Wednesday 17 February 2010

MENJADI GURU- ANTARA PILIHAN DAN KETERPAKSAAN

Pendahuluan

Ada imej yang berkembang dalam masyarakat bahwa profesi guru tidak memiliki masa depan yang cerah dan mempunyai kesejahteraan yang tetap, baik dari guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun non PNS. Guru tidak “hebat” seperti zaman dahulu. Imej ini mungkin berawal dari kualitas pendidikan di Indonesia yang bisa dikatakan rendah. Tahusetya (2007), guru tidak lagi dijadikan sebagai sumber informasi, bahkan dalam banyak hal guru tidak lagi dijadikan patron yang teladan oleh anak didik sehingga kualitas anak didik pun menjadi rendah. Kualitas pendidikan di Indonesia tergantung pada anak didik sebagai penerus bangsa yang mendapat didikan dari guru. Nasib bangsa ditentukan oleh pemuda-pemuda yang berkualitas intelektual, moral dan mental. Jika guru tidak lagi mampu menghasilkan penerus bangsa yang berkualitas, maka bagaimana bangsa kita ke depan?
Ketika guru terlalu memikirkan pamrih dan status, maka fungsinya sebagai seorang pendidik tentu tidak akan dijalani dengan baik. Guru akan malas mengajar karena memikirkan biaya hidupnya yang pas-pasan ditengah kebutuhan ekonomi yang semakin sulit atau mengharapkan apresiasi yang lebih dari masyarakat. Lantas, kenapa seorang memilih menjadi guru sementara ia tahu bahwa kesejahteraan guru cukup memprihatinkan? Ditambah lagi dengan rutinitas guru yang cukup sibuk dengan tugas-tugas yang cukup berat. Saat seorang guru melihat orang dengan profesi dokter atau insinyur yang kesejahteraannya baik bahkan berlebihan, dan dipandang ”hebat” oleh masyarakat, mungkinkah timbul penyesalan dalam dirinya yang telah menjalani profesi guru? Apakah menjadi guru sudah merupakan jalan hidupnya atau keterpaksaaan karena tidak mempunyai pilihan kerja yang lain? Jika terus mempertanyakan nasibnya sebagai guru, kapan lagi ia mempertanyakan nasib anak didiknya yang tidak mendapat pendidikan dengan baik? Apa yang harus dilakukan seorang guru dalam kondisi ini? Terus mengajar dengan keterpaksaaan atau memantapkan dirinya menjalani profesi tersebut? Melihat banyaknya persoalan-persoalan di dalam kehidupan seorang guru, masihkah ia tetap ingin menjadi guru?

Motivasi Menjadi Guru

Saat selesai dari pendidikan Sekolah Menegah Atas atau sederajat, seorang anak didik akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jenjang yang dipilih oleh kebanyakan siswa adalah jenjang pendidikan yang bergengsi, seperti kedokteran, teknik atau pertanian. Ada juga yang mengambil ke jenjang pendidikan guru. Ketika memilih pendidikan guru, benarkah siswa tersebut ingin menjadi guru? Sudah merupakan hal yang lazim, jika tamat dari pendidikan guru, tentu akan berprofesi menjadi guru (jika ia ingin bekerja). Masalah yang timbul kemudian, saat menjalani profesi guru, mulai timbul permasalahan hidup yang berkaitan dengan profesinya tersebut, misalnya kesejahteraan yang tidak memadai, ditambah lagi pekerjaan seorang guru dikatakan cukup berat bahkan ada yang mengatakan pekerjaan paling berat di dunia.
Menurut Handoko (1992), dari sekian banyak siswa yang memilih pendidikan guru, seringkali terdapat juga mereka-mereka yang sebenarnya tidak mempunyai motivasi menjadi guru dalam arti motivasi yang mereka kurang sesuai dengan tujuan pendidikan guru. Mereka memang menimba ilmu pendidikan guru tetapi sebenarnya tidak mempunyai maksud menjadi guru. Alasannya antara lain karena tidak diterima di universitas atau institut pendidikan yang berstatus negri, ada yang dipaksa oleh orang tua, atau karena ekonomi yang lemah, sehingga mereka terpaksa masuk ke sekolah pendidikan guru yang mereka anggap dapat mengatasi atau menyelesaikan persoalan tersebut di atas. Dalam beberapa kasus, di dalam diri mereka tidak terdapat motivasi untuk menjadi guru. Meskipun demikian, motivasi menjadi guru baru timbul ketika mereka sudah tamat dari pendidikan guru atau sudah menjabat profesi guru. Hal senada yang dituliskan oleh Yulirahmawati (2008) yang melakukan riset mengenai motivasi menjadi guru dengan koresponden mahasiswa master dan doctoral dari bebeapa negara dimana sebagian dari mereka (koresponden) memiliki motivasi menjadi guru setelah beberapa tahun mengajar sebagai guru. Habnoer (2007) juga menuliskan hasil penelitian BALITBANG DEPDIKNAS bahwa salah satu penyebab rendahnya kualitas guru adalah karena mereka (guru) memasuki lembaga pendidikan guru hanya karena takut tidak dapat diterima di lembaga pendidikan tinggi lainnya
Akan tetapi, dari beberapa kasus di Indonesia, motivasi menjadi guru ini kembali menjadi pertanyaan ketika mereka sudah merasakan bagaimana sebenarnya kehidupan seorang dengan profesi guru. Apakah mereka akan terus termotivasi menjadi guru atau menarik dari dari dunia profesi guru ketika status sosial, kebutuhan dan kesejahteraan mulai ”angkat bicara”? Pada awalnya, ketika mereka memilih memasuki pendidikan guru, mungkin ada di antaranya murni memilih pendidikan guru, mungkin juga karena terpaksa seperti yang dibicarakan di atas. Munculnya dilema antara kebutuhan dan pilihan menjadi guru terus berkembang dan menjadi wacana di tingkat dunia pendidikan. Mulailah timbul tuntutan-tuntutan dari guru yang berkenaan dengan tingkat kesejahteraan. Demo ke pemerintah (pendidikan) sampai ada yang mogok mengajar. Alhasil, anak didik terkena dampak. Damapak yang bisa merusak mental anak didik. Tentunya kita tahu, jika guru tidak lagi mempunyai motivasi untuk mendidik, tidak lagi mendidik dengan sepenuh hati, maka pendidikan di negara kita akan hancur yang selanjutnya bangsa Indonesia pun akan terpuruk, menjadi bangsa yang terbelakang. Jadi, dengan demikian motivasi menjadi guru masih dipertanyakan. Apakah mereka benar-benar ingin menjadi guru atau karena alasan lainnya?

Apresiasi Profesi Guru

Profesi guru memang memperihatinkan. Belum lagi masalah tingkat kesejahteraan yang menjadi problema hidup, ditambah lagi masalah status di di lingkungan masyarakat yang membuat guru bertambah ”lemas”.
Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, profesi seorang guru dipandang sebagi profesi yang mulia dan bermartabat tinggi. Kedudukan atau status sosial guru sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Perkataan guru dianggap sebagai ”sabda”, digugu dan ditiru (Pagau, 2008; Tuhusetya, 2008). Tidak banyak orang yang menjadi guru pada waktu itu. Seorang guru telah menjadi panutan bagi masyarakat di sekitarnya. Guru dipandang sebagai pribadi yang arif, cerdas dan bijaksana. Namun sekarang, pandangan itu sudah hampir tidak ada lagi. Perkembangan zaman telah membuat status guru seperti tak ubahnya profesi lain yang tidak ”hebat” seperti halnya profesi dokter atau insinyur. Padahal timbulnya profesi dokter, insinyur dan lainnya tidak terlepas dari didikan dari guru tempat mereka menuntut ilmu. Profesi guru di mata masyarakat masa kini telah kehilangan pamor, tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan yang luhur dan mulia. Status sosial guru semakin tersisih di tengah-tengah masyarakat yang mendewakan hal-hal yang bersifat duniawi dan kebendaan. Sudiono (2007) mengatakan, profesi tentu saja memiliki konsekuensi, bukan saja kompetensi akademik, sosial atau kompetensi lainnya melainkan melekat apa yang disebut sebagai kaum profesional. Salah satunya guru sebagai suatu golongan kaum profesional. Namun, nasib profesional guru tidak secepat dan secemerlang profesi lainnya.
Pada dasarnya, guru sama sekali tidak mengharapkan apresiasi yang berlebihan dari masyarakat. Bagi mereka mungkin cukuplah dihargai sebagai manusia yang juga tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan. Bukan harus selalu disalahkan ketika prestasi anak didik yang dididiknya mengalami penurunan. Kenyataannya masyarakat masa kini terutama orangtua anak didik kurang menghargai eksistensi guru yang telah mendidik anak-anak mereka. Mengapa demikian? Masyarakat menganggap, kualitas pendidikan mutlak ditentukan oleh guru karena mereka bertugas sebagai pendidik. Guru bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak mereka. Apabila hasil pendidikan tidak baik, maka guru akan disalahkan. Sama sekali masyarakat tidak melihat faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pendidikan anak-anak mereka. Masih banyak lagi prilaku dan pandangan terhadap guru yang kurang apresiatif, baik dari anak didik sendiri, orang tua, masyarakat maupun pemerintah dari segi kesejahteraan guru. Dengan demikian menjadi guru mungkin penuh dengan ”ujian hidup”. Melihat kondisi ini, wajar jika masih ada guru yang mengajar dengan pengajaran yang tidak berkualitas yang mungkin unsur keterpaksaan berperan di dalamnya.

Kualitas dan Kesejahteraan Guru

Sebuah persepsi umum yang sama, bahwa gaji guru kecil ditambah lagi dengan bermacam-macam potongan dengan dalih asuransi, dana sosial dan sebagainya. Lebih ironis lagi bagi guru non PNS dimana mereka akan mendapat potongan jika tidak masuk mengajar.
Menurut Kristianawati (2002), rendahnya tingkat kesejahteraan guru Indonesia membuat mereka tidak bisa optimal dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai pendidik karena selalu mengurusi persoalan ekonomi keluarga. Tidak mengherankan jika ada guru yang menekuni profesi sampingan untuk menambah biaya hidupnya, misalnya sebagai supir angkot, bisnis MLM (multi level marketing), menjadi guru privat bahkan melakukan transaksi perdagangan di sekolah baik sesama guru maupun dengan anak didik. Bisa dibayangkan bagaimana proses pembelajaran di sekolah yang dilaksanakan oleh guru dengan pikiran yang bercabang-cabang antara tanggung jawab mendidik dengan tanggung jawab terhadap keluarga. Tentu saja kualitas pendidikan tidak akan optimal. Bagaimana pula peranan pemerintah khususnya di bidang pendidikan dalam mengatasi masalah kualitas guru tersebut?
Dalam rapat terbatas bidang pendidikan, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono mengemukakan, pada hakekatnya pendidikan nasional dijalankan untuk membangun human capital, sumberdaya manusia yang cerdas, memiliki daya saing yang tinggi, dan berkepribadian yang tangguh. Untuk itu pemerintah telah menetapkan kebijakan agar prioritas pendidikan nasional tahun 2007-2009 benar-benar bisa meningkatkan mutu, akutabel, lebih merata dan dapat dijangkau semua kalangan (Tempo, 8 Juli 2007). Pandangan presiden sangat baik, namun bagaimana mutu pendidikan bisa tercapai optimal kalau kualitas gurunya masih rendah dan dipertanyakan? Wahyudin dkk. (2004), kualitas pendidikan sangat tergantung pada beberapa aspek, yaitu kualitas anak didik itu sendiri, orangtua, sarana dan prasarana, terakhir kualitas guru. Studi BALITBANG menyimpulkan bahwa ada korelasi antara tingkat pencapaian prestasi anak didik dengan kualitas guru. Salah satu komponen untuk meningkatkan kualitas guru adalah dengan peningkatan kesejahteraan guru sehingga bisa kita sumsikan bahwa kualitas pendidikan nasional tidak akan tercapai dengan baik jika para pendidiknya masih dominan memikirkan kesejahteraan dan status sosialnya.
Pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan berupaya mengatasi masalah kesejateraaan guru dengan merencanakan kenaikan gaji guru di dalam APBN tahun 2009. Direncanakan kisaran gaji guru pegawai negeri sipil (PNS) antara Rp. 1,55-2,07 juta sesuai dengan pangkat dan golongan. Bagi guru non PNS, akan mendapat tunjangan profesional sebesar Rp. 200.000 per bulan untuk non sarjana dan Rp. 300.000 bagi kualifikasi sarjana (Kompas, 21 Oktober 2008). Sementara itu Pemerintahan Kota Medan juga berencana meningkatkan kesejateraan guru dengan memberi bantuan (insentif) untuk guru swasta melalui APBD Medan sebesar Rp.250.000 per bulan (Sumut Pos, 28 April 2008). Di samping itu, pemerintah juga menerapkan sistem sertifikasi untuk meningkatkan kualitas guru yang dibarengi dengan tunjangan bagi yang telah memiliki sertifikasi baik bagi guru PNS maupun non PNS. (Pada beberapa kasus, guru yang telah lulus sertifikasi, belum mendapat tunjangan sampai berbulan-bulan). Berita ini tentu saja membuat para guru cukup senang, walaupun tidak mengetahui pasti bagaimana aplikasinya di lapangan. Namun, masih perlu kita jadikan pertanyaan apakah dengan adanya kenaikan gaji guru dan tunjangan profesi akan meningkatkan kualitas guru secara signifikan atau tidak. Mampukah kita melakukan sertifikasi dengan ikhlas tanpa ada unsur keterpaksaan untuk mendapatkan tunjangan profesi yang lebih? Kembali kita pertanyaan pada diri kita masing-masing.

Penutup

Sudah kita ketahui bahwa ketika seseorang memilih profesi guru belum tentu menekuni dengan benar profesinya tersebut. Pilihan profesi guru bisa jadi pilihan alternatif atau terakhir. Dunia pendidikan tentunya tidak menginginkan orang-orang yang menempuh pendidikan keguruan adalah orang-rang yang tidak lulus dengan pilihan utamanya karena apabila pilihan guru terpaksa diambil, maka unsur keterpaksaan akan terbawa ketika ia menjadi guru. Keterpaksaan akan semakin terasa ketika tingkat kesejahteraan guru menjadi dilema dalam kehidupannya. Keterpaksaan sebagai guru akan memberi dampak buruk bagi dunia pendidikan khususnya bagi anak didik yang bermuara kepada keterpurukan dunia pendidikan kita.
Tugas seorang guru adalah mendidik. Melaksanakan tugasnya dengan baik akan menghasilkan kualitas anak didik yang baik pula yang pada akhirnya kualitas pendidikan di negara kita akan menjadi lebih baik, tentu saja dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, peranan guru, anak didik, orang tua, masyarakat dan pemerintah sebaiknya harus berada dalam suatu koridor yang terarah dengan baik dan proporsional.
Apabila seorang guru telah menentukan pilihan menjalani profesi guru, maka faktor-faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi kinerja guru sebaiknya tidak mendominasi, misalnya tingkat kesejahteraan, tugas yang banyak serta kewajiban-kewajiban lain yang dibebankan kepada guru.
Tondowidjojo (1985) mengatakan bahwa tugas guru memang sangat berat, sedangkan gaji yang didapat kecil. Disinilah dibutuhkan pengorbanan seorang guru. Apabila memang ada pengorbanan, maka pengorbanan inilah yang dicintainya.
Motivasi menjadi guru mungkin timbul ketika kita menjalani profesi guru. Ketika motivasi ini telah tertanam maka seorang guru yang baik akan belajar mencintai profesinya tersebut karena hakekat profesi ini bukanlah menuntut nafkah hidup yang menjadi motivasi utamanya, melainkan kesediaannya melayani sesamanya. Kristianawati (2002); Pagau (2008), menyatakan bahwa imbalan yang diterima guru baik yang bersifat materil maupun moril masih jauh dari tuntutan rasa kepuasan guru meskipun sesungguhnya martabat dan harga diri guru tidak diukur dari aspek materil dan simbol-simbol lahiriah.
Martabat, panggilan hidup dan tanggung jawab kita sebagai pendidik mewajibkan kita untuk mengusahakan apa saja guna memperluas, memperdalam, mengadakan pembaharuan pada kompetensi kita demi peningkatan kualitas anak didik meskipun apa yang telah kita perjuangkan dan telah kita lakukan tidak mendapatkan imbalan yang sepadan (Tondowidjojo, 1985). Jika kita merasa terpanggil untuk menjadi guru, maka penuhilah panggilan tersebut karena orang yang memenuhi panggilan hidupnya adalah orang yang baik, namun jika kita menjadi guru karena motivasi atau orientasi kebendaan dan status sosial maka sebaiknya dipertimbangkan untuk terus menjalani profesi guru karena itu sama saja dengan melakukan perbuatan yang terpaksa. Perbuatan yang mengandung unsur keterpaksaan tentu saja akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik.
Pada akhirnya, kita pertegas bahwa memilih menjadi guru harus siap dengan segala konsekuensi yang muncul dalam kehidupan profesi guru.

*penulis adalah guru SMA Panca Budi Medan

Sumber Pustaka
Habnoer, S., 2007. ”Masalah Kesejahteraan dan Pencitraan Profesi”. Internet. 10 November 2008

Handoko, M., 1992. ”Motivasi: Daya Penggerak Tingkah Laku. Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Kristianawati, A. 2002. ”Guru dan Tuntutan Kompetensi Profesi”. Internet. 10 November 2008

Wahyidin, D, D. Supriadi, I. Abdulhak, 2004. ”Pengantar Pendidikan”. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta

Kompas 21 Oktober 2008. ” Mempertanyakan Nasib Guru”. Media Cetak.

Pogau, O., 2008. ” TakPerlu Ragu Menjadi Guru”. Internet. 10 November 2008

Sudiono, 2007. ”Profesi Guru: Antara Harapan dan Realitas”. Internet. 10 November 2008.

Sumut Pos 28 April 2008. ” Perhatikan Guru Swasta. Media Cetak

Tahusetya, S., 2007. ”Mempertanyakan Apresiasi Masyarakat Terhadap Profesi Guru. Internet. 10 November 2008.

Tempo 8 Juli 2007. Jalan Panjang Membangun Human Capital.” Majalah.

Tondowidjojo, JVS., 1985. ” Kunci Sukses Pendidik”. Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Yulirahmawati, 2008. ”Untuk Apa Menjadi Guru”. Internet. 10 November 2008

No comments: