Tuesday 27 May 2008

Herman KS Dalam Puisi

PADA 2-9 Desember 2007, kita telah membicarakan kumpulan sajak Herman Ks dalam ‘’ Sepi Yang Menyekap Dingin Kian Mengendap’’, dalam ruangan ini, terutama sajak-sajaknya yang bertutur secara langsung dan yang menggunakan metafor dan konvensi khazanah sastra.

Tetapi, ada satu dimensi lagi dari pola bertutur yang tampak rumit digunakan oleh Herman Ks dalam menyampaikan visi dan misinya sebagai penyair, yaitu sajak-sajaknya yang membangun suasana dengan menghadirkan kondisi dan situasi untuk mendukung tema sentral. Dalam hal ini penyair secara real tampak merekam suasana alam sebagai lanskap padahal di balik itu ada suatu kesan tersembunyi bahwa suasana demi suasana alam yang ia goreskan, yang tak jarang terasa sebagai pengulangan demi pengulangan, adalah sebenarnya untuk pendukung tema pokok dalam sajak-sajaknya yang tampak ia balut dan sembunyikan.

Ada satu peristiwa yang terjadi, peristiwa atau tepatnya tragedi yang begitu dahsyat melanda negeri ini, yang ditatap bahkan dialami dan dirasakan sendiri oleh anak bangsa ini, di mana penyair sendiri saat itu berada di tengah-tengahnya. Peristiwa banjir darah yang orang bahkan anak-anak sekolah tak sulit menemukan mayat atau kepala yang telah terpenggal di jalan-jalan, semak-semak, selokan dan sungai. Dalam tragedi Gerakan 30 September yang mengerikan itu, diperkirakan sekitar enam ratus ribu hingga dua juta orang tewas dalam amuk massa.

Tapi mengapa ia tidak merekam subjek atau masalah itu secara transparan, sebagaimana yang telah kita baca dalam sajak-sajaknya terhadap warga kota yang merisaukan hatinya dengan statemen dan keberpihakan yang nyata. Ada beberapa alasan. Komitmennya terhadap “orang-orang kecil” atau “wong cilik” dalam masalah ini menjadi terhambat atau mendapat kesulitan oleh alasan keamanan. Sebagaimana diketahui dalam era pergolakan itu begitu sensitip sehingga seseorang yang diteriaki atau dibisikkan sebagai seorang yang memihak atau terlibat sudah cukup untuk diamankan tanpa perlu pengusutan atau pengadilan.

Keadaan semacam ini terus berlanjut selama belasan atau bahkan puluhan tahun. Musuh bersama adalah ideologi dan siapa saja yang terlibat dalam ideologi haram itu akan dibantai atau diamankan. Sementara keberpihakan penyair tetap kepada manusianya, teristimewa terhadap mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Alasan lain, sebagai penyair kemungkinan ia merasa mual melihat pembantaian terhadap sesama yang dilakukan tanpa sembunyi bahkan vulgar. Rasa kemenangan yang dipertontonkan atau euforia yang berlebihan berupa sorak-sorai adalah kejadian sehari-hari, padahal seseorang yang diciduk atau dibantai masih belum tentu berada pihak yang salah.

Penyair kelihatannya sudah sulit melukiskan fenomena itu dengan gaya yang ia rekamkan selama ini, sebagaimana kita baca dalam sajak Orang-orang Malang di atas, yang bahkan dalam situasi dan kondisi yang normal saja pilihan katanya sudah sedemikian rupa. Kosakata yang telah optimal seperti sajak itu untuk mendeskripsikan makna penderitaan manusia “hanya” dalam kondisi dan situasi kota yang masih normal, akan betapa pula pelukisan yang harus digoreskan untuk tragedi kemanusiaan seperti kita sebutkan tadi. Kalau dia meneruskan cara dan gayanya seperti selama ini, tentu penyair akan terjebak ke dalam ungkapan yang verbiage!

Tema-tema itu tentu tak akan hilang dalam sanubari penyair. Namun harus ada pengendapan dan lompatan gaya dari yang selama ini telah biasa dipergunakan. Dan ini tentu saja butuh waktu meskipun menggelisahkan dan menunggu begitu membosankan. Manusia, walau bagaimanapun, memang menghadapi keterbatasan ruang dan waktu yang seolah menyekat keterbatasan eksistensinya. Tapi apa boleh buat, dia harus menerimanya, meskipun tidak harus menyerah. Harus menunggu keadaan dan saat yang tepat. Berdamai dengan ruang dan waktu.

Dan angin pun berdesir
tatkala hujan reda. Engkau berbisik
di tepi hari. Dalam bayang waktu. Dalam menunggu
dan jam yang tak letihnya berdetik
(Dan Angin pun Berdesir, hal. 7)

Meskipun penyair tampak begitu gelisah dalam menunggu waktu, tapi dia optimis “angin pun berdesir” yaitu “tatkala hujan reda”. Meskipun menunggu hujan amukan massa butuh penantian yang lama sehingga angin kreatifitas dapat kembali pulih, namun tampaknya hal itu tidak sia-sia. Dalam banyak sajaknya kemudian, seperti Sajak Sehabis Hujan (hal.25), Selintas Angin di Tengah Padang (hal. 26), Selintas Angin Siang (hal. 27), Menyeru di Tengat Lengang (hal. 28), Senja. Gerimis di Luar (hal. 29), dan Sebuah Perigi Tua (hal. 30)

penyair menemukan style dengan melakukan inovasi dalam bentuk dan isi. Ia sama sekali telah mengubah caranya bersajak. Kalau selama ini pengucapannya begitu lugas dengan larik dan bait yang panjang sehingga mirip kalimat serta makna sajak yang transparan dan menjelasterangkan, dalam arti kata lain, kita masih bisa membedakan dengan jelas antara bentuk dan isi, gaya dan makna, atau bentuk begitu jelas sebagai pembungkus isi, maka dalam sajak di atas, kita hampir tak dapat lagi memilah yang mana bentuk yang mana isi. Diksi dan idiomnya begitu ringkas, padat, dan ekonomis. Ada enjambemen yang selama ini tak dikenalnya. Kita berhadapan dengan suasana demi suasana yang langsung menjadi imaji-imaji dari apa yang mau dia utarakan.

Style atau gaya adalah faktor pembeda antara seorang penyair dengan penyair lainnya, dengan kata lain apabila style atau gaya keduanya mirip akan cenderung dikatakan salah satu di antaranya sebagai pengikut atau lebih ekstremnya plagiator. Namun kalau terjadi terhadap diri seorang penyair, perbedaan style yang dilakukannya dapat dikatakan sebagai satu bentuk pencarian yang meningkatkan kualitas dan pengukuhannya sebagai penyair, dengan catatan, style yang dicapainya atau yang diperolehnya kemudian lebih memenuhi harmonisasi sesama unsur perpuisian.

Penyair tidak lagi memberikan keberpihakan sosial secara jelas sebagaimana yang kita baca dalam sajak-sajaknya terdahulu, meskipun masih terasa nada simpati, namun lebih terasa samar-samar dan begitu menyimpan misteri tentang siapa sebenarnya sosok kau itu. Inilah menurut hemat kita salah satu harga atau nilai sebuah sajak di mana imajinasi kita sebagai pembaca ikut berperan aktif dalam menyiasati dan menentukannya; hal yang sama sekali tidak ditemukan dalam sajak Orang-orang Malang dan sejenisnya, di mana semuanya sudah terhidang dan kita dibujuk bahkan digiring ke arah makna yang dikehendaki penyair, meskipun memang kita belum tentu menyetujuinya.

Imajinasi kita dengan bebas bermain dan mengembara dalam menyiasati sajak Ketika Angin Berdesauan ini. Siapakah kau yang berdiri mematung di tengah-tengah kota yang sedang dilanda topan dan amuk badai itu. Mengapa dia tidak menyingkir dalam huru-hara yang begitu dahsyat sehingga bukan saja daun-daun, bahkan “hari-hari luruh”. Kita tidak tahu persis siapa kau, tetapi mengapa kita seakan mencemaskan nasibnya, menyuruhnya lekas-lekas menyingkir dari sana, meskipun anehnya saran itu pun mencemaskan kita oleh karena suasana kota yang begitu tak memberi pengharapan lagi.

Fungsi kau sangat menentukan dalam sajak ini. Seandainya dia tidak ada jadilah sajak ini semata-mata sebuah impresi penyair terhadap suasana kota yang dilihatnya, semata panorama alam. Tapi dengan hadirnya kau di sana, apa yang divisualkan dalam sajak itu tentulah berupa imaji atau bayang-bayang batin penyair yang mengembara terhadap sesuatu peristiwa yang sangat berkesan; yang tampak begitu kelam dan menakutkan; sehingga untuk menyebutkan identitas kau saja.

Chairil Anwar Dan Bahasa Rahasia Medan

CHAIRIL Anwar lahir, dewasa, dan menentukan sikap hidup berkesenian di Medan. Ia lahir pada 26 Juli 1922, dan meninggal dunia di Jakarta, 28 April 1949. Ia mengaku bahwa pada usianya yang ke15, dalam suratnya kepada H.B. Jassin, telah memilih berkesenian secara bersungguh-sungguh. Ini berarti, Chairil pada waktu itu masih belum pernah pergi ke mana-mana, tetap bergelimang di Medan. Bersekolah, bergaul, dan mengisi lahir dan batinnya dengan segala apa yang dapat diserapnya di tengah-tengah pusat kebudayaan Melayu pada waktu itu.

Tak dapat disangkal pada periode Chairil di Medan (1922—1941, atau Keith Foulcher berpendapat 1922-1942), kota itu masih sangat kental budaya Melayunya. Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsjah, Sultan Deli, yang bertahta di Medan, masih berkuasa, baik sebagai Kepala Adat maupun sebagai Kepala Pemerintahan. Para penelaah Chairil Anwar jarang sekali, kalau tak mau dikatakan sama sekali tak pernah, mengaitkan karya-karyanya dengan kebudayaan Melayu yang hidup dan berkembang di Medan. Padahal bahasa dan sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kebudayaan. Salah satu bukti dapat diperlihatkan tentang bagaimana para penelaah itu selalu merasakan kesulitan memahamkan beberapa diksi atau idiom dalam sajak-sajak Chairil Anwar sehingga mereka menarik kesimpulan yang keliru.

Di sini kita ingin membicarakan beberapa sajak Chairil Anwar dengan pertama-tama menganalis beberapa kata yang ada di dalamnya yang berkaitan dengan bahasa percakapan dan kebudayaan di Medan. Setelah itu baru ditarik suatu kesimpulan akan makna apa yang terkandung di dalamnya. Marilah kita terlebih dahulu memperhatikan konstruksi dan pilihan kata dalam sajak-sajak Chairil Anwar yang tampak sangat bervariasi, eksperimental dan inovatif serta memberikan berbagai makna. Dalam Penghidupan Chairil berkata:

Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji tenaga pematang kita
mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahagia
kecil setumpuk,
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk. Desember 1942

Lautan maha dalam sudah lazim, bahkan cederung klise. Tapi tiba-tiba kita dikejutkan oleh mukul dentur selama, konstruksi kalimatnya sungguh luar biasa meskipun untuk sebuah ragam percakapan. “Mukul kau, ya? Kuhajar nanti, berdentur kepalamu ke dinding!” Atau “Bunyi apa kudengar berdentur-dentur, tu!” Untuk kata “selama”, misalnya: “Beginilah piilmu selama, ha?! Tak tahanlah aku!” Jadi, pilihan kata “mukul”, “dentur”, “selama” memang dikenal dalam bahasa percakapan di Medan, tapi kata-kata dari ragam percakapan itu telah digiring Chairil ke gaya personalnya! Konstruksi kalimat mukul dentur selama memang khas Chairil untuk pengertian yang dimaksudkannya: “Lautan yang maha dalam itu gelombangnya memukul-mukul pantai atau tebing, bendentur-dentur bunyinya setiap masa, gunanya untuk menguji seberapa kuat tenaga pematang kita.” Konstruksi kalimat dengan penempatan “selama” seperti itu, tampak begitu khas. Ia memang lazim dalam BMM (Bahasa Melayu Medan) tapi tidak dalam BI. Dalam BMM “selama” bisa berfungsi sebagai ajektiva, sedang dalam BI lebih sebagai partikel atau kata sambung saja.

Jelas, Chairil faham betul menempatkan bahasa percakapan itu dalam sajaknya yang liris dan untuk apa dia melakukan, padahal resikonya terlalu besar. Salah-salah bisa dituduh “membuat kekacauan baru”, “memperkosa bahasa”, “bahasa yang sangat buruk” dan sebagainya. Dalam sajak Penghidupan ini Chairil memulai dengan ungkapan yang sudah sangat dikenal bahkan cederung klise, Lautan maha dalam. Semua orang tahu itu. Tak ada anehnya. Dan kita cenderung mengabaikannya atau tidak memperhatikannya. Tapi tatkala membaca larik kedua, mukul dentur selama, kita mulai dan betul-betul tertegun. Kalimat itu tak biasa. Kita mulai menguras kuriositas kita, keingintahuan kita. Apa maknanya itu, dan untuk apa “kata-kata yang kacau” atau “kata-kata yang tak dikenal” tiba-tiba muncul setelah pernyataan yang begitu biasa. Inilah sebuah terapi bahasa dari seorang penyair.

Ia seperti sangat minta perhatian atas sesuatu yang sudah mapan, yang sudah karatan, yang sudah kuno, yang sudah membosankan, yang sudah basi, lautan maha dalam. Kita cenderung melecehkan, menyepelekan, apanya yang aneh. Tak ada! Tapi penyair tahu betul itu. Ia lalu membuat kejutan, mukul dentur selama, Apa artinya itu?! Kita penasaran. Kata-kata itu mengusik keigintahuan kita. Mungkin membolak-balik kamus. Atau bertanya ke sanake mari. Apa arti mukul atau kenapa ia mengatakan mukul. Dentur itu apa. Kalau berdentur mungkin kita tahu. Dan selama, ah! Selama. Ini tidak biasa. Apa yang tak biasa. Kata-katanya? Bukan! Penempatannya. Kenapa ditempatkan di akhir kalimat?

Jika saja Chairil melanjutkan dengan gaya yang kuno seperti larik pertama, misalnya dengan “ombaknya memukul-mukul tebing dan pasir pantai bergemuruh setiap saat”, kita akan menampik sajak itu dengan kesal. Tetapi karena larik kedua itu tidak bicara seperti itu, malah berhasil menarik minat kita dengan caranya yang tidak biasa tadi, setelah memahami artinya, hati-hati dia melanjutkan nguji tenaga pematang kita. Rupanya kelakuan lautan maha dalam itu, yang sudah karatan itu, ada hubungannya dengan “kita”.

Ternyata lautan maha dalam adanya dalam diri kita, hati, perasaan, pikiran, yang senantiasa memukul-mukul, yang setiap saat berdentur-dentur dalam darah dan daging kita. Hati manusia, pusat emosi dan intelektual manusia, segumpal darah, segumpal daging yang ada dalam setiap batang tubuh manusia, adalah lautan maha dalam. Namun “sedalam-dalam lautan boleh diduga, dalam hati siapa tahu”.

Inilah yang ingin diungkapkan Chairil. Hati manusia, meskipun telah bekerja secara rutin dan klise, telah kuno, namun dia tetap setiap saat memukul-mukul darah dan daging kita, mempengaruhi kita, menjebak kita. Setiap saat dari masa ke masa, ia selalu dapat mempebaharui gaya pukulannya, teknik denturnya terhadap darah daging kita, nguji tenaga pematang kita. Disesuaikannya bahan ujiannya dengan tingkat dan kadar emosi dan intelektual kita, lebih jauh orang per orang. Dahulu, seseorang yang ingin mengambil hak orang lain, harus mengandalkan tenaga dan kekuatan, sekarang cukup dengan online di internet, mengklik salah satu situs, tak lama kemudian akan datang “rejeki tak terduga” ke tempat kita.

Seorang kuli di pelabuhan perlu “bersimbah peluh” untuk melakukan “korupsi” mengutipi ceceran bahan-bahan yang tak laku dijual, seorang presiden cukup dengan sekilas pandang, atau hanya seungkap kata sindir, dan para ajudan akan cukup maklum ke mana arahnya, tak menunggu lama “isi hati” Sang Tuan Presiden akan menjadi kenyataan.Dengan begitu tema sajak ini bisa begitu besar. Mau mukul dentur kezaliman demi kezaliman yang melanda negerinya hingga hancur remuk redam.

Demikianlah sebuah sajak yang pendek seperti Penghidupan itu, maknanya dapat diulur panjang dan up to date hingga sekarang padahal ditulis lebih setengah abad yang lalu. Ia seperti tembus pandang melihat problema bangsanya. Kata-kata hingga hancur remuk redam yang tampak dituliskan atau diucapkan secara klise dan terus terang di tengah-tengah kata-kata “baru”, juga tampaknya mempunyai sindiran tertentu.

Penyair sekaliber Chairil Anwar yang sangat dikenal usil dalam pilihan kata, yang tahan mengantongi sebuah sajak berbulan-bulan sebelum diumumkan, suka mengubah dan mencoret kata-kata bahkan dalam sebuah sajak yang sudah jadi, tak mungkin tak memperhitungkan kata yang begitu klise hingga hancur remuk redam dapat masuk ke dalam sajaknya begitu saja. Chairil sangat memahami bahwa apresiasi masyarakat terhadap sastra Indonesia modern masih terbatas dan baru mulai tumbuh. Masyarakat masih terbiasa dengan bentuk-bentuk konvesional dan masih ingin meneruskannya karena terasa enak dan dapat dipakai sebagai media hiburan meskipun selalu diulang-ulang sehingga misinya menjadi klise.

Padahal sastra bukanlah semata media hiburan belaka tapi juga harus berisi hikmah-hikmah hidup, memuat persoalan bangsa dan pemecahannya. Sementara kondisi dan situasi zaman terus berkembang dan berubah. Dan tentu saja sastra sebagai salah satu media ekspresi mesti mengambil peran dan peduli terhadap nasib dan problema bangsa dan negaranya. Karya sastra tak harus berindah-indah saja, menekankan pada keenakan dan pengisi waktu luang belaka tapi juga sekaligus harus bermanfaat dan menyugukan misinya secara segar dan mengamati perkembangan.

Selanjutnya, Chairil sebagai pembaharu pada satu sisi ingin menuntaskan mencabut akar tradisi sehabis-habisnya baru dengan demikian lahan dapat diolah dengan semangat dan penuh kesegaran. Tapi kemudian dia sadar bahwa hal ini tidak mudah dilakukan. Sebagaimana dikatakan oleh Jassin, “Chairil mau membikin perhitungan habis-habisan dengan tradisi dalam seni masyarakat, tapi tradisi lebih kuat daripadanya. Kelihatan dia kadang kembali pada tradisi, tapi lebih kaya, lebih berisi dari semula.” (Jassin, 1985: 29).

Dari tindakan dan prilaku serta karya-karyanya, kelihatan bahwa Chairil menginsyafi sesungguhnya tidak mungkin “membikin perhitungan habis-habisan dengan tradisi” karena seorang manusia walau bagaimana pun tidak dapat hidup dari nol tapi sedikit banyaknya harus memulai dan melanjutkan yang sudah ada. Paling-paling dia memilih, memilah, memperbaharui yang telah ada dan itulah sesungguhnya yang dilakukannya.

Dalam kehidupannya sendiri, Chairil punya ayah yang menyekolahkan dan memanjakannya, punya ibu sangat disayanginya, punya Oom Syahrir yang memotivasinya, punya agama yang diyakininya, punya lingkungan budaya yang menimang dan membesarkanya. Walau bagaimana pun semua itu ikut membentuk diri dan kepribadiannya, suka atau tidak suka. Dengan perasaan dan kesadarannya, dia harus meneruskan semua itu dengan caranya. Dia meninggalkan ayahnya karena berpihak kepada ibunya, tapi bagaimana pun bekas-bekas yang telah digariskan ayahnya tak mungkin hilang. Dia mengikuti ibunya tapi tak semua pribadi ibunya bisa diturutinya.

Chairil punya Oom Syahrir yang sangat dibanggakannya, tapi sebatas motivasi kebudayaan dan bahan bacaan yang digandrunginya. Tidak berkecimpung dalam politik kebangsaan sebagaimana yang diperjuangkan Sang Politikus dan Negarawan itu. Chairil pun meninggalkan kantong budaya yang melahirkan dan mendewasakannya, namun tidak berarti dan tidak mungkin sama sekali menghapuskan darah daging dan kepribadian yang telah membentuknya walau bagaimana pun pengaruh budaya yang diperolehnya di tempatnya yang baru.

Secara intrinsik Chairil ingin mengubah pola persajakan dan kebiasaan para pujangga sebelumnya, seperti Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang sangat gemar menggunakan kata-kata klise. Dalam sajak yang begitu pendek, ia sengaja meyempatkan menyelang-seling kata-kata klise dengan kata-kata dan bentuk yang justru baru atau belum dikenal. Dengan demikian Chairil ingin mukul dentur kata-kata klise itu hingga hancur remuk redam selama-lamanya. Sehingga muncullah kata-kata baru yang segar sebagaimana yang telah dilakukannya dengan berbagai eksprimen dan inovasi.

Chairil memang tampak tidak menyembunyikan kebosanannya terhadap kata-kata usang yang selalu dipakai para penyair pendahulunya yang itu-itu saja, seperti yang ia sebut dalam sajak Kenangan. Ada satu kata yang tampak istimewa yaitu mereksmi. Kata itu sepintas diambil dari perbendaharaan kitab Hindu. Sanusi Pane pernah mengambil kata laksmi untuk sajaknya Teratai. Kata laksmi jelas ada sosoknya, nama dewi, istri Dewa Wisnu. Dan kita tahu bahwa Sanusi Pane orientasinya memang ke filsafat dan mistik Timur, terutama India. Chairil tak pernah menampakkan indikasi ke arah itu. Tak tertarik ke dunia filsafat klasik dan mistik. Dan tampaknya tak pernah tertarik kepada Sanusi Pane sebagai pendahulunya. Kata mereksmi bukanlah kembaran laksmi. Bukan nama dewi atau nama siapa-siapa. Isi sajak Kenangan itu pun tampak mengarah ke ketidaksenangan terhadap dunia lama itu.

Kadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah1 Tercebar rasanya diri
Membubung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia. 19 April 1943


Apa yang dimaksud Chairil dengan jeriji itu-itu saja, sehingga membosankannya? Padahal di lain pihak mereksmi begitu memberi warna terhadap benda usang yang sudah dilupa. Kata mereksmi menjadi menarik perhatian karena mirip laksmi. Laksmi, menyimak ke sajak Sanusi Pane di atas adalah simbol dunia lama, dunia itu-itu saja. Jadi sementara dapat disimpulkan mereksmi berasal dari atau yang menyenangi laksmi.

Di Medan, sekitar tahun 1930-1950-an, pernah hidup berbagai “bahasa rahasia” di kalangan para pemuda. Kata-kata dipelesetkan seolah-olah seperti bahasa Belanda. Setidaknya ada dua pola yang dikenal. Misalnya ka van ul artinya kau; ka ver pan artinya kapan Yang lebih praktis adalah pada kata-kata tertentu di huruf akhirnya ditambah dengan sye atau se, misalnya Apsye kau bilse? maksudnya Apa kau bilang? HB Jassin dalam bukunya “Analisa” ketika mengulas sebuah cerita pendek mengakui adanya “bahasa rahasia” ini dan banyak hidup di berbagai tempat di daerah. Ia menyayangkan berbagai “bahasa rahasia” itu kurang dipelihara sehingga dikhawatirkannya akan musnah.

Tentu Chairil, ketika masih berada di Medan, mengetahui adanya berbagai “bahasa rahasia” ini. Dan kata yang sebiji ini: mereksmi, adalah salah satu kata dari “bahasa rahasia” itu. Artinya: mereka. Sebagai penyair, Chairil tidak mengikuti ragam yang sudah ada, misalnya menuliskannya menjadi merverkan atau merekse, “bahasa rahasia” di Medan itu, tapi mereksmi, lagi pula ia punya maksud supaya sebunyi dengan laksmi. Dalam Teratai Sanusi Pane menulis: Daun berseri Laksmi mengarang. Lalu Chairil menyergah: Mereksmi memberi warna/Benda usang dilupa. Mereka mengarang hanya dengan tak bosan-bosan memberi warna terhadap benda usang yang sudah dilupa. Artinya: hanya “melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat” seperti yang tertulis dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, “tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat”. Sebagaimana renung Chairil dalam larik sajak itu juga:

Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Ya, begitu banyak buah atau masalah hidup yang masih segar untuk diolah dan dirasakan, mengapa harus Kembali di itu-itu saja?

Hal ini dapat pula kita lihat dengan jelas dan lebih blak-blakan pada sajaknya 1943, sekaligus angka tahun yang sangat subur dalam kepenulisan Chairil. Di sini Chairil tak melakukan inovasi dan eksperimen tentang kata sebagaimana dilakukannya dalam sajak terdahulu Penghidupan dan Kenangan itu. Sajak 1943 itu diksi dan idiomnya boleh dikatakan memenuhi standar “bahasa yang baik dan benar” dan masih kental dengan gaya Medan. Racun berada di reguk pertama/Membusuk rabu terasa di dada/Tenggelam darah dalam nanah/Malam kelam-membelam.

Tapi di sini ia melakukan inovasi bentukan bait dan larik yang begitu revolusioner sehingga tak ada satu penyair pun sebelumnya, pada masanya, dan sesudahnya melakukan hal seperti itu, kecuali lebih dari tiga puluh tahun kemudian sebagaimana yang dilakukan oleh Sutardji Calzoum Bachri.
1943
Racun berada direguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam membelam
Jalan kaku lurus. Putus
Candu.
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh.
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku. 1943

Kalau diteliti tampak dengan nyata Chairil ingin mengubah dan mendobrak sesuatu yang hanya menyediakan racun baginya dan bagi generasi selanjutnya. Sehingga membusuk rabu dan tenggelam dalam darah dan nanah. Mengikut kebosanan Chairil terhadap karya yang kembali ke itu-itu saja maka di sini Chairil mengumumkan kredonya secara blak-blakan. Karya-karya mereka tak lebih seperti malam kelam membelam atau seperti jalan kaku lurus. Sehingga harus diputus. Karya-karya seperti itu hanya semaca candu bagi masyarakat, sehinga harus ditumbangkan, meski oleh karenanya Tanganku menadah patah atau luluh, atau terbenam atau sekalipun hilang atau lumpuh. Supaya generasi baru yang memberikan udara penyegaran akan lahir, tegak, meski apapun halangannya untuk membuatnya berderak, rubuh, runtuh.

Ia harus melawan, Mengaum. Mengguruh, bukan itu saja tetapi harus menentang. Menyerang, supaya terjadi pembaharuan dan mengalami proses kuning, merah, hitam, sehingga karya-karya model mereka yang telah usang itu menjadi kering, tandus, rata-rata sehingga Dunia melihat jelas bahwa kau pujangga lama di depan aku jadi terpaku. Sehingga hancur remuk redam. Mengapa sajak itu diberinya judul 1943, sedangkan tak ada kena mengena dengan isi sajak ialah bahwa pada tahun itu Chairil telah merasa cukup kuat dengan puluhan sajaknya.Harus dicatat bahwa tahun itu saja ia telah menulis lebih tiga puluh sajak, atau tepatnya 32 sajak.Satu hal yang tak pernah terulang dalam masa kreativitasnya selama 7 tahun itu dengan total keseluruhan hanya 70 sajak.

Kalau saja Rosihan Anwar atau H.B. Jassin awas akan hal ini, dan tidak terlalu mengaitkan kebangkitan sastra dengan kebangkitan politik, maka angkatan di mana Chairil jadi pelopornya seharusnya bernama Angkatan 43 di mana sajak 1943 dapat dijadikan sebagai tonggak! Sebagian besar sajak Chairil justru memadu tradisi lama dengan segala yang baru mempengaruhinya dan yang dipungutnya dalam perjalanan hidup dan pengembaraan batinnya. Ia dengan berani membuat eksperimen dan inovasi sehingga seolah kita berada dalam ruangan “pas bebas”, seperti yang terkesan pada sajak 1943 itu. Di sana, dalam proses pemaduan itu dia bisa membentangkan segala macam ironi dan tragedi kehidupan.Yang paling penting pendedahan sikap, wawasan, cita, gagasan yang digeluti dan diperjuangkannya.

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Chairil sadar betul memakai ungkapanungkapan konvensional, dan memadunya dengan diksi dan idiom baru yang dibentuknya dari hasil eksperimen dan inovasinya/Semua ini tidak terlepas dari akar kata yang berasal dari budaya yang mendewasakanya. Diksi dan idiom yang digunakanya sudah dikenalnya betul dan sudah menjadi naluri dan darah dagingnya. Dengan kematangannya itu, ia menyesuaikannya menjadi simbol yang khas miliknya sehingga tampak menyatu.


damiri mahmud

Profil Sastrawan

Arifin C. Noer dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941, dan meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995. Pendiri Teater Kecil ini menulis puisi, drama, dan menyutradarai sejumlah film. Karya-karyanya anatara lain: Nurul Aini (1963), Mega-mega (1967), Kapai-kapai (1967; diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris), Prita Istri Kita, Umang-umang, Selamat Pagi Jajang (1979).

Armijn Pane dilahirkan di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 18 Agustus 1908, dan meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970. Antara 1933-55 pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Balai Pustaka, dan majalah Indonesia. Novelnya, Belenggu (1940), hingga saat ini dipandang sebagai peretas penulisan novel Indonesia modern. Karya-karyanya yang lain: Jiwa Berjiwa (1939), Kort overzicht van de Moderne Indonesische Literatuur (1949), Kisah Antara Manusia (1953), Jinak-jinak Merpati (1953), Gamelan Jiwa (1960), Tiongkok Zaman Baru, Sejarahnya: Abad ke-19 Sekarang (1953). Ia pun menerjemahkan dan menyadur novel dan drama, yaitu: Membangun Hari Kedua (1956; Ilya Ehtenburg) dan Ratna (1943; Hendrik Ibsen).

Asrul Sani dilahirkan di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926. Lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (1955) ini pernah menjadi redaktur Pujangga Baru, Gema Suasana, Gelanggang, dan Citra Film. Karya-karya aslinya adalah: Tiga Menguak Takdir (1950; bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin), Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat (1972), Mantera (1975), Mahkamah (1988). Selain banyak menulis skenario dan menyutradarai film, ia dikenal sebagai penerjemah andal dan produktif. Karya-karya terjemahannya, antara lain: Laut Membisu (1949; Vercors), Pangeran Muda (1952; Antoine de Saint Exupery), Enam Pelajaran bagi Calon Aktor (1960; Richard Bolslavsky), Rumah Perawan (1977; Kawabata Yasunari), Villa des Roses (Willem Elschot), Puteri Pulau (1977; Maria Dermout), Kuil Kencana (1978; Yukio Mishima), Pintu Tertutup (1979; Jean Paul Sartre), Julius Caesar (1979; William Shakespeare), Sang Anak (1979; Rabindranath Tagore); Catatan dari Bawah Tanah (1979; Dostoyevsky), Keindahan dan Kepiluan (1986; Nikolai Gogol).

BM Syamsuddin dilahirkan di Natuna, Kepulauan Riau, 10 Mei 1935, dan meningal di Bukitttingi, 20 Februari 1997. Karya-karyanya berupa puisi dan cerpen dimuat di antaranya di Kompas dan Suara Karya Minggu. Selain sejumlah buku cerita anak, ia menulis antara lain: Seni Lakon Mendu Tradisi Pemanggungan dan Nilai Lestari (1995) dan Seni Teater Tradisional Mak Yong.

Budi Darma dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937. Meraih M.A. dan Ph.D di Indiana University, Bloomington, Amerika Serikat. Novelis yang pernah menjadi Rektor IKIP Surabaya ini meraih SEA Write Award pada 1984. Karya-karyanya: Orang-orang Bloomington (1980), Solilokui (1983), Olenka (1983; pemenang pertama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1980 dan Hadiah Sastra DKJ 1983), Sejumlah Esai Sastra (1984), Rafilus (1988), Harmonium (1995), Ny Talis (1996). Sebuah cerpennya, “Derabat”, terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1999 dan dipublikasikan pada buku berjudul sama.

Bur Rasuanto dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan, 6 April 1937. Karya-karya salah seorang penanda tangan utama Manifes Kebudayaan dan doktor dalam bidang filsafat ini adalah: Bumi yang Berpeluh (1963), Mereka Akan Bangkit (1963; meraih Hadiah Sastra Yamin, namun ditolak pengarangnya), Mereka Telah Bangkit (1966), Sang Ayah (1969), Manusia Tanah Air (1969), Tuyet (1978; mendapat hadiah utama Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1978).

BY Tand dilahirkan di Asahan, Sumatera Utara, 10 Agustus 1942. Karya-karyanya: Ketika Matahari Tertidur (1979), Sajak-sajak Diam (1983), Sketsa (1984; memenangkan Hadiah Utama Hadiah Puisi Putra II Malaysia), Alif Ba Ta (t.t.), Khatulistiwa (1981), Titian Laut I, II, III (1982; terbit di Malaysia), Si Hitam (1990), dan antologi Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (Suratman Markasan [ed.]).

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922, dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, sastrawan yang oleh H.B. Jassin dinobatkan sebagai Pelopor angkatan 45 dalam puisi itu, mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946). Kumpulan puisi penyair yang pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana ini adalah Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950; bersama Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Derai-derai Cemara (1998). Karya-karya terjemahannya: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948; Andre Gide), Kena Gempur (1951; John Steinbeck). Penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa Inggris dan Jerman dilakukan Burton Raffel, Chairil Anwar: Selected Poems (New York: 1963) dan The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (New York: 1970), Liaw Yock-Fang (Singapura: 1974), Walter Karwath, Feur und Asche (Wina: 1978). Karya-karya studi tentang Chairil Anwar antara lain dilakukan oleh: S.U.S. Nababan, A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar (New York: 1976), Boen S. Oemarjati, Chairil Anwar: the Poet and His Language (Den Haag: 1972).

Chairul Harun dilahirkan Kayutanam, Sumatera Barat, Agustus 1940, dan meninggal di Padang, 19 Februari 1998. Karya-karyanya antara lain: Monumen Safari (1966) dan Warisan (1979; novel penerima hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1979)

D. Zawawi Imron dilahirkan di Sumenep, Madura, 1946. Karya-karya penyair yang meraih Hadiah Utama dalam lomba penulisan puisi AN-Teve pada 1995 ini, antara lain: Semerbak Mayang (1977), Madura Akulah Lautmu (1978), Celurit Emas (1980), Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Nenek Moyangku Airmata (1985; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K, 1985), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Madura Akulah Darahmu (1999).

Damiri Mahmud dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 1945. Karya-karyanya: Tiga Muda (1980), Aku Senantiasa Mencari (1982), Sajak-sajak Kamar (1983), Kuala (1975), Puisi (1977), Rantau (1984). Puisi-puisinya dimuat pula di Horison, Basis, Republika, dan lain-lain.

Danarto dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940. Karya-karya penerima SEA Write Award 1988 ini adalah: Godlob (1975), Adam Ma`rifat (1982; meraih Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Buku Utama pada tahun yang sama), Berhala (1987; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1987), Orang Jawa Naik Haji (1984), Obrok Owok-owok, Ebrek Ewek-ewek (1976), Bel Geduwel Beh (1976), Gergasi (1993), Gerak-gerak Allah (1996), dan Asmaraloka (1999).

Darman Moenir dilahirkan di Batusangkar, Sumatera Barat, 27 Juli 1952. Ia mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, pada 1988, dan empat tahun kemudian menerima Hadiah Sastra dari Pemerintah RI. Karya-karyanya antara lain: Gumam (1976), Bako (1983; novel pemenang hadiah utama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1980), Aku Keluargaku Tetanggaku (pemenenang kedua Sayembara Novel Kartini 1987), Jelaga Pusaka Tinggi (1997). Karyanya yang lain dapat ditemukan pula dalam antologi Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991; Suratman Markasan [ed.]).

Darmanto Jatman dilahirkan dilahirkan di Jakarta, 16 Agustus 1942. Karya-karyanya antara lain: Sajak-sajak Putih (1968), Ungu (1968; bersama A. Makmur Makka), Bangsat (1974), Sang Darmanto (1975), Ki Blakasuta Bla Bla (1980), Karto Iya Bilang Mboten (1981), Sastra, Psikologi, dan Masyarakat (1985), Sekitar Masalah Kebudayaan (1986), Golf untuk Rakyat (1994), Istri (1997). Sejumlah sajaknya, bersama sejumlah sajak penyair lain seperti Abdul Hadi WM dan Sutardji Calzoum Bachri, diterjemahkan Harry Aveling dan dipublikasikan dalam Arjuna in Meditation (1976).

Djamil Suherman dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur, 24 April 1924, dan meninggal di Bandung, 30 November 1985. Karya-karyanya berupa puisi, novel dan cerita pendek: Muara (1958; bersama Kaswanda Saleh), Manifestasi (1963), Perjalanan ke Akhirat (1963; memenangkan hadiah kedua Majalah Sastra 1962), Umi Kulsum (1983), Pejuang-pejuang Kali Pepe (1984), Sarip Tambakoso (1985), Sakerah (1985).

Ediruslan Pe Amanriza dilahirkan di Pekanbaru, Riau, 17 Agustus 1947. Kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung tidak ia selesaikan. Kumpulan puisinya: Surat-suratku kepada GN, Vogabon, Bukit Kawin, Wangkang. Sementara novel-novelnya: Di Bawah Matahari, Taman, Jakarta di Manakah Sri, Nakhoda (mendapat Hadiah Sayembara mengarang Roman DKJ 1977), Panggil Aku Sakai (1987) Ke Langit (1993), Koyan, Jembatan, Dikalahkan Sang Sapurba (2000). Kumpulan cerita pendeknya: Renungkanlah Markasan (1997).

Frans Nadjira dilahirkan di Makassar, 3 September 1942. Sastrawan yang juga pelukis ini pada 1979 mengikuti Iowa International Writing Program, di Iowa City, Amerika Serikat. Puisi dan cerpennya tersebar di berbagai media publikasi, antara lain di Horison, Sinar Harapan, Bali Post, AIA News (Australia), termasuk di beberapa antologi bersama Laut Biru Langit Biru, Puisi Asean, Tonggak, The Spirit That Moves Us (USA), On Foreign Shores, Teh Ginseng, A Bonsai’s Morning, dan Ketika Kata Ketika Warna. Kumpulan puisinya: Jendela dan Springs of Fire Springs of Tears, dan kumpulan cerpennya Bercakap-cakap di Bawah Guguran Daun.

Gerson Poyk dilahirkan di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, 16 Juni 1931. Peserta angkatan pertama dari Indonesia pada International Writing Program di Iowa University Amerika Serikat ini, memenangkan Hadiah Adinegoro pada 1985 dan 1986, dan SEA Write Award pada 1989. Novel dan kumpulan cerita pendeknya, antara lain: Hari-hari Pertama (1968), Sang Guru (1971), Matias Ankari (1975), Oleng-kemoleng & Surat-surat Cinta Rajaguguk (1975), Nostalgia Nusatenggara (1976), Jerat (1978), Cumbuan Sabana (1979), Seutas Benang Cinta (1982), Giring-giring (1982), Di Bawah Matahari Bali (1982), Requiem untuk Seorang Perempuan (1983), Anak Karang (1985), Doa Perkabungan (1987), Impian Nyoman Sulastri dan Hanibal (1988), Poti Wolo (1988).

Goenawan Mohamad dilahirkan di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Pemimpin redaksi majalah Tempo selama 23 tahun yang juga mantan wartawan harian Kami ini dikenal luas sebagai penyair dan penulis esai yang sangat cerdas. Karya-karyanya antara lain: Pariksit (1971), Potret Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (1972), Interlude (1973), Seks, Sastra, Kita (1980), Catatan Pinggir (1982-91; empat jilid), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan ini, pada 1973 mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah RI, dan delapan tahun kemudian meraih SEA Write Award.

Hamid Jabbar dilahirkan di Kotagadang, Sumatera Barat, 27 Juli 1949. Karya-karya penyair yang pernah menjadi wartawan Indonesia Express, Singgalang, dan redaktur Balai Pustaka ini antara lain: Paco-Paco (1974), Dua Warna (1975; bersama Upita Agustine), Wajah Kita (1981), Siapa Mau Jadi Raja, Raja Berak Menangis, Zikrullah. Cerpennya, “Engku Datuk Yth. Di Jakarta” terpilih masuk ke dalam antologi Cerita Pendek Indonesia IV (1986; Satyagraha Hoerip [ed.]). Kumpulan puisinya terakhir: Super Hilang, Segerobak Sajak (1998; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama).

Hamka dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, dan meningal di Jakarta, 24 Juli 1981. Pernah memimpin majalah Pedoman Masyarakat, Gema Islam, Panji Masyarakat, dan hingga akhir hayatnya menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia. Karya-karya peraih gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar (Mesir) ini antara lain: Di Bawah Lindungan Ka`bah (1938), Merantau ke Deli (1938), Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939), Keadilan Ilahi (1941), Di Dalam Lembah Kehidupan (1941), Dijemput Mamaknya (1949), Menunggu Beduk Berbunyi (1950), Kenang-kenangan Hidup I-IV (1951-52), Lembah Nikmat (1959), Cemburu (1961), Cermin Penghidupan (1962), Ayahku (1967), dan sejumlah buku filsafat, etika, dan khotbah.

Hamsad Rangkuti dilahirkan di Titikuning, Sumatera Utara, 7 Mei 1943. Sastrawan yang hampir setiap tahun karyanya selalu masuk dalam kumpulan cerita pendek terbaik Kompas ini, hingga sekarang menjabat pemimpin redaksi majalah sastra Horison. Karya-karyanya: Lukisan Perkawinan (1982), Cemara (1982), Lampu Merah (1988; novel yang memenangkan hadiah harapan Sayembara Mengarang Roman DKJ 1980), Kereta Pagi Jam 5 (1994), dan Sampah Bulan Desember (2000).

Hartoyo Andangjaya dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 4 Juli 1930, dan meninggal di kota kelahirannya, 30 Agustus 1991. Karya-karya aslinya: Simphoni Puisi (1954; bersama D.S. Moeljanto), Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, et. al.), Buku Puisi (1973), Dari Sunyi ke Bunyi (1991; kumpulan esai peraih hadiah Yayasan Buku Utama Depdikbud 1993). Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (1976; Rabindranath Tagore), Kubur Terhormat bagi Pelaut (1977; Slauerhoff), Rahasia Hati (1978; Natsume Soseki), Musyawarah Burung (1983; Farid al-Din Attar), Puisi Arab Modern (1984), Kasidah Cinta (tt.; Jalal al-Din Rumi).

HS Djurtatap dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat, 2 Juni 1947. Sejak 1974 menjadi redaktur harian Pelita Jakarta. Karya-karyanya dimuat antara lain di Horison. Dua sajaknya dimuat dalam antologi Sajak-sajak Perjuangan dan Tanah Air (1995; Oyon Sofyan [ed.]).

Husni Djamaluddin dilahirkan di Mandar, Sulawesi Selatan, 10 November 1934. Karya-karyanya: Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku (1973), Anu (1974), Toraja (1979), Sajak-sajak dari Makassar (1974), Bulan Luka Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan antologi Puisi ASEAN Buku III (1978).

Ibrahim Sattah dilahirkan di Pulau Tujuh, Riau Kepulauan, 1943, dan meninggal di Pekanbaru, 19 Januari 1988. Karya-karya penyair berpendidikan terakhir kelas 1 SMA dan pernah menjadi dosen Universitas Islam Riau serta Wakil Kepala Pusat Penerangan Angkatan Bersenjata RI Riau/Sumatera Barat itu terkumpul dalam: Dandandid (1975), Ibrahim (1980), dan Hai Ti (1981).

Idrus dilahirkan di Padang, Sumatera Barat, 21 September 1921, dan meninggal di kota yang sama, 18 Mei 1979. Tahun 1965-79, mengajar di Universitas Monash, Australia. Penutur fasih yang pernah menjadi redaktur majalah Kisah dan Indonesia ini dikenal sebagai pelopor penulisan prosa dalam kesusastraan Indonesia modern. Karya-karya drama, cerita pendek, novel dan terjemahannya adalah: Dokter Bisma (1945); Kejahatan Membalas Dendam (1945), Jibaku Aceh (1945), Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948), Keluarga Surono (1948), Aki (1949), Perempuan dan Kebangsaan (1949), Dua Episode Masa Kecil (1952), Dengan Mata Terbuka (1961), Hati Nurani Manusia (1963), Hikayat Puteri Penelope (1973), Kereta Api Baja (1948; Vsevold Ivanov), Acoka (1948; G. Gonggrijp), Keju (1948; Willem Elschot), Perkenalan (1949; Anton Chekov, Luigi Pirandello, Guy de Maupassant, dan Jeroslav Hasek).

Idrus Tintin dilahirkan di Rengat, Riau, 10 November 1932. Ia pernah menjadi guru di SMAN II Pekanbaru dan mengasuh Sanggar Teater Bahana. Tiga kumpulan puisinya: Luput, Burung Waktu, dan Nyanyian di Lautan, Tarian di Tengah Hutan dikumpulkan kembali dalam Idrus Tintin: Seniman dari Riau Kumpulan Puisi dan Telaah (1996).

”Gema Tanah Air”, DR. H. B. Yassin


H. B. Jassin. Di mana berakhirnya mata seorang penyair?
Kau sudah lama sekali tahu, kuburan dia
Hanyalah nisan kata-katanya selama ini
Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur

..........

Paragraf pertama Sajak berjudul Keterangan karya Toto Sudarto Bachtiar [Gema Tanah Air, hal 165]


Kehidupan sastra tak pernah lepas dari kehidupan bangsa dan tanah air, itulah sebabnya sastra senantiasa mengalami perkembangan dengan segala pasang surutnya secara terus-menerus.

Untuk mengamati perkembangan tersebut tentu diperlukan dokumentasi lengkap. Dokumentasi bukan hanya akan berguna bagi para ahlinya, namun juga akan berfaedah bagi orang awam yang menaruh minat di bidang tersebut.

Dalam buku ”Gema Tanah Air”, DR. H. B. Yassin, kritikus sastra Indonesia yang sangat terpandang, secara berturut-turut telah mengumpulkan prosa dan puisi yang dipilih dari karya-karya para sastrawan Indonesia.

Setiap pengarang merupakan wakil dari jamannya, dan dengan karyanya ia pun mencerminkan gejolak situasi dirinya dan juga kehidupan di sekitarnya.

Bunga rampai perjalanan sastra di tanah air yang dirangkai H. B. Yassin ini telah mengalami cetak ulang 10 kali (setidaknya pada buku yang saya pegang, cetakan Balai Pustaka, sejak tahun 1948 hingga 1993 pada cetakan ke 10).

Ada banyak nama-nama penting dari para sastrawan dan karya-karyanya yang bisa kita pelajari dari buku ini sebagai catatan sejarah kesusastraan di tanah air. Sebut saja misalnya Chairil Anwar, Nugroho, Asrul Sani, Samiati Alisjahbana, Toto Sudarto Bachtiar, tentu masih banyak lagi yang lainnya.

Sedikit profil penulis :



H. B. Yassin, lahir 31 Juli 1917 di Gorontalo, Sulawesi Utara, Pendidikan beliau adalah di HIS Gorontalo, HBS-B 5 tahun Medan, tahun 1957/tamat FSUI. Tahun 1958-1959 studi Ilmu Perbandingan Kesusastraan di Yale University, Amerika Serikat. Mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia dalam bidang Sastra.

Karangan Asli : Angkatan 45 ; Tifa Penyair dan Daerahnya; Kesustraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei ; Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang ; Kesusastraan Dunia dalam Terjemahan Indonesia ; Angkatan 66, Heboh Sastra 1958 dan berbagai artikel di harian dan majalah.

Karya Terjemahan : Chushingura, oleh Sakai Sjiova ; Renungan Indonesia, oleh Sjahrasad ; Terbang Malam. Oleh A. De St Exupery ; Kisah-kisah dari Rumania ; Api Islam, oleh Syed Ameer Ali ; Certa Panji dalam Perbandingan, bersama Zuber Usman, oleh R.M.Ng. Poerbatjaraka ; Max Haverlaar, oleh Multatuli ; Kian Kemari-Indonesia dan Belanda dalam Sastra ; The Complete Poems of Chairil Anwar, dikerjakan bersama Liauw Yoek Fang ; dan Al Qur’anul Karim, Bacaan Mulia.

Judul Buku : Gema Tanah Air ; Prosa dan Puisi [1 dan 2]
Penulis : H.B. Yassin
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : 10, Jakarta 1993
Tebal : 278 Halaman

Akidah Gauzillah

Saja-sajak Akidah Gauzillah
( )
TANAHKU SEPI
tanahku sepi, menjangkau angin
di langit berlayar. telah habis serpihan
waktuku berpaling. namun segalanya
hanya mengarungi sia di medan senja
bayang-bayang tak mau pergi, melengkung
siluet. lagu-laguku berkaca di sana
tak peduli bulan menutupi malam
sepi yang sia-sia, merambahi malam
hingga aku pun tidur di pangkuan yang
kosong dan tertawa lagi dalam mimpi
berjalan dari langit ke langit
November 05, 2005
KEINGKARAN
terlalu banyak janji tak bisa ditunaikan
terlalu banyak harapan terhamparkan
daun-daun berserakan tak tersapu
dan angin pun pergi entah ke mana
yang berdiri di sini hanya panorama
kediaman
November 05, 2005
KEPADA JO
jangan menangis, jangan
walau air mataku telah berlari
menuju karang laut
tapi hatimu
biarlah menjadi gurun tak berbasah
menunggu hujan di taman kaktus
dan buah-buah berguguran di musimnya
esok akan ada yang datang
menghampirimu kala kau berbaring
tetapi bukan air mataku
November 05, 2005
PERJALANAN
deru kereta itu menungguku
padahal napasku telah berakhir
di ujung jalan, seberang danau
sebelum mencapainya
hidup seperti teh pahit, saat kau
mereguknya perlahan-lahan
dan biarkan tenggorokanmu bernyanyi
menarikan puisi dahaga
yang kau rindukan pada hijau
danau itu
segalanya terus berawal dan berawal
menjemput kematian semusim semi
tak terkira kita akan mengemasnya
sebelum malam tiba
aku tak tahu lagi kebebasan
yang mengepak burung-burung
bersarang di dada ini
meninggalkan gerbong-gerbong
yang terus berkejaran
mencari sepotong pintu hati
di keping jiwa
November 05, 2005
DEPRESI ANAK NEGERI
Aku kehilangan kata
untuk menggoreskan luka jiwa
yang biasanya menjadi grafik keresahan
Termenung di putaran waktu
apakah ada sedikit guna
merangkaki kebimbangan melewati musim-musim
dengan sekian ton dilema yang membusuk
sedang asa terus meradang
buta waktu pagi, siang, sore, dan malam
hanya terpaan panas matahari dirasa
hanya gemerlap bintang terdengar
dari pekik norak bocah-bocah
kampung abad ini
Depresi ini merampas kekayaan
tak bernilai sejak terpeti di nurani keluguan
hingga terpikul oleh ambisi kemudaan
lalu terguncang badai dunia yang disambut
meriah kanibal-kanibal globalisasi
aku tercincang di meja judi mereka
sebab aku bukan siapa-siapa
cuma seorang anak negeri yang suka
berteriak kemalu-maluan:
"Ibu Pertiwi, dalam setiap desah nafasku
terhembus kekayaan cita-cita dan energi
semangat anak bangsa
walau di telapak tangan ini hanya terlihat
selembar lima ribuan hasil menjual koran
untuk membayar SPP."

LAGU
kamar mayat ini,
aku berbaring di kehidupan,
jauh memandang lukisan
kosong, tak mengalun warna-warna
seperti Jamal D Rahman bernyanyi
pada piring-piring
dan aku membisikkan kenangan
tentang laki-laki kota
yang menciptakan not-not jiwa
di garis-garis bermediasi
atas nama fenomena
jalan cinta tak sebatas ruang yang
tertutup keabadian tahta sang derita
menunggu Hitler mengulurkan pedang
ke leher kekasih
dan aku tersenyum damai merentangkan tangan
bernyanyi, "oh, sayang, oh, sayang."
lalu terkuburlah di sini, pada nisan-nisan
kejiwaan yang terlepas dari analisa
riset dokter-dokter jiwa
menghembuskan napasku pada derita
yang tertawa di jendela pagi
dan tangis yang mengulum-ngulum senyum
di tepian malam, melayang-layang
antara Cikini dan kota-kota tua
kubuang hamparan puisi sepanjang jalan
merayapi merpati putih hingga ruh-ruh ini
menggelepar pada nyanyian
yang membungkus kenangan
satu ketenangan harapan
tak terbagi-bagi di antara kesadaran
luka yang neurosis
mendesis-desis
dan aku pun berakhir
sebagai lagu diri


Akidah Gauzillah dikenal sebagai cerpenis dan penyair yang sangat berbakat. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra pusat dan daerah, seperti Media Indonesia, Republika, Kompas, dan Majalah Sastra Horison. Sajak-sajaknya juga terkumpul dalam buku seri antologi puisi Surat Putih (Risalah Badai, 2001/2002), antologi cerpen Sastra Senja (Dewan Kesenian Jakarta, 2004), antologi cerpen Mencintaimu (Logung Pustaka, 2004), kumpulan cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara (Pusat Bahasa, 2005), kumpulan cerpen tunggal Bila Bintang Terpetik (Beranda Hikmah, 2004), dan Antologi Puisi Perempuan Penyair Indonesia/ (Risalah Badai, 2005).


GEMA::Kesadaran
Akidah Gauzillah
Halaman sebelumnyaLalu, di manakah peran Tuhan? Siapa sebenarnya yang membutuhkan atau dibutuhkan? Jika kejahatan dan kebaikan memang salah satu pasangan alamiah sepanjang keabadian atau kebahagiaan dan penderitaan memang tak pernah bisa tersisih salah satu untuk selamanya, apakah demikian pula tiada bedanya hidup dengan Tuhan atau tanpa Tuhan? Jadi apa yang diributkan orang-orang beragama tentang definisi kebenaran dan paling benar? Tidakkah segalanya hanya akan kembali pada satu muara: kebutuhan hidup yang diakui?
Seorang penyair yang juga kawan saya, Binhad Nurrohmat, suatu sore dalam percakapan biasa, mempertanyakan, mengapa Tuhan itu ada? Sebenarnya, jika kita jujur, sejak kecil pun pertanyaan itu telah bermain di alam pikiran kita, tetapi kita senantiasa terjebak pada perasaan Malin Kundang bila membiarkannya hidup dan berkembang seperti halnya fisik kita. Kita mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manis itu di buku-buku, di klab-klab studi, bahkan hingga ke perguruan tinggi tetapi kita cenderung lupa membuka kesadaran kita sendiri; apakah kita yakin secara sadar untuk memilih apakah Dia ada dalam hidup kita atau kita menciptakannya untuk ada? Dan jika, kesadaran kita menolaknya, yakinkah kita bahwa stabilitas mental kita akan terjaga dengan pilihan itu?
We have no choice, if no choose to choice.
Sanggar Hati, Maret 2005
Akidah Gauzillah. Lahir di Cibubur, Jakarta Timur, 20 Desember 1977. Selama ini menulis karya sastra di Horison, Media Indonesia, Syir’ah, Muslimah, Cakrawala, Puteri, dan aktif di media diskusi mejabudaya, Taman Ismail Marzuki. Buku-buku yang telah terbit antara lain antologi puisi komunal perempuan penyair SURAT PUTIH I dan II (Risalah Badai, 2001/2002), antologi cerpen Yang Dibalut Lumut (CWI, 2003), antologi cerpen Indonesia Mencintaimu (Logung Pustaka, 2004), antologi cerpen Majelis Sastra Asia Tenggara (Pusat Bahasa, 2005) dan kumpulan cerpen tunggal Bila Bintang Terpetik (Beranda Hikmah, 2004).

Friday 23 May 2008

6 PUISI ANAK RUMAH DUNIA

1.
MAAFKAN DOSA-DOSAKU IBU
Karya : Rosliana
Ibu maafkanlah dosa-dosaku
Karena aku telah melawan dan berbicara
Kasar kepadamu ibu
Ibu maafkanlah dosa-dosaku
Karena aku tidak mau menjadi anak yang durhaka
Ibu maafkanlah dosa-dosaku
Karena aku ingin menjadi anak yang soleh, pandai
Membantu orang tua dan tidak mau melawan kepada orang tua.
Ibu engkaulah segalanya bagiku
Ku berdoa kepada Allah agar dosa-dosaku terhadap ibu
Dapat diampunkan.
Ya allah, ampunilah dosa-dosaku terhadap ibuku
Ya Allah, maafkanlah kesalahanku terhadap ibuku
Ya Allah, hamba tidak akan mengulanginya lagi
Amin… amin… ya robal ‘alamiin.
Semoga dosa-dosaku diampuni Allah…
***
2.
BERDO’A
Karya: Abdul Goni
Ibuku yang telah memelihara dan membesarkan daku
Dan dia telah menyekolahkanku
Dia satu-satunya untukku
Yang merawat aku semenjak kecil
Aku akan mendoakan ibuku
Karna dia yangmengayun-ayun
Ketika aku masih kecil
Dan dia yang membesarkanku.
***
3.
IBUKU
Karya: Wahyudi
Betapa susah payahnya
Engkau melahirkan, mendidik, dan membesarkanku
Engkau adalah perisai hidupku
Engkau adalah cermin hidupku
Aku akan berbakti kepadamu
Aku akan menurut kepadamu
Aku akan melindungi dirimu
Surga ada di telapak kaki ibu.
***
4.
ILMU
Karya: S. Nadrotul Ain
Ilmu semua orang
Memerlukanmu
Aku belajar dengan tekun
Untuk mendapatkanmu
Buku adalah sumbermu
Bagai makanan
Yang kusantap setiap waktu
Tanpamu ilmu
Aku tak berguna
Di dunia ini.
***
5.
SENYUMAN MANIS
Karya: Rosliana
Senyumanmu…. Manis
Senyumanmu…. Indah
Bagaikan susu dan gula
Yang tercampur menjadi Saturday
Bila kau…..tersenyum
Rasanya maniiiiis sekali
Dan bila kau tertawa
Rasanya ria
***
6.
MENTARI
Karya: S. Nadrotul Ain
Hai mentari pagi
Hari ini kau datang tampak cerah sekali
Engkau datang tiap hari
Untuk sumber energi pribumi
Semua orang berlari pagi
Untuk menyehatkan diri
Tanpa kau, hai mentari
Di seluruh bumi ini
Akan mati tiada lagi.
***
BIODATA:
ROSLIANA: sekarang kelas 1 Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Serang. Suka teater, puisi, dan mengarang. Prestasinya lainnya adalah The Best Actress dalam Pesta Anak I Rumah Dunia tahun 2003, beberapa kali ikut pentas teater anak Rumah Dunia di Launching 1001buku di British Council-Jakarta tahun 2003, Indonesia Membaca di Jakarta Convention Centre tahun 2003, dan beberapa event perbukuan.
ABDUL GONI: Murid kelas 2 SMP Islam Darul Falah, Ciloang, Serang. Pernah ikut pentas teater anak Rumah Dunia di Jakarta Convention Centre. Kini sibuk dengan studinya.
WAHYUDI: Dia salah satu anak yang diberi beasiswa oleh Rumah Dunia saat masuk ke bangku SMP. Pernah di kelas 1 di SMP PGRI 1, Serang. Senang musik dan tergabung dalam kelompok musik Rumah Dunia. Sering ikut pentas teater Rumah Dunia.Tapi sekarang dia meninggalkan bangku sekolah dan memilih jadi pengamen di atas bus antar propinsi.
S. NADROTUL AIN: Sekarang kelas 2 di MTsN Serang. Hobi menulis dan teater, sering ikut pentas teater anak Rumah Dunia.

50 Puisi Untuk Anak


50 Puisi Untuk Anak
50 Lagu-Hati-Kesatuan
Tuhan Sempurna dan Anak Sempurna
oleh Sri Chinmoy
.

Aku berdoa kepada Tuhan
Setiap hari.
2.
Ibuku cantik.
3.
Ayahku kuat.
4.
Kecantikan ibuku, Mendebarkanku.
5.
Kekuatan ayahku
Melatih kehidupanku.
6.
Aku sayang sama semua orang.
7.
Aku tidak membenci siapapun.
8.
Aku percaya bahwa semua orang adalah orang yang baik.
9.
Pagi hari memberi sukacita
Di mataku.
10.
Malam hari memberi kedamaian
Di hatiku.
11.
Matahari mengundangku.
Aku takut pergi ke matahari,
Karena itu terlalu jauh.
12.
Bulan mengundangku.
Aku takut bahwa ketika aku berada di sana
Orang tuaku akan merindukanku,
Dan aku juga akan merindukan mereka.
13.
Bintang-bintang dan planet-planet mengundangku.
Aku takut bahwa ketika aku pergi ke mereka,
Mereka akan menahan aku bersama mereka
Untuk bermain dengan mereka
Dan mereka tidak akan memperbolehkan aku
Untuk pulang ke orang tuaku yang malang.
14.
Setiap pagi
Aku melihat sebuah bunga mawar yang sangat indah
Di dalam hatiku.

15.
Aku tidak akan pernah ingin tahu
Apakah itu keraguan dan kecumburuan.
16.
Aku tidak akan pernah ingin merasakan
Perasaan yang tidak aman di hatiku
Dan ketidakmurnian di pikiranku
Selama seluruh kehidupanku.
17.
Setiap malam Tuhan datang
Untuk melihat aku dalam mimpiku.
Dia mengatakan kepadaku:
“Anakku,
Kamu adalah anak baik sekali.
Teruslah seperti ini
Selama seluruh kehidupanmu.
18.
Satu hal yang paling penting
Yang Tuhan telah mengajarkan kepadaku:
Jika aku benar - benar sayang sama Tuhan,
Maka aku tidak akan pernah takut kepada Dia.
19.
Satu hal lagi yang penting
Yang Tuhan telah mengajarkan kepadaku:
Jika aku benar - benar membutuhkan Dia,
Maka Dia akan melakukan semuanya
Untuk membahagiakanku.

20.
Aku tidak pernah menjelek-jelekkan orang lain.
Menjelek-jelekkan orang lain, itu sangat tidak baik.
21.
Orang tuaku sangat baik kepadaku.
Mereka telah mengatakan kepadaku pikirkanlah Tuhan dahulu
Sebelum aku mengatakan sesuatu
Dan sebelum aku melakukan sesuatu.
22.
Orang tuaku telah mengatakan kepadaku
Untuk tidak pernah berbohong.
Aku mematuhi mereka.
23.
Orang tuaku telah mengatakan kepadaku
Untuk tidak pernah bertengkar,
Tidak akan pernah berkelahi.
Aku mematuhi mereka.
24.
Aku sangat sayang sama kasih-sayang,
Cinta-kasih dan keprihatinan ibiku untuk aku.
25.
Saya sangat sayang sama
Percaya diri dan tekad yang bulat ayahku.
Dia menjamin aku bahwa aku akan memiliki
Keduanya percaya diri dan tekad yang bulat seperti dia —
Bahkan lebih dari dia.
26.
Ibuku telah mengatakan kepadaku
Apakah itu doa:
Doa adalah sebuah tangisan
Untuk melihat Mata Tuhan.
27.
Ayahku telah mengatakan kepadaku
Apakah itu meditasi:
Meditasi adalah merasakan Hati Tuhan
Di dalam hatiku.
28.
Orang tuaku telah mengatakan kepadaku
Memaafkanlah orang lain.
Hal itu akan membuat saya sangat senang sekali.
Mereka sangat benar.
Aku adalah buktinya.
29.
Saya tidak suka sama sekali
Pikiranku yang gaduh.

30.
Aku sayang sekali
Sama hatiku yang ceria.
31.
Aku tidak mengeluh
Tentang siapapun.
Hal ini telah membuatku
Sangat senang.
32.

Tuhan dan aku sepenuhnya saling mempercayai.
Tuhan tidak lupa dengan hatiku
Walaupun hanya untuk sesaat.
Aku juga melakukan hal yang sama.
Aku tidak pernah lupa dengan Hati Tuhan.
Tidak pernah!


33.

Tuhan mengatakan kepadaku bahwa
Air mataku dan Senyum-Senyumannya
Adalah sama pentingnya.


34.

Tuhan menginginkan bahwa aku tinggal
Di dalam hati terus-menerus.
Dia sangat bangga sama aku
Bahwa aku dapat melakukan hal itu
Dengan mudah.


35.

Ketika aku mengatakan kepada Tuhan sambil bercanda
Bahwa kehidupanku adalah sebuah buku rahasia,
Tuhan menambah secara senyum dan dengan bangga,
“Juga sebuah buku suci.”




36.

Aku tahu bahwa Rahmat Tuhan
Telah membuat aku baik.
Tuhan menambah secara senyum dan dengan bangga,
“Tidak hanya baik saja,
Tetapi sangat baik sekali.”


37.

Tuhan mengatakan kepadaku
Untuk tidak membuat kesalahan yang serius sekali.
Aku harus sayang sama ibuku
Dan ayahku secara seimbang.


38.

Aku mengatakan kepada Tuhan:
“Aku sayang sama mereka secara seimbang,
seimbang, seimbang!”


39.

Ayahku mengatakan kepadaku
Bahwa kecantikanku
Berada di dalam mataku.


40.

Ibuku mengatakan kepadaku
Bahwa keharumanku
Berada di dalam hatiku.




41.

Tuhan, ketika Engkau melihat aku,
Aku mendapatkan sukacita yang amat sangat,
Tetapi ketika Engkau melihat ke dalam hatiku,
Aku menjadi sangat takut.

“Kenapa, anakku, kenapa?
Kamu tidak membuat suatu kesalahan.
Tetaplah senang dan teruslah senang
Manakala Aku melihat ke dalam hatimu.”


42.

Baru-baru ini, aku telah melihat
Sebuah kebun yang indah di dalam hatiku.
Aku telah mulai berdoa
Dan bermeditasi di dalam kebun tersebut,
Dan aku sangat gembira dan bahagia.


43.

Ibuku telah menasihatiku
Untuk berdoa kepada Tuhan
Untuk sebuah hati besar,
Sebuah hati yang sangat besar.
Aku sedang melakukan hal itu,
Dan aku merasakan sangat baik, baik sekali!


44.

Ayahku telah menasihatiku
Untuk berdoa kepada Tuhan
Untuk sebuah kepala yang kecil,
Sebuah kepala yang kecil sekali.
Aku sedang melakukan hal itu,
Dan aku merasakan sangat baik, baik sekali!




45.

Hari ini aku sangat diilhami
Utuk membuka
Rahasia-doaku
Dan rahasia-meditasiku.


46.

Ketika aku berdoa kepada Tuhan,
Aku mengepal tanganku dan menaruhnya
persis di dadaku
Dan aku mencoba mendengar denyut jantungku.
Aku melihat ke atas untuk menemukan sebuah tempat
Sepuluh feet, sekurang-kurangnya,
Lebih tinggi daripada kepalaku.
Ketika aku telah menyelesaikan semua hal ini,
Aku mulai berdoa.
Terus-terang saja, saya mendapatkan hasil luar biasa.


47.

Ketika aku bermeditasi kepada Tuhan,
Aku melakukan hal yang sama dengan tanganku,
Hanya, tidak melihat ke atas tapi ke dalam.
Aku melihat ke dalam hatiku selanjutnya
Aku melihat untuk suatu tempat yang suci dan hening
Di dalam hatiku.
Ketika semua ini usai,
Aku mulai bermeditasi.
Aku berani mengatakan bahwa hasilnya tidak bisa dibayangkan.


48.

Tuhan, Engkau telah membuatku anak Engkau yang sempurna.
Sebagai balasan apa yang aku dapat memberikan kepada Engkau?
Aku hanyalah seorang anak yang kecil;
Aku tidak punya apa-apa untuk memberikan kepada Engkau.




49.

Anakku,
Aku hanya membutuhkan satu hal dari kamu:
Sebuah senyuman yang manis dan imut.


50.

I also need another favour from you.
You will tell your parents
How happy and grateful you are to them
For bringing you into this world.
Still one more favour I need,
And this is the last favour
You will have to do for Me, My child.
You will have to claim Me all the time,
Not missing a second,
As your own, very own.

“God, I have already started.”

Aku juga membutuhkan sebuah bantuan dari kamu.
Kamu akan mengatakan kepada orang tuaku
betapa senangnya dan bersyukurnya kepada mereka
Untuk membawa kamu ke dunia ini.
Masih ada satu bantuan lagi yang Aku membutuhkan,
Dan ini merupakan bantuan yang terakhir
Yang kamu harus melakukan untuk Aku, anakku.
Kamu akan harus selalu mengakui Aku,
Tanpa kehilangan sedikitpun,
Sebagai kepunyaanmu, kepunyaanmu yang sesungguhnya.

“Tuhan, saya sudah mulai.”

PERLAWANAN SASTRA TAUFIK ISMAIL

Hari ini, Taufiq Ismail berbicara dihadapan dosen-dosen IPB. Makalah yang beliau baca sama dengan pidato Taman Ismail Marzuki yaitu : ‘Budaya Malu dikikis Gerakan Syahwat Merdeka’. Di penghujung pidatonya tadi, beliau mengusap airmatanya, sedih melihat kondisi yang terjadi.
Saya lampirkan tulisan beliau yang dahsyat menyentak kita semua:

Budidaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka

Pidato Kebudayaan Taufiq Ismail


Sederetan gelombang besar menggebu-gebu menyerbu pantai Indonesia, naik ke daratan, masuk ke pedalaman. Gelombang demi gelombang ini datang susun-bersusun dengan suatu keteraturan, mulai 1998 ketika reformasi meruntuhkan represi 39 tahun gabungan zaman Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pembangunan, dan membuka lebar pintu dan jendela Indonesia. Hawa ruangan yang sumpek dalam dua zaman itu berganti dengan kesegaran baru. Tapi tidak terlalu lama, kini digantikan angin yang semakin kencang dan arus menderu-deru.

Kebebasan berbicara, berpendapat, dan mengeritik, berdiri-menjamurnya partai-partai politik baru, keleluasaan berdemonstrasi, ditiadakannya SIUPP (izin penerbitan pers), dilepaskannya tahanan politik, diselenggarakannya pemilihan umum bebas dan langsung, dan seterusnya, dinikmati belum sampai sewindu, tapi sementara itu silih berganti beruntun-runtun belum terpecahkan krisis yang tak habis-habis. Tagihan rekening reformasi ternyata mahal sekali.

Bahana yang datang terlambat dari benua-benua lain itu menumbuh dan menyuburkan kelompok permissif dan addiktif negeri kita, yang sejak 1998 naik daun. Arus besar yang menderu-deru menyerbu kepulauan kita adalah gelombang sebuah gerakan syahwat merdeka. Gerakan tak bersosok organisasi resmi ini tidak berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa mendanainya, ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media massa cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya.

Siapakah komponen gerakan syahwat merdeka ini?

PERTAMA adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok dalam perilaku seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Sebagian berjelas-jelas anti kehidupan berkeluarga normal, sebagian lebih besar, tak mau menampakkan diri.

KEDUA, penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP. Mereka menjual wajah dan kulit perempuan muda, lalu menawarkan jasa hubungan kelamin pada pembaca pria dan wanita lewat nomor telepon genggam, serta mengiklankan berbagai alat kelamin tiruan (kue pancong berkumis dan lemper berbaterai) dan boneka karet perempuan yang bisa dibawa bobok bekerjasama.

KETIGA, produser, penulis skrip dan pengiklan acara televisi syahwat. Seks siswa dengan guru, ayah dengan anak, siswa dengan siswa, siswa dengan pria paruh baya, siswa dengan pekerja seks komersial ---- ditayangkan pada jam prime time, kalau pemainnya terkenal. Remaja berseragam OSIS memang menjadi sasaran segmen pasar penting tahun-tahun ini. Beberapa guru SMA menyampaikan keluhan pada saya. “Citra kami guru-guru SMA di sinetron adalah citra guru tidak cerdas, kurang pergaulan dan memalukan.” Mari kita ingat ekstensifnya pengaruh tayangan layar kaca ini. Setiap tayangan televisi, rata-rata 170.000.000 yang memirsa. Seratus tujuh puluh juta pemirsanya.

KEEMPAT, 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno Indonesia di internet. Dengan empat kali klik di komputer, anatomi tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus fisiologinya, dapat diakses tanpa biaya, sama mudahnya dilakukan baik dari San Francisco, Timbuktu, Rotterdam mau pun Klaten.

Pornografi gratis di internet luarbiasa besar jumlahnya. Seorang sosiolog Amerika Serikat mengumpamakan serbuan kecabulan itu di negaranya bagaikan “gelombang tsunami setinggi 30 meter, dan kami melawannya dengan dua telapak tangan.”

Di Singapura, Malaysia, Korea Selatan situs porno diblokir pemerintah untuk terutama melindungi anak-anak dan remaja. Pemerintah kita tidak melakukan hal yang sama.

KELIMA, penulis, penerbit dan propagandis buku syahwat ¼ sastra dan ½ sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya penulis pria. Di Indonesia, penulis yang asyik dengan wilayah selangkang dan sekitarnya mayoritas penulis perempuan. Ada kritikus sastra Malaysia berkata: “Wah, pak Taufiq, pengarang wanita Indonesia berani-berani. Kok mereka tidak malu, ya?” Memang begitulah, RASA MALU ITU YANG SUDAH TERKIKIS, bukan saja pada penulis-penulis perempuan aliran s.m.s. (sastra mazhab selangkang) itu, bahkan lebih-lebih lagi pada banyak bagian dari bangsa.

KEENAM, penerbit dan pengedar komik cabul. Komik yang kebanyakan terbitan Jepang dengan teks dialog diterjemahkan ke bahasa kita itu tampak dari kulit luar biasa-biasa saja, tapi di dalamnya banyak gambar hubungan badannya, misalnya (bukan main) antara siswa dengan Bu Guru. Harganya Rp 2.000. Sebagian komik-komik itu tidak semata lucah saja, tapi ada pula kadar ideologinya. Ideologinya adalah anjuran perlawanan pada otoritas orangtua dan guru, yang banyak aturan ini-itu, termasuk terhadap seks bebas. Dalam salah satu komik itu saya baca kecaman yang paling sengit adalah pada Menteri Pendidikan Jepang. Tentu saja dalam teks terjemahan berubah, yang dikecam jadinya Menteri Pendidikan Nasional kita.

KETUJUH, produsen, pengganda, pembajak, pengecer dan penonton VCD/DVD biru. Indonesia kini jadi sorga besar pornografi paling murah di dunia, diukur dari kwantitas dan harganya. Angka resmi produksi dan bajakan tidak saya ketahui, tapi literatur menyebut antara 2 juta – 20 juta keping setahun. Harga yang dulu Rp 30.000 sekeping, kini turun menjadi Rp 3.000, bahkan lebih murah lagi. Dengan biaya 3 batang rokok kretek yang diisap 15 menit, orang bisa menonton sekeping VCD/DVD biru dengan pelaku kulit putih dalam 6 posisi selama 60 menit. Luarbiasa murah. Anak SD kita bisa membelinya tanpa risi tanpa larangan peraturan pemerintah.

Seorang peneliti mengabarkan bahwa di Jakarta Pusat ada murid-murid laki-laki yang kumpul dua sore seminggu di rumah salah seorang dari mereka, lalu menayangkan VCD-DVD porno. Sesudah selesai mereka onani bersama-sama. Siswa sekolah apa, dan kelas berapa? Siswa SD, kelas lima. Tak diceritakan apa ekses selanjutnya.

KEDELAPAN, fabrikan dan konsumen alkohol. Minuman keras dari berbagai merek dengan mudah bisa diperoleh di pasaran. Kemasan botol kecil diproduksi, mudah masuk kantong celana, harga murah, dijual di kios tukang rokok di depan sekolah, remaja dengan bebas bisa membelinya. Di Amerika dan Eropa batas umur larangan di bawah 18 tahun. Negeri kita pasar besar minuman keras, jualannya sampai ke desa-desa.

KESEMBILAN, produsen, pengedar dan pengguna narkoba. Tingkat keterlibatan Indonesia bukan pada pengedar dan pengguna saja, bahkan kini sampai pada derajat produsen dunia. Enam juta anak muda Indonesia terperangkap sebagai pengguna, ratusan ribu menjadi korbannya.

KESEPULUH, fabrikan, pengiklan dan pengisap nikotin. Korban racun nikotin 57.000 orang / tahun, maknanya setiap hari 156 orang mati, atau setiap 9 menit seorang pecandu rokok meninggal dunia. Pemasukan pajak 15 trilyun (1996), tapi ongkos pengobatan berbagai penyakit akibatnya 30 trilyun rupiah.

Mengapa alkohol, narkoba dan nikotin termasuk dalam kategori kontributor arus syahwat merdeka ini? Karena sifat addiktifnya, kecanduannya, yang sangat mirip, begitu pula proses pembentukan ketiga addiksi tersebut dalam susunan syaraf pusat manusia. Dalam masyarakat permissif, interaksi antara seks dengan alkohol, narkoba dan nikotin, akrab sekali, sukar dipisahkan. Interaksi ini kemudian dilengkapi dengan tindak kriminalitas berikutnya, seperti pemerasan, perampokan sampai pembunuhan. Setiap hari berita semacam ini dapat dibaca di koran-koran.

KESEBELAS, pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Dalam masyarakat permissif, iklan semacam ini menjadi jembatan komunikasi yang diperlukan.

KEDUABELAS, germo dan pelanggan prostitusi. Apabila hubungan syahwat suka-sama-suka yang gratis tidak tersedia, hubungan dalam bentuk perjanjian bayaran merupakan jalan keluarnya. Dalam hal ini prostitusi berfungsi.

KETIGABELAS, dokter dan dukun praktisi aborsi. Akibat tujuh unsur pertama di atas, kasus perkosaan dan kehamilan di luar pernikahan meningkat drastis. Setiap hari dapat kita baca kasus siswa SMP/SMA memperkosa anak SD, satu-satu atau rame-rame, ketika papi-mami tak ada di rumah dan pembantu pergi ke pasar berbelanja. Setiap ditanyakan apa sebab dia/mereka memperkosa, selalu dijawab ‘karena terangsang sesudah menonton VCD/DVD biru dan ingin mencobakannya.’ Praktisi aborsi gelap menjadi tempat pelarian, bila kehamilan terjadi.

Seorang peneliti dari sebuah universitas di Jakarta menyebutkan bahwa angka aborsi di Indonesia 2,2 juta setahunnya. Maknanya setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal akibat dari salah satu atau gabungan ketujuh faktor di atas. Inilah produk akhirnya. Luar biasa destruksi sosial yang diakibatkannya.

Dalam gemuruh gelombang gerakan syahwat merdeka ini, pornografi dan pornoaksi menjadi bintang panggungnya, melalui gemuruh kontroversi pro-kontra RUU APP.

Karena satu-dua-atau beberapa kekurangan dalam RUU itu, yang total kontra menolaknya, tanpa sadar terbawa dalam gelombang gerakan syahwat merdeka ini. Tetapi bisa juga dengan sadar memang mau terbawa di dalamnya.

Salah satu kekurangan RUU itu, yang perlu ditambah-sempurnakan adalah perlindungan bagi anak-cucu kita, jumlahnya 60 juta, terhadap kekerasan pornografi. Dalam hiruk pikuk di sekitar RUU ini, terlupakan betapa dalam usia sekecil itu 80% anak-anak 9-12 tahun terpapar pornografi, situs porno di internet naik lebih sepuluh kali lipat, lalu 40% anak-anak kita yang lebih dewasa sudah melakukan hubungan seks pra-nikah. Sementara anak-anak di Amerika Serikat dilindungi oleh 6 Undang-undang, anak-anak kita belum, karena undang-undangnya belum ada. KUHP yang ada tidak melindungi mereka karena kunonya. Gelombang Syahwat Merdeka yang menolak total RUU ini berarti menolak melindungi anak-cucu kita sendiri.

Gerakan tak bernama tak bersosok organisasi ini terkoordinasi bahu-membahu menumpang gelombang masa reformasi mendestruksi moralitas dan tatanan sosial. Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.

Menguji Rasa Malu Diri Sendiri

Seorang pengarang muda meminta pendapat saya tentang cerita pendeknya yang dimuat di sebuah media. Dia berkata, “Kalau cerpen saya itu dianggap pornografis, wah, sedihlah saya.” Saya waktu itu belum sempat membacanya. Tapi saya kirimkan padanya pendapat saya mengenai pornografi. Begini.

Misalkan saya menulis sebuah cerpen. Saya akan mentes, menguji karya saya itu lewat dua tahap. Pertama, bila tokoh-tokoh di dalam karya saya itu saya ganti dengan ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak atau adik saya; lalu kedua, karya itu saya bacakan di depan ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak, adik, siswa di kelas sekolah, anggota pengajian masjid, jamaah gereja; kemudian saya tidak merasa malu, tiada dipermalukan, tak canggung, tak risi, tak muak dan tidak jijik karenanya, maka karya saya itu bukan karya pornografi.

Tapi kalau ketika saya membacakannya di depan orang-orang itu saya merasa malu, dipermalukan, tak patut, tak pantas, canggung, risi, muak dan jijik, maka karya saya itu pornografis.

Hal ini berlaku pula bila karya itu bukan karya saya, ketika saya menilai karya orang lain. Sebaliknya dipakai tolok ukur yang sama juga, yaitu bila orang lain menilai karya saya. Setiap pembaca bisa melakukan tes tersebut dengan cara yang serupa.

Pendekatan saya adalah pengujian rasa malu itu. Rasa malu itu yang kini luntur dalam warna tekstil kehidupan bangsa kita, dalam terlalu banyak hal.

Sebuah majalah mesum dunia dengan selaput artistik, Playboy, menumpang taufan reformasi dan gelombang liberalisme akhirnya terbit juga di Indonesia. Majalah ini diam-diam jadi tempat pelatihan awal onani pembaca Amerika, dan kini, beberapa puluh tahun kemudian, dikalahkan internet, sehingga jadilah publik pembaca Playboy dan publik langganan situs porno internet Amerika masturbator terbesar di dunia. Majalah pabrik pengeruk keuntungan dari kulit tubuh perempuan ini, mencoba menjajakan bentuk eksploitasi kaum Hawa di negeri kita yang pangsa pasarnya luarbiasa besar ini. Bila mereka berhasil, maka bakal berderet antri masuk lagi majalah anti-tekstil di tubuh perempuan dan fundamentalis-syahwat-merdeka seperti Penthouse, Hustler, Celebrity Skin, Cheri, Swank, Velvet, Cherry Pop, XXX Teens dan seterusnya.

Untuk mengukur sendiri rasa malu penerbit dan redaktur Playboy Indonesia, saya sarankan kepada mereka melakukan sebuah percobaan, yaitu mengganti model 4/5 telanjang majalah itu dengan ibu kandung, ibu mertua, kakak, adik, isteri dan anak perempuan mereka sendiri. Saran ini belum berlaku sekarang, tapi kelak suatu hari ketika Playboy Indonesia keluar perilaku aslinya dalam masalah ketelanjangan model yang dipotret. Sekarang mereka masih malu-malu kucing. Sesudah dibuat dalam edisi dummy, promosikan foto-foto itu itu di 10 saluran televisi dan 25 suratkabar. Bagaimana? Berani? Malu atau tidak?

Pendekatan lain yang dapat dipakai juga adalah menduga-memperkirakan-mengingat akibat yang mungkin terjadi sesudah orang membaca karya pornografis itu. Sesudah seseorang membaca, katakan cerpen yang memberi sugesti secara samar-samar terjadinya hubungan kelamin, apalagi kalau dengan jelas mendeskripsikan adegannya, apakah dengan kata-kata indah yang dianggap sastrawi atau kalimat-kalimat brutal, maka pembaca akan terangsang.

Sesudah terangsang yang paling penakut akan onani dan yang paling nekat akan memperkosa. Memperkosa perempuan dewasa tidak mudah, karena itu anak kecil jadi sasaran. Perkosaan banyak terjadi terhadap anak-anak kecil masih bau susu bubuk belum haid yang di rumah sendirian karena papi-mami pergi kerja, pembantu pergi ke pasar, jam 9-10 pagi.

Anak-anak tanggung pemerkosa itu, ketika diinterogasi dan ditanya kenapa, umumnya bilang karena sesudah menonton VCD porno mereka terangsang ingin mencoba sendiri. Merayu orang dewasa takut, mendekati perempuan-bayaran tidak ada uang. Kalau diteliti lebih jauh kasus yang sangat banyak ini (peneliti yang rajin akan bisa mendapat S-3 lewat tumpukan guntingan koran), mungkin saja anak itu juga pernah membaca cerita pendek, puisi, novel atau komik cabul.

Akibat selanjutnya, merebak-meluaslah aborsi, prostitusi, penularan penyakit kelamin gonorrhoea, syphilis, HIV-AIDS, yang meruyak di kota-kota besar Indonesia berbarengan dengan akibat penggunaan alkohol dan narkoba yang tak kalah destruktifnya.

Akibat Sosial Ini Tak Pernah Difikirkan Penulis

Semua rangkaian musibah sosial ini tidak pernah difikirkan oleh penulis cerpen-puisi-novelis erotis yang umumnya asyik berdandan dengan dirinya sendiri, mabuk posisi selebriti, ke sana disanjung ke sini dipuji, tidak pernah bersedia merenungkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh tulisannya. Sejumlah cerpen dan novel pasca reformasi sudah dikatakan orang mendekati VCD/DVD porno tertulis. Maukah mereka membayangkan, bahwa sesudah sebuah cerpen atau novel dengan rangsangan syahwat terbit, maka beberapa ratus atau ribu pembaca yang terangsang itu akan mencontoh melakukan apa yang disebutkan dalam alinea-alinea di atas tadi, dengan segala rentetan kemungkinan yang bisa terjadi selanjutnya?

Destruksi sosial yang dilakukan penulis cerpen-novel syahwat itu, beradik-kakak dengan destruksi yang dilakukan produsen-pengedar-pembajak-pengecer VCD/DVD porno, beredar (diperkirakan) sebanyak 20 juta keping, yang telah meruyak di masyarakat kita, masyarakat konsumen pornografi terbesar dan termurah di dunia. Dulu harganya Rp 30.000 sekeping, kini Rp 3.000, sama murahnya dengan 3 batang rokok kretek. Mengisap rokok kretek 15 menit sama biayanya dengan memiliki dan menonton sekeping VCD/DVD syahwat sepanjang 6o menit itu. Bersama dengan produsen alkohol, narkoba dan nikotin, mereka tidak sadar telah menjadi unsur penting pengukuhan masyarakat permissif-addiktif serba-boleh-apa-saja-genjot, yang dengan bersemangat melabrak apa yang mereka anggap tabu selama ini, berpartisipasi meluluh-lantakkan moralitas anak bangsa.

Perzinaan yang Hakekatnya Pencurian adalah Ciri Sastra Selangkang

Akhirnya sesudah mendapatkan korannya, saya membaca cerpen karya penulis yang disebut di atas. Dalam segi teknik penulisan, cerpen itu lancar dibaca. Dalam segi isi sederhana saja, dan secara klise sering ditulis pengarang Indonesia yang pertama kali pergi ke luar negeri, yaitu pertemuan seorang laki-laki di negeri asing dengan perempuan asing negeri itu. Kedua-duanya kesepian. Si laki-laki Indonesia lupa isteri di kampung. Di akhir cerita mereka berpelukan dan berciuman. Begitu saja.

Dalam interaksi yang kelihatan iseng itu, cerpenis tidak menyatakan sikap yang jelas terhadap hubungan kedua orang itu. Akan ke mana hubungan itu berlanjut, juga tak eksplisit. Apakah akan sampai pada hubungan pernikahan atau perzinaan, kabur adanya.

Perzinaan adalah sebuah pencurian. Yang melakukan zina, mencuri hak orang lain, yaitu hak penggunaan alat kelamin orang lain itu secara tidak sah. Pezina melakukan intervensi terhadap ruang privat alat kelamin yang dizinai. Dia tak punya hak untuk itu. Yang dizinai bersekongkol dengan yang melakukan penetrasi, dia juga tak punya hak mengizinkannya. Pemerkosa adalah perampok penggunaan alat kelamin orang yang diperkosa. Penggunaan alat kelamin seseorang diatur dalam lembaga pernikahan yang suci adanya.

Para pengarang yang terang-terangan tidak setuju pada lembaga pernikahan, dan/atau melakukan hubungan kelamin semaunya, yang tokoh-tokoh dalam karyanya diberi peran syahwat merdeka, adalah rombongan pencuri bersuluh sinar rembulan dan matahari. Mereka maling tersamar. Mereka celakanya, tidak merasa jadi maling, karena (herannya) ada propagandis sastra menghadiahi mereka glorifikasi, dan penerbit menyediakan gratifikasi. Propagandis dan penerbit sastra semacam ini, dalam istilah kriminologi, berkomplot dengan maling.

Hal ini berlaku bukan saja untuk karya (yang dianggap) sastra, tapi juga untuk bacaan turisme, rujukan tempat hiburan malam, dan direktori semacam itu. Buku petunjuk yang begitu langsung tak langsung menunjukkan cara berzina, lengkap dengan nama dan alamat tempat berkumpulnya alat-alat kelamin yang dapat dicuri haknya dengan cara membayar tunai atau dengan kartu kredit gesekan.

Sastra selangkang adalah sastra yang asyik dengan berbagai masalah wilayah selangkang dan sekitarnya. Kalau di Malaysia pengarang-pengarang yang mencabul-cabulkan karya kebanyakan pria, maka di Indonesia pengarang sastra selangkang mayoritas perempuan.
Beberapa di antaranya mungkin memang nymphomania atau gila syahwat, hingga ada kritikus sastra sampai hati menyebutnya “vagina yang haus sperma”. Mestinya ini sudah menjadi kasus psikiatri yang baik disigi, tentang kemungkinannya jadi epidemi, dan harus dikasihani.

Bila dua abad yang lalu sejumlah perempuan Aceh, Jawa dan Sulawesi Selatan naik takhta sebagai penguasa tertinggi kerajaan, Sultanah atau Ratu dengan kenegarawanan dan reputasi terpuji, maka di abad 21 ini sejumlah perempuan Indonesia mencari dan memburu tepuk tangan kelompok permissif dan addiktif sebagai penulis sastra selangkang, yang aromanya jauh dari wangi, menyiarkan bau amis-bacin kelamin tersendiri, yang bagi mereka parfum sehari-hari.
Dengan Ringan Nama Tuhan Dipermainkan

Di tahun 1971-1972, ketika saya jadi penyair tamu di Iowa Writing Program, Universitas Iowa, di benua itu sedang heboh-hebohnya gelombang gerakan perempuan. Kini, 34-an tahun kemudian, arus riaknya sampai ke Indonesia. Kaum feminis Amerika waktu itu sedang gencar-gencarnya mengumumkan pembebasan kaum perempuan, terutama liberasi kopulasi, kebebasan berkelamin, di koran, majalah, buku dan televisi.

Menyaksikan penampilan para maling hak penggunaan alat kelamin orang lain itu di layar kaca, yang cengengesan dan mringas-mringis seperti Gloria Steinem dan semacamnya, banyak orang mual dan jijik karenanya. Mereka tidak peduli terhadap epidemi penyakit kelamin HIV-AIDS yang meruyak menyebar seantero Amerika Serikat waktu itu, menimpa baik orang laki-laki maupun perempuan, hetero dan homoseksual, akibat kebebasan yang bablas itu.

Di setasiun kereta api bawah tanah New York, seorang laki-laki korban HIV-AIDS menadahkan topi mengemis. Belum pernah saya melihat kerangka manusia berbalut kulit tanpa daging dan lemak sekurus dia itu. Sinar matanya kosong, suaranya parau.

Kematian banyak anggota kelompok ini, terutama di kalangan seniman di tahun 1970-an, tulis seorang esais, bagaikan kematian di medan perang Vietnam. Sebuah orkestra simfoni di New York, anggota-anggotanya bergiliran mati saban minggu karena kejangkitan HIV-AIDS dan narkoba, akibat kebebasan bablas itu. Para pembebas kaum perempuan itu tak acuh pada bencana menimpa bangsa karena asyik mendandani penampilan selebriti diri sendiri. Saya sangat heran. Sungguh memuakkan.

Kalimat bersayap mereka adalah, “This is my body. I’ll do whatever I like with my body.” “Ini tubuhku. Aku akan lakukan apa saja yang aku suka dengan tubuhku ini.” Congkaknya luar biasa, seolah-olah tubuh mereka itu ciptaan mereka sendiri, padahal tubuh itu pinjaman kredit mencicil dari Tuhan, cuma satu tingkat di atas sepeda motor Jepang dan Cina yang diobral di iklan koran-koran.

Mereka tak ada urusan dengan Maha Produser Tubuh itu. Penganjur masyarakat permissif di mana pun juga, tidak suka Tuhan dilibatkan dalam urusan. Percuma bicara tentang moral dengan mereka. Dengan ringan nama Tuhan dipermainkan dalam karya. Situasi kita kini merupakan riak-riak gelombang dari jauh itu, dari abad 20 ke awal abad 21 ini, advokatornya dengan semangat dan stamina mirip anak-anak remaja bertopi beisbol yang selalu meniru membeo apa saja yang berasal dari Amerika Utara itu.
Penutup
Ciri kolektif seluruh komponen Gerakan Syahwat Merdeka ini adalah budaya malu yang telah kikis nyaris habis dari susunan syaraf pusat dan rohani mereka, dan tak adanya lagi penghormatan terhadap hak penggunaan kelamin orang lain yang disabet-dicopet-dikorupsi dengan entengnya. Tanpa memiliki hak penggunaan kelamin orang lain, maka sesungguhnya Gerakan Syahwat Merdeka adalah maling dan garong genitalia, berserikat dengan alkohol, nikotin dan narkoba, menjadi perantara kejahatan, mencecerkan HIV-AIDS, prostitusi dan aborsi, bersuluh bulan dan matahari.***
IPB, 9 Januari 2007.

PUNCAK ACARA BULAN BAHASA DAN SASTRA 2006 BERLANGSUNG MERIAH

Puncak Acara Bulan Bahasa dan Sastra 2006 (BBS 2006) yang dihadiri Mendiknas Prof. Dr. Bambang Soedibyo, M.B.A., berlangsung meriah. Acara itu dilaksanakan di Pusat Bahasa, Kamis, 9 November 2006. Puncak Acara BBS 2006 dihadiri oleh berbagai kalangan, seperti sastrawan, pemenang lomba dan sayembara BBS 2006 (siswa, mahasiswa, guru), wartawan, dan para pejabat di lingkungan Depdiknas serta kepala balai/ kantor bahasa dari seluruh Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-78.

Mendiknas Bambang Soedibyo dalam sambutannya mengemukakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dilahirkan sebagai sebuah negara yang secara fisik terfragmentasi oleh laut dan gunung-gunung. Kondisi itu menyulitkan NKRI untuk terintegrasi dalam satu kesatuan spasial teritorial. Bahasa Indonesia menjadikan silaturahmi antarberbagai kelompok bisa diselamatkan. Betapa tingginya peran bahasa Indonesia dalam mengintegrasikan seluruh komponen bangsa Indonesia menjadi satu kesatuan yang melahirkan nasionalisme.

Selanjutnya Mendiknas mengingatkan untuk tetap menjaga kelestarian bahasa Indonesia, karena dapat menyatukan Indonesia sebagai satu kesatuan sosial, politik, ekonomi, hukum dan kultural.

Pada kesempatan itu, Mendiknas yang didampingi oleh Kepala Pusat Bahasa, Dr. Dendy Sugono, menyerahkan Penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2006 kepada tiga sastrawan terpilih, yaitu Sitor Situmorang (Biksu Tak Berjubah), Sitok Srengenge (Kelenjar Bekisar Jantan), dan Remy Sylado (Kerudung Merah Kirmizi). Disamping itu Mendiknas juga menyerahkan hadiah bagi para pemenang berbagai lomba dan sayembara BBS 2006. Mereka adalah Abdul Hadi El-ham (penulisan puisi remaja tingkat nasional), Sesarina Puspita (penulisan naskah drama tingkat nasional), M. Irfan Athari (penulisan puisi untuk siswa SD tingkat nasional), Indah Zulhairani Siregar (penulisan cerpen remaja tingkat nasional), Harna Silwati (penulisan cerita rakyat tingkat nasional), Muhammad Abduh Abbas (pembacaan puisi guru SD tingkat nasional), Ghanta Little (festival musikalisasi puisi se-Jadebotabek), serta Trivena Theresia Kristian, Wahyono Adi Saputro, dan Lucia Tyagita Rani Caesara (penulisan proposal penelitian bahasa dan sastra).

Acara ini dimeriahkan oleh penampilan Ghanta Little dari Universitas Nasional (Unas), pemenang festival musikalisasi puisi BBS 2006, tari tradisional dari daerah Betawi, yang menyambut kehadiran tamu-tamu kehormatan. Suasana makin semarak dengan sajian pembacaan monolog oleh Putu Wijaya dengan kemaestroannya menyuguhkan ekspresi dalam pembacaan monolog yang membuat hadirin terpukau dibuatnya dan pembacaan puisi mbeling oleh Remy Sylado yang tak kalah serunya mendapat sambutan meriah dari para tamu undangan. Di akhir acara para undangan larut dalam irama melayu oleh penampilan musik tradisional dari Kepulauan Riau, dan sebagian tamu undangan pun berjoget bersama di depan panggung. (hr.)


Para Pemenang Kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra 2006

A. Para Pemenang Sayembara


1. Sayembara Penulisan Naskah Drama bagi Remaja Tingkat Nasional
Pemenang III Sesarina Puspita (Jakarta)
Pemenang Harapan I Femmy Fallent Chelina Ubro (Kendari)
Pemenang Harapan II Ayu Ratnasari ( Palembang)
Pemenang Harapan III Dita Pilih Ratna (Banyuwangi)

2. Sayembara Penulisan Puisi Remaja Tingkat Nasional
Pemenang I Abdul Hadi El-ham (Cirebon)
Pemenang II A’yat Syafrana G. Khalili (Madura)
Pemenang III Sigit Rais ( Bandung)
Pemenang Harapan I Ach. Muklish (Yogyakarta)
Pemenang Harapan II Badrus Shaleh (Sumenep)
Pemenang Harapan III Ferina Meliawati (Bandung)

3. Sayembara Penulisan Puisi untuk Siswa SD Tingkat Nasional
Pemenang I M. Irfan Athari, SD Terpadu At-Taqwa Pondok Ungu, Bekasi
Pemenang II Nastiti Widya Ikhsani, SDN Polisi IV, Bogor
Pemenang III Armadina Az Zahra, SDN Pekayon 10 Pagi, Jakarta Timur
Pemenang Harapan I Atika Izzatul Jannah, SDIT Iqra BKL, Bengkulu
Pemenang Harapan II Ihdal Husnayani, SDN Pondok Makmur,Tangerang
Pemenang Harapan III Assyifa Alkhansa, MI Yampi, Jakarta Utara

4. Sayembara Penulisan Cerita Pendek Remaja Tingkat Nasional
Pemenang I Indah Zuhairani Siregar (Medan)
Pemenang II Deddy Arsya (Padang)
Pemenang III Putri Anisa Melia Sari (Binjai)
Pemenang Harapan I Saraswati Laksmi (Bali)
Pemenang Harapan II Rr. Desi Kumala Isnani (Yogyakarta)
Pemenang Harapan III Siska Fitriani (Payakumbuh, Sumatera Barat)

5. Sayembara Penulisan Cerita Rakyat Tingkat Nasional
Pemenang I Harna Silwati (Jambi)
Pemenang II Navelia Widijayanti (Yogyakarta)
Pemenang III Drs. Muslim (Palembang)
Pemenang Harapan I Herman R (Aceh)
Pemenang Harapan II Tantra Alimi (Surakarta)
Pemenang Harapan III Muhamad Raudah Jambak (Medan)

6. Sayembara Pembacaan Puisi Guru SD Tingkat Nasional
Pemenang I Muhammad Abduh Abbas, SD Pluit Raya, Jakarta Utara
Pemenang II Arif Rahmanto, S.Pd., SD Muhammadiyah Sapen,Yogyakarta
Pemenang III Ima Nuzuliyah Abdy, S.Pd., SD Islam Al Azhar, Kelapa Gading, Surabaya
Pemenang Harapan I Robianur, S.Pd., Madrasah Ibtidaiyah Al Asyiriah 1 Banjarmasin
Pemenang Harapan II Siti Kartika, A.Ma., SD Wanajaya, Karawang
Pemenang Harapan III Rita Yulyati, S.Pd., SDN 2 Sebasang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat

7. Sayembara Penulisan Proposal Penelitian Bahasa dan Sastra
a. Proposal Penelitian Bahasa
Pemenang I Trivena Theresia Kristian ( Universitas Kristen Petra Surabaya)
Pemenang II Muh. Wahid Tafthozani (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Pemenang III Hermanto (Universitas Negeri Yogyakarta)
b. Proposal Penelitian Sastra
Pemenang I Wahyono Adi Seputro (Universitas Jember)
Pemenang II Bandung Mawardi (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Pemenang III Restu Kurniawan (Universitas Muhammadiyah Purwokerto)
c. Proposal Penelitian Pengajaran Bahasa dan Sastra
Pemenang I Lucia Tyagita Rani Caesara (Universitas Negeri Jakarta)
Pemenang II Currie Wulaningrum ( Universitas Negeri Jakarta)
Pemenang III Anggita Maralia Putri (Universitas Negeri Jakarta)

8. Festival Musikalisasi Puisi
Pemenang I Ghanta Little (Universitas Nasional)
Pemenang II Sanggar Muslim
Pemenang III Base Pom
Pemenang Harapan I SMA I Bogor
Pemenang Harapan II SMP Pembangunan UIN
Pemenang Harapan III SMAN 77 Jakarta


A. Para Pemenang Non Sayembara

1. Penilaian Penggunaan Bahasa Indonesia di Media Massa
Peringkat 1 Media Indonesia
Peringkat 2 Koran Tempo
Peringkat 3 Kompas
Peringkat 4 Bisnis Indonesia
Peringkat 5 Jawa Pos
Peringkat 6 Investor Daily
Peringkat 7 Suara Pembaruan
Peringkat 8 Republika
Peringkat 9 Berita Kota
Peringkat 10 Haluan

2. Pemberian Penghargaan Buku Nonbahasa dan Nonsastra (Tiga terbaik)
Buku Menjadi Pasangan Paling Berbahagia
Karangan Cahyadi Takariawan
Penerbit Syaamil, Bandung
Buku Bolak-Balik Bali
Karangan Gde Aryantha Soethama
Penerbit Buku Arti (Arti Foundation), Bali
Buku Pendidikan Agama Islam
Karangan Muhamad Alim
Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung

3. Debat Bahasa dan Sastra Antarmahasiswa Se-Jadebotabek
Pemenang I Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta
Pemenang II Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
Fakultas Sastra, Universitas Pakuan Bogor
Pemenang III Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
Fakultas Tarbiyah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Pemenang Harapan I Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia
Pemenang Harapan II Jurusan bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Pakuan Bogor
Pemenang Harapan III Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Ibnu Khaldun Bogor

4. Adibahasa (Penilaian Penggunaan Bahasa di Setiap Provinsi Seluruh Indonesia)
Peringkat 1 Provinsi Bangka Belitung
Peringkat 2 Provinsi Jawa Barat
Peringkat 3 Provinsi Jambi
Peringkat 4 Provinsi Jawa Timur
Peringkat 5 Provinsi Sumatera Barat
Peringkat 6 Provinsi Sulawesi Tenggara
Peringkat 7 Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Peringkat 8 Provinsi Lampung
Peringkat 9 Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Peringkat 10 Provinsi Riau

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera


Oleh Suyadi San

PULAU Sumatera tidak hanya penghasil rempah. Tak sebatas kawah candradimuka politik nasional. Sejarah membuktikan, swarnadwipa ini merupakan sokoguru budaya. Melayu, Minangkabau, Batak, Gayo-Alas-Singkil, Aceh, merupakan puak terbesar di samping kaum pendatang dari Jawa.

Dua kerajaan besar pra Indonesia bermukim di sini: Samudera Pasai dan Sriwijaya. Gugusan pegunungan membentang dan menjulang dari utara hingga selatan: Bukit Barisan. Toba, Singkarak, dan Maninjau adalah danau yang menjadi ikon semenanjung Sumatera.

Banyak lagi patut dibanggakan di wilayah ini. Tak ayal, pengarang-pengarang Indonesia kerap memotret Sumatera dalam figura budayanya. Ini terlihat jelas pada masa Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Deretan pengarang besar Indonesia lahir di sini dan membesarkan Indonesia Raya.

Persemaian wilayah sastra ini menjadi satu bagian penting dalam geosastra dan geopolitik kebudayaan Indonesia. Di arena Temu Sastrawan Sumatera dan Temu Sastrawan Sumatera Utara 2007, yang digelar Dewan Kesenian Sumatera Utara 28-30 Desember barusan, menggambarkan pemetaan semangat bersastra di kalangan sastrawan antarprovinsi di Pulau Andalas.

Pengembaraan kreativitas bersastra para sastrawan itu tertuang dalam satu medan, yakni sastra. Pertemuan antarsastrawan di Pulau Sumatera itulah yang melahirkan diterbitkannya buku Medan Sastra. Buku kumpulan karya sastra ini dimaksudkan sebagai satu penanda bahwa pulau ini tidak pernah kering melahirkan generasi sastra.

Tak heran, sebelum acara temu sastrawan ini berlangsung, sebelum buku tersebut diterbitkan, saya selaku editor dibantu rekan S. Ratman Suras, M. Raudah Jambak, dan Hasan Al Banna menerima ratusan karya. Karena keterbatasan waktu – juga dana – pula, kami hanya bisa meloloskan 85 judul karya sastra dari 57 orang penulis, terdiri atas 55 judul puisi dari 33 penulis, 20 cerita pendek (20 penulis), 2 naskah drama (2 penulis), dan 8 esai (8 penulis).

Nama-nama pengarang yang karyanya termuat di dalam buku ini, merupakan keterwakilan dari bejibunnya jumlah penulis karya sastra pada masing-masing provinsi dan daerah. Tak hayal, buku ini juga diisi sejumlah nama baru. Karya-karya mereka – untuk sementara ini – disandingkan dengan sastrawan generasi sebelumnya. Alam dan waktu yang akan menguji mereka: apakah mereka pantas menyandang ‘gelar’ sastrawan di kemudian hari.

Para penulis baru yang muncul pada buku ini, di antaranya Agus Mulia, Ahmad Badren Siregar, Antonius Silalahi, Djamal, Elidawani Lubis, Herni Fauziah, Januari Sihotang, Lia Anggia Nasution, Pria Ismar, Pusriza, Embar T Nugroho, Indra Dinata SC.

Ada pula nama Indra YT, Irwan Effendi, Richad Yanato, Rina Mahfuzah Nasution, Sumiaty KSM, Variati Husni, dan Yunita Sari. Itu semua dari Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Barat mengutus sastrawan mudanya, seperti Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Edo Virama Putra, Esha Tegar Putra, Pinto Anugrah, Yetti A.KA .

Yang jelas, generasi baru sastrawan Sumatera nyatanya terus berdenyut. Ia menjadi satu fenomena bahwa Sumatera tidak akan kehabisan penerus cita-cita sastrawan terdahulu. Buku ini barangkali akan jadi saksi sejarah tentang perjalanan sastra Sumatera.

Sumatera Utara selaku tuan rumah, tentu saja jadi penyumbang terbanyak pengisi buku. Selain sastrawan pemula di atas, sastrawan terkemuka daerah ini yang tampil meramaikan buku Medan Sastra ini, di antaranya, Afrion, Amin Setiamin, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Harta Pinem, Herman KS, Idris Siregar, M. Yunus Rangkuti.

Lalu, Shafwan Hadi Umry, S. Ratman Suras, Zainal Arifin AKA, A. Yusran, Dini Usman, Hasan Al Banna, Hidayat Banjar, Malubi, M. Raudah Jambak, Nasib TS, Saripuddin Lubis, Sulaiman Sambas, Teja Purnama, Tengku Agus Khaidir, Yulhasni, Suyadi San, dan Syaiful Hidayat.

Selain melalui karya, peta sastrawan Sumatera secara jelas dapat dibaca melalui esai-esai yang terdapat di dalam Medan Sastra. Perkembangan dan jejaring sastra masing-masing provinsi diungkap Syaiful Hidayat (Sumatera Utara),. D. Kemalawati (Nanggroe Aceh Darussalam), Ira Esmiralda (Bangka Belitung), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Muhammad Husyairi (Jambi) dan Tarmizi (Kepulauan Riau).

Lalu, sastrawan Damiri Mahmud dan akademisi Dr. Ikhwanuddin Nasution M.Si menyoroti serta mengkritisi karya-karya dan perjalanan sastra Sumatera tersebut. Syaiful Hidayat pada esai yang terdapat di dalam buku ini menyatakan, sastra Indonesia menempatkan sastra dan sastrawan dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai pelopor sastra modern Indonesia.
Konstelasi sastra itu menumbuhkan Kota Medan dan Kota Padang sebagai pusat sastra Indonesia yang utama di luar Pulau Jawa. Sastrawan dari kedua wilayah ini kemudian saling memberi warna sehingga muncullah Chairil Anwar dan Hamka sebagai orang Minang yang secara bersamaan melekat sebagai orang Medan.

Sebaliknya, Sutan Takdir Alisjahbana dan Mochtar Lubis sebagai orang Medan yang merasakan atmosfer sastra Minang. Mereka merupakan bagian dari kelas menengah Hindia Belanda yang memperoleh pendidikan, sehingga terampil dalam mengekspresikan gagasannya, pandangan hidup sebagai subjek kolektif.

Menurut penilaian Damiri Mahmud, saat ini geliat kepengarangan Sumatera makin ramai, terutama puisi dan Cerpen. Para penulis Sumatera ini tampak berusaha melepaskan diri dari “cengkeraman” Jakarta yang selama ini dianggap sebagai sentralisasi sastra. Kata Damiri lagi, kantong-kantong sastra di beberapa tempat di Sumatera diusahakan seintensif mungkin. Kegiatan-kegiatan pertemuan, diskusi, sayembara, penerbitan buku begitu marak dilakukan.

Damiri memperkirakan, Riau paling depan dalam geliat bersastra. Pada dekade 60-an dan 70-an daerah ini masih terasa sepi dari kegiatan dan para sastrawan. Tapi sekarang begitu banyak kegiatan dan muncul tokoh-tokoh kenamaan. Mereka pun sangat giat menggali akar tradisi sastranya. Karya-karya Raja Ali Haji misalnya, kembali ditransliterasi dan diterbitkan.

Sedangkan Sumatera Utara, sebagaimana halnya Riau, tampaknya punya kedekatan sejarah dengan Semenanjung Malaysia. Karya-karya para sastrawan banyak yang terbit di sana. Setidaknya 12 novel telah dibukukan dan beberapa antologi puisi dan Cerpen.

Ada pula even “Dialog Utara” yang dilaksanakan sejak awal 1980-an yang pada mulanya diisi oleh para sastrawan dari Medan dan Pulau Pinang yang dianggap sebagai kota kembar karena kemiripannya yang sama-sama memiliki tradisi sebagai kota pantai.
Tampaknya di antara genre sastra yang banyak ditulis adalah puisi dan kemudian cerita pendek. Kurang diimbangi oleh penulisan novel. Barangkali penulisan novel memerlukan waktu yang lama dan dukungan dana yang besar sementara para penulis sekarang pada umumnya punya kegiatan rangkap.

Tradisi sebagai “pujangga istana” di zaman kerajaan dulu telah hilang. Sebagaimana diketahui Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji, sedikit banyaknya merupakan “pujangga istana” sehingga di samping dukungan dana, misi yang mereka tulis bisa dengan cepat dapat terlaksana.

Deknong Kemalawati dalam esai nya memaparkan sejumlah generasi sastra Aceh. Generasi sastra Aceh ini dimulai dari Angkatan Sufi. didominasi oleh tema agama terutama mengenai tasawuf (mazhab; aliran), hal ini menandakan perkembangan (pengkajian) masalah agama di Aceh berada dalam priode emas.

Salah satu faktor penyebabnya adalah Sultan (raja) memberikan akses yang seluas-luasnya kepada penyair untuk berkarya. Di samping itu, penyair (dinominasi kaum ulama) sangat dihargai kerajaan, sehingga mereka menjadi mufti. Pada zaman itu, politik telah memainkan peranan yang besar dalam perkembangan kesusastraan di Aceh. Terutama, persengketaan mazhab Hamzah Fansuri dengan Nuruddin ar-Raniri—mengenai faham wujudiyah. Dalam catatan sejarah banyak karya Hamzah Fansuri dan ikutannya dimusnahkan oleh kerajaan atas saran dari Nuruddin ar-Raniri.

Angkatan Pujangga Baru didominasi tema ketuhanan dan keindahan alam. Selain itu, bentuk karya masih dipengaruhi terutama oleh bentuk pantun dan syair Melayu. Selanjutnya angkatan pertengahan corak (bentuk) dan tema karya sudah mulai kaya—tidak terpaku dalam bentuk syair dan pantun Melayu.

Selain masih didomonasi tema-tema di atas, tema pada angkatan ini sudah diperkaya dengan tema-tema heroik kepahlawanan. Seiring perkembangan politik yang terjadi khususnya di Aceh maka karya sastra pun mengalami corak dan temanya sesuai dengan kondisi zaman tersebut.

Tema-tema kepahlawanan pasca Pujangga Baru, menurut Kemalawati, bermula dari “pemberontakan” DI/TI dipimpin Daud Beureueh pada 1953. Kemudian dilanjutkan dengan “perlawanan” GAM sejak 1976 dipimpin Hasan Tiro. Sejak saat itu Aceh terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah, apa lagi setelah diterapkannya DOM (Daerah Operasi Militer) pada 1989 oleh pemerintah Orde Baru. Setelah kejatuhan Soeharto 1998 dilanjutkan dengan Darurat Militer, yang berakhir pascatsunami dengan perjanjian damai (MOU) antara RI dengan GAM.

Kondisi ini telah memunculkan sastrawan (penyair) angkatan konflik. Tema-tema yang mendominasi angkatan ini adalah tentang perlawanan (mencari keadilan) dan tragedi kemanusiaan. Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 membawa banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Aceh. Bermunculanlah karya-karya sastra, baik yang ditulis oleh penyair-penyair yang sudah konsisten maupun muka-muka baru. Orang-orang “berlomba-lomba” menulis, menerbitkan, pelatihan-pelatihan serta menampilkan karya sastra menjadi seni pertunjukan.

Dalam catatan Kemalawati, ada beberapa perkumpulan (swasta) yang eksis sampai sekarang terutama dalam hal pelatihan dan penerbitan karya sastra, di antaranya, Bangkit Aceh, Lapena, ASA, Do Karim, Tikar Pandan, AMuK Community, Aneuk Muling Publishing, Aceh Culture Institute dan lain-lain. Bagaimana dengan Bangka Belitung? Bangka Belitung merupakan provinsi baru. Kelahirannya tak berjauhan dengan kelahiran Provinsi Banten, Gorontalo dan Kepulauan Riau. Konstelasi sastra provinsi ini dikupas dalam esai Ira Esmiralda (hal. 262-265).

Dari esai Ira ini, kita mengetahui peta perjalanan sastra di Bangka Belitung. Menurut Ira, kaum terpelajar menggeluti sastra lebih memilih keluar Bangka Belitung (Jawa) dan berkarya di sana. Pada tahun 1930-an muncul nama Fatimah Hasan Delais dengan karyanya Kehilangan Mustika.

Setelah itu dunia sastra (tulis) di Bangka Belitung mengalami stagnasi panjang. Hingga tahun 1980-an, muncul nama Ian Sanchin (Belitung) dan Willi Siswanto (Bangka) yang memublikasikan Cerpen remajanya di beberapa majalah remaja dan keluarga. Drama sangat diminati oleh remaja atau pelajar Bangka. Pada masa ini, kelompok-kelompok teater remaja dan pelajar bermunculan dan pementasan teater cukup sering diadakan. Namun pada pertengahan 1990-an, seiring keluarnya remaja-remaja tersebut ke kota lain untuk melanjutkan studi, kehidupan teater di Bangka meredup lalu vakum.

Pada 1990-an akhir, muncul koran daerah pertama di Bangka, Bangka Pos (group Kompas). Lembar budaya minggu pada koran tersebut telah meletakkan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra di Bangkabelitung. Willi Siswanto, Nurhayat Arif Permana sebagai redaktur budaya Bangka Pos mengajak penyumbang tulisan sastra di lembar budaya Bangka Pos untuk membentuk sebuah komunitas sastra. Hingga terbentuklah Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) pada 2000.

Ira juga menyebutkan, kantong-kantong sastra di Bangka Belitung terpusat di Pangkal Pinang (ibukota Bangka Belitung) dan Sungailiat (ibukota Kabupaten Bangka). Pegiat sastra di Pangkal Pinang terdiri dari latarbelakang profesi. Mulai pensiunan guru, pegawai KUA, sampai yang betul-betul hanya mengandalkan tulisannya sebagai jalan hidup. Di Sungailiat, para pegiat sastranya umumnya memiliki latarbelakang profesi yang lebih homogen. Semuanya rata-rata pegawai negeri sipil. Dari guru, pejabat Pemda, sampai reporter.

Lampung menyumbang Isbedy Stiawan ZS. Di dalam esainya (hal. 266-272),, Isbedy gambling menyebut peta sastra Indonesia tidak lengkap tanpa Lampung. Itu, dimulai dari kiprah Assaroeddin Malik Zulqornain Ch alias Amzuch. Perkembangan berikut, “pulangnya” para perantau: Iwan Nurdaya-Djafar, Sugandhi Putra, Hendra Z., Djuhardi Basri, dan Naim Emel Prahana. Bersamaan itu, dinamika sastra di Lampung kian bergolak dengan munculnya Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, serta yang berkiprah kemudian yaitu Panji Utama, A.J. Erwin, Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, D.Pramudia Muchtar, Eddy Samudra Kertagama dan lain-lain—untuk sekadar menyebut beberapa nama.

Isbedy tidak menafikan peran kampus yang cukup besar. Sumbangsih terbesar adalah Universitas Lampung. Muncullah nama Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Diah Indra Mertawirana (kini Diah Merta), Lupita Lukman dan Elya Harda. Jambi melalui esai Muhammad Husyairi (hal. 273-276) membuat peta sastrawan Jambi dalam tiga generasi. Sebagian besar dari tiga generasi tersebut didominasi oleh para penyair. Generasi pertama Ghazali Burhan Riodja (Alm) dan Yusuf Asni.

Di lapis kedua ada Dimas Arika Mihardja, Acef Syahril (sekarang berdomisili di Indramayu), Iif Ranupane, Dimas Agus Pelaz, Iriani R. Tandi, Budi Veteranto, Ari Setya Ardhi, EM. Yogiswara, Nanang Sunarya, Suardiman Malay, Firdaus, Asro Al-Murthawy, Amri Suwarta dan Indriatno. Secara kekaryaan, generasi lapis kedua ini muncul pada paruh tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan.

Sedangkan generasi ketiga yang muncul setelah tahun sembilan puluhan, sebut saja Muhammad Husyairi (Ary MHS Ce’gu), Yupnical Saketi, Ide Bagus Putra, Ramayani, Oton Marton, Alpakihi, Putra Edison, Emen Sling, Muhammad Muslih, Berry Hermawati, Yohana, Titas, Gita Romadhona, Chori Marbawy, Pendra Darmawan, Anshori Bharata, Monas Junior dan Fahrizal Eka. Begitulah. Konstelasi sastra pulau Sumatera tersingkap di dalam buku Medansastra. Kita berharap, buku tersebut menjadi sumbangan bagi sejarah sastra di Sumatera, kelak! Amiin.

(Staf teknis Balai Bahasa Medan, Pimpinan Teater Generasi Medan, Ketua Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia-Sumatera Utara).