Monday 15 February 2010

ilalang bertengkar dengan bebatuan

Puisi Aneh

sepotong gadis kecil di seberang jalan menanti seekor bunga melompat keluar takir
yang lusuh, rapuh, mengelupas dengan perih
air mata berlarian mencari jalan pulang
rimba ruas rapuh rusuh
indah ilusi mengalahkan buruk yang nyata
firasat bukan itu tapi ini, bukan ini tapi itu
alis mata kiri gadis kecil naik, bertanya tanpa kata
hampa hadir habelur hilang

air hujan menyuntik kecibeling di sebelah kanan kaki gadis kecil
iringan angin bernyanyi mengiringi seutas tonggeret, retnong retnong
nasar menangis terdengar nenek tuha di gubuk hitam berwarna putih
ilalang bertengkar dengan bebatuan, nenek tuha menginjaknya

kampung yang tadinya sunyi, berderam berderang
hamparan rumput yang hijau menjadi raja katak
alunan seruling menyelinap masuk ke jubah nenek tuha
irisan bunga yang tadi melompat, ramai...
ramai berubah menjadi zomm
uar-uar si gadis kecil sambil tertidur
nenek tuha menemui gadis kecil, memberikan jubahnya
inilah puisi aneh itu, telah selesai
sekarang kalian yang bicara
aku tidak peduli

UPACARA GUNUNG BATUR

Kami dirikan kembali istana Dalem Balingkang ini
Dari rangkaian janur, aneka jajan, buah-buahan, dan umbi-umbian
Tak lupa tombak-tombak hulubalang raja kami tancapkan
Di sepanjang lembah menghadap arah puncak gunung
Demi tujuh desa dan legenda penciptaan bumi
Kami lafalkan mantra-mantra peneduh
Agar langit dan batu-batu cadas ini tak saling cakar
Di dalam jiwa kami
Lalu tiga puluh tiga jenis hewan kurban
Lambang kegelapan hati
Kami benamkan ke dasar tergelap danau
Yang sebelumnya telah kami jaring isinya
Di istana ini kami menyamar, di antara kawanan gagak yang terus menjerit
Memenuhi awan dalam perjalanan pulang ke pohon-pohon yang hilang
Di tengah musim-musim yang kian ganjil.
Tangan-tangan tak tampak itu terus saja mengusir mereka dari bukit
Hingga hari-hari terasa semakin angker dan jiwa-jiwa kian nestapa.
Tetapi dusta itu masih saja hendak menghibur
Dengan kalimat-kalimat puitis yang paling pedih
Tentang ranting-ranting telanjang tak berdaun
Yang memagari kaki langit: Batas kerajaan dewata ini!
Tujuh orang jro mangku berkeliling kampung
Memercikkan tujuh jenis air suci dari tujuh sumber mata air
Kami mesti menghitung cuaca, membaca perangai gunung
Ketika mengundang serombongan wong samar, gamang, memedi,
Demit penghuni jurang, hingga ruh penunggu gunung
Untuk perjamuan agung di pelataran ini
Kami sambangi istana mistis itu dengan tarian Sanghyang Api
Melantunkan tembang berantai di tengah asap kemenyan
Dengan doa sesaji ini kami kirim
Meski penunjuk arah tak lagi mampu menuntun kami
Ke perkampungan tua di antara persilangan yang semakin hilir-mudik.
Bisakah kalian temukan kembali jalan sunyi ke rumah di tepi danau itu
Di tempat mana dulu kami selalu menembangkan kakawin dan semaradhana
Setiap malam purnama, penanda ketakjuban kami pada silsilah-leluhur?
Kini kami berbicara hanya tentang pohon-pohon yang lelah
Angin pucat dan bayangan rembulan yang ingkar janji
Serta jeritan kekasih-kekasih yang pergi dalam suaranya yang paling pilu.
Siapa yang akan menjinakkan kisah perih ini untukmu
Selain lembah ini yang tak ingin lagi menguji rahasia kesetiaan kita?
Siapa yang akan menceritakan hari-hari yang penuh haru
Kecuali pohon-pohon ini kembali tumbuh dan bernas di dataran ini?
Melalui upacara ini kami ingin menanam pohon di dalam dirimu
Pohon yang berasal dari darah prajurit
Yang tumpah dalam pergumulan saat merebut kawasan ini
Di hari ketujuh, turunlah ke danau yang menggenang jauh di dalam dirimu
Di tempat mana kita melayarkan ratusan patung dewa
Menaburkan kembang setaman
Menyanyikan lagu-lagu dan bunyi-bunyian terindah
Agar pulau ini tetap basah dan berseri
Inikah makna pesan raja agar kita selalu hidup dengan kurban suci
Agar kita setia menjaga air suci ini di dalam tubuh kita?
Namun saat berbait-bait mantra berkumandang
Itulah suara jiwa yang luka. Jeritan bukit-bukit dahaga
Dan teriakan burung-burung yang tak bersarang
Juga bunyi desis ombak dari tengah danau
Yang tak pernah mencapai tepian
Kamilah yang melepas puluhan penari itu
Serupa bidadari dengan tangan terbuka dan mata menyala
Menarikan bagian yang gemulai dari balik tubuhnya
Tapi apa pula yang harus diutarakannya
Selain doa dari hati kami yang tumpul?
Kini kami berbicara tentang orang-orang yang menggali hujan
Di ladang-ladang kemarau. Atau yang menadah tetes-tetes embun
Di dalam perigi berbatu-batu ini
Lalu mengayak segenggam pasir lahar hingga jadi garam
Untuk sekadar menyelamatkan hidup dari kemusnahan
Tapi apa yang tersisa dari sejarah musim yang kian ganas
Selain ingatan muram pada gunung dan danau yang bisu?
Dan pada jalur-jalur sungai kehitaman
Tak lagi ada bayangan langit. Pada lontar-lontar tua
Suara hati cuma tercatat sebagai goresan kering
“Tapi darah kami adalah turunan Dalem Balingkang dan pasukan setianya.”
Itulah kalimat kebanggaan yang kami tegakkan di hulu hati
Lalu melalui upacara ini kami memanggil ruh-ruh leluhur yang suci
Mendudukkannya di singasana kerajaan dan mengaraknya keliling kawasan
Di antara mata air yang mati. Sebilah keris peninggalan raja
Sekali lagi kami tikamkan hati-hati ke leher hewan kurban
Agar darah kembali menetes membasuh tanah kami.
Di puncak upacara
Mesti kami sandingkan tujuh lapis tubuh ini dengan tujuh lapisan gunung
Lalu apa yang kalian lihat selain sebongkah pulau yang bersimbah darah
Seperti kuburan penuh orang luka yang sedang menanggalkan tulang-belulangnya
Lalu mereka mengigau seperti tak saling mengenal
Dan mulai saling membenci dalam keterasingan
Kami tak lagi mampu mendaki keagungan sukma aksara-aksara suci
Sedang seluruh upacara pemujaan telah menjadi dongeng rutin
Hingga akhirnya kami temukan lapisan tubuh ini
Serupa onggokan istana batu tanpa penghuni
Di lereng terjauh gunung ini.
Di akhir upacara, hendak kami kisahkan lagi keagungan Dalem Balingkang
Tapi raja legenda itu tinggal puing-puing terserak
Di sekujur tubuh jiwa kami yang rapuh.


Catatan
jro mangku : pemimpin upacara adat di Bali
wong samar, gamang, memedi : jenis-jenis makhluk halus
kakawin, semaradhana : jenis tembang tradisional Bali

Aku MerindukanMu, Elia
Aku merindukanMu, Elia
Engkau datang bersama Rabi’ah
dengan senyum rahimMu
hingga surga dan neraka tak mempesona lagi

Dari mata dzikir dan hurufku
Aku panggil Elia dalam rindu
Seperti tarian Rumi menabur kasturi
Sampai jiwa tak lagi menyedih

Aku merindukanMu, Elia
Air mata mengalir dari jeda
Karena persetubuhan kita ditunda
Padahal, oh Elia…
Tangisan ini membasahi perjalananku
Setelah ayat-ayat itu mendarahdagingku
Dan aku takkan meletih

Wahai Rumi dan Rabi’ah,
Para pemuja Eliaku
Kecuplah kening hati yang merindu
Seperti bunga yang ditaburi embun pagi
Hingga aku tenggelam dalam keabadian!

TONONGGUL*
dari gelap yang menyusur keheningan
mataku menoleh bulan merakit waktu
tak bersuara. mungkin kau sedang bermimpi sungai
sebelum bah merendam kampung
aku masih memikirkannya sambil juga merapikan
kerikil setapak menuju ke sana.
aku bilang tiba saatnya bergumam cinta
gadis-gadis separuh baya –mereka setelah perjamuan ini adalah sepi
yang sekarat.
mataku menoleh bulan
lalu aku bertanya kepada resah. andai masih
menimbun janji sehelai rambut;
kapan kita bisa bertemu lagi di tempat ini?
meski tak begitu paham rinduku terus saja mengalir
menyusur lembah-lembah dan di balik bukit
pohon yang masih berbuah hanyalah pikiran
dan harapan untuk menakar jalan
menuju Tuhan
dan kau.

Madura, 04-09-2009

CATATAN
* Nama sebuah lereng bukit di bagian utara kota Sumenep yang oleh masyarakat setempat dianggap keramat. Tononggul berasal dari bahasa Madura yang berarti batu yang menonjol.
Ketika Hujan yang Memenuhi Matamu Mulai Terhenti
Membaca hujan yang terserak di beranda, membiarkan segala peristiwa terekam
dalam ruang, adalah membiarkan jiwaku tenggelam dalam genang waktu
di wajahmu. Hingga hari ini, aku masih meyakini musim akan selalu kembali,
melewati jalan-jalan panjang ketika kita pulang. Ketika bayang-bayangmu terhenti
dan pohonan mati sendiri-sendiri, aku masih berdiri di atas napasmu.

Masih kucintai malam yang tergerai dari rambutmu
yang meneteskan hujan. Bulan kuyup mengambang di langit kamar.
Udara yang memenuhi tubuhku menjadi kaku. Gelap telah jadikan kita
bayang-bayang, menangkap gairah dalam setiap desah rindu yang basah.

Tubuhku kini telah berganti hujan dengan titik-titik rindu yang mengalirkan
keheningan. Maka mengertilah, ketika hujan yang memenuhi matamu
mulai terhenti, kita pun akan kembali dalam kepastian
yang abadi.


Serang, 2009.


Amba Memba di Matamu
setiap kali memandang wajahmu terbayanglah bhisma
yang terkapar nirdaya di derai luh kurusetra
terbaring di ranjang panah lolos warangka
"mautku tinggal berbatas sehelai sutra" katanya

di ujung kakinya, srikandi menekuk kepala
memohon ampun atas panahnya
yang buta

gebalau hati putra gangga
terang bukan molek istri arjuna
kerna srikandi raganya, tapi amba sesungguhnya
mengamping di sebalik punggungnya
"telah tiba waktuku memeluk hatimu,
dewabrata"

di mata bhisma, sang brahmacari, hilang rupa srikandi
yang tinggal hanya amba, dewi tersia
oleh prasetya

di mataku, ibumu amba
menagih janji yang lama terkubur di rahim kala
"telahkah tiba waktuku memeluk hatimu,
dewabrata?"

itulah mengapa, setiap kali memandang matamu
tak lain mata ibumu sejatinya
ribuan anakpanah lesat dari gendewa
menyediakan ranjangku
: sebagai bhisma


keranda itu berjalan ke rumah ku
dan keranda itu pun akhirnya berjalan ke rumah ku yang rapuh tapi tegar sebab dibangun di atas ombak jauh dari pasir namun tetap dekat ke pesisir
lama kutolak duka yang mengiring di belakangnya, cahya lenguh antara gumuk kelanangan dan ngarai yang kini cemas tertimbun di sana lalu cinta kita hampir jadi ladang kurusetra
dendam dialirkan melengkungi pelangi

: duka pun sekarat
saat kita teraniaya

dan keranda itu pun akhirnya berjalan ke rumah ku pelan tapi pasti menyisakan daunan kering dan impian yang berserakan di meja sebelum pecah pagi
lama ku dengar suara anak-anak bersorai berebut fajar dalam rahimMu yang belum jua lepas dari cumbu tetapi kehangatannya telah dirampas kupu-kupu yang menandai tamu paling sopan pagi ini mengetuk pintu berulangkali

: siapa, tanyaku pelan mengambang
tapi keburu semua melayang

Rahasia Rumah Bambu
Anak kecil yang menggendong papan keyboard itu tak pernah tahu laju mesin jahit yang disuarakan ibunya. Yang ia tahu, papan keyboard itu begitu cantik, walau tak berambut seperti barbie dalam televisi tua itu. Papan keyboard itupun merasa cantik dalam gendogan anak kecil itu, walau tombol-tombolnya kebanyakan telah tanggal atau leleh terbakar, ompomg seperti gigi anak kecil itu. Tapi, ia tetap merasa cantik. Tidak seperti mesin jahit yang disuarakan ibunya. Ibu anak itu...
Disudut ruangan, meja yang kakinya termakan usia, berdiam. Coba merenungi anak kecil yang menggndong papan keyboard dan mesin jahit yang tak berhenti berdecit. Ia bahkan tak merasa lebih cantik daripada papan keyboard usang dalam balutan kain kumal anak itu.
Dengan terputus-putus mesin jahit memaki-maki kain yang terpotong-potong dalam genggaman ibu. Juga ada sebagian dirinya yang menjerit-jerit, terinjak-injak kaki ibu, yang katanya ada sorganya.
Tapi...
Apakah sorga itu berada di dekat papan keyboard yang digendong anak kecil? Atau satu meter dari meja yang kakinya termakan usia?
camar yang hinggap di kelopak matamu
camar yang hinggap di kelopak matamu
buat: yus rusyana

camar yang hinggap di kelopak matamu
adalah getar-getar laut yang mengisyaratkan
selembar sajak untuk berdendang menjadi gurindam

uban yang meranum di kepalamu
adalah benang yang akan membentangkan
layar papan sampan nelayan
menyebrang alam
kau belah samudra itu
seperti musa yang membelah samudra merah

sementara aku adalah angin
yang nanti kau hembuskan
menuju mercusuar atau pelabuhan atau berburu gelombang

tapi entah

dan aku harap, bawa kita pak tua

saling belunjuran
di tepi pantai
bersajak
lalu menelusuri sungai
yang mengalir ke hulu itu

2009
Suatu Petang di Film Kartun
Suatu petang di film kartun, aku gembala dan kau lembunya. Setidaknya kau bakal dihormati setibanya kita di India. Kutiup seruling dan kau khusuk menapaki jalanan berpasir, jangan ngebut, sekali terperosok bisa-bisa kita ditangkap pendeta-pendeta Persia. Kau kan masih ingin mendaki dan berteduh di bawah pohon esa di puncak pegunungan himalaya?
Maka cukuplah kumainkan seruling; memanggil ribuan tikus dari balik jerami, lalu kita benamkan di sungai Tigris. Bukankah di sana ada lembah dan sabana di mana gembala-gembala panik menjaga dombanya dari buruan serigala? Lihat gembala itu, rambutnya kusut. Tiga helai waktu tumbuh di kepalanya. Misi berat ya? Jalan-jalan memikul kitab suci sambil mencari domba yang tersesat di pinggir kali.
Sst! Ada senyap yang membungkus dirinya sendiri ketika seorang lelaki paruh baya suntuk berjaga-jaga di gua Hira. Apa kau juga mau masuk ke dalam? Hati-hati, lembu sekali-kali bukan unta yang pandai menyimpan air di punuknya. Bila lelah, mari bertukar peran, kau gembala dan aku lembunya. Tapi, sayang, apa kau tega melihatku diberondong peluru militan Pakistan, sementara kerinduan menyapu dingin salju dan memadamkan api Majusi belum kutuntaskan?

Januari 2010


CATATAN HARI INI : Perempuan-perempuan Serang
1

Di rumah sajakku, perempuan-perempuan itu datang

menjinjing keranjang warta semu, menenteng kantong budaya baru

berjejal dalam koper-koper serba hitam.

Pena menyambut ucap salam, larik-larik mengepal di telapak tangan

dan bait-bait mengepul dari rokok yang mereka isap.


Mereka gerah dan letih berdebat dengan matahari

tersapu badai bicara yang dipekik seorang ibu.


2

Di jalanan sajakku, perempuan-perempuan itu berlarian

mengitari gang-gang lengang, menyusuri senyap pasar kakitiga

memunguti secarik pinjaman hidup.

TV dan mall menjelma sekolah, gaya hedonis adalah buku bacaan

dan otak tercerdaskan dengan tipe-x rasa malu.


Mereka bernyanyi lagu kemerdekaan, menari tarian kemegahan

dan menjual mahkota ke pedagang loakan.


3

Di langit sajakku, perempuan-perempuan itu terbang

memaki cermin berbayang dogma, menyayat diri dibelenggu norma

terpasung sengaja pada udara hampa.

Asap pabrik turut menggiring, gema klakson menderu di angkasa

dan suara adzan teredam pekik gitar pengamen.


Mereka gurat sepasang otak dengan tato patung liberti

sementara senyum Sultan dipajang di kamar mandi.


4

Di pohon sajakku, perempuan-perempuan itu tidur

berselimut sampah fastfood, menyandar pada bantal kapitalis

larut dalam mimpinya yang merah.

Ku tutur Babad Banten, ku pahat kata di lusuh batang

dan ku teriakkan wejangan-wejangan Surosowan.


Mereka terbangun dari mimpi candu, menatap airmataku

dan kembali tidur di pangkuan lukaku.



Serang, 2009


Lima Sajak Umpama
1.
umpama air deras, tempat pulang semua hanyut
dan meneruskan genangan mencari jalan alir
hingga tak ada arus yang menyangkut
di kait-kait kayu

2.
umpama tongkat, tempat segala condong disanggah
bersandar bakal tumbang dan patah
dari rebah yang akan menegakkan bunyi pecah

3.
umpama cermin, tempat setiap malu menjadi retak
setiap bayang memantulkan telanjang
saat binatang menampakkan badan

4.
umpama tupai, tempat mengadu segala lompat
menebas batas pisah
hingga pohon tak pandai merentang jarak

5.
umpama titian, dua seberang ditemukan
agar mereka tahu cara berlepasan

Padang, 2009


Perempuan Hujan
Perempuan Hujan

Perempuan itu lahir dari tetesan hujan
Tumbuh dalam rahim dedaunan
Menetes bersama embun
Serupa kelahiran

Perempuan hujan itu jatuh cinta pada angin
Membawanya ke negeri dongeng
Dimana tak ada lagi padang rumput dan kastil tua
Tak ada lagi pangeran berkuda putih dan putri tidur
Hanya menjadikan bencana sebentuk kecupan
Dan dilema sehangat cahaya pagi
Serupa kehidupan

Perempuan hujan dan angin
balutan anugerah dan kutukan
dicintai bersama kemarau
dihujat bersama badai
berlarian dalam gelap terang
serupa harapan

Pada hari kelahiran perempuan hujan
Ada tarian dan nyanyian yang diperdengarkan alam
Bumi berguncang dan kaki-kaki berhamburan
Ada lidah sungai yang menjulur hendak mencari bibirnya
Serupa kematian

Bandung, 25 Desember 2009


Lagu Sumbang
Kususuri telunjukmu
menapaki tangga-tangga
kayu, rimba hutan dan belukar hujan.

Bersama nafas anjing, melawan
arah angin. Berburu cinta yang kautitipkan
pada seanyir jantung kijang.

Kekasih.
Busur ini mengajariku cara membidik
sunyi, menarik nyeri: aku tak ingin melihat
wajahmu yang pucat, tersesat dalam piring.

Maka. Akan kulesatkan satu
anak luka, ke arah darah

Bersabarlah,
dan jika nanti nasibku payah
anak panah meleset, melesat
ke arah gagal atau berbalik
menembus dadaku.

Jangan memanjangkan luka dengan mengulur air mata
atau diam-diam kau memasak batu.

Tunggu saja, di depan pintu.
Kelak anjing itu akan datang, membawa sepotong
jantungku sebagai pengganti liurmu.

Bandung, 2009-2010
SAJAK SEHARI-HARI
SAJAK SEHARI-HARI

Aku harus terbiasa menulismu pada lembar-lembar daun
Yang luruh pada pagi yang senyap ketika sayap lepas satu-satu
Berjatuhan meninggalkan kawanan burung dari ziarah
Ke sisa mendung

Aku harus terbiasa bercakap dengan dinding kamar ini
Saat sunyi mengusir orang-orang dari jalan raya dan hujan
Melulur sosok lain yang tak pernah kubayangkan sebelumnya—
Tentang kematian—begitu rahasia

(Ada yang lindap diam-diam pada syal kumal.
Seperti bisik dan reda kata)

Aku harus terbiasa melukis roh kita pada kanvas putih
Sebab hutan telah musnah oleh api dan gergaji sementara
Tubuh kita belum sempat lebur dalam senggama
Yang tergesa

Aku harus terbiasa menyanyikan getar-getar rubaiyat
Sebab jemari kita selalu berjatuhan oleh musim
Sebelum sangsai dawai merangkum simphoni
Dalam sepi nyanyi

Aku harus terbiasa. Harus terbiasa.

Tangerang Januari 2010


Tubuhmu Milik Hari-hari Bisu
kukira kita akan berjalan ke bukit-bukit mimpi
tempat mengukir gigil tubuh yang selalu jemu
terkangkang dalam botol jamu

ternyata kita lebih suka berjalan ke barat
tempat pengekalan malam di tubuhmu
seperti kekalnya kecupan Rocha di dada Goethe

di sini angin menyalib pikiranku
untuk memandang tubuhmu yang pucat terpanggang lampu
sampai-sampai kita membuat gemuruh yang sama
menghilangkan jejak-jejak di pasir perjalanan waktu

mungkin benar!
tubuhmu milik hari-hari bisu:
di mana kita telah menjadi fosil dalam perjalanan yang tak pernah usai.

2008


Sebuah Dermaga; Sampai Kita Lamun dan Meriwayatkan Diam
Sebuah Dermaga; Sampai Kita Lamun dan Meriwayatkan Diam

1
itu dermaga mengasing dalam sulaman musim
tabu rindu,
tergusur, lepas dari gelitik ingatan,
sepeninggal kita bertarian
menggiring cumbu di setiap sela ombak
kapal-kapal memulangkan kenangan percintaan kecil ini
dengan berbekal beratus-ratus hati pecah
dan pengharapan yang tersisa—satu nafas lagi
sajak-sajak jadi mahir melengkapi kesendirian
tak akan ada pantai-pantai muda
yang kita pinangkan dengan anak-anak mimpi
yang liar
agak kerdil
dimuntahkan setiap kelahiran yang sungsang
(karena kota ini enggan menjelma malam
juga orang-orang terus membakar matahari
abunya kembali jadi api dan tak pernah padam)

kita menabur benih hujan di penat penantian, dalam permainan waktu,
selagi menghitung butiran pasir yang memadatkan risau ini
dengan peta apa kita lanjutkan romantisme para nelayan
menjaring arah perjalanan langit yang patah-patah
di empat penjuru mata angin,
debur laut yang kita pinjam menyusut
diserap masa lalunya
tak menumpahkan silsilah peradaban
yang akan kita pintal dengan tumpukan dongeng

kita selalu tidak fasih membaca wajah purba kita
: inilah keangkuhan paling sempurna
kita biarkan percakapan dalam tidur panjang
kelak, anak-anak harus tahu
kita
takut dengan rasa sakit—tak mampu memilih sejarah

2
kita tak jadi merangkai upacara ilalang dan karang
sebab dermaga yang mengikat janji yang pernah kita keratkan
pada urat tangan
berpaling dan menyuruk pada kepekatan rimba laut
pecahan bebuih ombak merapatkan isyarat keterceraiberaian
melepas waktu berkalang puisi, kembang, api dan darah
“lerai, lerailah seluruh perjumpaan yang seteru”
kabar-kabar putus,
layar yang tak kunjung terkembang menuntun kepulangan baru
karena setiap memulai pertaruhan usia-usia kesetiaan ini,
kita lalai berkarib dengan ketelanjangan janji masa lalu.

adakah riwayat para radin masih jadi saksi, dalam pusaran waktu
yang telah porak-poranda,
waktu biasa kita berkhianat dan menggagahi isyarat kenyataan?
(karena airmata telah lain warna)
kepedihan menyimpan segairah pembalasan sendiri
diam menjadi prosesi menamatkan wajah kekasih yang meruap tujah
tapi tetap gedebur ombak terus menerus menjura impian
dalam kekecewaan demi kekecewaan,
dan lamun kita tak meronta
(”tak ada kegembiraan selain melankolia,
kembara hati paling dungu;
segala ekstase gagal menyauh semayup kehangatan”)
kesenyapan kita telah tua. menjadi kerak

kita hanya bayang-bayang indahnya segapai samudra bercinta
alangkah kosong alangkah fana
menenggelamkan gaung nyeri ke kerinduan
setiap pengalaman, imajinasi, dan kelungkrahan. “takkah kau lihat burung kertasku
singggah ke puncak renungmu?”
(burung kertas itu....yang lahir dari lipatan-lipatan sepi—tanpamu)

3
sekujur peradaban
dari lenguh pendambaan, telah redam
oh lantun setiap hidupmu.....
“tidakkah kau lihat arak-arakan langit
tak jadi memulas pelangi di puncak keningmu?”
badanmu, ingin melonjak, muncul menjadi kupu-kupu paling remang
yang bersayapkan ruh cinta,
melayangkan gelegak darah
ke dermaga, tempat kita lamun dan meriwayatkan diam.

Surabaya, Januari 2010


Hujan dan Secangkir Kopi
jendela
menatap dingin padaku

bulir-bulir bening mewarnai wajahnya



secangkir kopi dengan krim yang coklat

hangat dan mengguarkan harum yang menjelajah

ke pintu,

langit dan taman berbangku sunyi

di dekat stasiun



saat aku menghabiskan gundahku

pada tatapan-tatapan bisu

dahan-dahan cemara dan beringin



dan lengang terasa

menunggu senyum

dari balik jendela

tempat menunggu hujan reda



adakah seseorang lewat

dan memecahkan

beku di hadapan cangkirku



'mungkin ada'

suara pelan berbisik

pada telinga

dari udara yang dingin



aku merapatkan kerah jaketku

kembali menatapi jendela dan udara yang beku


STASIUN BANDUNG
Di sini, barangkali, waktu
Tak tercatat angka-angka
Sebab bulan dan lampu-lampu
Menjadi matahari lain
Tapi seandainya malam
Tak punya bulan dan lampu-lampu
Waktu akan berpindah ke selatan
Di sini, matahari tak pernah tenggelam

Apa yang disisakan usia
Pada gedung ini
Selain perpisahan
Perpisahan menjadi semacam upacara
Sedang kesedihan membangun dirinya
Menjadi tiang bendera

Di sini, barangkali, sunyi
Lebih panjang dari bentangan
Rel yang menghubungkan stasiun
Dengan masa lalu.
Tapi perempuan-perempuan itu
Telah menjadi stasiun juga
Stasiun yang menawarkan
Perjalanan lain.

Stasiun Bandung, aku temukan
Orang-orang tidur di atas tubuhmu
Yang tak pernah tidur.
Tidur dan peluklah aku.
Maka aku akan memelukmu
Seolah kaulah perempuan
Dengan rok mini dan lipstik yang pudar

Stasiun Bandung, tembok yang dingin
Kuketuk pintumu. Tapi kau tak ada.


Bandung, 2010
Wasiat
Buat : Retno Noviisnani

Isnani, pampangkan ceritaku pada alur waktu
Sampaikan pesan yang sedari dulu kutitip : Pada angin,
pada debu, pada elok cakrawala
Karena kutahu cerlang bibirmu adalah jalanku yang paling mawar

Namun jangan kau lupa makan malammu
Kenakanlah pula jaket dan scraf, juga sepatu kanvas
Sebab malam tak memberitahu ibumu : Tentang perjalanan
yang nantinya membuatmu lupa jalan pulang

Isnani, aku tunggu kabarmu
Jika sajak-sajakku mampu usir ragu, bacalah
karena telah kuselipkan dzikir diantaranya
Agar ia serupa petromak saat gelap

Kawih malam berkumandang
Pohonan meranggas waktu, menghujani huruf demi huruf
Batu nisanku


Bandung, Desember 2009


JEMBATAN ANTARA DUA LEMBAH
lembah-lembah di sekeliling kami, pada hari yang lampau
musim kembali berulang, waktu bergeser
melumut di batu-batu
"di manakah bukit-bukit yang dulu kami pandang
di perempatan jalan dan nyala matahari
cahaya-cahaya yang membeku di jiwa dan pikiran?"
suara itu menggeliat
dari kecuraman kabut yang dalam

di ujung lembah, angin memangkas daun-daun
seorang tua, matanya menyeka tanah, jiwanya mengembara jauh ke gurun-gurun
"suara siapakah yang menggantung di udara; aku tak melihat bintang-bintang bertebar di rumah Allah."
sunyi bersuling
antara dinding langit yang miring

tapi sinyal demi sinyal membeku
ketika burung-burung bangun dan bangkit
dalam suling angin dan angkasa berkabut
"kami bangun jembatan antara dua lembah
bertahun-tahun, tak seorangpun yang melintasi
orang-orang memahat bagan-bagan perahu
di atas percikan musim dan kering baut-batu!"
cahaya menikung dalam gelap
menyusupi pintu-pintu waktu

seorang tua, hari kini, musim serupa
kakinya bergerak lamban ke arah bayang-bayang yang tak pasti
tangannya meraba-raba tulang angin, udara mencair di lembah-lembah yang dingin
di persimpangan, seorang tua antara kami membuka kelopak matanya
mawar-mawar bertumbuhan di dadanya
"harum udara, siapakah yang berdiri di hadapan, bagai fajar menyingsing, kabut menepikan angin pagi."
cuaca melimbai rusuk musim
pohon-pohon terpaku, menidurkan hijau daun

"kita adalah dua orang tua, kami berangkat setelah kelahiran tumbuh jadi perjuangan dan perburuan
di lembah-lembah asing dan tak bernama, kami tak melihat bukit-bukit membentang
kami mengasah waktu, pengasingan dari tebaran debu
jalan bersimpang-simpang setiap musim buru."

seorang tua dan seorang tua antara kami
membuka tirai dunia, tangan mereka saling silang
matahari yang ganjil, lengan-lengan cahaya membujur di puncak batu
menghanyutkan musim pulang pergi, burung-burung bersiul dan bernyanyi

lembah-lembah di bawah kami
gelap memisah di udara pasi

"lihatlah! dunia amat jauh
gelap dan terang bertindih!"
bukit-bukit dan mesjid samar
timbul tenggelam
sepanjang jalan waktu, siang dan malam

suatu hari: seorang tua dan seorang tua antara kami
meniti jembatan antara dua lembah
"subhaana rabbiyal'azhiimi wabihamdih
maha suci Tuhanku yang maha agung!"
bukit-bukit dan mesjid
berdiri kokoh dalam diri mereka
di bumi, lembah-lembah gelap
mengurung jalan-jalan cahaya.


Sekeranjang Pisang di Sudut Gerbong
Ketika tumbuh kembang tubuhmu mengeringkan lembaran-lembaran daun pisang, jangan menangis! Sebab diam-diam ia sedang menyiapkan selimut hangat untuk mendekap sisir-sisir tubuhmu ketika tercerai dari tandan tali pusar dimana engkau mengantungkan harapan hidup pada ibu.
Ketika tumbuh kembang tubuhmu mengeringkan lembaran-lembaran daun pisang, jangan menangis! Sebab diam-diam ia sedang bersiap menemani dan menjaga perjalananmu agar tetap utuh menuju ranum tubuh, dimana engkau menjadi harapan hidup bagi lelaki renta yang terlelap di sudut gerbong itu.
Gebong3 KRL Ekonomi, 18 Nov 2009

Demi Puisi


Demi puisi
Bila malam turun
Dan bulan disanggul awan

Biarkan aku menari
Dilereng curam kata-kata
Dalam towaf air mata

Demi puisi
Bila hari menjadi siang
Dan mentari mengepakan sayapnya

Aku ingin sampai padamu
Melalui jalan yang lurus
Dalam ridhamu

Demi puisi
Bila mata terpejam
Dan nafas dihembuskan

Aku ingin sampai pada hakikatmu.

Januari, 2010


Hijib Khafi
"Di sinilah mula kematian dan kelahiran"

mimpi kita dikepung malam
terperangkap sepi yang dalam.
kita sibuk membenarkan alarm
membenahi malam yang sobek oleh hujan.
di sini kita pernah bersaksi
tentang luka tentang kata-kata
yang cerewet di genting rumah.

kitalah lelucon kata-kata
puisi yang lupa rahimnya.
mata yang palsu menerjemahkan hidup
sesudah tangis pertama meledak di telinga ibu mereka.

kita bicarakan maut
sebagaimana sebilah sajak yang akan membunuh
dan mengalamatkan kematian kita.

kemana hilangnya hari kemarin
ketika matahari membangunkan mimpi semalam?

bacalah atas nama Tuhanmu
bacalah setiap tujuh lapis tubuhmu
bacalah setiap tujuh lapis hatimu

kita rasakan udara berputar di tubuh
seperti bumi dan galaksi
seperti tasbih yang kita putar setiap hari.

apa yang kita pikirkan
saat usia kita mulai bungkuk?
karena banyak menampung kisah yang basah oleh hujan
dan kemarau mengeringkan usia kita di musim lalu.

maka kita baca malam dan siang
pada tebaran cahaya dan kumpulan gelap
adalah kita bermukim di dalamnya.
serupa batu berlumut dirayapi hujan dan udara
dan cuaca yang mangkir di hati kita.

Sanggar Suto, 2007-2010

Melati-Melati Khatulistiwa

Jika embun dapat menyela di tengah gurauan dedaun
Ia akan berbicara sangat banyak
Tentang kembang-kembang yang ia singgahi bertahun-tahun
Seakan ia tidak pernah tidur nyenyak

Ia tak kuasa memeras logika untuk yang merona
Mawar-mawar lebih tak beretika terus menggoda
Perlukah ia berbalik dan dengan lantang berkata ya?
Atau tidak karena ada yang jauh lebih mempesona

Mereka putih, tidak bercahaya juga tidak banyak berbicara
Seperti putri-putri Perancis mengunci rahasia-rahasia
Berbalut semerbak parfum dewi-dewi Yunani
Menantang kaum gipsi bernyanyi-nyanyi

Mereka tangguh tanpa sedetik pun mengeluh
Seolah takdir mengikat hidup mereka dengan peluh
Dan pantaskah mereka malu jikalau ada benalu?
Tidak! Tanpa jeda mereka akan berkata ‘itu musuhku!’

Entah apa yang diajarkan khatulistiwa pada mereka
Ramuan apa yang mendarah daging menjadi batang mereka
Yang tumbuh di bawah aturannya sungguh luar biasa
Mereka berbeda, sangat berbeda, wahai dunia

Sang embun benar-benar ingin berkata
Kau harus merasa takjub sekarang
Karena apa yang kuketahui tentang mereka
Pasal kemahadahsyatan tanpa kurang

Yang dia sebut melati itu,
Mereka akan tumbuh menembus bebatuan kaku
Jika tidak diusir oleh lumut yang cemburu
Dan mereka mana suka mengganggu

Yang dia sebut melati itu,
Mereka akan merajai surga di bawah matahari
Jika tidak dicibir oleh kaktus yang iri
Dan mereka punya harga diri

Ketahuilah!
Melati-melati khatulistiwa yang tumbuh di barat
Tajam, berduri, tidak terbendung sungguh berani

Lihatlah!
Melati-melati khatulistiwa yang tumbuh di tengah
Jenaka, gemulai, tidak terkira sungguh ayu melambai

Buktikanlah!
Melati-melati khatulistiwa yang tumbuh di timur
Kuat, kokoh, badai pun menyerah memaksanya roboh

Maka sekarang beritahu mereka yang awam
Di belahan dunia manakah ada kembang sedemikian
Yang mampu membuat kumbang bahkan alam terdiam
Seakan mereka mewarisi magis ketajaman sebuah intan

Jika embun dapat menyela di tengah gurauan dedaun
Jelas dia tidak akan hanya sekedar menyela
Karena ia memuja seribu puja akan putih-putih serumpun
Yang ia ukir dalam benaknya bernama melati khatulistiwa

No comments: