Wednesday 29 September 2010

Tujuh Sastrawan Sumut ke TSI III Tanjungpinang

Sebanyak 200 sastrawan Indonesia dari berbagai daerah akan berkumpul di Kota Tanjungpinang dalam acara Temu Sastrawan Indonesia III, tanggal 28-31 Oktober mendatang. Tema yang diusung adalah Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman.

Dari Medan atau Sumatera Utara, panitia mengundang tujuh sastrawan untuk mengikuti perhelatan akbar tersebut. Mereka adalah Idris Pasaribu, Thompson HS, Hasan Al Banna, Suyadi San, M Raudah Jambak, Panda MT Siallagan, dan Zulkarnain Siregar.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang Abdul Kadir Ibrahim MT baru-baru ini menjelaskan, perhelatan akbar sastrawan itu merupakan upaya meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia ke arah yang lebih modern. Penetapan jumlah sastrawan 200 orang merupakan hasil keputusan rapat antara kurator dengan pihak Pemerintah Kota Tanjungpinang diwakili Kadisbudpar yang berlangsung di Yogyakarta baru-baru ini.

Menurut Akib, panggilan Abdul Kadir Ibrahim, dalam waktu dekat Pemerintah Kota Tanjungpinang selaku penyelenggara Temu Sastra Indonesia 2010 akan mengundang resmi para sastrawan sebagai peserta. Mereka akan diundang langsung oleh Wali Kota Tanjungpinang Hj Suryatati A Manan, yang juga terkenal sebagai penyair.

Peserta yang akan diundang perwakilan Aceh Nanggroe Darussalam adalah lima orang, Sumut tujuh orang (Hasan Al Banna, Idris Pasaribu, M.Raudah Jambak,Panda MT. Sialagan, Suyadi San, Thomson HS, dan Zulkarnain Siregar), Sumbar 10 orang, Riau delapan orang, Sumsel enam orang, Bengkulu dua orang, Jambi lima orang, Bangka Belitung enam orang, Lampung tujuh orang, Banten enam orang, DKI Jakarta 16 orang, Jawa Barat sembilan orang, Jawa Tengah 12 orang, Jogyakarta 15 orang, Jawa Timur 12 orang, Bali 10 orang, NTB tiga orang, NTT delapan orang, Kalimantan 12 orang, Sulawesi 11 orang, Maluku enam orang, dan Papua satu orang. Seterusnya, perwakilan dari delapan kabupaten/ kota se-Provinsi Kepulauan Riau pasti diundang.

Secara khusus, Pemerintah Kota Tanjungpinang dipastikan mengundang sastrawan asal Kepulauan Riau. Antara lain Sutardji Calzoum Bachri (Presiden Penyair Indonesia), Rida K Liamsi, dan Hasan Junus. Akib mengungkapkan, TSI pertama 2008 diselenggarakan oleh Pemerintah Jambi dan kedua pada tahun 2009 di Bangka Belitung.
Untuk TSI ke-3 tahun 2010 di Kota Tanjungpinang, para kurator telah menetapkan tema “Sastra Indonesia Mutahir, Kritik dan Keragaman.” Akan hadir sebagai pemakalah: Budi Dharma, Gunawan Muhammad, Sapardi Djoko Damono, Hasanuddin WS, dan Al Azhar, Melani Budianta, Faruq HT, Keitch Foulcer, Halim HD, dan Asep Sambodja.

Pemakalah nantinya dibagi empat kelompok, yaitu Budi Dharma, Gunawan Muhammad, dan Sapardi untuk membahas topik Sastra Indonesia Mutahir. Kemudian Hasanuddin, Al Azhar, membahas “Tinjauan Sastra Indonesia dari aspek Kemelayuan dan Keindonesiaan”. Lalu, Melani Budianta, Faruq HT, Keitch Poulcer dengan bahasan “Teks Sastra Indonesia Mutahir.” Terakhir, Halim HD dan Asep Sambodja membicarakan “Fenomena Sastra Indonesia”.
Akib menambahkan, di samping seminar, turut diadakan pentas sastra untuk baca puisi dan visualisasi puisi. Bengkel sastra pun akan ditampilkan khusus bagi pelajar di Tanjungpinang, tetapi jumlah peserta dibatasi hanya 20 orang.
Akib berharap, Pemerintah Kota Tanjungpinang sebagai tuan rumah TSI 2010 mengharapkan hasil pertemuan itu dapat mengantar sastra Indonesia menjadi lebih modern dan mutakhir.

Tuesday 28 September 2010

Pantun dan Teks Pelajaran

Anak-anak sekolah di Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, dari tingkat SD sampai SMA, menggalakkan pantun pada berbagai kegiatan. Pantun telah menjadi salah satu cabang pendidikan tambahan.

Guru besar Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof Dr Lince Sihombing, Mpd, mengatakan, dewasa ini seni berpantun telah hilang dari sebagian besar isi buku teks Bahasa Indonesia.

"Padahal pantun sangat berpotensi untuk menyosialisasikan kesantunan berbahasa sekaligus menyantunkan pengguna bahasa Indonesia," katanya di Medan, Sabtu (2/1/2010).

Pantun adalah cara seseorang untuk menyampaikan maksud atau isi hati kepada orang lain secara sopan, santun, dan tidak dengan kata-kata yang kasar. Disebut santun sebab maksud hati tidak disampaikan secara langsung tetapi dialihkan melalui penyertaan sampiran yang sesungguhnya lebih sering tidak berhubungan dengan isi pantun yang terdapat pada baris-baris berikutnya.

"Artinya dengan pantun, orang diajarkan untuk menyampaikan maksudnya dengan cara yang sopan, halus dan santun meskipun apa yang akan disampaikannya itu sebenarnya bentuk protes ataupun kecaman," katanya.

Ia mencontohkan, ketika seseorang pembuat pantun duduk merenung atau memikirkan bagaimana menautkan kata-kata yang terdapat dalam baris-baris sampiran dengan kata-kata yang berada dalam baris-baris berikutnya, maka secara tidak langsung dia telah melakukan seleksi atau memilih kata-kata yang digunakan, mana yang layak dan mana pula yang tidak layak.

Selain itu pembuat pantun juga harus memikirkan rima ataupun harmonisasi bunyi dari kata-kata terakhir dari dua baris sampiran dan dua baris isi yang membentuk pantun.

Tidak tertutup kemungkinan pembuat pantun terpaksa mengganti salah satu dari kata yang ada di baris-baris sampiran maupun di baris-baris isi agar ketika diucapkan tercapai harmonisasi bunyi dan ketika dikaji secara tidak langsung akan melatih pembuat pantun santun menggunakan kata-kata .

Sebaliknya, seorang penikmat pantun juga akan merekam dalam benaknya untuk tidak sembarangan menggunakan kata-kata ketika akan menyampaikan maksud hati. Jika pantun diajarkan di sekolah, akan membuat siswa menjadi santun dalam berbahasa sehari-hari," katanya.

Monday 6 September 2010

Temu Sastrawan III di Tanjungpinang

Laporan wartawan KOMPAS Yurnaldi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, akan menjadi tempat digelarnya perhelatan besar Temu Sastrawan Indonesia III, tanggal 28-31 Oktober mendatang. Tema yang diusung adalah Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Abdul Kadir Ibrahim mengatakan, ada enam jenis kegiatan utama yang akan diikuti ratusan sastrawan, yaitu stadium general dan seminar dengan pembicara Budi Darma, Katrin Bandel, Nanang Suryadi, Putu Wijaya, Akmal Nassery Basral, Faruk HT, Keitch Foulcer, Hasanuddin WS, Amien Sweeny, dam Al Azhar.
Kemudian malam apresiasi pentas sastra, yang akan menampilkan tari, musik, ciloteh pantun dan sebagainya, baik yang berupa tradisional maupun kontemporer. Forum dan bazar buku , penerbitan buku antologi sastra, dan bengkel sastra dengan narasumber Agus R Sarjono, Joko Pinurbo, AS Laksana, dan Hamsad Rangkuti.
"Juga ada wisata budaya, mengunjungi bekas pusat Kerajaan Melayu Riau-Johor-Pahang-Lingga di Hulu Sungai Carang dengan kawasan wisata hutan bakau, peninggalan Tiong Hua berusia 300 tahun di Senggarang, dan sejumlah tempat lainnya," kata Abdul Kadir Ibrahim, Minggu (5/9/2010).
Keterangan lebih lanjut bisa menghubungi kutaror dan panitia di: memorabledestination@yahoo.com atau akib_penyair@yahoo.com, atau fax (0771) 7000212.
Temu Sastra Indonesia II di Pangkalpinang, Bangka-Belitung

sayyid — April 5, 2009 / 12:23 pm
Topik: Seputar Dunia Sastra Indonesia
Sehubungan akan diselenggarakannya “Temu Sastrawan Indonesia II” di Pangkalpinang, Bangka-Belitung pada bulan Juli 2009 (Tanggal akan diumumkan kemudian), maka kepanitiaan TSI II mengundang Anda sekalian untuk bergabung bersama dalam event sastra tahunan yang merupakan terusan dari event serupa (Temu Sastrawan Indonesia I) yang telah berlangsung di kota Jambi tahun lalu, dengan mengirimkan karya berupa cerpen dan puisi.
Karya-karya yang masuk–sebagaimana kesepakatan sidang di Jambi–nantinya akan dikurasi oleh sejumlah rekan sastrawan.
Adapun ketentuan pengiriman karya tersebut adalah sbb:
• Karya berupa cerpen atau puisi.
• Diketik 1/2 spasi menggunakan MS.Word dan disimpan dalam format RTF.
• Masing-masing mengirimkan 5 (lima) buah karya.
• Karya dikirimkan ke email: tsibabel@yahoo.com
• Karya masuk paling lambat: Akhir April 2009.
Salam dari Panitia TSI II Bangka-Belitung.
Post to: delicious, Digg, ma.gnolia, Stumbleupon
Temu Sastrawan di Jambi Dibuka
Berlangsung Hingga 11 Juli
Laporan: Yurnaldi & Irma Tambunan/Wartawan Kompas
Sumber: Tribun Pekan Baru Online [Senin 07/07/08, 22:30:19]
JAMBI, TRIBUN – Pertunjukan baca puisi, tarian dan lagu oleh anak-anak yang diiringi musik kolintang kayu, gendang, dan akordeon yang dimainkan anak-anak, Senin (7/7) malam, memukau sekitar 200 lebih sastrawan. Pertunjukan anak-anak itu mengawali prosesi pembukaan Temu Sastrawan Indonesia I di Kota Jambi, Provinsi Jambi.
Gubernur Jambi diwakili Staf Ahli Gubernur, Junaidi T Noor, mengatakan, Temu Sastrawan Indonesia ini membuka ruang interaksi pemikiran dari beragam etnis, kultur, yang sarat dengan akar budaya, warna budaya daerah masing-masing.
“Karya sastra yang digali dari subkultur yang ada di Indonesia akan memberi rona keberagaman yang manunggal dalam keindonesiaan (Bhinneka Tunggal Ika). Keberagaman warna lokal saat globalisasi sekarang ini menjadi penting sebab dengan keberagaman itu pula identitas lokal terwadahi,” katanya.
Menurut dia, keberagaman itu dalam konteks keindonesiaan perlu mendapatkan ruang ekspresi seluas-luasnya untuk capaian estetis sastra Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang. Usai memberikan kata sambutan Staf Ahli Gubernur melanjutkan pembacaan puisi karya Dimas Arika Mihardja berjudul Pucuk Jambi Sembilan Lurah Batangnyo Alam Barajo.
Koreografer Tom Ibnur juga mempertunjukan koreografi terbarunya. Ketua Panitia Temu Sastrawan Indonesia Sudaryono mengatakan, bahwa satrawan yang datang hampir dari seluruh pulau di Indonesia. Tampak hadir antara lain Putu Wijaya, Harris Effendi Tahar, Jose Rizal Manua, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, Afrizal Malna, Hamsad Rangkuti, Dinullah Rayes, Irmansyah, Asrizal Nur, dan Ahmadun Yosi Herfanda.
Temu Sastrawan yang berlangsung hingga 11 Juli mendatang, menggelar enam kegiatan, yaitu Dialog Sastra dan Musyawarah Sastrawan Indonesia, Workshop Penulisan Esai dan Kritik Sastra, Panggung Apresiasi, Peluncuran Buku Kumpulan Cerpen dan Puisi, Pameran dan Bazar, dan Wisata Budaya ke Situs Candi Muaro.
Pembukaan sekaligus peluncuran buku puisi Tanah Pilih dan buku kumpulan cerpen Senarai Batanghari, yang diserahkan secara simbolis kepada Putu Wijaya dan Hamsad Rangkuti. “Temu Sastrawan Indonesia selain ajang silaturahmi, juga tukar pemikiran sastra Indonesia yang diharapkan berkembang dinamis untuk membenahi rumah tangga sastra Indonesia,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Mualimah Radhiana.(*)
200 Sastrawan Kumpul di Jambi
Kompas, Minggu, 6 Juli 2008 | 10:29 WIB
JAKARTA, MINGGU – Sedikitnya 200 sastrawan Indonesia, Senin sampai Jumat (7-11/7), bertemu di Kota Jambi. Mereka selain mengadakan dialog sastra dan musyawarah juga menggelar panggung apresiasi, wisata budaya ke situs Candi Muaro, serta peluncuran buku antologi puisi dan cerpen sastrawan Indonesia.
Ketua Panitia Temu Sastrawan Indonesia I Sakti Alam Watir mengatakan, perkembangan karya sastra Indonesia sepeninggal Paus Sastra HB Jassin tidak diiringi oleh kinerja sastra. Kritik sastra seperti kerakap di atas batu, hidup enggan mati tak mau.
“Langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan sastra dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra membuat ekologi sastra tidak harmonis. Idealnya, kehidupan sastra menunjukkan ekologi sastra yang sehat, beragam, harmonis, dan dinamis,” kata Sakti Alam Watir, Minggu (6/7).
Pada sesi dialog pembicara yang tampil di antaranya mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat Ivan Adilla, guru besar satra Indonesia dari Universitas Negeri Padang Hasanuddin WS, sastrawan Sunartono Basuki, Acep Zamzam Noor, dan Abdul Bari Bazed.
Panggung Apresiasi akan menampilkan pembacaan puisi, keragaman seni di setiap kota/kabupaten di Jambi. Panitia juga memamerkan aneka corak serta bentuk karya sastra sebagai manifestasi adanya keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan. Yurnaldi
—-
Menyongsong Temu Sastrawan Indonesia
Sumber: WASPADA ONLINE, Minggu, 29 Juni 2008 03:09 WIB
Pemerintah Provinsi Jambi pada 7 hingga 11 Juli 2008, menggelar Temu Sastrawan Indonesia (TSI).Sejumlah sastrawan dari seluruh penjuru tanah air akan mengikuti hajatan tersebut. Lalu, siapakah sastrawan Sumatera Utara yang diundang?
Bocoran yang diperoleh dari panitia TSI, Sumatera Utara akan mengutus enam orang sastrawan. Yakni, (secara alfa-betis) Afrion, Hasan Al Banna, M. Raudah Jambak, S. Ratman Suras, Suyadi San, dan Thompson HS.
Bagi saya, TSI ini perlu dijadikan forum rekonsiliasi. Ia (baca: TSI) diharapkan mampu menjadi perekat, ajang silaturahmi antarsastrawan, dan revitalisasi peran sastrawan itu sendiri.
Jika kita lihat, kondisi kesusastraan Indonesia masih berada di persimpangan. Buram. Retak-retak menunggu pecah. Dan, serpihannya bakal menusuk-nusuk anak bangsa.
Keberagaman sastra Indonesia jika tidak terpelihara, bakal menjadi kutub-kutub yang saling serang. Menjadi sekat-sekat yang saling sikut, saling sikat. Jika terbiarkan berlarut-larut, bakal menjadi bom waktu – yang ledakannya kemungkinan mengimbangi bom atom Hiroshima-Nagasaki.
Lihat saja, hampir dua dasawarsa belakangan, banyak hajatan sastra tergelar. Masing-masing membawa hegemoni sektoral. Ada Temu Sastrawan se-Jawa-Bali. Ada pula Temu Sastrawan Sumatera, Temu Penyair Sumatera, Kongres Cerpen, Kongres KSI. Dan sebagainya. Namun,tidak hanya menuntaskan kebuntuan, malah menghasilkan percekcokan. Semua berjalan pada rel masing-masing. Memang, kita selalu mempertentangkan keberagaman dan bukan mengunggulkan kesatuan?
Ada beberapa agenda penting yang perlu kita perhatikan terkait (TSI) 2008 di Jambi. Agenda itu secara fundamental berkaitan dengan beberapa persoalan yang mendesak dicarikan solusinya. Rumah tangga sastra Indonesia yang dihuni oleh sastrawan (penyair, Cerpenis, novelis, penulis skenario), kritisi, media, dan masyarakat pembaca memberikan gambaran sebagai ekologi yang tidak sehat.
Artinya, masing-masing ranah sastra (kreator, kritisi, media, dan masyarakat pembaca) terkesan berjalan sendiri-sendiri dan terpisah oleh adanya jurang yang membatasi kebersamaan dan saling pengertian. Bahkan, ‘bentrok’ dan perselisihan paham di antara mereka melahirkan kegelisahan tersendiri.
Ingatlah perseteruan antar-komunitas sastra akhir-akhir ini, polemik yang melibatkan media massa, langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan sastra, dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra. Tidak sehatnya
ekologi sastra Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang harus dijadikan wacana penting dalam mengurus rumah tangga sastra Indonesia mutakhir.
Dalam perkembangan sastra pernah muncul humanisme universal, sastra kontekstual, sastra (dominasi) pusat, sastra pedalaman, sastra dekaden, sastra independen, sastra pedalaman, sastra arus bawah. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Hal ini wajar lantaran sastrawan memiliki progres, visi dan misi dalam berkarya.
Hal yang tidak wajar apabila perbedaan pandangan/aliran/isme dll memunculkan konflik berkepanjangan. Nah, akankah TSI 2008 mampu mewadahi dan menyediakan fasilitas untuk membangun rumah tangga sastra Indonesia yang menjunjung tinggi keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan sehingga tercipta ekologi sastra Indonesia yang kondusif.
Keberagaman corak budaya daerah perlu diberikan ruang yang leluasa untuk dieksplorasi dalam penciptaan sastra dan diangkat di atas panggung wacana dalam iklim yang demokratis. Karya sastra yang digali dari tradisi subkultur yang ada di Indonesia akan memberikan rona keberagaman yang manunggal dalam keindonesiaan (“Bhineka Tunggal Ika”).
Keberagaman warna lokal saat globalisasi sekarang ini menjadi penting sebab dengan keberagaman itu pula identitas lokal terwadahi. Dengan tampilnya identitas lokal yang beragam. sastra Indonesia mutakhir akan memberikan tawaran-tawaran tematis dan capaian estetis yang menyemarakkan denyut kehidupan sastra Indonesia. Identitas keindonesiaan dapat dibangun berdasarkan kekayaan tradisi lokal yang ada di Indonesia. Selain keberagaman, anggota rumah tangga sastra Indonesia (sastrawan, kritikus, media, dan masyarakat) masing-masing perlu memiliki kedinamisan yang mandiri.
Kedinamisan dan kemandirian ini memiliki arti penting ketika, misalnya, ada sebagian sastrawan yang ‘ditelikung’, diintimidasi, dikekang kebebasan kreatifnya, dipinggirkan oleh pihak-pihak lain (pemerintah, pimpinan redaktur koran, organisasi tertentu, pemilik media) memiliki kekuatan advokasi dan pembelaan secara adil dan berimbang. Kedinamisan dan kemandirian anggota rumah tangga sastra Indonesia akan memberikan iklim kondusif kedinamisan kehidupan sastra secara demokratis dan jauh dari sikap-sikap otoriter yang kelewat batas.
Lalu, apa yang bisa dicapai untuk menyatukan keberagaman sehingga menghasilkan kedinamisan dalam bersastra? Ya, mungkin saja akan muncul gagasan, para sastrawan bersatu dalam suatu wadah seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Aliansi Jurnalistik Independent (AJI), Ikatan Keluarga Pengarang Indonesia (IKAPI) yang memiliki keharmonisan? Dengan keharmonisan, dimungkinkan sastrawan Indonesia memiliki bargaining power dan bargaining position yang lebih baik.Mungkin para sastrawan perlu melakukan kongres untuk membicarakan “wadah” dan sekaligus menuntaskan ketidakharmonisan.
Dalam kaitan ini, melalui TSI yang – konon – akan dihadiri para pelaku sastra (kreator, kritisi, media, dan masyarakat pembaca) minimal dapat disepakati perlunya agenda forum sastrawan secara kontinu. Ekologi sastra tidak sehat, antara lain disebabkan tidak berfungsinya kritik sastra. Realitas menunjukan bahwa kuantitas penerbitan karya sastra tidak diiringi oleh kinerja kritik sastra. Kritik sastra hadir dalam bentuk catatan pengantar atau catatan penutup sebuah buku sastra.
Saat berada di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin 21 Mei lalu, penulis merasakan, sepeninggal H.B. Jassin kinerja kritik sastra belum menampilkan hasil maksimal. Dalam hubungannya dengan minimnya kritikus sastra, dipandang perlu melaksanakan workshop penulisan esai/kritik sastra yang diikuti penulis muda berbakat, guru, mahasiswa yang telah biasa menulis di media massa.
Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra perlu dijembatani melalui Panggung Apresiasi, Pameran, dan Bazar. Panggung Apresiasi, Pameran, dan Bazar dapat menampilkan atraksi keberagaman, kemandirian, kedinamisan dan keharmonisan sastra Indonesia dalam paket performance. Lalu, apa saja agenda penting TSI 2008 itu? Bocoran yang didapat dari panitia TSI, agenda TSI 2008 di Jambi ada beberapa macam.
Pertama, Kongres Sastrawan. Kongres? Ya. Agendanya membicarakan kemungkinan dibentuknya wadah atau forum bersama (sastrawan, kritikus, media, penerbit, apresiator), pemetaan capaian estetik sastra Indonesia, keberagaman genre, gaya ungkap, dan kreativitas, dan regenerasi sastrawan. Pesertanya adalah sastrawan (3 generasi), Kritikus, media massa, penerbit, dan undangan khusus.
Kedua, Workshop penulisan esai/kritik sastra: memfasilitasi para penulis muda berbakat, guru sastra, dan mahasiswa untuk mampu menulis kritik/esai sastra. Menurut rekan dari Kantor Bahasa Provinsi Jambi, workshop akan digelar di instansi bahasa malik pemerintah tersebut. orang.
Ketiga, Panggung Apresiasi. Aacara ini akan menampilkan sastrawan undangan khusus (penyair dan cerpenis Indonesia terpilih), menampilkan keberagaman seni di setiap kota/kabupaten dalam provinsi Jambi, dan sanggar-sanggar seni di kota Jambi. Selain itu, memberi ruang bagi olah kreativitas sastrawan kota lain (Medan, Padang, Riau, dll) yang dibatasi jumlahnya.
Keempat, Wisata Budaya. Wisata budaya ini dimaksudkan untuk memberikan sajian keberagaman yang dimiliki Provinsi Jambi kepada peserta. Mereka misalnya diajak ke situs Candi Muaro Jambi, Pusat batik/kerajinan, kawasan batanghari, Museum, Monumen, dsb. Penulis sendiri pernah melihat peninggalan candi Muaro tahun 2006 lalu.
Kelima, Penerbitan Buku Antologi. Pihak panitia akan : menerbitkan 2 buku, yakni: (1) Puisi, cerpen, dan esai sastrawan Indonesia yang dipilih berdasarkan seleksi dan (2) buku puisi sastrawan muda Sumatera. Buku-buku ini dijadikan cenderamata bagi seluruh peserta TSI.
Keenam, Pameran dan Bazar. Pameran dan bazar ini dimaksudkan untuk menampilkan keberagaman karya sastra didukung oleh penerbit-penerbit buku di Indonesia.
Jadi, begitulah. Mudah-mudahan TSI ini bisa menghasilkan formula jitu untuk menyelamatkan sastra Indonesia.
Suyadi San, Staf teknis Balai Bahasa Medan