Monday 15 February 2010

Jembatan Ibu Masitoh

[cerpen] Jembatan Ibu Masitoh

Melangit di langitperempuan pada 19 Februari 2009

Oleh Peranita Sagala

sriguntingWanita itu menatapnya nyalang. Sang Kepala Desa benar-benar resah. Tak pernah dia seresah ini. Sungguh semakin lama dia tak suka perempuan ini. Terlalu banyak maunya. Ide-ide nya di rapat-rapat desa seolah mengejeknya sebagai Kepala Desa yang hanya menunggu gaji bulanan.

Selama ini semua tokoh masyarakat dan agama di kampong ini menaruh hormat padanya. Semuanya bisa di kendalikannya. Tapi tidak wanita ini.

“Jadi mau Ibu apa sebenarnya?”

Sang Kepala Desa coba menguji kembali kekerasan hati Ibu yang duduk dengan tegak di depannya. Gurat wibawa perempuan ini membuat dia enggan menikmati kecantikan yang masih kentara di wajahnya.

“ Permintaan saya sederhana Pak. Kenapa Bapak masih mencoba berdalih lagi? Kita butuh jembatan ke kampong seberang, Agar anak anak lebih mudah ke sekolah, agar sayuran cepat sampai ke pasar. Kalau Bapak tidak bersedia mencari cara agar jembatan itu tersedia, saya dan teman teman saya tidak akan tinggal diam,” tegas perempuan itu dengan nada yang lebih terdengar seperti ancaman.

Ups…perempuan ini benar-benar memancing egonya. Bisa apa perempuan ini jika ia tidak menggubris permintaannya. Kepala Desa merutuk dalam hati. “Baik, saya lihat apa yang bisa perempuan lakukan,” ketusnya tajam dan sinis.

Perempuan itu sontak berdiri. Terlihat jelas dia kaget dengan kata terakhir yang terucap dari Sang Kelapa Desa. Kata “perempuan” yang terucap itu seolah meremehkan tidak saja dirinya melainkan memberikan stempel tak berdaya di jidat semua perempuan. Meski sedikit merasa bersalah setelah menyadari jika reaksi Sang Kepala Desa itu muncul karena ancaman yang dipicu dari dirinya sendiri, tapi ego perempuan itu juga tersinggung. Rasa letih dan butuh mendesaknya untuk menyatakan sikap perang kepada Kepala Desa. Si Ibu bangkit dan keluar dari kantor desa dengan kesal.

“Pfff…,” Sang Kepala Desa menarik nafas lega. Tapi resah tak juga terusir. Ibu Masitoh nama perempuan itu. Tamatan sarjana yang demi suaminya rela tinggal di desa, sejauh lima belas kilometer dari ibukota kecamatan menemuh jalan berbatu khas perkebunan. Sebenarnya jika jembatan yang memisahkan desa ini dengan kampong seberang terbangun, jarak ke ibukota kecamatan hanya 3 kilometer.

“Tapi membangun jembatan tak semudah yang Ibu bayangkan,” gumam Sang Kepala Desa.

Dana pembangunan jembatan itu sebenarnya sudah 10 tahun yang lalu diajukan oleh desa. Tapi perubahan politik dari Orde Baru ke Reformasi membuat dana-dana pembangunan ini sulit dilacak ke mana raibnya. Politisi sibuk menjaga posisinya, lupa jika sarana tak tersentuh untuk diperbaiki apalagi dibangun baru. Yang terbangun di desa itu hanya pacak-pacak jembatan yang tak selesai. Dana disunat raib entah ke mana.

srigunting_icon

Ibu Masitoh mendorong sepeda bututnya keluar dari Kantor Desa. Singgah ke pasar membeli bekal untuk dimasak di rumah. Sungguh dia tak habis pikir kenapa Kepala Desa tak juga meloloskan permohonannya. Dia berniat mengumpulkan para ibu di sekitar rumahnya sore nanti. Sudah dua tahun dia merintis kebun sayuran dengan pupuk organik dari ternak kambing yang juga dikelola oleh para ibu. Jembatan itu dibutuhkan agar sayuran bisa cepat sampai di pasar kecamatan. Dan tentunya anaknya Sani, yang menjelang SMP, sebentar lagi bisa lebih mudah mencapai sekolahnya yang hanya ada di kecamatan.

Para lelaki di desa itu biasanya bekerja menderes getah karet atau mendodos buah sawit di perkebunan. Jembatan bagi para lelaki hanyalah tugas Pemerintah untuk memikirkannya ada. Jika Pemerintah belum membangun jembatan, itu berarti memang desa mereka belum layak dibangunkan jembatan. Tak perlu dipermasalahkan.

Tapi Ibu Masitoh beda. Dia selalu berbuat hal-hal yang menurut mereka tak perlu dipikirkan oleh masyarakat. Memperbaiki parit, membangun kelompok perempuan dan terakhir bersikeras mendesak pembangunan jembatan.

srigunting_icon
Ibu Masitoh sering dicap terlalu ambisius sebagai perempuan dan warga-pendatang di desa itu. Hanya saja, gelar sarjananya dan kelompok perempuan binaannya yang terasa membantu mengurangi beban para lelaki dalam menghidupi keluarga, membuat Ibu Masitoh menjadi sosok yang ditolak tidak didukung pun tidak oleh kebanyakan warga lelaki.

Sore itu, Ibu Masitoh berharap keluh kesahnya dapat terpecahkan oleh ide-saran dari perempuan-perempuan desa lainnya. Tapi tak ada yang bereaksi. Semua malah semakin putus asa.

“Sudahlah Ibu Masitoh, buat apa kita harus memikirkan jembatan hanya untuk mengantarkan sayur-sayur kita lebih cepat. Ternak kita sudah cukup maju. Sudahlah kita seriusi aja di ternak kita,” demikian para perempuan desanya menganjurkan.

Ibu Masitoh hanya diam. Di dalam hatinya yang masgul tekadnya justru semakin bulat. Masih terbayang sengitnya dia bertekak dengan Kepala Desa pagi tadi.

“Saya akan bangun jembatan,” tegasnya. Pertemuan sore itu usai tanpa kesepakatan bulat.

srigunting_icon

Hampir satu minggu Ibu Masitoh tidak bisa tidur karena memikirkan jembatan. Suaminya hanya bisa mengatakan bahwa membangun jembatan terlalu muluk jika dilakukan secara swasembada. Dia hanya memberikan saran, mungkin tidak harus jembatan. Ibu Masitoh merasa saran suaminya malah memberikan kebingungan baginya — - sampai pada satu malam, ketika dia sekonyong-konyong mendapatkan ide sederhana dari saran suaminya tersebut.

Diutarakanlah gagasannya itu kepada para anggota kelompok perempuan binaannya. Dengan kemampuan meyakinkan yang selama ini terbukti selalu mengena, dengan mudah ide tersebut disetujui bersama.

Mereka semua setuju pada ide Ibu Masitoh membuat getek.

Tetapi setelah bersama-sama menghitung perkiraan biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat sebuah rakit yang layak sebagai penyeberang sungai yang andal, ternyata uang yang ada kurang.

Tapi bukan Ibu Masitoh namanya jika tak punya cara lain. Kampong seberang ia ajak untuk ikut bekerjasama dan menanam saham. Beberapa pekerjaan yang tak butuh keahlian khusus diputuskan untuk dikerjakan secara gotong royong. Untuk pasang tali pancang dan ikat rakit getek baru mereka menggunakan tenaga bayaran yang ahli.

Untuk proyek getek, Ibu Masitoh meminjam dana dari seorang teman yang berniat menjadi caleg di pemilu yang menjelang. Meski caleg tersebut tidak mengharapkan dana dikembalikan dengan syarat, Ibu Masitoh tetap akan membayar kembali pinjaman dari uang pemasukan usaha layanan getek.

Hanya seminggu kemudian, para pekerja sudah mulai berdatangan untuk memacak di bekas sisi-sisi jembatan yang tak jadi dibangun. Para perempuan mengangkat galian tanah. Para lelaki desa, yang tadinya tidak peduli, akhirnya turun-tangan juga untuk ikut membangun sebuah pondok bambu yang akan menjadi tempatmenunggu getek. Juga dibangun sebuah lapak kedai kopi sederhana kelak akan menjadi satu lagi sumber pemasukan bagi kelompok perempuan. Setelah tali penghubung ke kampong seberang selesai ditambat, Ibu Masitoh dan kawan-kawan membuat acara selamatan dan mengundang Kepala Desa.

Selamatan itu sekaligus mengingatkan kemenangan Ibu Masitoh atas siratan genderang perang kepada Kepala Desa waktu itu.

Kepala desa datang dengan wajah pucat pasi. Tak senang sama sekali. Bukan karena kalah perang, tetapi…

Sebulan kemudian, tersiar kabar tentang pembangunan jembatan yang tidak kunjung rampung itu. Sang Kepala Desa terlibat. Apalagi jika bukan korupsi. Kepala Desa pun lengser.

srigunting_icon
Tujuh tahun kemudian, jembatan idaman Ibu Masitoh terwujud. Gagah melintang di atas sungai. Dibangun bukan dari dana Pemerintah juga, melainkan dari tabungan kelompok perempuan yang terkumpul dari penghasilan wirausaha warung kopi dan getek.

http://sagalaoretoret.blogspot.com

No comments: