas alam, sosial budaya, dan masyarakat melalui diskusi
Langkah-langkah pembelajaran:
1. Siswa dibagi atas beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari lebih kurang empat atau
lima orang.
2. Kepada masing-masing kelompok diberikan sebuah puisi yang berisi realitas alam, sosial
budaya, dan masyarakat untuk diaransemen.
3. Puisi yang telah diaransemen kemudian dilatihkan untuk tampilan musikalisasi puisi.
4. Masing-masing kelompok menampilkan hasil musikalisasi puisinya di kelas.
5. Kelompok yang lain memberikan taggapan terhadap penampilan dan isi puisi kelompok
lain dalam format diskusi yang dipandu guru.

4. Diskusi Bersama Sastrawan/ Penyair
Megundang sastrawan ke hadapan siswa secara langsung akan membawa pencerahan batin siswa. Dengan bertemu langsung dengan pencipta puisi yang mereka baca ketika sedang belajar di kelas akan menambah cakrawala berpikir positif siswa. Motivasi yang kuat untuk mampu menulis diharapkan muncul dari siswa. Para sastrawan pun akan dengan senang hati akan bersedia hadir ke kelas tanpa harus dibayar mahal. Hal ini dimungkinkan sebab mereka juga menginginkan sosialisasi lebih luas tentang dunia sastrawan/ penyair, terutama terhadap para siswa sebagai generasi masa depan.

5. Pembacaan Puisi dengan Teknik Balainang (Baca, Nilai,dan Menentukan Pemenang)
Teknik ini digunakan pada kelas XII dengan standar kompetensi, mengungkapkan
pendapat tentang pembacaan puisi. Kompetensi dasarnya adalah, menanggapi pembacaan
puisi lama tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat, dan 2. Mengomentari pembacaan puisi baru tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat.
Teknik Balainang ini dilakukan langsung oleh siswa melalui panduan guru. Dengan membaca, menilai, dan menentukan pemenang pembacaan puisi akan membuat siswa memiliki perhatian penuh terhadap pembelajaran puisi yang sedang berlangsung.

Halaman 8 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.
.


Penutup
Sesungguhnya untuk mengembangkan apresiasi siswa terhadap puisi dan penciptanya sangat dimungkinkan dimulai dari sebuah pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Kurikulum telah memberi sebuah ruang dan waktu yang cukup terbuka bagi pengembangan sastra tersebut. Hal mendasar sesungguhnya yang harus dibangkitkan justru motivasi seorang guru bahasa Indonesia untuk mulai membuka cakrawala baru pembelajaran sastra (puisi) di kelas. Mereka memiliki wewenang kearifan yang sangat tinggi untuk mengembangkan sastra di sekolah. Pengembangan sastra di sekolah harus didasari untuk membentuk pencerahan batin dan kehalusan budi siswa. Dengan didasari hal tersebut, maka tujuan yang diharapkan kurikulum pun akan tercapai dengan sendirinya. Jadi sekali lagi, akar pembelajaran sastra itu akan berkembang di sekolah terletak pada pundak seorang guru. Mulailah mencintai sastra. Guru lah kata kuncinya!



Sumber Rujukan

Abu-Duhou, Abu-Duhou. 2003. School-Based Managemen. Jakarta: Depdiknas

Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2006. Kurikulum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

El Shirazy, Habiburrahman, 2004. Ayat-Ayat Cinta. Jakarta: Republika.

Ismail, Taufik. 2005. Metode Penulisan Puisi. Makalah. Jakarta: Depdiknas.

Zamroni. 2003. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Jakarta: Depdiknas






Halaman 9 ---------------------------------- Disampaikan pada seminar yang diadakan Dinas Pariiwisata, Urban
Art Asociates, dan Komunitas Home Poetry, Taman Budaya
Sumatera Utara, 15 Novemberi 2008.