Friday 22 December 2017

Tuesday 28 November 2017

PUISI-PUISI RAUDAH JAMBAK


MAKA BATU SEHINGGA LUBANG

pada lorong ini kata-kata berlumut di dinding-dinding gua suara-suara beradu teriak di gendang telinga entah mengapa desing peluru itu tak juga enyah ia menyusup terus pada kisi-kisi pikir pendatang yang datang dan pergi
pada lorong ini saudara tua pernah mencatat kuasa di dinding-dinding gua ada sejarah yang mengering tapi kemanakah halaman lembar-lembar yang terkoyak dari buku pelajaran sekolah? Ah, mungkin ia sekadar singgah di negeri entah
pada lorong ini batu-batu mengeraskan kata-kata saudara tua di dinding-dinding gua mewartakan sejarah dan kisah-kisah lama adakah luka tercatat pada peta atau lubang yang semakin meruang? Lalu kemana pendatang yang datang dan pergi? Mungkinkah mereka sekadar singgah di negeri entah, ah


2013

Lelaki Tua Di Tengah Danau

O, Batara Guru….
Telah kubuat tuah ni gondang
Dengan tujuh kali putaran
Dari gondang mula-mula
Somba-somba maupun liat-liat
Angin mengelus, air mengalir
Pada danau segala desau
Adakah rahasia pada segala
Atau hati sembunyikan misteri
Padamu, padaku, atau pada kita

O, Batara Guru….
Telah kulakukan mangase homban
Agar senang si Boru Saniang Naga
Agar senang si Boru Deak Parujar
Agar terjaga tanah negeri kami
Riak-riak menciptakan irama
Para bocah yang berebut mencapai dasar
Ah, adakah rindu masih terpaut
Atau dendam masih tersudut
Padamu, padaku, atau pada kita

O, Batara Guru….
Sampaikan kepada Ompu Mulajadi Nabolon
Jagalah Bona Ni Pasa segala suka
Jagalah Bona Pasogit segala cita
Jagalah hati kami dari segala angkara
Menarilah dengan penuh sukacita
Bernyanyilah dengan segala keindahan nada
Angin akan membawa kabar berita
Air akan menyatukan segala cinta
Padamu, padaku, atau pada kita

2013

Membaca Awan Menghitung Rintik Hujan

Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur

Bukan karena rintik itu berderai atau pecah maka kau mengundang pesta ke dendam hatimu yang sewarna pinggul kuali. Aku memahami irama didih hujan di bilik panci-panci. Atau awan wedang panas yang mengepul pada puncak gelas. Alahai, bukankah kau sendiri yang menciptakan dansa caca pada sepasang sendok dan garpu? Jangan pernah merasa bahagia atau sedih, karena ia semacam sarapan pagi yang menggigilkan dingin. Pun, barangkali matahari yang dihanguskan bara api. Bekunya kau pahat menjadi patung para peri, abunya kau jadikan kaligrafi.

Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur

“Jangan buang. Jual saja,” ujar kekasihmu yang tengah mengunyah desau angin. Entah mengapa, ia tak pernah berhenti mengidam. Padahal niatmu hendak memilah hujan, lalu menyematkannya di sudut matamu

Dan ketika kau meninabobokkan malam, gerimis meringis. Tanpa kau sadari, ia berkali-kali mengetuk jendela kamarmu. Ia menggigil melihat kau menyetubuhi mimpi. Sementara di sudut kelam dapurmu ada yang diam-diam menyulut dendam. Gelas-gelas panas. Piring-piring sinting. Sendok-sendok sengok. Kompor-kompor menjelma provokator. Mereka sepakat mengobarkan perang dengan kesaksian kucing renta yang tak henti mengibaskan ekornya. Mereka bersorak persis disaat siaran televisi kehilangan imajinasi. Ah, katanya, baru saja perutnya mual, lalu mulutnya memuntahkan telenovela bersama suara sirene di kepalamu.

Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur

Betapa luka perasaannya, seandainya kau tahu tidak ada apa-apa yang terhidang di sana. Pun, termasuk ketika kau selesai menikmati hidangan awan penuh selera. Tetesan sambal, serpihan tulang-tulang, ataupun tumpahan jus anggur yang tak kau sadari memerihkan hatinya. Walau kau lapis wajahnya dengan beludru merah jambu.

Seperti geliat rayap di lendir banjir, seekor tikus mendengus. Ia mengutil rimah-rimah semur kambing, kemudian diam-diam membungkusnya dalam kantong plastik untuk orang-orang tercinta. Dan menghidangkannya kembali pada seriuh meja dapur dengan keropos-lapuk di kakinya.

Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur

Anak-anak hujan berebut telur rebus terakhir yang sebenarnya sengaja kau sisakan untuk sarapan kucing setiamu. Padahal sebelumnya awan sengaja menghadiahkan mendung untukmu, sebab seekor ayam betina yang tersesat di dapur diam-diam bertelur di ujung garpu.
Entah mengapa kelebatan meteor di matamu, menjelma setengah kehidupan yang menyembul di serpihan telur rebus yang jatuh berantakan terinjak tapak-tapak kaki hujan.

Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur

Persis siang ini, ketika hujan perlahan beranjak pergi. Kau biarkan sunyi diam-diam menghitung rintiknya. Mungkin yang tertinggal hanya gelisah barang pecahbelah. Yang tertinggal aroma rindu terasi ibu. Yang tertinggal cerita masa kanak. Yang tertinggal kesumat keringat para lelaki.Yang tertinggal sesak dada senja. Yang tertinggal tentang kisah kucing renta yang tak henti mengibaskan ekornya. Ah, semoga ia tak lupa mengirimkan surat-surat kerinduan tanpa baris-baris kecemasan.

Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur

2013

Menatap Wajah Danau

Ada yang beriak di bola matamu
pada setiap sudutnya mengalirkan rindu
mengenang hasrat boru deak parujar
di bawah pohon hariara

Ada yang tergenang di sudut matamu
melihat ihan yang menari di dasarnya
bukan bersebab tambak-tambak yang membelukar
atau kiambang yang membenam segala kenang

Ada yang terbaca di kornea matamu
mencatat partoba menuliskan setiap harap
di antara klutuk-klutuk mengutuk batuk
pada sepanjang erang boru saniang naga

2013

Dan Danaulah Itu

Dan danaulah itu yang telah lama mengisyaratkan
Warna cinta di bola matamu ketika matahari tenggelam di ufuk yang mengantuk
Lalu orang-orang masih meruwat riak-riak air yang telah lama kehilangan
alir. Mencari tanda pada gumpalan debu-debu diantara kiambang mengambang
Kitapun hampir kehilangan peta singgah tempat biasa berbenah.
Catatlah sejarah pada jiwa-jiwa gelisah, pada lak-lak membasah.

Dan seperti malam-malam sebelumnya, gelap hanya mengantar subuh
yang selalu membasuh dahaga para pemburu nasuha,
yang menundukkan kepala pada setiap sujud semesta
yang melentikkan setiap jentik zikir para pencari surga,

Di setiap iring-iringan takbir sepanjang semilir.
Berharap harap yang sebatas kerinduan yang mengawan dalam penantian
Merindu rindu yang sebatas harap yang mengerjap dalam degap

Dan danaulah itu yang telah lama mengisyaratkan
Irama kasih di setiap gendang telingamu ketika matahari merekam dendang di debar fajar
Lalu orang-orang masih meruwat desau danau yang hendak menghantarkan parompa
Suka-cita. Menitip kisah pada catatan riwayat diantara debat hakikat

2013

Lelaki Tua Di Simpang Raya

Seorang lelaki tua terduduk sendiri di simpang sepi
Tubuhnya mematung membeku detik-detik pagi
Menyimpan dingin embun-embun tiang besi
Sementara lampu merah, kuning, hijau
Terus berganti

Orang-orang masih bergelut mimpi
Di kamar-kamar yang menyelipkan lemari besi
Pada sudut-sudut tersembunyi diawasi CCTV
Memerdekakan diri, memanjakan hati

Lelaki tua itu pernah membingkai cita-cita
Membangun tangga sejahtera untuk keluarga
Berbahagia di dunia, sejati di surga
Mencatat euphoria masa ke masa
Receh itukah suara riangnya
Menahan loncatan kosa kata-kata
Berhamburan dari jendela mobil
Yang tak jua terbuka
Atau deru knalpot memekakkan

Rasa merdeka entah di mana
Seorang lelaki tua terduduk sendiri di simpang hati
Do’anya seakan habis kehilangan cahaya matahari
Mengarahkan sepanjang perjalanan menuju Tuhan

Di sinilah ia bertahan
Menghirup debu jalanan
Dan hujan kehilangan pesan

2013

Medan Putri

Dan
kepadamu aku bercerita
kepadamu segalanya kukisahkan
akulah si Guru Patimpus itu
mewariskan si Kolok
bermatapencaharian si Sepuluh dua kuta
bertani dan menanam lada

akulah si Guru Patimpus itu
mewariskan si Kecik
menenun ilmu berguru ke Datuk kota bangun
maka,
kepadamu aku serahkan
kepadamu sebuah kota didirikan
antara sungai Deli
sampai sungai Babura
sebuah benteng bersisa dinding
lapis bentuk bundaran, cikal bakal
si kampung medan

Oooi,
Akulah si Guru Patimpus
semua duri kubuat hambus
semua onak kubuat mampus

dan
kepadamu aku bercerita
di tanah deli ini medan putri berdiri
maka,
kepadamu aku serahkan
sebagai catatan dalam ingatan

2013

Portibi

sesekali kutelusuri bilik sempit
sudut kusam, cagar sejarah
dan relief dingin memaknai kediamanmu
yang berdebu dan gosong pengetahuan
tak ada catatan yang tertinggal
selain kegalauan merubung dada
dan kanak berebut benang putus layang
serta sorak kegembiraan yang menyusup
di dinding-dinding senyap

2013

Hobar Namora

Alunan sordam berlayar bersama kesiur angin
Menelusuri persawahan di antara padi-padi
Sepanjang hamparan sigalangan membakar dingin
Dan burung-burung yang sibuk memetiki hasapi

“oi, sahala na mar tondi
dan para penguasa huta ni humang
aku kawini si jelita dari lubu
yang menitiskan si langkitang
yang menitiskan si baitang”

beribu pustaha memerciki ceracau kemarau
meratapi pepohonan yang hibuk menghitung usia huta-huta
daun-daun berguguran di atas hamparan surat tulak-tulak
dan ruas-ruas bambu yang melantunkan andung-andung

“oi, tondi na marsahala
aku penuhi janjian di sopo sio rancang magodang
aku nikahi nan tuan layan bulan
yang melahirkan sutan borayun
yang melahirkan sutan bugis”
tetabuh gondang mengaduh bersama hentakan ogung
menggebuki langit yang menahan beribu jerit

“oi begu na mar sahala dohot mar tondi
akulah namora pande bosi
yang kehilangan makam sendiri “

2013

Syair Perang Sunggal

Bismillah itu permulaan kalam
dengan nama Allah Kholikul Alam
di permulaan kitab diperbuat nazam
supaya diingat sejarah yang tersulam

Tahun 1872 dalam kitab dicatatkan
sejarah perang Sunggal mulai dimulakan
tahun 1895 Batak Oorlog lain sebutan
akhir perang besar memakan banyak korban

Datuk Kecil pahlawan yang disebutkan
mempertahankan prinsip dan keyakinan
Datuk Jalil dan Sulong Barat menyambut sahutan
menjaga Sunggal dari kejahatan dan keserakahan

Datuk Kecil menyerang menerjang
bersama Datuk Jalil dan Sulong Barat berjuang
rakyat kecil menjadi semakin senang
jaga Serbanyaman dari amukan perang

Sultan Deli penyebab pertama
Tuanku Mahmud Perkasa Alam namanya
berhubungan dengan pemerintah Belanda
menyerahkan tanah sebagai cinderamata

Maka, perangpun telah dimulai
Korps ekspedisi lalu dipersenjatai
tiga kali pengiriman Sunggal dibantai
khianat Van Stuwe, pahlawan kita terkulai

Perjuangan tidaklah sampai di situ
Datuk Sri Diraja ikut menjadi pemersatu
bersama adiknya, Datuk Alang, terus menyerbu
menghancurkan Belanda, menjadikannya abu

Perlawanan rakyat semakin berapi-api
gerilya Langkat di Gunung Tinggi, jadilah bukti
perang Tuan Rondahain, di Bedagai, semakin berani
gerilya Pak Netek, di Asahan, juga menjadi saksi

Seperti Datuk Kecil dan Datuk Jalil sebelumnya
Datuk Sri Diraja dan Datuk Alang bernasib sama
di bawah rongrongan Belanda dan antek-anteknya
akhirnya, wilayah Datuk Sunggal porak-poranda

Bersungut dawai, berkapan cindai
sifat pahlawan Datuk Kecil telah tersemai
Datuk Sri Diraja Sunggal kemenakan pandai
ikut bersungut dawai, berkapan cindai

Semangat juang pahlawan Sunggal mari dikenang
tidak hanya di mulut tapi ikut berjuang
membangun bangsa yang bercabang-cabang
akibat korupsi yang terus berkembang

Alhamdulillah kami haturkan
puji kepada Allah kami sertakan
segala khilaf dan salah mohon maafkan
niat baik dari kami tolong fahamkan

2013

Tugu Guru Patimpus

ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan
yang terlepas hurup-hurupnya dari paragraf-paragraf usang
sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus
membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain
dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan perjalanan,
mengekalkan peradaban urban

di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah
di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah
di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki

bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan
kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup
menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi
yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya
diam-diam pada bulan

ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana
bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua
langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari
menghibur para petualang yang sejenak datang
mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus
bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain
membenam teriak segala pongah, mencampak derak suara
ke langit terbelah

di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara
percik riwayat kisah-kisah semangat juang
di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula
pemancakan gedung-gedung nan gagah
dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain
dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua
dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang,
yang entah kapan pergi

2013

Tentang Pohon yang Melahirkan Daun-daun
:siboru deakparujar

Dari pohon kehidupan di lapis langit tertinggi
takdir telah ditetapkan. bermula dari akar sampai
pada pucuk-pucuk dedaunan. tentang pelajaran
yang harus kau fahamkan. mencari dan memberi,
bukan tersulur apalagi terkubur. Awal dan akhir.
Sebuah kebijaksanaan Manuk Hulambujati, yang
melahirkan Batara Guru, bapak Siboru Deakparujar,
berkali-kali berkisah di bawah rindang Tumburjati.
Tentang cahaya bintang-bintang yang berkejaran.
Tentang pelayan si penyampai pesan.
Pada setiap lembaran kisah selalu ada warna, putih
dan hitam. Menghindar dan bertahan adalah pilihan
yang harus ditetapkan. Seperti Siraja Odap-odap yang rela
lebur demi menjeput cintanya sepanjang gulungan benang
tenun sampai memulai tenunan baru. Meskipun berhari-hari,
berbulan-bulan, ataupun hitungan tahun. O, dari langit teratas,
tengah, maupun yang paling bawah kisah seperti tak pernah
selesai. Laiknya aliran dari cabang sungai yang memeluk
muaranya. Menumpuk dan berbagi cerita. Pun bibit-bibit
tumbuhan dan hewan yang dimasukkan ke dalam sebuah
lodong poting, potongan batang bambu, berisi benih seperti
sebuah pancuran yang menebar bibit di rimbun tetumbuhan.
Dan pohon kehidupan itu terus bercabang. Serimbun daun.
Tempat burung-burung bertukar kisah tentang langit dan bumi.
Dari langit menuju bumi dan kembali ke langit. Kisah yang terus
berkembang tentang langkah, rezeki, pertemuan, dan maut. Tentang
sebuah kebijaksanaan. Begitu hakiki. Begitu abadi.
2013
Pada Langit, Pada Bumi, dan Pada Segala
Pada langit. Pada bumi
Pada pucuk-pucuk daun hariara
Tenunan selesai digelar
sepanjang selendang Deak Parujar
merengkuh banua ginjang
menancap banua tonga
mengakar banua toru
Pada langit. Pada bumi
Pada sayap-sayap hulambujati
Kisah telah menjadi hobar
Tentang Odap-odap memburu Deak Parujar
menyesap dalam darah
menembus rongga-rongga
menyembul dari mulut dan mata
Bakkara, O, Bakkara
di timur aku tertancap
di segala penjuru aku disergap
mulut dibekap, suara disadap
Pada langit. Pada bumi
Pada titah Ompu Mulajadi
Deak Parujar menitipkan benihnya
Tuan Mulana mencapai orgasmaya
Naga Padoha menggaruk punggungnya
2013
Balada Si Boru Deak Parujar
pohon tumburjati, pohon kehidupan, pohon rindang
bagi penghuni banua ginjang tidaklah sesunyi porlak
sisoding, taman tersembunyi yang menyimpan rahasia abadi.
pohon tumburjati, pohon kehidupan, pohon membelai
seramai ranting dan daunnya. mendapat amanat sepanjang
hayat, laklak segala kitab mengungkap segala wasiat
pohon tumburjati, pohon kehidupan, pohon berdaun
menyemai gugur, daun-daunnya yang menangkup
ke lapis langit pertama memanjatkan do’a mengharap
cinta di setiap lembarnya, melepas gairah bersama
ranting-ranting patah.
di puncak hariara sundung di langit, beringin membuka
hobarna, bermula kisah manuk hulambujati, induk
tiga telur besar yang mengandung batara guru
mengandung debata sori dan mangalabulan.
di puncak hariara sundung di langit, beringin membuka
torsa, berlanjut kisah manuk hulambujati mengeramkan
tiga telur lagi; mengandung siboru parmeme, siboru parorot,
dan siboru panuturi.
siboru deak parujar, putri bungsu batara guru dan siboru
parmeme, berkali-kali pergi ke bawah rindang tumburjati,
mendengar cerita manuk hulambujati yang bertengger
di puncak tertinggi. ia seperti cahaya bintang-bintang
yang berkejaran. moncongnya berpalang besi, kukunya
bergelang kuningan, dan sosoknya sebesar kupu-kupu raksasa
nan berkilau bersahabat dengan leang-leang mandi,
leang-leang nagurasta, dan untung-untung nabolon,
sebagai pelayan dan penyampai pesan
“Wahai, Manuk Hulambujati, untung-untung Nabolon.
Mengapa engkau tak mau turun untuk bersamaku di sini? ”
siboru deak parujar tak lagi memaksa diri. setiap kali
kembali ke bawah rindang tumburjati, diam-diam
mengajak siboru sorbajati. tak lupa merapikan letak hulhulan,
penggulungan besar untuk benang tenunan.
“Kita semua di lapis kedua kahyangan ini keturunan dewa.
Siapapun yang menjadi pasanganku nanti, lebih baik
daripada tidak ada. Seandainya ayah kita berkenan juga
menjodohkan aku dengan Siraja Odap-odap, aku akan turut juga,”
ujar siboru sorbajati, si kakak tercinta memancing cerita.
keturunan laki-laki batara guru mendapat pasangan dari putri
debata sori. anak laki-laki debata sori dari putri mangalabulan.
anak mangalabulan mendapatkan pasangan dari putri batara guru,
memilih antara siboru deak parujar dan siboru sorbajati.
“Ah, berpapasan saja aku tidak akan mau dengan anak
Mangalabulan itu! Lebih baik melompat dari puncak rumah
dan ingin menjadi batang enau daripada melihat wajah Siraja Odap-odap.”
mereka pun meneruskan gulungan benang tenun sampai
memulai tenunan baru. berhari-hari, berbulan-bulan.
batara guru dari bagian biliknya nampak tidak sabar lagi
untuk mendesak salah satu putrinya dipersunting siraja odap-odap.
“Kemarilah kalian berdua,” panggil Batara Guru.
siboru sorbajati akhirnya melangkah sendiri memenuhi
panggilan ayah, mendengar suara-suara yang menanti
di halaman rumah. benar-benar melakukan niatnya dengan
melompat dari puncak rumah sambil menyumpahi diri
agar menjadi batang enau saja.
“Siboru Sorbajati lebih suka mengutuk dirinya daripada patuh kepada ajar. Satu lagi putri kakanda yang sangat turut pada ajar, pastilah itu Siboru Deak Parujar.”
“Tidak, ayahanda. Lagi pula tenunanku belum selesai.”
sampai menjelang pagi dia mengeluarkan bunyi
alat tenunnya itu sambil menikmati. dan terpikir
melemparkan hasoli, masih tergulung benang
yang dipindah dari hulhulan.
semalaman batara guru tetap berjaga agar putrinya
tidak melarikan diri. bunyi alat tenun siboru deak parujar
didengarnya mulai berhenti. “putriku, deak parujar!”
siboru deak parujar menyahut panggilan batara guru sekali,
selebihnya dia sudah bergayut pada benang yang menjulur
entah sampai ke mana. semakin turun, nampaknya dunia
bawah tidak jelas dan sangat gelap. angin kencang dan
lebih dahsyat kacaunya dari sebelum penciptaan kahyangan.
“Leang-leang Mandi, Untung-untung Nabolon…!
Kumohonkan agar engkau meminta sekepul tanah
untuk tempatku berpijak di bawah! Aku tak mau
kembali ke Banua Ginjang.”
sekepul tanah yang dikirimkan, ditekuk
siboru deak parujar, langsung menghampar
tempat berpijak menjadi awal banua tonga.
naga padoha menggoyang guncangan. dari bawah
tanah menyulam amarah. sebab frustrasi
dengan nai rudang ulubegu.
“Ompung Mulajadi Nabolon, mohon kirimkan
kembali sekepul tanah lewat pesuruhmu
Leang-leang Mandi, si burung layang-layang!”
permohonannya sampai untuk ditekuk kembali,
lengkap dengan sebilah pedang dan tutup kepala.
menghindari terik delapan matahari mengeringkan
banjir air di banua tonga. menghunus pedang
menaklukkan naga padoha yang berang.
naga padoha masih menyimpan dendam
mengguncang dari banua toru, tempat segala
kegelapan, kejahatan, dan kematian.
“Suhul! Suhul!”
mulajadi nabolon mengirimkan bibit-bibit tumbuhan
dan hewan, memasukkan ke dalam sebuah lodong poting,
potongan batang bambu, berisi benih bercampur jasad
siraja odap-odap, menghampiri siboru deak parujar
di sebuah pancuran yang dihalangi rimbun tetumbuhan.
“Boru Deak-Parujar, tenunlah sehelai ulos ragidup,
kemudian lilitkan ulos itu pada lodong itu lalu bukalah tutupnya.”
pertemuan siboru deak parujar dengan siraja odap-odap,
sebagai tuan mulana di banua tonga tak bisa lagi ditolak.
mulajadi nabolon memberkati mereka hingga melahirkan,
raja ihat manusia dan pasangannya bernama itam manusia,
manusia pertama.
siboru deak parujar dan siraja odap-odap kembali ke banua ginjang,
melalui seutas benang.
“Kalau kalian rindu kepadaku, terawanglah purnama bulan.
Di situlah aku kelihatan kembali bertenun dan menyulam.”
2013
Akulah Waktu, Kaulah Masa, Kita Catat Sejarah
/1/
Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun
yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya
serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging
Akulah Waktu yang kehilangan makna beban
Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan
Sebab ia adalah cermin buat berdandan
Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering
panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku
tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah.
Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama
sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam
sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak
/2/
Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi.
perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara.
mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta!
Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan
Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara
bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba
Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa
yang berburu zikir bersama Khaidir
lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!
/3/
Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah
Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam
yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian.
di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak
2013
Langit Menangis
Langit menangis, Sigumbang meradang
rumah-rumah dan jiwa-jiwa berpeluk lumpur
Langit menangis, Sikodon-kodon, Paropo, Silalahi
hampir kehilangan segala tondi, kehilangan nyali
sejak kelam malam, hingga sunyi pagi
Langit menangis, bukan menangisi para pengungsi
yang mengais ke dataran yang lebih tinggi
atau menyusuri rumah-rumah setelah air surut
menuju Silalahi
menuju Sikodon-kodon.
Langit menangis, sederas tangis si bawang merah
Segelisah mas dan nila
(ketika itu aku entah berumah dimana)
2013
Dari Tongging Ke Parapat
Dari Tongging, menyusuri sisi utara Danau Toba
Dari Tongging, menelisik di kebun teh Sidamanik
Dari Tongging, merasa panorama di Tanjung Unta
Dari Tongging, melintasi siring Sibaganding,
tempat banyak kera hidup bebas di hutan di lereng danau.
Dari Tongging, menikmati matahari terbenam di kedai-kedai pinggir jalan
Dari Tongging, lalu merapat ke Parapat.
2013
Tetabuh di Huta Tinggi Laguboti
Ku-tabuh gondang
Ku-tabuh ogung
Pepohonan manortor pada hamparan bumi
Menyanyikan turi-turian sebuah kelahiran
Angin yang berhembus pertanda pergantian
Musim-ke-musim, membawaku ke masa lalu.
Hembusannya begitu melenakan, menghantar
Pada boru Deak Parujar
Dan di sinilah bermula hobarna
Berasal dari bumi kembali ke bumi
Di Hutatinggi Laguboti, tetabuh gondang-tetabuh
Ogung terdengar gaduh mengitari alam menembus
Hutan sunyi, tempat persemayaman Sisingamangaraja
Yang menjelma Raja Nasiak Bagi, lalu terdengar pula
Ruji-ruji dari seorang pangido-ido menuju jabu
Dengan cacat kaki
Ku-tabuh gondang
Ku-tabuh ogung
Parmalim marende di Hutatinggi Laguboti
Raja Uti melafalkan ruji-ruji
2013
Membaca Tongging
Acapkali rasaku menjelma siluet pepohonan, yang berdiri kokoh, berharap sekelebat bayangmu menjejakkan aroma wewangian dupa di antara bisik daun-daun:
Bias langkahmu semakin temaram di sela peluh rerumputan. Gumpalan awan berebut menggantungi matahari ketika kau hibuk menancapkan tapak-tapak kaki, lalu kuraut wajahmu sehalus guci:
Laiknya seniman yang mengabadikan karya seni sejati.
Lalu kuhadirkan pelangi di kanvas hati, melintas batas-menembus
dimensi tempat kau terbiasa menari
Abadikan harum aroma tubuhmu:
Entahlah, debur jantungku berdegap berkali-kali.
Lalu, akupun menjelma terompa di tapak kakimu yang lembut,
bergesekan bilah kaca atau hunus duri
mereguk alir peluhmu:
Mewaspada tubuhmu yang memaku dan bias matahari yang beringsut
memohon diri
Dan senja membawamu mengajakku menuju malam, mengurai kembali segala kenangan di pinggir Toba:
Persis dibebatuan-di kawalan rerumputan, kau terdiam, menikmati remang cahaya matahari yang perlahan terbenam, aroma tuak melintas sekilas dari
lapo Amang yang setengah tumbang di belakang kita. Laksana perwira
yang berjaga di perbatasan alis tipismu, di perbukitan mancung hidungmu,
di seputar telaga matamu. Di ranum senyummu, kau aromakan beragam
hidangan dongeng dan legenda
Di depan kita berloncatan riak-riak kata, berlatar sibuk kunyahan kacang sihobuk.
Sebuah nostalgia menari-nari di layar mata tentang temaram Tongging yang sejuk-yang bersahaja di jumpa pertama:
Sebungkus ombus-ombus kau tawarkan sekadar hambarkan gemetar lapar
pada ceritamu tentang beban yang terjejak sepanjang perjalanan dari
kampung halaman, keluarga yang ditinggalkan. Ruap asap jagung bakar,
yang mengisahkan persawahan, ladang dan hutan-hutan
Awan hitam membuka lembaran laklak pada barisan kata yang berjatuhan
Adat seolah memperkenan pemberian marga antara
kepentingan dan kebanggaan
Hidup sekarang hanya memenuhi kebutuhan antara perut dan mulut, ujarmu
Siang dan malam seolah tak pernah ada sebab derita yang tak jelas ujungnya
Malam mencapai puncak kelam, kita perlahan mencari hangat dalam diam
Pada bahuku yang aduh, engkau pun luruh. Adakah isyarat yang dapat terbaca dalam kelam, bisikmu bergetar. Jika aksara lahir dari hati, maka biarkan ia mengalir laksana air. Dan seandainya kata hadir dari segala tipu daya, maka enyahkanlah segera sebelum kita terjerat di dalamnya.
Malam bukanlah kanvas kebimbangan, tetapi ia adalah keyakinan dan harapan tentang sebuah kepastian. Dan engkau pasti sudah membaca aksara jiwaku:
Mendengar debur ombak di dadaku. Membariskan irama beribu bintang tentang senandung rembulan.
Aku adalah matahari di hujan dadamu yang melahirkan pelangi, bukan sekadar melukis mimpi-mimpi, tetapi aku ingin kau terus menjadi seorang penari dengan irama paling setia:
Embun lalu luruh dari dedaunan dan gigil beban
Pada bentangan langit paling luas
kuajak kau terbang sambil menyanyikan semesta.
menggugurkan berjuta irama dengan sempurna:
belahan rasaku yang akan memberikanmu sayap berjuta warna, dan kita
arungi semesta, bersama
2013
SAJAK SAYANG NA SIPUANG
Tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri
Tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki
Kami gualkan
Kami tarikan
Untukmu kekasih hati
O, Na sipuang, Na sipuang
(Sonaha...i huda-hudai do namatei....)
Engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan kasih
Engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan sayang
Melalui kibasan enggang doa-doa dilayangkan
Melalui hembusan angin harapan diterbangkan
Adakah yang lebih indah dari cinta seorang ibu
Sejak kandungan harapan ditasbihkan
Setelah lahir kasih mengalir seperti air
Ketika dewasa menggudang segala cita
O, Na sipuang, Na sipuang
(Sonaha...i toping-toping do namatei....)
Ditalun-talun kisahmu tersiar
Ditalun-talun kisahmu terkabar
Di tanah ini kami mengobar mandillo tonduy
Di tanah ini kami senandungkan urdo-urdo i
Adakah yang lebih sedih dari tetes tangis ibu
Yang tak sempat tasbihkan harapan
Yang tak sempat mengalirkan kasih
Yang tak sempat membaca cita-cita
O, Na sipuang, na sipuang
Kami tabuh gonrang
Demi menjeput
Segala riang
Tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri
Tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki
Kami gualkan
Kami tarikan
Untukmu kekasih hati
2013
Kololi Kie
Mengelilingi Gamalama adalah menyulam sebuah kelahiran
Berhenti dari satu jagoru lamo ke jere lain seolah ziarah
Ke makam nabi-nabi
Mengelilingi Gamalama adalah menghirup nafas kehidupan
Memberangus satu bencana menjeput gairah-gairah seolah
Melontar jumrah
Mengelilingi Gamalama adalah mewariskan kasihsayang
Menikmati kelembutan toma nyolo, mendekap kehangatan
Toma nyiha
Mengelilingi Gamalama
Aku dodoki ali
Aku dodoki mari
Negeri Kepompong
Kali ini ia tidak melahirkan kupu-kupu,
tetapi ular bersayap kupu-kupu.
Kali ini ia tidak menghisap madu,
tetapi darah semanis madu-madu
Kali ini ia ia tidak menghadirkan warna-warna,
tetapi memuntahkan hitam sepenuh kelam
2013
Mantra Pelaut
Sampan kayu, dayung kayu, kayu segala kayu
Janganlah kayu segala tangkapanku
Laut asin, keringat asin, asin segala asin
Janganlah asin segala tangkapanku
Sampan laut, dayung keringat, kayu segala asin
Janganlah asin segala kayuku
Puah, puah, puah ....
2013
Sungai Siak
Dari jembatan letong kukunyah riak air
menitip intip patin-patin. Entahlah,
mungkin muntah pasar bawah
mungkin batuk tanjung datuk
dari jembatan letong kuhapus tetes air
merayap jatuh di pipinya yang keruh.
Entahlah, mungkin gertak tongkang
Mungkin gerah limbah
Dari jembatan letong kusaksikan peluh air
terkenang sejarah sirih yang pedih. Entahlah,
mungkin sejarah pohon-pohon batu
mungkin rerak sendi tanah-tanah retak
dari jembatan letong
siak begitu kepompong
Menikmati Pempek Dan Secangkir Kopi
menikmati pempek dan secangkir kopi di warung perahu
aku rindu, Ibu. Rindu pada kecemasan yang berdiri di depan pintu
membayang di atas hamparan sungai musi sepanjang senja ini
adakah kata yang salah dieja, atau rindu terlalu tajam sisinya
sehingga ia harus menggores hati, lalu menjejakkan sisa kepedihan
menikmati pempek dan secangkir kopi di warung perahu
aku tersadar, Tuhan sedari tadi telah mengundangku ke rumah-Nya.
Ia mengingatkanku pada ibu yang tak pernah lepas mengasah doa
Di atas sajadah basah. Berkilau sekilau pemandangan Benteng Kuto Besak
yang enggan membekaskan segala retak
menikmati pempek dan secangkir kopi
menikmati kecemasan ibu
menikmati panggilan Tuhan
aku datang!
2013
Mengecup Tanjung Karang
Pada wajah tanjung karang bias senja menyambut rindu
Yang sempat terhanyut di gulungan ombak-ombak awan
Raden inten seperti dermaga kapal-kapal yang menghantar tetamu
Membagi cerita tentang sebuah kisah pengharapan yang mengharukan
Entah angin mana yang mengisahkan ceruk teluk merak belantung merindu
Seperti keinginan laut yang menggantungkan harap pantai berpasir putih kenangan
Bagus dan sapenan tak kalah gairahnya sebagai rumah kedua dituju
Dari kenangan sebuah kelahiran yang juga kembali kepada kenangan
Tangkil terlahir dari rahim mutun dengan sejuta gairah yang raru
Ah, rindu itu menggumul gairah padang savana dan kembang-kembang setaman
Segelas kopi menunggu sepasang bibir, dirimu
yang datang menghirup segala kesumat, kerinduan
2013
Ternate Menjelang Senja
bukan karena pedagang asongan yang enggan pulang,
yang membuat perempuan itu tak beranjak dari bangku batu
bukan karena para nelayan yang terlambat menambatkan sampan,
maka perempuan itu tak juga beranjak menuju pulang
bukan karena hujan yang mengguyur sepanjang jalan,
sehingga perempuan itu menyulam catatan diam
bukan karena pedagang asongan, nelayan atau hujan
lalu perempuan itu menyimpan penyesalan, tapi
tuhan telah berbisik pelan-pelan ketika ia berada
tepat di persimpangan
2013
Sajadah Batu
Pada sajadah batu menempel lukisan dahiku
Dengan zikir beribu waktu
Rabbi,
Telah meretas air mataku satu satu
Namun rindu begitu kelu
Pada sajadah batu kuukir ayat ayat cinta
Dari waktu ke waktu
2007-09-15
Sajadah Kayu
Walau rayap rayap mengerat gigil tulang
Sujudku pada-Mu
Tapi takkan pernah lapuk sajadah kayu
Yang menjelma perahu
Mengarungi lautan do'a-do'a menuju
Dermaga rindu
Ah, akukah itu
Si penebang kayu yang dahaga
Akan embun rahmat-Mu
2007-09-15
Sajadah Api
Ibrahimlah itu yang dikuyupi api api rindu
Menganyam tembikar murka
Abrahah si pengumpul kayu
"Patung besar itulah yang memenggal leher
Tuhan-tuhan mu," ujarnya berseru
Amuk Abrahah menyulut deru
Dan Ibrahimlah itu yang meng-Imami
Sujud pada sajadah api membiru
2007
Sajadah Tanah
Sunan Kalijaga membentangkan sajadah
Tanah membasah, menggetarkan dada Syekh Siti Jenar
"Telah menyatu aku dengan Tuhanku!"
Mengutil rimah-rimah amarahnya
yang berdarah darah
O, siapakah yang memautkan
Zikir cacing pada bebal leher terpenggal
Di bujur sujud yang tersungkur?
2007
Sajadah Air
Digelembung zikir sajadah air, Musa
Menjambangi Khaidir sebelum menyeberangi
Laut senja, lalu kata-kata dipecah dalam
Bilah bilah
Dan perahu itu
Dan anak itu
Dan rumah itu
Pada sujud air sajadahpun air
Mengalir, membulir
2007
Sajadah Udara
Menapaki Haram menuju Aqsa adalah
Hijaiyah bagi hati yang resah
Lalu, membentanglah sajadah
Pada sujud udara menjemput cinta-Nya
Telah ku salatkan dunia merantai jahiliyah
Yang tak sudah sudah Ya, Rabbi
2007
Tsaisheng
Kaulah itu yang menebar benih rezeki
Pada setiap langkah-langkah pasrah
Yang menuai segala gerah, dan
Tikus-tikus siap mengintai
di setiap lengah
7 Februari 2008
Chenzhou
Di kota ini, para migran menembus
Gunung-gunung salju dari sejarah
Yang paling dingin
Di kota ini, cahaya temaram dalam diam
Orang-orang kerontang berebut air
Sampai tetes paling akhir
Di kota ini, tahun bersambut pada
Suasana yang paling haru, rumah-rumah
Merapat mencari hangat
2008
Di Tianjin
Di Tianjin para tikus membangun kerajaannya
Orang-orang cemas, orang-orang gemas, sebab
Emas-emas raib dari brankas
2008
Kembang Kertas
Kurayakan lunar tanpa barongsai
Dan tarian naga. Kembang kertas berjajar
Pada rumah yang merapat berbanjar
Kurayakan lunar menghempang babi tanah
Yang menyeberang gunung, menghadang
Tikus api yang menembus gudang
Dan langit, dan bumi dan manusia
Tercatat pada kelopak kembang
Begitu memesona
Hong bao
Merah warna yang penuh pada gairah
Di setiap hati para bocah
Genggam tangan dengan erat, maka
Akan kau genggam mata uang berwarna coklat
Dan beberapa potong permen pengikat
2008
Ling Ling Namaku
Lama sudah kita menjaring cerita
Tentang budaya dan perbedaan warna
Tapi, tahukah kau hanya hati yang mampu
Menyatukan segala-menyatukan rasa
Ah, apalah artinya sebuah nama katamu
Dengan canda. Tapi, bagiku nama penting adanya
Tentang sebuah harkat maupun pembuktian
Kesungguhan sebuah cinta. Jangan ragu
Aku terlahir di negeri ini
Ling Ling namaku
2008-02-07
Ada Beda Antara Kita
Usah resah maupun gundah tentang sebuah
Perbedaan antara kita. Apa itu salah?
Justru itulah kebanggaan adanya kesungguhan
Bukan topeng dari cinta yang dipaksakan
Kita memang lahir dari keluarga yang berbeda
Kita memang lahir dengan warna kulit yang berbeda
Kita memang lahir pada lingkungan budaya yang berbeda
Tapi, tahukah kau bahwa kita masih punya hati
Yang menyatukan segala beda antara kita
Dengan cinta
2008
Tahun Tikus
Setelah kemakmuran di tahun babi tanah pergi
Tikus-tikus apipun kembali menebar rezeki
Berharap mendapatkan sebuah kursi
Untuk memimpin negeri ini
Gunung-gunungpun berubah gudang-gudang
Tanah, air dan api menyatu
Angin tergugu menunggu
Setelah tahun babi tanah pergi, maka berkuasalah
Para tikus api menebar rezeki atau korupsi
Bertubi-tubi
2008-02-07
Happy Lunar New Year
Gong Xi Fa cai,
Mari samakan langkah
Membangun negeri tempat
Kita lahir dan dibesarkan
Satukan hati, singkirkan perbedaan
7 Februari 2008
Berilah Air Dari Tangan Keikhlasan
berilah air dari tangan keikhlasan,maka
kita akan selalu dicurahkan kemudahan
sebab, kasih tanpa syarat adalah
hidup yang penuh kedamaian
pada manusia
juga Tuhan
medan,06
Aku Hanya Menitipkan Bunga Ini Untukmu, Sahabat
Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu. tanamlah ia pada vas
hatimu yang bersemu biru
sebab, hanya ia yang mampu mewarnai hidup
agar lebih indah dan merona
Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu. rawatlah ia dengan
segenap kasih sayangmu
sebab, hanya ia yang mampu memberi kesegaran bagi hidup yang mengharu biru
Sahabat,
hanya setangkai bunga inilah yang dapat
kutitipkan padamu, ya setangkai bunga
cinta berwarna kedamaian
medan,06
Masa Depan Manusia
masa depan manusia adalah
pucuk dedaunan di puncak pepohonan
yang menghijau
sebab energi pupuk kebersamaan
bersih dari racun curiga
dan satwasangka
masa depan manusia adalah
buah ranum di reranting pepohonan
yang rimbun
sebab siraman segar air kebersamaan
mengalir dari mata air yang bersih
dan bening
masa depan manusia adalah
angin sejuk berhembus pada
pepohonan hati kita, makhluk
penjaga sah kelestarian hidup
dan kehidupan
medan,06
Ku Anyam Sebaris Do'a Dengan Hiasan Tahlil Sederhana
Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana,
di awal Ramadhan, pada november luka
bagi saudara-saudara yang tertimpa bencana
dan air mata membersihkan sisa-sisa cinta
yang sempat mengembang di Bukit Lawang
Pada derai air mata, aku rangkai berbagai
aneka bunga do'a, yang sempat mengangkasa
terbang di taman sajadahku bersama untaian
tasbih yang merindu
Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana bagi saudara-saudara
yang mengeram di antara gelondongan
bersama sungai bukit lawang
dalam sujud panjang yang tak berkesudahan
Medan,03-04
Musa Yang Membelah Gelombang
kemana lagi Musa pergi, selain membelah gelombang dengan tongkat sakti-di sini tsunami angkuh berdiri menebar duri, bersama angin yang memburu mengekalkan seringainya-dalam bayang-bayang kabutserombongan gagak memburu camar yang terbang gontai, perlahan mengintai-sementara pepohonan tafakkur, mengucap syukur - lalu membanjir derai zikir
: telah menjadi suratan fir'aun terkubur takabburmenafikkan takdir di tengah laut yang terbelahsehabis ketukan do'a Musa bersama takbir yang menggema
kemana lagi Musa pergi,selain membelah gelombang bersama para syuhada-di sini laut berubah raksasamelahap apa saja, bagai sihir yang menumpahkan muntahan air-menghantam beratus ribu pasir dalam sir-sementara tenggorokan tersekat bersama waktu yang sekarat
:telah menjadi suratan gelombang bukanlah hujjahpara syuhada hanya hijrah, berjalan diantara pecahan resah, membius darah-dan tsunami hanyalahistilah, pintu hijrah menuju tempat yang lebih indah
maka,bangunlah wahai kekasih Sang Kekasih, sebab resah adalah miliknya orang-orang kalah, sebab kecewa adalah miliknya para pendosa, orang-orang yang tak mengerti arti mencinta, sebab nada kutuk adalah miliknya orang-orang yang pintu hatinya tak terketuk
maka,kemana lagi Musa pergi, bersama umi-bersama abah,bersama inong-bersama agam, bersama geuchik-bersama teungku meunasah, bersama para syuhada yang tak mengenal arti lelah-arti menyerah, selain membelah gelombang,menuju Allah
2004
Menerawang Patung-Patung Berbaju
Alangkah indahnya menerawang patung-patung berbaju
Berdiri terpaku menjelma tugu-tugu yang disekitarnya
Menjadi taman bermain-anak cucu
Alangkah anehnya orang-orang dewasa yang memandang
Takjub anak-anak berusia belia tak berbaju, lalu menghardik
Anak sendiri yang memang tidak perduli
Lantas apakah kita seperti patung-patung yang termenung
Anak-anak berusia belia tak hendak berteriak
Memandang sebuah ketelanjangan yang memang
Sebatas kebiasaan
Lantas apa bedanya kita dengan hewan
Yang berpakaian dianggap sekedar hiasan
Lalu dijadikan gurauan
Dan alangkah anehnya sebuah keindahan kesopanan
Tak mampu diukur dengan batasan
Tak mampu dicerna dalam pikiran
Atau karena memang sudah menjelma
Kebiasaan menjadi kebisaan
Medan,06
Angan-Angan Diguyur Hujan Debu Mengendus Batu-Batu
:mengelus uncen,memapah abepura
Entah mengapa sore ini para semut memenuhi sepanjang
Badan jalan merambat tak beraturan.rambu-rambu
Berdahan rendah ditebas tanpa balas terseret pada trotoar
Kebisuan,ketika itu angin berwarna kusam diguyur hujan debudebu
Entah mengapa sore ini para semut memadati sepanjang
Badan jalan menyeruak tak beraturan menambah pecah
Pusat-pusat kebisingan.slogan kata-kata yang tiarap direranting
Pohon, merayap ditetiang listrik hanya mampu terpaku –membisu,
Ketika itu angin bersayap buram mengendus batu-batu
Entah mengapa sore ini para semut pasrah sepanjang
Badan jalan terkapar dengan desah tertahan ditembus deru peluru,
Memperjuangkan angan-angan yang mengawan
Tak berkesudahan, diguyur hujan debudebu-mengendus batubatu
Medan,06
Telah Terukir Ranting Daun Sampai Sejarah Paling Akhir
Telah terukir ranting daun pada kelopak mataku
Akarnya meranggas menembus sampai ke kulit paling akhir
Mencari celah-menyusuri darah, dan merambat
Ke puncak otak setelah melewati danau hati
Aku tak sempat menarik napas , ketika daun-daunnya
Merimbun pada kornea yang menjingga. Butiran-butiran embun
Menyeruak di sudut-sudut daun,
Membasah resah, membaca segala
Rahimnya membuahkan berjuta aksara dari kulit paling akhir
Merenangi sungai darah, dan hanyut di hulu otak menembus batu hati
Aku tak sempat menahan isak, ketika gemuruh jantung menghentak.
Membobol waduk air mata-membanjir luka, mengugurkan daun-daun-
Membusukkan segala
Gemulai dihembus angin yang mengerang garang
Akarnya meranggas menembus kulit paling akhir
Rahimnya membuahkan berjuta aksara duka dari kulit paling akhir,
Lukanya menganga pada pedih memerah, di kulit paling akhir, sampai
Sejarah perdaban yang paling akhir
Medan,06
Tangis Gerimis Adalah
Tangis gerimis adalah air mata gadis yang perih
Ketika menanak luka, mengalir di sungai-sungai nestapa,
Menderas arusnya
Tangis gerimis adalah air mata gadis yang menjelma
Butiran-butiran mutiara kaca, menggores di ruang-ruang batin
Tanpa jiwa, mendarah lukanya
Tangis gerimis adalah musik-musik jiwa yang memenuhi gua hampa,
Menggema tanpa alunan nada, yang memanah aura pesona
Tangis gerimis adalah
Luka di sungai-sungai nestapa, butiran-butiran mutiara kaca
Tanpa jiwa, atau gua hampa tanpa alunan nada
Medan,06
Aku Menjadi Angin
Aku menjadi angin
Yang bebas lepas menari kesanakemari
Mencium harum-mengelus daun-daun
Di taman hatimu
Medan,06
Kepompong Hujanku Meneteskan Kupu-Kupu
Kepompong hujanku meneteskan kupu-kupu
Ulat-ulat menguap dari setiap sudut sejarah lelah
Meliuk-liuk diantara pori-pori tanah
Membasah di akar desah
Lalu, kubasuh wajah matahari
Kerontangkan rumput sepanjang savana
Membakar borok liang birahi, diantara
Kapas-kapas yang berbaring di paha
Menggeliatkan para wanita penyulam awan
Kepompong hujanku
Meneteskan kupu-kupu
Memburu bunga sepanjang savana
Menyedot madu
Medan,05
Sehabis Khatam Hujan
Sehabis khatam hujan pada ayat terakhir perjalanan
Debudebu kota telahlama membatu, melafazkan
Gemertak almanak yang melangkah kaku sepanjang
Alif ba ta cinta
Lalu sepenuh daun kering menguning menyesakkan keranda
Luka di bawah deraknya pohon kamboja, dan kita bertanya
Kembali pada cuaca,”adakah kita tuliskan catatan-catatan
Surga?”
Medan,05
Bau Anyir Yang Menguap
Bau anyir yang menguap dari liang ketiak dan selangkang
Mulai dari modul bayi berusia hari ini sampai labi-labi
Riwayat akhir nanti. Sekali menyulam dengkur-berdebur
Sekian rupiah. Ada yang diam-diam buang nafas
Diantara rimbunan ampas
Seorang lelaki berumah buncit bersetubuh
Dengan lubang senggama mimpinya
Dengan mulut berbusa-menganga
Sementara seekor ayam betina mengacak-acak rambut
Kemaluanku, sebelum memberi cinderamata luka
Pada seperampat perjalanan menuju kota.aku menghitung
Ketukan nada aroma disetiap tarikan nafasku, disetiap
Tetes keringatku
Bau anyir menguap
Diantara nafas kotoran
Berubah sayap pada jendela
Bogor,04
Bidadari Yang Menari
Aku bermimpi tentang bidadari yang sedang menari
Di antara arak awan yang menawan, dan diantara
Pelangi yang menyemai seni sari-sari
Aku bermimpi tentang bidadari yang sedang menari
Lalu mengajakku membakar birahi
Jakarta,05
Berita Terkini Hari Ini
Berita pengumuman pegawai negeri
Yang terkini hari ini masih saja ribuan tikus menjelma
Bidadari, mengunyah-kunyah nomor uji, seperti menjerat
Kursi sidang komisi di setiap ruang rapat fraksi
Giginya yang tajam menghunjam dalam-dalam serat saraf
Menghamburkan cairan dan kotoran yang memabukkan
Berita pengumuman pegawai negeri
Yang terkini hari inimasih saja ribuan tikus menjelma
Bidadari, sementara seekor kucing hanya bisa menganga
Menjelma kuda
Medan,06
Purnama Telah Lama Pecah Dalam Kepala
Entahlah mungkin cuaca telah belang warnanya, sebab
Kita tak mampu menghitung berapa jumlah titik rintik
Yang mengetik tuts bumi, padahal telah berkali-kali
Do’a di enter, lalu di save as secara buas
Lalu seketika saja layar monitor menebar kemarau
Dan mengutip rimah purnama yang telah lama pecah
Dalam kepala
Amboi, kita masih saja sulit membaca cuaca yang telah belang
Warnanya, membawa suara menghiba direrimbunan do’a-do’a
Dan purnama memang telah lama pecah dalam kepala.
Medan,2007
Sunyi Luka
malam mengetuk-ketuk pintu dan jendela pada
ruang yang lengang, angin melahirkan sunyi
dari lorong-lorong tak bernama
rahimmnya berderak menerjang celah jendela kaca
purnama nyalang mata di rerimbunan pohon mangga
cahayanya menembus segala lara di malam siaga, mengenang
siang tak lama berpulang. angin masih menimang-timang
sunyi dalam gendongan bermotif bunga-bunga
ah, waktu hanya menghitung-hitung rindu di kalender cuaca
lalu satu persatu tanggal usia, angin pun semakin tua pada
pertumbuhan sunyi yang beranjak dewasa sepanjang perjalanan
do’a-do’a
medan, 2007
Searah Pergi Begitu Pula Kembali
searah pergi begitu pula kembali
tidak ada yang berubah selain sepi
aroma luka setua usia dari stasiun yang
tak pernah sunyi
masih juga terdengar nyanyian jalanan
masih juga terdengar rintihan lapar tertahan
masih juga terdengar muslihat dan akal-akalan
searah pergi begitu pula kembali
tubuh renta itu berganti bayi tawarkan
aroma peluh dari jepitan hidup yang kisruh
mengaduh-aduh
o, adakah yang lebih sakit selain dari
jerit yang dibungkam?
Komunitas home poetry, 2009
Apalagi Guna Hujan Tangis
Apalagi guna hujan tangis
pada tubuh penuh bara
sudahlah simpan saja segala rayuan
yang selalu kau hidangkan di atas meja
bersama aroma pembusukkan
komunitas home poetry, 2010
Seperti Angin Yang Menyisir
seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
rasanya terlalu cepat, terlalu ringkas perjumpaan ini
padahal dada ini masih penuh dengan ungkapan rindu
masih penuh pesan-pesan harap untuk-Mu
berapa gunung yang didaki, berapa lembah yang dituruni
berapa samudra yang direnangi, rasanya baru inilah
perjumpaan kita yang pertama kali
seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
sampai juga percakapan kita, walau seperti meneguk embun
dari gelas sebesar angan yang telah lama terletak di atas
meja perjamuan sekian lama sempat tertinggal
komunitas home poetry, 2010
Seperti Perjumpaan Laut Pada Pantai
seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku
sedetikpun tak melupakan-Mu, walau terkadang angin
menghempaskanku ke samudera luas, tersangkut
di sela-sela karang
seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah harapku
tak ada waktu melalaikan perintah-Mu, walau terkadang riak
menggelombang ciutkan nyali yang sempat mengombak
seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku,
begitulah harapku pada-Mu, walau terkadang melambai
di tepi pantai yang landai
komunitas home poetry, 2010
Daun-Daun Berguguran
di tepi jalan daun-daun berguguran
terhimpit debu pada langkah-langkah kaki
yang berseliweran, warnanya coklat kekuningan
melukiskan kegetiran di atas tanah yang bungkam
aku memandang geram mengunyah napsu tertahan
alamat nurani semakin mengabur, semakin terkubur
di tepi jalan daun-daun berguguran, debu-debu
bertumbangan tertikam tapak kaki yang menghunjam tajam
aku terpaku pada alamat dedaunan yang terbenam pada
tanah yang bungkam dan angin yang menampar diam-diam
komunitas home poetry, 2010
Pantai Yang Menyimpan Rahasia Badai
begitulah pantai yang menyimpan rahasia badai
kita tak pernah jua jera berlayar pun mengumbar
setiap pulau selalu disinggahi tebarkan bau tubuh
dan tanamkan peluh-peluh membiarkan segala
penantian yang tidak pernah usai
pada dermaga kita titipkan kapal yang merumput
pada istirah lelah dan laut menari-nari pada kediaman
pulau-pulau dimana tubuh kita siap direbahkan
ah, ternyata diam-diam kita pahami juga rahasia badai
dari bibir pantai pada pulau-pulau yang terkulai
bau tubuh dan peluh-peluh pun telah tertanam jauh
lalu laut yang menari pun perlahan menawarkan
aroma nisan
komunitas home poetry, 2008
Resah Daun Jendela
Pada resah daun jendela
Wajahmu bergambar duka
Sedari pagi matamu menikam langit
Sampai matahari lari bersembunyi
Yang tertinggal hanya senyap
Yang tertinggal hanya gelap
Sekadar hanya menyisakan kenangan
Tertutup debu tertahan
Pada resah daun jendela
Ada gairah yang tak kunjung
Nyala rindu bocah yang menangis
Manja
Mdn,2007
Rinduku Mengering
Ah, kau lagi
tak bosan-bosannya menanam
pikiranku dengan bunga-bunga
Padahal sudah kukatakan padamu
Rinduku telah lama mengering
Tersengat matahari
Baranya menyalakan kesumat
Dengan apa hendak kau suburkan?
Dengan sungai abu atau laut nafsu?
Biarkan bumiku mengadopsi taman-taman
Yang menyegarkan
Yang menentramkan
Ah, kau lagi…!
Lelaki yang senang menghidang berang
Yang Mengetuk Daun Pintu
Selalu ada saja yang mengetuk-ketuk daun pintu
Tapi nyatanya hanya angin yang mengelus wajahku perlahan
Dan malam sekadar meninggalkan rimah-rimah kalam
Dengan setengah butir bulan
Di sebelah rumah
Anak tetangga mengaji
Merapal doa sepanjang magrib tiba
Selalu saja ada yang mengetuk-ketuk pintu
Kaukah itu atau
Jantungku yang
Bertalu-talu
Menggemuruhkan irama rindu?
Ibu…
Komunitas home poetry, 2008
Tahun Kenangan
tahun-tahun hanya menjaring kenangan
dalam bualan angan-angan
pagi-pagi sekali kita tidurkan mimpi
pergi menjaring matahari, berharap
sepotong bintang tak lari sembunyi
tahun-tahun hanya menjaring kenangan
dalam bius kotak meracun pikiran
enggan rasanya meninggalkan hidup
yang dirasuk mabuk , mungkin
sepotong selimut akan memeluk hangat
tahun-tahun hanya mengunyah bulan
meracun pikiran, melupakan
Tuhan
Komunitas home poetry, 209
Pikiran Yang Gersang
Dalam pikiran yang gersang
Pepohonan apa yang hendak ditanam
Tak ada bunga
Apalagi buah
Kutebar bibit di bulan sabit
Kutabur harap dalam makrifat
Jerit hati yang sakit
Berharap menjaring semangat
Wahai,
Tuhan ada
Dalam adaku
Dalam tiadaku
Dalam pikiran yang gersang
Rintik membawa berkah ketenangan
Segala kesentosaan
Komunitas home poetry, 2009
Pencarian
Hilang
Jejak
Hilang
Langkah
Mencari-Mu
Dalam setiap nafasku
Temu
Jejak
Temu
Langkah
Mencari-Mu
Maka, aku
mdn, 2007
Pada Perjalanan Matahari
dalam perjalanan pagi hari
matahari menyulam kepak peristiwa
yang terkadang liar terbang ke sana kemari
ahai, ia singgah ternyata sekadar mereguk
hangatnya segelas kopi
beranjak terang
matahari menggiring gemawan
yang meretas waktu perlahan
oho, ia sempatkan pula mengunyah
sepotong daging di atas meja
malam pun
pelan-pelan meninabobokkannya
di pembaringan sambil menikmati
dongeng sebelum tidur lalu mendekap
mimpi yang penuh warna warni
Dengan Seikat Bunga Ini
apakah yang dapat kukatakan
selain mengungkapkannya dengan
seikat kembang atau setangkai mawar, Kekasih
atau apakah cukup rasa cinta dengan kata-kata
berbaur ucapan penghambur bermakna kabur
ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti penanda hati
apakah yang dapat kulakukan
selain menyusun butir-butir rindu
menjadi segunung mengharu-membiru, Kekasih
entahlah warna cinta yang bagaimana lagi
yang patut kutorehkan di kanvas hati
ah, dengan seikat bunga ini kau akan
mengerti pecinta sejati
Dalam Diam Kau Pendam Cinta
mungkin ini hari dan minggu yang kesekian
kau pandam cinta dalam diam, padahal kita
telah berjanji sehidup-semati
adakah luka yang begitu menganga sehingga
kau ciptakan jurang diantara kita
atau aku yang kurang pandai membaca
perjalanan cuaca?
mungkin ini pasir atau kerikil yang kesekian
kau gelincirkan cinta dalam diam, padahal kita
telah sama berjanji-sama mendaki
adakah dendam yang begitu membatu sehingga
kau pahat lereng terjal dilangkah kita
atau aku yang tak jeli melangkahkan kaki
dalam perjalanan hati?
Medan,08
Aku Cinta Kau Bukan Sesiapa
usah kau sulam segala ragu, sebab
aku cinta kau bukan sesiapa
kita bukanlah sepasang kekasih
seperti Caesar dan Cleopatra
tetapi kita adalah sepasang burung
dara yang bebas terbang kemana suka
aha, aku yakin kau hanya menimbun cemburu
di lumbung kasih-sayang yang menggelora, sebab
aku hanya cinta kau bukan sesiapa
dan kau akan menjadi ibu dari anak-anak kita
yang kelak akan menggantikan kita menjadi
pangeran dan putri dari segala kerajaan cinta
sudahlah, Kekasih
walau aku seorang pecinta, tetapi tetap
aku cinta kau bukan sesiapa
medan, 08
Tatap Mataku Dengan Segala Cinta
jangan tunduk tatap mataku dengan segala cinta
ada rahasia ada segala suka-cita, dan hanya kaulah
yang dapat membaca atau mengeja segala makna
hapus beribu ragu dengan riasan rasa
jangan menghindar tatap mataku dengan segala cinta
ada taman yang penuh dengan segala bunga berbagai warna
dan hanyalah kaulah yang dapat menikmati-memetiknya
hapus segala bau dengan berjuta aroma
medan, 2008
Pelayaran Sajadah
Lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan
Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah
Ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa
Malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak
Pernah lupa
dengan segala riwayat cerita
segala derita!
Medan, 2008
M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Beberapa karyanya masuk dalam beberapa antologi, seperti Tanah Pilih (antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi) dan Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen Temu Sastrawan Indonesia II, Bangkabelitung), Pulau Marwah (TSI Tanjung Pinang), Akulah Musi (Temu Penyair Nusantara, Palembang). Sinetron, Film, maupun IKLAN. Kegiatan yang di kuti selain di Medan-Sumatera Utara, PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif Gedung Kesenian Jakarta Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki, Panggung Idrus Tintin, Riau, Taman Budaya Banda Aceh, Taman Budaya Lampung, Solo, Panggung Penyair Se-Asia Tenggara, Tanjung Pinang,dll. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar/Majalah Nasional/buku di Malaysia, Radio Nederland, Cyber sastra,dll. Sering menjuarai berbagai lomba selain lomba baca/cipta puisi, cerpen, lawak, dongeng, proklamasi dan juga Teater lokal, nasional maupun Asia tenggara. Tarung Penyair Asia Tenggara dinobatkan sebagai unggulan I. Termasuk lima besar Lomba Cipta Puisi Nasional, Bentara Bali Post. Selain masuk sebagai pengurus di beberapa organisasi seni, sastra dan budaya, ia aktif juga dalam kegiatan lainnya termasuk dunia politik. Sering didaulat sebagai Sutradara, juri dan pembicara, atau narasumber terkait. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED, juga sebagai Koordinator Omong-Omong Sastra Sumatera Utara dan Direktur di Komunitas Home Poetry. Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 085830805157 Mail:mraudahjambak@gmail.com, mraudahjambak@yahoo.com

MEMBACA AWAN MENGHITUNG RINTIK HUJAN


Membaca Awan Menghitung Rintik Hujan

Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur

Bukan karena rintik itu berderai atau pecah maka kau mengundang pesta ke dendam hatimu yang sewarna pinggul kuali. Aku memahami irama didih hujan di bilik panci-panci. Atau awan wedang panas yang mengepul pada puncak gelas. Alahai, bukankah kau sendiri yang menciptakan dansa caca pada sepasang sendok dan garpu? Jangan pernah merasa bahagia atau sedih, karena ia semacam sarapan pagi yang menggigilkan dingin. Pun, barangkali matahari yang dihanguskan bara api. Bekunya kau pahat menjadi patung para peri, abunya kau jadikan kaligrafi.

Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur

“Jangan buang. Jual saja,” ujar kekasihmu yang tengah mengunyah desau angin. Entah mengapa, ia tak pernah berhenti mengidam. Padahal niatmu hendak memilah hujan, lalu menyematkannya di sudut matamu

Dan ketika kau meninabobokkan malam, gerimis meringis. Tanpa kau sadari, ia berkali-kali mengetuk jendela kamarmu. Ia menggigil melihat kau menyetubuhi mimpi. Sementara di sudut kelam dapurmu ada yang diam-diam menyulut dendam. Gelas-gelas panas. Piring-piring sinting. Sendok-sendok sengok. Kompor-kompor menjelma provokator. Mereka sepakat mengobarkan perang dengan kesaksian kucing renta yang tak henti mengibaskan ekornya. Mereka bersorak persis disaat siaran televisi kehilangan imajinasi. Ah, katanya, baru saja perutnya mual, lalu mulutnya memuntahkan telenovela bersama suara sirene di kepalamu.

Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur

Betapa luka perasaannya, seandainya kau tahu tidak ada apa-apa yang terhidang di sana. Pun, termasuk ketika kau selesai menikmati hidangan awan penuh selera. Tetesan sambal, serpihan tulang-tulang, ataupun tumpahan jus anggur yang tak kau sadari memerihkan hatinya. Walau kau lapis wajahnya dengan beludru merah jambu.

Seperti geliat rayap di lendir banjir, seekor tikus mendengus. Ia mengutil rimah-rimah semur kambing, kemudian diam-diam membungkusnya dalam kantong plastik untuk orang-orang tercinta. Dan menghidangkannya kembali pada seriuh meja dapur dengan keropos-lapuk di kakinya.

Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur

Anak-anak hujan berebut telur rebus terakhir yang sebenarnya sengaja kau sisakan untuk sarapan kucing setiamu. Padahal sebelumnya awan sengaja menghadiahkan mendung untukmu, sebab seekor ayam betina yang tersesat di dapur diam-diam bertelur di ujung garpu.
Entah mengapa kelebatan meteor di matamu, menjelma setengah kehidupan yang menyembul di serpihan telur rebus yang jatuh berantakan terinjak tapak-tapak kaki hujan.

Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur

Persis siang ini, ketika hujan perlahan beranjak pergi. Kau biarkan sunyi diam-diam menghitung rintiknya. Mungkin yang tertinggal hanya gelisah barang pecahbelah. Yang tertinggal aroma rindu terasi ibu. Yang tertinggal cerita masa kanak. Yang tertinggal kesumat keringat para lelaki.Yang tertinggal sesak dada senja. Yang tertinggal tentang kisah kucing renta yang tak henti mengibaskan ekornya. Ah, semoga ia tak lupa mengirimkan surat-surat kerinduan tanpa baris-baris kecemasan.

Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur
Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur

Komunitas Home Poetry, 2013

Thursday 1 June 2017

FAMILY DREAM






PUISI LOMBA BACA PUISI 10 JUINI 2017

PUISI UNTUK LOMBA BACA PUISI 10 JUNI 2017 DI TAMAN BUDAYA SUMATERA UTARA SEKALIGUS BUKA PUASA BERSAMA


Puisi Acep Zamzam Noor
DI MASJID SALMAN
                             Buat Anne Rufaidah

Pertemuan tercipta dari kata
Malam putih berlantai sabda
Di rumah Tuhan yang sunyi, sukma kita
Berbenih: berjabatan dalam sanubari
Terbukalah malam yang bisu
Dinding-dinding beku
Sejenak kita pun tanpa derita, belia
Hanyut oleh ayat-ayat bening dari rongga masjid
Ayat-ayat Tuhan yang basah oleh cinta
Pertemuan terlahir dari doa yang papa
Mengetuk gerbang rahasia: pintu jiwa abadi
O, alangkah dinginnya rumah suci ini
Dan kita bertahan, di sini, membasuh luka dunia
Sejenak kita pun mengukir pesona semesta
Dalam pesta cahaya: bulan dan bintang dan sasmita
Bertabur di setiap jiwa daif, jiwa yang terbuka
Malam putih banjir sungai kasih: muara hati
Ayat-ayat keabadian berdenting sunyi

Puisi Emha Ainun Najib
KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG

Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis
Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan

1987

Puisi  W.S. Rendra
DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Mimbar Indonesia

Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960

Puisi Ahmadun Yosi Herfanda
DOA RINAI HUJAN

Rintik hujan itulah
yang senantiasa menyampaikan
kasihmu padaku, dan ika-ikan
selalu mendoakan keselamatanku
jika kau tanya makna goyangku
goyangku zikir tersempurna
di antara para kekasih jiwa
angin mengusap bening air telaga
mengazaniku sujud ke pangkuannya
burung-burung itulah
yang selalu menyampaikan
salamku padamu, ketika angin senja
mengusap suntuk zikirku
jika kau tanya agamaku
agamaku agama keselamatan
jika kau tanya makna imanku
imanku iman kepasrahan
hidupku mengakar di jantung tuhan
sukma menyala menyibak kegelapan
pandanglah putik bungaku
nur muhammad mekar sepenuh jiwa
pandanglah daun-daunku
jari-jari tahiyat terucap
tiap akhir persembahan
zikirku zikir kemanunggalan
diri lebur ke dalam tuhan

Jakarta, 1998/2003.

Puisi M.Raudah Jambak
PADA RUKUK AKU TERBUNGKUK PADA SUJUD AKU MAUJUD

Malam ini, sajadah telah dialiri sungai air mata, do’a-do’a
Berembun diujung lidah yang jatuh dari daun-daun tasbih
Sementara angin khusuk memeluk degap rindu yang hampir
Membeku. Entahlah, rapal kaji tak juga sampai ke hati atau
Cinta yang bertuba di jelaga
Pada setiap baris ayat, kabar pun telah disampaikan. Jiwa yang
Kosong hanyalah gudang tua yang kehilangan cahaya dan tempat
Bersemayamnya para pendosa. Tetapi butir-butir wudhu’ yang bergulir
Adalah kerjap cahaya yang siap berpijar pada taman yang telah lama
Tak bertuan
Dan malam ini, gelap hanya mengantar subuh yang selalu membasuh
Dahaga para pemburu nasuha, yang melentikkan setiap jentik zikir
Di setiap iring-iringan takbir. Harap hanya sebatas kerinduan yang
Mengawan, rindu adalah harap yang mengerjap dalam degap, sebab
Pada rukuk aku terbungkuk pada sujud aku maujud

Medan,2007