Thursday 11 February 2010

Kidung Pohon

Kidung Pohon

Jimmy Maruli Alfian

Bapak, kalau harus dilarang ngunduh bebuahan
kenapa kau tanam pohon itu di taman?

semisal kau tandur singkong atau mengkudu
tentu aku sangsi mendekat pohon yang kau berkati

singkong, sejak ketela itu merambat ke kedalaman
aku pun terkubur dalam tanah kecoklatan
membenam kata-kata
sampai ke dasar yang sedikit sekali hara

mengkudu, dengan roman bopeng lucu
dan bau yang memendam rahasia waktu
melengkapi prasangka bahwa tubuh
ngandung benih sengsara

ah, apakah tak lagi diberi zat
bagi tetumbuh yang akarnya sesat?

tumbuh sebagai lelaki tanpa daun
tak pernah tahan dengan musim apa pun
dirubung debu, dijangkiti penyakit kulit
lalu berlumut karena lembab di ujung mulut

kata bapak, pohon-pohon itu memiliki silsilah
yang setiap hari bercerita kepada cuaca
dengan akar menjalar sabar ke perut sungai
dan benang sari yang membuatku terikat janji

“Akulah pemilik taman, kau boleh main ayunan,
kemah bermalam-malam, memetik bebuahan
tapi tidak pohon yang ini!” Katamu sambil melingkari
batang dengan kawat duri dan memberi cat merah hati

sungguh, untuk apa kau tanam di sana
kalau hanya membuat rimbun sengketa?

sebagai anak, larangan ialah kehilangan

kau tahu, taman dan ladang rajin ku garu
tak pernah subur hama juga benalu
lihat, sebentar lagi buah-buah akan masak
maka biarkan aku menuai semua yang tampak
“Tapi tidak pohon itu!” Ulangmu
dengan suara sekencang angin petang
mata merah serupa matahari tenggelam
kelopak dan putik enggan bersitahan di dahan

tiba-tiba kukenang hutan yang jauh
lalu kukhayal kau membiarkanku
sasar dalam rimba ingatan
di antara bebatang angan-angan

di timur, nun matahari tengah uzur
cedar merah subur di lereng-lereng yang marah
dedaunnya lebat merupa jubah
tetapi seratnya gagal menyerap amis darah

di pinggang lereng mengalir lekas
sungai yang mencari muara cemas

ya, seharusnya aku tahu
dengan ribut mesiu mereka berebut sisa bukitmu
tanah yang dipagari perjanjian
denah yang dibatasi kematian

sedang dedaun khusyu’ menghadap ke barat
dengan ranting yang terus bersidekap

sulur-sulur lebat ialah janggut
menjadi rumah bagi hantu, bagi gerutu,
juga bagi usia yang bakal dikutuk waktu

bayangkan, sebuah taman, sebuah hutan
dan laki-laki yang cuma bercawat
oh, semakin kuhafal nama-nama
buah makin ranum dan rentan menggoda

aku pun bernafsu meski getah lengket di wajahku
aku pun lengket dengan lagu panen yang baru
Bapak, kalau harus dilarang ngunduh bebuahan
kenapa kau tanam pohon itu di taman?

Bapak, untuk apa kau tanam pepohon di sana
kalau hanya membuat rimbun sengketa?
biarlah ku tebang pohon laranganmu
agar kuganti singkong atau mengkudu
2006








2. Lakon Hamlet

Ophelia, suatu saat kau merupa sarang laba-laba
merampas segala percakapan-percakapan kita,
tentang cinta,
tentang antena yang didiami burung gereja,
atau tentang alur sungai yang kerap berdusta
ketika hampir tiba di muara

(ia rela mengalirkan tubuhnya ke laut mana saja)

Ophelia, suatu saat kau merupa sarang laba-laba
memintal benang-benang kabut
lalu mengharapkan tubuhku larut
dalam perangkap tangan-tanganmu yang lembut

“Kekasihku Hamlet, seharusnya kau tidak lupa
mematikan lampu saat hendak tidur
agar birahiku tak terlihat
yang membenamkanmu ke dalam jerat“

Biografi Penyair:
Jimmy Maruli Alfian dilahirkan di Teluk Betung 3 Maret 1980. Alumnus Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung. Sesekali mengikuti pelbagai forum sastra dan pembacaan puisi semisal: Festival Penyair Lampung 3 Generasi (2002); Festival Penyair Ujung Pulau (2003); Festival Penyair Dua Arus (Jung Foundation, 2004); Pesta Para Sufi (2005) Malam Puisi Indonesia di Teater Utan Kayu, Jakarta (2003); Ubud Writer’s and Reader’s Festival (Sebuah Forum Sastra Antar Bangsa, Bali 2004); International Literary Biennale (TUK-Winternachten, 2005) Cakrawala Sastra Indonesia (TIM, 2006), Festival Mei (Bandung,2006) dan sebagainya. Karya-karyanya berupa puisi, esai, tinjauan buku dipublikasikan di berbagai surat kabar, majalah, jurnal dan sedikit antologi seperti Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, Horison, Jurnal Puisi dan lain-lain.
Menerima penghargaan puisi dari Dewan Kesenian Bengkalis (DKB, 2003); Dewan Kesenian Lampung (DKL, 2002); Forum Lingkar Pena Lampung (2001); Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, Universitas Lampung (2002); PT Telkom Indonesia (2005); Masuk nominasi Anugerah Kebudayaan 2005 & 2006 Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Kini kesehariannya adalah berdarma pada Komunitas Berkat Yakin dengan bergiat mengikuti berbagai proses garapan teater: Syekh Siti Jenar (Vreddy Kastam Marta); Aduh (Putu Wijaya); Malam Jahanam (Motinggo Busye); Nyanyian Angsa (Anton P. Chekov); Bunga Rumah Makan (Utuy Tatang Sontani); Hamlet (William Shakespare); dan Inspektur Jenderal (Nikolay Gogol);





AAN MANSYUR

Maksud sajak ini sungguh sederhana.
Hanya ingin memberitahumu bahwa baju
yang kita kenakan saat duduk di pelaminan
warnanya hijau daun pisang muda, tetapi
yang membungkus kue-kue pengantin
adalah daun pisang tua. Memang keduanya
hijau, tetapi hijau yang berbeda, Sayang.
Di kepalamu ada bando berhias bunga,
kau merasakannya tetapi mungkin tidak
tahu bunga-bunga itu adalah melati putih.
Sementara di kepalaku bertengger sepasang
burung merpati, juga berwarna putih.
Aku selalu membayangkan, hari itu, kita
seperti sepasang pohon di musim semi.
Kau pohon penuh kembang. Aku pohon
yang ditempati burung merpati bersarang.
Aku lihat, orang-orang datang dan tersenyum.
Mereka berbincang sambil menyantap makanan.
Tapi aku tak dengar apa yang mereka bincangkan.
Maukah kau mengatakannya padaku, Sayang?
2007

Inggit Putria Marga

DI PINTU GERBANG

lari dari kemah pencuri aku kembali padamu, qibla
taman kuning kenanga rumah akhir seorang buta inang luka sekeping sukma:
burung hitam yang terendam dalam tubuhku:
tulang rapuh yang berdiri di depan gerbangmu
terimalah aku, qibla
pencuri, yang kehilangan masa lalunya kelampauan dan kesunyiannya
jadikan aku rumput jalanmu, tiang lampu liang semut atau apa pun itu
agar lenyap mengasap sampah raga paling abu, najis sukma paling biru
siapakah kamu, pengetuk gerbangku?
dua puluh enam tahun kutinggalkan kuning kenanga wajahmu
berbekal kutuk dan segulung malu aku berkuda ke semesta di delapan penjuru
mencari bapakmu pencuri masa lalu di kemah penyamun itu
layak, kau lupa padaku
sepasang tangan, penanam rumpun bunga di sudut tubuhmu
air mata, penyiram ruang terkelam di masa kecilmu
tak apa, kau lupa padaku tapi, jangan pernah kau tolak aku
tanpa rahimku, dulu takkan kuning kenanga, kini dirimu ibu?

Maret, 2007

PETANI

di gagang cangkul sang tangan sering singgah
di pundak istri sang kepala kerap rebah
namun, hanya pada tanah yang menerima keringat dan ludah tanpa amarah
sang jiwa ingin berumah

2006

PENGAKUAN

kekasih sebagaimana tabiat rasa kata begitu sia-sia saat rindu tiba
dalam pikiranku kamu, matahari beragam warna
dalam ingatanku kamu, cuaca penuh irama
dalam hatiku kamu, tak ada
hatiku si belanga
hanya mampu memantulkan wajah pemiliknya

Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, Lampung, 25 Agustus 1981. Lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Mendapatkan Anugerah Kebudayaan 2005 untuk kategori penulis puisi terbaik dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI melalui sajak Janji Bunga Yang Seperti Matahari. Puisi-puisinya dipublikasikan di beberapa media massa, seperti Kompas, Koran Tempo, Republika, dan Lampung Post, serta terdapat dalam beberapa antologi puisi, antara lain Living Together (Komunitas Utan Kayu, Jakarta), Festival Mei (Institut Nalar, Bandung), Perjamuan Senja (Dewan Kesenian Jakarta), Gerimis dalam Lain Versi (Dewan Kesenian Lampung), dan Surat Putih 2 (Risalah Badai, Jakarta).

No comments: