Saturday 6 February 2010

Asyiknya Menonton Teater

Pada dasarnya aktor yang baik harus cerdas, rajin dan gigih, syarat-syarat yang mutlak untuk dimiliki oleh seorang yang hendak mengklaim dirinya dengan “jenis kelamin” aktor. Dalam penyelenggaraan Festival Monolog 2 FTI di ruang-ruang publik, kriteria-kriteria di atas dapat terlihat dengan sangat jelas dalam eksekusi pementasan para aktor, seperti kecerdasan aktor akan teruji ketika dia harus menafsir kata ruang publik hingga mampu mengeksplorasi segala kemungkinan bentuk konsep yang cocok untuk kedekatannya dengan ruang dalam melakukan seni pemeranan atau dalam hal ini melakukan monolog.

Pada perhelatan Festival Monolog 2 FTI kali ini, yang diikuti oleh 17 peserta menghasilkan keragaman konsep yang ditafsir para monologer terhadap ruang publik, sehingga juri mengklasifikasi bahwa terdapat 3 kecenderungan para kreator dalam konsep pemanggungannya:

1. Konsep pemanggungan dalam sebuah plot yang cukup jelas namun sangat mengandalkan spontanitas dan keadaan dari ruang yang dipilih. Dalam konsep ini dilakukan oleh hampir sebagian aktor seperti Matroji, Herlina Syarifudun, dll.

2. Konsep pemanggungan yang mencoba cair dengan memperkenalkan kepada khalayak peristiwa yang akan di buatnya (istilah Yosef G, “bentuk tradisi”). Seperti yang dilakukan oleh Apito Lahire dan Pepeng.

3. Konsep yang bisa dikatakan asyik pada diri sendiri, dimana actor mencoba merepresentasi narasi personal. Bentuk seperti ini dilakukan oleh Sir Ilham dan Lucky Moniaga. Konsep secara keseluruhan para aktor hampir semuanya baik walau ada juga beberapa yang hanya memindahkan pertunjukan dari panggung ke ruang eksternal panggung.

Tidak sampai pada konsep, para aktor dalam eksekusinya sangat dituntut untuk siap dalam menghadapi ruang yang sangat besar dan juga perubahan-perubahan yang mungkin saja terjadi setiap saat. Hal ini yang membuat kesimpulan para juri dalam menilai bagaimana kesiapan aktor dalam mengikuti Festival Monolog ini, dan juga kegigihan sang aktor dalam melatih dirinya dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan khususnya dalam berperan di ruang publik.

Untuk itu Festival Monolog FTI sangat penting dilakukan karena mampu menelurkan para aktor-aktor muda yang siap pakai seperti tahun 70 dan 80-an. Serta Festival monolog di ruang-ruang publik ini juga menjadi menarik karena sangat banyaknya kemungkinan yang dapat terjadi dan tempat menguji kesiapan aktor yang “membumi”. Dalam targetnya festival monolog di ruang publik ini juga membuat tidak adanya pembatas antara masyarakat terhadap kesenian (teater khususnya), dan tidak menjadi asing bagi masyarakat.

Jakarta, 30 November 2009


Ahmad Olie Sopan

Diposkan oleh Teungku Fachroe di 14:56 0 komentar Link ke posting ini

Label: Artikel

Kamis, 02 Juli 2009
E S T E T I K A T I M U R : Manifestasi Kualitas Ruang

Oleh : Taufik Darwis dan Asep Holidin

Konsepsi ruang bagi orang timur adalah ruang yang dipahamai sebagai ruang fenomenologis, ruang yang didasarkan pada fenomena fenomena tetentu. Ruang itu sangat berpengaruh pada sikap mental para pekerja seninya dalam pertunjukan. Bagi orang timur ruang dianggap sesuatu yang transformatif, oleh karena itulah mengapa pertunjukan keseniannya lebih punya passion ( hasrat, daya , energi ). Mereka akan menggunakan seluruh aksi fisik, menciptakan pikiran sebagai manifestasi, dan sellu memberikan eksistensirohani.

Konsepsi itu sangat berbeda dengan konsepsi ruang untuk orang-orang barat yang mendasarkan ruang menjadi tempat yang fungsional, ruang sebagai instrumenasi tubuh. Sehingga figur-figurnya selalu memiliki identitas tunggal, potret karakter selalu menggambarkan profesinya. Karena tubuh dieksplorasi hanya sebagai alat intrumental untuk mencapai kondisi yang paling sempurna. Estetika barat selalu menggunakan logika Cartesian dengan hanya menggunakan satu perspektif pembacaan, perspektif inilah yang melahirkan flat karakter.

Teks pertunjukan Timur selalu menggunakan bentuk multi narasi. Teks tersebut jika di baca menggunakan estetika barat tentu akan menjadi sebuah teks yang nonsense, tapikalu dibaca dengan estetika timur hal yng nonsense tersebut akan menjadi more sense. Kelahiran teks bagi orang timur bertujuann untuk memperkaya batin, itu sebabnya makna ruang estetika timur berbeda dengan ruang estetika barat. Ruang untuk estetika timur dibagi menjadi empat yaitu: ruang wadag, ruang halus, ruang magis, dan ruang kosmis. Perbedaan ruang tersebut dapat dilihat pada pertunjukan pertunjukan yang bersifat ritual

Ruang yang paling sempit adalah ruang wadag. Ruang untuk para rakyat jelata, goro-goro. Sifatnya lebih fisikal, kasar, jorok, cabul, eksplosif dsb. Ruang ini adalah ruang yang paling individual. Pada ruang inilah manusia melakukan apa yang dikehendaki oleh ketaksadarannya, tanpa menghiraukan segala peraturan yang ada.

Ruang berikutnya adalah ruang halus, ruang yang lebih besar dari ruang wadag, ruang ini adalah ruang untuk para raja, ksatria, punggawa, dan orang orang yang sedang mengaktualisasikan dirinya. Pada ruang ini pola gerak sudah mengalami stilisasi, gerakan yang sudah didasarkan pada adanya tenaga lebih besar yang mengatur. Sehingga setiap laku diatur oleh pakem yang ketat.

Ruang yang ketiga adalah ruang magis, ruangnya para orang sakti, para guru, ruang tempat orang yang sudah menjaklani ritualitas tertentu. Sehingga di dalam ruang inilah segala nasehat dan petuah diungkapkan, ruang bagi orang-orang yang telah mengalami proses emanasi.

Ruang yang terakhir adalah ruang kosmis, ruang untuk tokoh tokoh demonik, ruang tempatnya roh para nenek moyang, ruang asal usul, ruang untuk pra siluman dan demit. Diruang inilah kedua sisi yang berseberangan berada, antara pembangun dan penghancur, yang baik dan yang jahat, akan tetapi pada ruang ini juga tidak hanya hitam putih tetapi ada ruang abu abunya; ruang paradoks.

Selain itu estetika timur dalam perubahan ruangnya diikuti oleh perubahan jenis makanan yang dikonsumsi oleh para pelakunya, misalnya ketika diruang wadag makannya adalah makanan yang biasa dikonsumsi setiap hari. Sedangkan di ruang halus lain lagi makannanya; makanan yang diatur secara ketat seperti yang berlaku pada makanan untuk para kaisar Cina yang mewajibkan mengkonsumsi dua puluh lima jenis makanan setiap hari. Pada fase berikutnya makanan untuk memasuki ruang magis adalah makan yang memiliki nilai magis tertentu seperti bubur merah bubur putih, rujak kelapa, kelapa muda, kopi pahit dsb. Makanan di ruang magis adalah makanan yang tak berbentuk lagi makanan seoperti kemenyan dan barang yang fungsinya ke arah itu.

Dalam seni teater ruang fenomenologis ini nantinya akan membentuk ruang dan sikap mental, dan pola laku keaktoran. Keaktoran ( karakter) tidak merupakan karakter yang flat akan tetapi karakter yang majemuk; geraknya seseorang dipahami melalui pembacaan terhadap realitas karakter dengan penubuhan yang berbeda. Karakter figur itu seperti kue lapis, maka figur akan menampakan sisi yang berbeda pada ruang dan situasi yang berbeda.

Kesadaran inilah yang harus diolah oleh para pegiat teater yang memanifestasikan estetikan timur, aktor harus mengidentifikasi diruang manakah ia sedang berdiri untuk memanifestasikan ruang artistiknya. Apakah ia sedang berada di ruang wadag, halus, magis atau kosmis.

Eksplorasi pergantian karakter

Aktor harus menemukan satu benda simbolik, benda tersebut adalah benda kongkrit. Benda tersebut disimpan pada bagian tubuh aktor. Dengan kehadiran benda tersebut akan merubah struktur anatomi seorang aktor, dan aktor harus beradaptasi dengan dengan benda baru yang ada di bagian tubuhnya. Sekaligus ada proses interaksi antara tubuh yang real dan tubuh yang simbolik. Proses interaksi ini merupakan migrasi fisik untuk melhirkan kita kembali.

Benda simbolik tersebut dapat dipahami juga sebagai the other; bayang-bayang halus dari kewadagan fisik. Usaha ini juga untuk membangkitkan magi yang dikuatkan oleh kekuatan internal aktor. Karena eksplorasi teater harus membangkitkan kembali hal yang paling fundamental dari teater. Fundamental teater akan didapat oleh aktor atau pegiat teater dengan cara berproses yang benar. Yang dimaksud berproses yang benar adalah proses yang didukung oleh disiplin ilmu.

Degan berproses teater yang benar, teater akan menemukan kharismanya kembali. Dengan olah fisik teater akan menemukan kharisma fisual. Kharisma disiplin ilmu akan mengcounter seni yang ada pada wilayah pemikiran.

Memahami struktur dramatik

Memahami struktur dramatik dari sebuah naskah drama dapat dilalui dengan cara membalikan struktur dramatik. Resolusi didahulukan kemudian berakhir pdi eksposisi. Struktur dramatik tersebut dalam ekplorasi dapat dilakukan dengan menggunakan struktur dramatik yang linear. Dengan mencoba hal di atas pelaku akan disadarkan pada permainan dengan tempo yang tidak benar. Dengan begitu akan menambah pemahaman para pelakunya sebenarnya apa yang terjadi pada peristiwa tersebut, dan akan membina puncak puncak ketegangan yang dibangun.

Eksplorasi yang lain dengan cara teknik cermin. Pelaku harus memainkan karakter lawan mainnya dengan segala perangkatnya; warna vokal kalau bisa, gestural, dan emosional. Dengan cara tersebut lawan main tersebut akan dapat menganalisa pencapaian pribadinya pada orang lain. Dengan kata lain mereka bercermin pada benda hidup dihadapannya. Teknik cermin ini juga akan menciptakan cross chek anatara sesama pelaku. Proses ini menguntungkan untuk para pelaku ntuk progres latihan.

Tahap yang lain adalah memahami kata sebagai mantra yang memiliki magi tertentu. Usaha ini akan menciptakan pelontaran kata kata dari sebuah kalimat yang benar benar dimaknai. Kata kata atau kalimat yang benar benar dimaknai oleh para pelaku teater akan memudahkan komunikasi, komunikasi inilah yang akan membentuk transformasi nilai dengan apresiatornya.

Diposkan oleh Teungku Fachroe di 13:22 0 komentar Link ke posting ini

Label: Artikel

Selasa, 23 Juni 2009
Estetika karya seni

Pembahasan mengenai estetika dalam karya seni, baik itu sastra, lukisan, maupun seni pertunjukan (tari, teater, dan lain-lain), sampai hari ini secara mencolok berada dalam dua arus. Arus pertama adalah resensi seni yang mau mencoba memberi apresiasi dari dalam serta dari kode yang dipunyai oleh karya itu sendiri. Pendekatan dari dalam atau intrinsik adalah pendekatan yang mencoba memahami rasa, panas, dan dingin yang mau diungkapkan oleh seniman atau sastrawan lewat karyanya. Para kritikus seni mencoba memberi apresiasi dalam karya sastra misalnya lewat tema, penokohan tunggal atau ganda, alur kisah, tegangan yang merupakan kode-kode intrinsik karya sastra kalau mau dipahami dari dalam karya itu sendiri.

Arus kedua adalah pendekatan dari luar ke karya seni melalui disiplin ilmu atau kacamata kode ilmu itu untuk membedah karya tersebut. Pendekatan ini disebut ekstrinsik karena, misalnya, mau membedah posisi karya sastra dari bingkai hubungan kemasyarakatan di dalam sosiologi sastra. Segi menguntungkan dari pendekatan baik intrinsik maupun ekstrinsik adalah disadarinya pendekatan subyektif dalam kritik ekstrinsik, sementara pendekatan intrinsik memberi obyektivitas untuk penilaian karya itu. Namun persoalan dalam kritik seni kita berkembang lebih rumit dari sekadar kritik subyektif ataupun kritik obyektif. Beberapa kekurangan bingkai dan pisau kritik lewat kerajinan membaca dan mengerti sejarah kritik estetika itu sendiri manakala tiap pemikir maupun arus estetika mulai dari realisme-naturalisme, abstrak, simbolisme, surealisme, sampai yang hanya mau merayakan kebebasan masing-masing seniman mengungkap keindahan dan kebenaran menurut bacaannya sendiri dalam postmodernisme, telah menyebabkan dua ekstrem yang terjadi dalam kritik seni kita-atau jatuh dalam pembantaian kritikan yang amat sangat subyektif dari kritikus-atau jatuh pada anarkisme yang membolehkan apa saja yang gila, abnormal, aneh sebagai estetika.

Kegawatan menelusuri soal kritik seni adalah kegawatan yang saling menghantam antara penentuan pokok-pokok kriteria tradisi besar yang dengan otoritas modernisme menegaskan proyek estetika sebagai proses yang harus lewat pengendapan rasional, publik mampu menangkap keberlakuan umum rasa estetika dalam rumusan titik-titik estetika yang oleh kaum idealis seperti Hegel dan Kant dirumuskan sebagai tragis, asri, sublim, lucu, dan tanpa pamrih. Semua ukuran ini bertolak dari pengandaian bahwa estetika harus bisa dipahami dan diukur dengan rasionalitas budi, sementara rasionalisasi model ini menghabiskan seluruh pathos, rasa, emosi yang dianggap lebih rendah tempatnya daripada refleksi budi.

Siapa penentu sebuah lukisan atau karya seni masuk dalam ukuran di atas? Siapa pula yang menentukan galeri dan tempat pameran yang sah untuk karya-karya seni tersebut kalau bukan otoritas dan penguasa pemilik tafsiran estetika itu sendiri? Apalagi setelah kesadaran proses mengetahui dan seni merupakan epistem serta estetika yang ditentukan untuk menguasai oleh Michel Foucault? Bukankah setiap pengenalan mengenai realitas dan pengungkapannya kembali dalam ekspresi seni merupakan keragaman cara membaca setiap seniman yang dalam paradigmanya (Thomas Kuhn: tiap orang dalam mengetahui lebih ditentukan oleh sudut pandangnya sendiri dalam paradigma yang tidak pernah sama dengan orang lain dan bukan oleh konseptualisasi serta diskursus teoretis epistemologi yang kita kenal), amat ditentukan oleh tradisi lisan pengetahuan lokal, peresapan, dan penghayatan watak entitas suku dan kebijaksanaan lokal yang dihidupi dan dihayati menjadi apa yang oleh Pierre Bourdieau dinamai habitus. Terlebih Sandra Harding meneliti bahwa world view (pandangan dunia) telah melucuti seluruh emosi dan rasa perempuan hingga pandangan dunia bias jender. Dari sini semakin disadari bahwa resensi seni pertama-tama harus kembali pada tempat seni itu diproses, yaitu dalam ritus untuk melahirkan, merawat, dan membuahi kehidupan, dan festival atau perayaan kehidupan dari oasis dan ruang pemuliaan gairah hidup dan motivasi hidup.

Dalam tradisi festival dan ritus seni dikenal apa yang oleh F Nietzche disebut dionisian, yaitu estetika dengan gelora dan gelegak kehendak untuk hidup yang dalam tradisi Yunani kuno menyumberi baik ritus puja kehidupan maupun festival kerakyatan dengan ekstasis dan ekspresi luapan spontannya. Seni dionisian ini menurutnya telah dikerdilkan dan direduksi oleh peradaban rasionalitas sejak Socrates ke barat modern dalam seni apollonian yang refleksif rasional, formal, konseptual, dan kering gairah pathos.

Dengan demikian, usaha mengembalikan kritik seni ke habitat aslinya adalah dengan menaruhnya kembali ke naluri purba yang melahirkan, mencintai, dan membuahi kehidupan. Karena itu, di bawah ini bisa direnungi bagaimana kekayaan keragaman tradisi estetika Nusantara yang bersumber pada penghayatan, penghidupan, perayaan yang mahakaya dan lisan sebelum dikonstruksi dan disempitkan dalam bahasa tulis, apalagi bahasa konsep.
Pertama, pendekatan live in untuk menangkap roh hidup inspirasi seni; konteks perayaan dan festivalnya yang bersumber dari adat, religiusitas, keyakinan dan estetika kesuburan dalam tradisi petani; religiusitas dalam tradisi pesisir serta inti pemuliaan nomaden merantau sebagai guru; akan membuat kritik seni dan apresiasinya menjadi tidak membantai posisi seni dalam kehidupan.

Kedua, kritikus semogalah rajin membaca setiap perumusan sejarah estetika tidak hanya sebagai keragaman para filsuf, tradisi tulis, merumuskan apa yang sedang dihayati sebagai indah, benar, dan baik. Konsekuensinya, konstruksi bahasa rumus adalah teks yang mencoba mengisahkan secara kode bahasa apa yang pasti lebih kaya kalau itu dihayati sendiri dalam live in kultural. Pembacaan sejarah ini penting untuk menaruh ragam cermin ketika kritikus sendiri sedang membuat resensinya yang merupaka satu cermin baru lagi yang mencoba dialog dengan cermin-cermin yang lain. Konsekuensinya berikutnya, pemahaman mengenai munculnya media seni instalasi karena keterbatasan ruang kanvas lukis atau halaman buku untuk membahasakan kepingan kehidupan yang mau digarap seniman membutuhkan sungguh pembelajaran tidak hanya simbolisme seni, tetapi arus-arus anti-estetika modernitas dalam estetika postmodernitas.

Ketiga, dalam budaya mutakhir di mana produksi komoditas bersanding dengan produksi simbolik makna dan penggairahan provokatif lewat iklan yang merangsang basic instinct untuk mengonsumsi terus-menerus dan menuruti selera yang diciptakan oleh penguasa pasar, pemahaman dan penulisan kritik seni mesti bisa melihat sisi the sacred dalam komoditas konsumtif sekaligus yang simbolik dari citraan-citraan dunia hiburan agar erosi nilai pembendaan diketahui kapan mulainya. Sejak uang sebagai nilai tukar mengganti kreativitas, inspirasi, jerih keringat dan pergulatan seniman ketika berproses kreatif. Akibatnya rupiah dan dolar mereduksi karya seni menjadi melulu komoditas. Mampukah kritik seni keluar dari makian dan menuding kapitalisme sebagai biang tanpa mencoba menanggapi secara cerdas, kultural, dan alternatif yang memaksa penguasa pasar menghargai sumber berkesenian sebagai perayaan hidup dalam festival? *

Mudji Sutrisno SJ, Pengajar Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta.

Diposkan oleh Teungku Fachroe di 16:09 0 komentar Link ke posting ini

Label: Artikel

Kritik Teater: Tulisan Diskursif, Tulisan Alkemis

Fenomena teater modern di (sejumlah kota besar) Indonesia adalah fenomena reklamasi biografi. Teater dipilih sebagai medan kreasi, lebih sebagai kebutuhan personal untuk menguruk dan memadatkan fondasi identitas. Profesionalitas bukan satu-satunya tujuan kulminatif terpenting. Teater adalah altar kultivasi, di mana pengorbanan pribadi dan kedaruratan fasilitas justru jadi 'jalan ritual' untuk pemadatan biografi pelaku-pelakunya. Jelas, ini tipe pandangan yang diromantisir, dan kesimpulan yang secara eksplisit emosional. Tapi, optimisme para pekerja teater modern di Indonesia adalah hasil dari internalisasi emosi seperti ini. Internalisasi emosi inilah yang justru melahirkan moral berkreasi yang liat, tandas, terinisiasi, meski tidak seluruhnya menghasilkan inovasi.

Kreativitas dan invensi estetik teater modern di Indonesia bersumber dari energi biografis yang terus digandakan. Perjuangan artistik adalah medan pergulatan biografis itu sendiri. Kreasi teater adalah biografi sekunder kreatornya. Karena itu, dapur alkemi teater cenderung juga merefleksikan dapur biografis penggiatnya. Perjalanan kreativitas teater di Indonesia tidak dibangun oleh institusi formal teater, tetapi berbasis pada hasil-hasil sublimatif dari kreativitas persona. Biografi teater modern adalah biografi sejumlah persona. Persona itu adalah individu-individu yang memproses sendiri ritual reklamasi-nya, untuk kemudian membangun energi alkemis dalam lingkaran internal komunitas kreatifnya. Itu sebabnya konsep-konsep kreatif di dunia teater selalu berkumpar pada keunikan dan ekspresivitas konsep-konsep personal, sebuah self-confession dari dapur biografisnya; dan bukan dimanifestokan dalam bentuk konseptualisasi akademis, yang argumentatif dan sistemis.

Dapur biografis dapat dipahami sebagai hasil pertalian dan transformasi kesadaran persona dengan biosfir sosialnya. Biosfir sosial adalah ruang migrasi dan reintegrasi sekaligus. Karya-karya teater modern di Indonesia merupakan pilihan adaptif dari proses migrasi dan reintegrasi tersebut. Teater ekspresionis Arifin-Kecil, berisi kesadaran migratif antara Islam substantif dan proses reintegrasinya dengan narasi urban Jakarta. Putu-Mandiri, menemukan estetika ke-putu-annya, lewat reintegrasi bahasa piktografik wayang, vokalisasi Bali dan diksi oral komunitas trotoar Jakarta, sepanjang proses migrasi eksistensial Putu, dari Bali, Yogya, lalu berlabuh di Jakarta. Dindon-Kubur, melakukan reintegrasi identitas atas realitas faktual Kober, fleksibilitas dan fragmentasi narasi dari komunitas marjinal, dan ramuan estetik teaternya menunjukkan proses migrasi sublimatif atas biosfir sosial Kober yang diserapnya. Yudi-Garasi, melakukan migrasi diskontinyu atas praksis teater populis Yogya— memilih prinsip amnesia terhadap determinasi dan beban budaya masa lalu—untuk menemukan koridor reintegrasi dengan ranah estetika global.

Bukan rekayasa artistik

Proses estetikasi teater seperti contoh-contoh di atas adalah proses alkemi teater yang bekerja dalam dapur biografis masing-masing kreatornya. Kreasi teater bukan hanya soal melakukan rekayasa artistik untuk membuat 'pertunjukan yang bagus'. Kata 'bagus' dan 'tidak bagus' menjadi terminologi yang terlampau simplistik dalam membaca praktik teater sebagai proses migrasi ini. Sebab pengkelasan 'bagus' dan 'tidak bagus' adalah kategori kualifikasi untuk kerja profesi. Teater modern di Indonesia bukan profesi, tapi sebuah kerja alkemis di wilayah dapur biografis. Bagi para kreatornya, teater kemudian lebih dihayati sebagai medan empatis, bukan regularitas teknis. Aku dalam teater bukan aku-singular objektif. Aku dalam teater adalah multi-aku, pulang-pergi antara migrasi dan reintegrasi, untuk menemukan identitas sublimatifnya.

Dalam konteks membaca paradigma kreasi teater seperti di atas, narasi kritik tertantang untuk menunjukkan sensitivitas reseptifnya, dengan cara menunjukkan bahwa: di belakang setiap kreasi teknis teater, sebenarnya melekat pula kreasi sublimatif lain, yang bekerja di luar kategori pencapaian 'bagus' dan 'tidak bagus'. Kreasi sublimatif ini adalah wilayah ritual biografis kreatornya, yaitu peristiwa interface antar sang multi-aku dalam diri, di mana kepercayaan atas penemuan adaptif dan self-confession akan lebih berperan daripada pencapaian kesempurnaan teknis semata.

Kerja kritik teater harus lebih mampu menangkap nilai dari kreasi sublimatif ini, yang biasanya muncul implisit di bawah realitas teknis pertunjukan. Kreasi sublimatif ini menjadi lebih penting
dikuak dan dipahami karena dalam relasi inilah, intensitas ritual dari proses reklamasi biografis kreatornya dapat lebih terbaca. Proses reklamasi biografis adalah denyut dari dunia multi-aku, dunia migrasi dan reintegrasi, yang tengah membangun koneksi-koneksi alkemisnya terhadap medan biosfir sosial yang diserap kreator. Dari relasi-relasi seperti itulah, idiom-idiom estetika personal dibangun. Malhamang-Bandar Jakarta, berada dalam koneksi alkemis dengan perahu-perahu kayu Tanjung Priok. Gundono-Suket, mendapatkan kembali nutrisi estetik yang melimpah dari kekenyalan memori pastoralnya, yang lekat dengan imaji rumput dan tanah.

Untuk dapat memahami sumber-sumber alkemis yang menjadi fondasi dari kreasi sublimatif teater seperti di atas, narasi kritik harus dapat membangun kekuatan empatis dari tulisan. Kritik empatis sebagai bentuk penjelajahan terhadap kreasi sublimatif teater bukan cara untuk mengorbankan atau menumpulkan kekuatan diskursif tulisan, lalu menggantinya dengan ungkapan-ungkapan euphemistis. Empati justru merupakan ketajaman lebih lanjut dari panah diskursif.

Jika diskursivitas cenderung pada narsisisme pikiran, maka narasi empatis dalam kritik akan mencairkan kemampatan dan koersivitas opini, dengan cara terus mengayuhkan seluruh muatan nalar dalam tulisan ke wilayah ayunan leksikalnya, untuk menunjukkan kekenyalan dan keleluasaan imajinatif tulisan. Narasi kritik adalah pendulum yang terus mengikhtiarkan gerak skriptural untuk makin melebarkan rentang semantiknya.

Kritik bukan perumusan amanat kritikus, lewat usaha pengkelasan atau penabalan atas nilai-nilai kreatif seni. Kritik adalah tulisan alkemis, di mana pengalaman reseptif yang dibangun kritikus, sekaligus menunjukkan kualitas interpose kritikus, dalam upayanya untuk terus membaca peristiwa teater dalam dua jejak alkemisnya, yakni antara kreasi teknis dan kreasi sublimatif teater. Dengan kata lain, kritik alkemis adalah hasil pembacaan silang yang makin intensif dan sensitif antara realitas Aku-teknis dan kehadiran senyawanya, yaitu Multi-aku sublimatif. Atau antara kehadiran si kaki di front-stage dan migrasi jejak-majemuknya di wilayah back-stage.

Benny Yohanes Pekerja Teater, Tinggal di Bandung

Diposkan oleh Teungku Fachroe di 16:07 0 komentar Link ke posting ini

Label: Artikel

Kamis, 28 Mei 2009
DRAMA REALIS

REALISME dalam drama atau teater sangat berhubungan erat dengan tradisi drama atau teater realis di Barat. Drama atau teater realis lahir dari dinamika sejarah masyarakat Barat dan berhasil mencapai taraf proses konvensionalisasi yang mapan. Di Inggris, drama realis tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Inggris pada abad XII yang dimotori kelas borjuasi.Berkaitan dengan seni peran dapat diamati pada periode besar teater Elizabethan. Perkembangan dan pertumbuhan imperius-Inggris membuka kesempatan bagi kelompok saudagar dan pemilik-pemilik toko untuk berkembang secara ekonomis dan politis. Makin lama mereka semakin kuat dan akhirnya tumbuh pula harga dirinya sebagai kelas tersendiri. Di dalam dunia teater, pada suatu ketika kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon raja-raja, bangsawan-bangsawan; mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Maka tidak sia-sia, George Lillo (1731) menulis lakon tentang magang, pelacur, dan saudagar dalam karyanya Saudagar London. Jelas dalam lakon ini tokoh-tokoh kerajaan tidak hadir.

Kebangkitan kelas borjuasi merupakan salah satu sebab munculnya realisme. Daya lain yakni Ilmu Pengetahuan: teori Evolusi Darwin, teori psikologi sebelum Sigmund Freud, maupun masalah-masalah sosial yang menantang pendekatan ilmiah pada masa-masa itu mendorong tumbuhnya suatu sikap dan cara memandang kehidupan secara khas. Sikap dan pandangan ini secara tak langsung menyatakan bahwa kehidupan dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran obyektif. Para Raja dan kaum bangsawan sudah tersisih dari kehidupan, maka mereka pun tersisih dari pentas pula.

Kebangkitan borjuasi ternyata juga membangkitkan individualisme. Tokoh-tokoh pemikir yang mewakili kelas borjuasi seperti Hobbes, Montesquieu dan Rousseau langsung atau tidak langsung mengungkapkan pandangan tentang supremasi individu dalam masyarakat dan menekankan pentingnya pengaturan hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan negara. Pandangan demikian dikenal dalam masyarakat yang menentang dan membebaskan diri dari pandangan komunal-feodal.

Secara mudah dapat dipahami mengapa dalam realisme individu demikian menonjol; justru individu sebagai protagonis yang dengan tindakannya menimbulkan konflik dengan lingkungannya, dengan masyarakatnya yang melahirkan drama.Sehingga tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa realisme adalah teater tokoh, teater individu. Realisme berbicara Dr. Stocmann dalam Musuh Masyarakat karya Hendrik Ibsen, Willy Loman dalam Matinya Pedagang Keliling karya Arthur Miller, Jane, Fritz, Corrie, Willem dalam Perhiasan Gelas karya Tennesse William. Penulis pernah memainkan tokoh Fritz, Doni Kus Indarto memeranan Willem, Sari Nainggolan sebagai Corrie dan Sekar Pamungkas sebagai Jane waktu studi Penyutradaraan II pada Jurusan Teater ISI Yogyakarta di Kampus Utara Karangmalang (1987).

Individu-individu yang hadir di atas pentas mewakili dirinya sendiri, mereka hadir dalam keamungan atau keunikan di dalam pikiran, perasaan, temperamen dan pandangan hidup. Mereka adalah manusia darah daging yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam realisme, protagonis dan antagonis merupakan sarana pelaksana konflik. Ia adalah tokoh yang bertentangan dengan setengah pihak lainnya, baik lingkungan sosial, spiritual atau alam. Ia berusaha mengalahkan, menundukkan lawannya dan menyadari keterbatasan, kelemahannya dengan tabah dan agung maka terjadilah tragedi. Jika mereka dapat menerima kelemahan dan keterbatasannya dengan tertawa maka lahir komedi. Apapun yang terjadi pihak protagonis dan antagonis merupakan individu yang menentukan.

Teater realisme sifatnya sastrawi (literrer). Bahasa sangat menonjol sehingga terkesan verbal. Hal ini dapat dimengerti karena hanya dengan bahasalah cocok untuk mengungkapkan yang bersifat intelektual dan analitik. Seperti halnya kegiatan masyarakat Eropa. Kecenderungan intelektualitas ini diwakili tokoh realisme dari Inggris, Shaw dimana ia menulis dialog sebagai disksi dan debat. Gambaran obyektif tentang dunia, kecenderungan menempatkan kedudukan individu pada tempat yang sangat dominan serta kecenderungan memandang hakikat drama sebagai konflik telah menggerakkan suatu proses konvensionalisasi terhadap para penata panggung (stage, propertys dsbnya), gaya berperan dan cara menulis naskah, proses konvensionalisasi ini mencapai kemapanannya pada pertengahan akhir abad XIX, melalui -tokoh-tokoh seperti Ibsen, Chekov dan Stanislavsky (Ferguson, 1956).Untuk itu dapat ditangkap bahwa realisme memuat pandangan dunia, yang memandang dunia dan alam sebagai sesuatu sasaran untuk ditaklukkan dan ditundukkan. Kemudian dimanfaatkan, dieksploatasi. Awal abad XX terjadi perkembangan baru dalam kehidupan teater di Eropa. Tokoh seperti Brecht, Artaud menolak aliran realisme.
Latar Kebangkitan

Realisme bangkit seiring dengan tumbuh dan berkembang kelas, burjuis di Eropa. Sejak jaman Renesan, dunia perdagangan di Eropa mulai maju. Perlahan-lahan pengaruh dan kekuasan berpindah dari golongan aristokrat pemilik tanah dan pedagang. Dampak yang muncul pada dunia teater, kelas burjuasi tak ingin lagi menonton lakon raja-raja, pangeran dan putri-putri Mereka ingin melihat diri mereka sendiri. Fenomena ini menggerakan George Lillo menulis tentang magang, pelacur dan saudagar dalam naskah saudagar dari London, atau Tragedi George Barnwell (1731). Naskah ini tidak menghadirkan satria-satria, putri-putri serta pahlawan-pahlawan dengan zirah mengkilap dan pedang bergemerincing.

Kebangkitan kelas burjuasi merupakan salah satu sebab yang mendukung munculnya realisme. Ada juga kekuatan lain yaitu perkembangan Ilmu pengetahuan. Teori evolusi Darwin, Positivisme Auguste Comnte, serta teori-teori psikologi Freud dan masalah-masalah sosial yang menentang pendekatan secara ilmiah, menimbulkan suatu cara pandang yang khas pada kehidupan.

Sikap dan cara pandang ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kehidupan dan dunia dapat dipahami melalui pengamatan dan penggambaran obyektif. Peri-peri dan tukang tenung berada di luar dunia obyektif. Dengan sendirinya para pangeran dan para putri sudah saatnya tersisih dalam kehidupan panggung.

Munculnya kelas burjuasi dan perkembangan llmu Pengetahuan abad XIX, akhirnya membangkitkan suatu pola hidup individualisme. Tokoh-tokoh pemikir yang mewakili kelas burjuasi seperti Hobbes, Montesquieu dan Rousseau, langsung atau tidak langsung mengungkapkan pandangan tentang supremasi individu dalam masyarakat. Mereka menekankan pentingnya pengaturan hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan negara. Pandangan ini bukan saja tidak dikenal dalam masyarakat komunal-feodal, akan tetapi justru menentang dan membebaskan diri dari pandangan komunal-feodal tentang individu. Oleh karena itu mudah dipahami jika dalam pentas realisme, individu-individu dibuat sangat menonjol keberadaannya. Individu sebagai tokoh protagonis dalam tindakannya bisa menimbulkan konflik dengan lingkungannya. Hal ini berbeda dengan tokoh-tokoh dalam drama Klasik dan Romantik yang dilandasi semangat mitis ingin menegakkan moral dan kebenaran. Para tokoh yang dimunculkan dalam drama Romatis bisa dikatakan sebagai manusia setengah dewa

Romantikisme secara mencolok menampilkan konflik antara kejahatan dan kebaikan, yang kelihatannya diwarisi dari mitos-mitos Yunani Kuno sebagai tragedi kehidupan. Dalam Romantikisme diciptakan sikap yang kontras dalam menanggapi kebenaran dan dosa, antara roh dan nafsu kedagingan. Cinta juga selalu menjadi bagian yang terus dipertahankan ketika berhadapan dengan kekhaosan hidup. Romantikisme tidak ragu untuk mengafirmasikan cinta dan pengorbanan sebagai tindakan heroik. Manusia semacam Robin Hood yang hidup di hutan dengan kawan rampoknya, yang dikejar-kejar penguasa tapi tetap memperjuangkah rakyat miskin, adalah gagasan tokoh dari abad Romantikisme.
Realisme Konvensional

Setelah digambarkan bahwa realisme lahir dari dinamika kehidupan masyarakat Barat yang menekankan obyektifitas pengamatan, maka yang nampak di atas panggung kemudian ialah sebuah kehidupan yang diusahakan sesuai dengan aslinya. Dinyatakan oleh Kernodle bahwa realisme menyajikan gagasan untuk menampilkan suatu bagian dari kehidupan. Di atas panggung akan terbayang sepotong kehidupan, sehingga jagad panggung merupakan penyajian kembali kehidupan indrawi. Secara teknis pementasan di atas panggung diusahakan menggambarkan kehidupan sering mungkin. Pentas dan perlengkapan panggung menggambarkan ruang duduk suatu keluarga, atau ruang kantor dan ruang lain yang paling umum dilihat oleh penonton. Kalau cerita mengenai sejarah, misalnya tentang Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, maka ruang dan keseluruhan perlengkapan pentas disesuaikan sedekat mungkin dengan bentuk dan gaya zaman itu. Pertunjukan teater semacam ini dikatakan oleh Saini (1991) sebagai model teater realisme konvensional.

Selain properties, setting dan kostum yang secara pasti berkorespondensi dengan realita, realisme konvensional juga menolak gaya akting yang berlebihan. Pencetus utama untuk gaya berperan realis adalah Konstantin Sergeyevich Stanislavsky (1865-1938). Stanislavsky menekankan arti penting gaya berperan yang wajar, tidak dibuat-buat dan menolak gaya bicara deklamatoris. Dasar dari pemeranan ini mengungkapkan tingkah laku manusia sesuai dengan penernuan-penernuan di bidang psikologi.

Pendekatan pemeranan Stanislavsky dengan metode psikologi sangat sesuai untuk menganalisa tokoh-tokoh yang diciptakan dalam lakon realisme. Tokoh-tokoh dalam drama ini hadir sebagai individu-individu yang ada dalam keseharian dengan karakter penuh kontradiksi. Mereka bukan lagi para pangeran dan putri yang hidup dalam suasana glamour istana. Mereka adalah manusia darah daging yang harus berjuang keras dalam situasi sosial abad XIX dengan adanya revolusi industri.

Pada masa itu kemiskinan dan kejahatan telah merajalela lebih hebat daripada masa sebelumnya. Ide-ide tentang kebebasan dan persaudaraan kaum romantik telah runtuh. Akhirnya para tokoh yang diciptakan dalam lakon- lakon realisme adalah mereka yang bertentangan dengan lingkungan sosial, spiritual, maupun alam.

Dr. Stockman, dalam Musuh Masyarakat karya Henrik Ibsen, adalah salah satu contoh tokoh yang harus terpojok karena melawan lingkungan sosialnya. Meskipun ia benar narnun hukum masyarakat dan pemerintah menentukan lain. Penemuan adanya virus yang menyebar dalam pemandian kota oleh Dr. Stockman telah membuat resah masyarakat dan pemerintah Tempat pemandian itu adalah sumber pendapatan daerah. Jika benar bahwa air telah tercemar maka pemandian tersebut harus ditutup. Usaha ini dengan sendirinya merugikan pemerintah dan masyarakat. Akhirnya kebenaran yang diternukan oleh Dr. Stockman diangap fitnah, dan dia harus disingkirkan.

Drama-drama Ibsen menekankan gambaran watak manusia. Obsesinya sekitar pengaruh nilai-nilai palsu dalam masyarakat terhadap kehidupan pribadi yang harus berbuat secara palsu pula. Contoh kepalsuan ini sangat nampak dalam naskahnya yang lain, yaitu Hantu-Hantu. Naskah ini mengisahkan usaha Ny. Alving untuk menutupi masa lalu suaminya yang penuh noda. la berusaha menghilangkan noda dengan mendirikan RumahYatim dan menyumbang Gereja. Narnun bisakah hal ini menghapus kebobrokan suaminya? Ternyata tidak. Anak Ny. Alving tetap hadir sebagai pemuda yang mentalnya terbelakang. la terserang penyakit sipilys, turunan dan bapaknya. Bayang-bayang hitam masa lalu ternyata tak bisa dihilangkan dengan mudah.

Cukup beralasan jika akhirnya Saini K.M beranggapan bahwa teater realisme adalah teater tokoh, teater individu. Individu sebagai protagonis dengan segala tindakannya menimbulkan konflik dengan Lingkungannya, masyarakatnya, yang menimbulkan drama. Begitu pentingnya protagonis-individu ini, hingga dalam realisme ia mengambil setengah dari pentas sebagai ajang konflik.

Realisme konvensional juga menanarnkan ciri-cirinya pada gaya penulisan sastra lakon. Lakon realisme konvensional dituntut untuk menggunakan struktur yang terjalin dengan pola sebab-akibat. Tuntutan tersebut cukup beralasan karena lakon realis harus menampilkan peristiwa secara rasional. Alur cerita semacam ini cenderung mewujudkan struktur yang dikenal dengan nama Struktur Piramida Aristoteles. Struktur ini memiliki unsur- unsur yang berturut-turut meliputi eksposisi (pembukaan), komplikasi (keruwetan), krisis (penggawatan), klimaks (puncak kegawatan), resolusi (penguraian), konklusi (kesimpulan). Jika digambarkan dalam sebuah diagram, maka rumusan di atas berbentuk seperti bangun segitiga, dengan klimaks sebagai puncaknya.

Setelah dirintis oleh George Lillo, Henrik Ibsen menempati kedudukan yang terhormat dalam hubungannya dengan realisme konvensional. Dialah puncak terpenting aliran realisme. Pada Ibsen metode dan tujuan realisme diterapkan sebaik-baiknya. Pada tahun 1875 Ibsen mulai menulis naskah dan tahun tersebut dianggap sebagai permulaan teater modern.

Naskah-naskah Ibsen sangat berbeda dengan kecenderungan penulisan naskah sebelumnya. Pada Musuh Masyarakat atau Hantu-Hantu misalnya, tidak terlihat adanya penulisan yang bertele-tele, dipenuhi bumbu-bumbu khotbah dan kata-kata romantis lainnya. Dialog-dialog tertulis seperti percakapan keseharian. Pola ini akan mengarahkan pemeran untuk berbicara tidak seperti berdeklamasi. Akhirnya model penulisan semacam itu disyahkan sebagai gaya realisme konvensional. Dapatlah dipahami kalau Ibsen tidak saja dianggap sebagai Bapak Realisme tetapi juga sebagai Bapak Teater Modern, karena realisme konvensional adalah salah satu gejala modernisme.

Realisme dan Naturalisme

Ternyata pemahaman orang pada realisme sangat beragam dan memancing perdebatan. Tidak selamanya kehidupan nyata dapat ditransformasikan ke atas panggung. Hal ini berangkat dari suatu kesadaran bahwa pandangan dan interpretasi terhadap dunia nyata harus diseleksi. Konsep realisme tenis bergulir dan perlu didefinisikan kembali. Kemudian muncullah berbagai varian dari realisme. Salah satu varian itu ialah naturalisme.

Menurut Jakob Sumardjo, naturalisme merupakan sisi ekstrim dari Gerakan Realisme. Pada dasarnya naturalisme mempercayai bahwa kebenaran dunia dapat diketahui dengan lima indra manusia. Tetapi naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah juga percaya bahwa kondisi manusia sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan keturunan.

Seiring dengan merebaknya gerakan naturalisme tumbuh pula kota-kota besar yang menjadi tempat pernukiman kaum urban yang kumuh (slum) akibat ekploitasi industri. Kemiskinan, kesengsaraan, kemelaratan serta kemerosotan moral menjadi persoalan yang kompleks. Kondisi ini memicu para naturalis untuk mengungkapkan kemerosotan dan kebobrokan masyarakat golongan bawah. Drama-drama mereka penuh dengan kebusukan manusia dan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupan.

Naturalisme menolak tampilan drama yang hanya didasarkan pada perkiraan terhadap kehidupan nyata. Setiap sajian drama naturalis adalah usaha mempraktekkan kehidupan nyata itu sendiri, bukan idealisasi kenyataan hidup. Drama naturalis adalah sepotong kehidupan nyata yang didasarkan pada kenyataan hidup yang keras dan kasar. Kenyataan yang ditranformasikan dalam pentas naturalisme misalnya drama sebabak Andre Antoine, Tukang Jagal, menghias pentas dengan daging-daging sapi sebenarnya seperti toko daging para penjagal dalam realita.

Meskipun disebut sebagai varian dari realisme, naturalisme mempunyai kecenderungan estetika yang sangat berbeda dengan realisme Realisme dipandang lebih obyektif daripada naturalisme. Dalam realisme segalanya digambarkan seperti keadaan yang sebenarnya, seperti yang dilihat oleh mata, tidak kurang tidak lebih. Pada seni rupa, seniman seolah-olah suatu cermin yang membayangkan kembali kehidupan sekitar dengan wama-wama, garis-garis dan gerak-geriknya. Seorang pengarang realis melukiskan tokoh-tokohnya dengan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sampai pada yang sekecil-kecilnya, dengan tidak memihak memberikan simpati atau antipati pada tokoh-tokohnya. la membayangkan tokoh-tokohnya seperti yang sungguh-sungguh dikenalnya. Pengarang atau pelukis adalah penonton yang obyektif. la tidak memperbagus dan memperjelek orang-orang dan keadaan-keadaan yang dilukisnya

Sedangkan oleh kaum naturalis, alam dilihat melalui kehangatan rasa. Dunia luar tak bisa dilukiskan seperti apa adanya. Pusat pribadi

seniman harus turut bicara. Singkat kata dalam naturalisme sangat berkuasa pandangan dan visi seniman sendiri atas alam. Suatu pandangan yang mengandung nafsu hidup yang besar.

Membahas naturalisme mengingatkan kita pada karya-karya Raden Saleh atau Basuki Abdullah yang sering menggambarkan figur perempuan secara erotis. Pernah timbul suatu rumusan bahwa naturalisme sebagai realisme cenderung pada hal kemesuman. Ini didasarkan pada beberapa pelukisan mesum atas karya Emile Zola yang dianggap sebagai pengarang naturalis terbesar. Jika ditelusuri sebenarnya roman-roman Zola isinya tidak sernuanya serba mesum.

Dalam teater, tema-tema drama naturalis adalah tampilan kenyataan naluri-naluri dasar yang berbahaya, seperti penyimpangan seksual, ketamakan, kerakusan dan berbagai fenomena kelaparan dan kemiskinan yang kompleks. Maxim Gorky dalam dramanya Lower Depth (1920) melukiskan tokoh-tokoh yang disergap kemelaratan, hidup di gudang bawah tanah. Mereka hanya bisa hidup dengan angan-angan dan khayalan.

Kemudian Henrik Ibsen dalam A Doll House melukiskan penyimpangan seksual seorang istri bernama Nora. Tetapi suaminya yang bernama Torvald justru memaafkan perbuatan istrinya yang mencemarkan itu. Drama ini pada intinya menggambarkan pertarungan antara kebenaran melawan hipokrisi. Para tokoh realisme abad ke IX menurut Ernst Cassirer, memiliki wawasan yang lebih cermat mengenai proses seni bila dibandingkan dengan lawan-lawan mereka, para tokoh romantikisme. Mereka meyakini naturalisme yang radikal dan tak kenal kompromi. Tetapi justru naturalisme inilah yang membuat mereka memiliki konsepsi mendalam mengenai bentuk artistik. Mereka membuat pelukisan-pelukisan amat detail tentang alam dan watak-watak manusia. Terlihat juga adanya daya imajinasi yang sangat kuat, meski mereka mundur kembali pada definisi usang bahwa seni ialah imitasi alam.

Naturalisme dalam gerakan teater, ternyata hanya sanggup bertahan sampai tahun 1900. Setelah itu hanya realismelah yang berpengaruh. Realisme justru makin berpengaruh karena perkembangan teknologi yang menunjangnya, seperti diketemukannya listrik.
Realisme dan Impresionisme

Impresionisme merupakan varian lain dari realisme. Jika drama naturalis ingin memberikan lukisan pikiran-pikiran yang berat, kejadian-kejadian yang menggetarkan jiwa, tidak demikianlah dengan drama impresionis. Drama impresionis hanya berusaha melukiskan kesannya yang sepintas pada suatu hal. Kesan tersebut tidak akan didramatisasikan secara berlebih, sebab hal itu justru akan menghilangkan kesan penglihatan dan perasaan pada mula pertama.

Drama impresionis mempunyai hubungan yang implisit dengan seni rupa. Para impresionis lebih tertarik pada pemandangan yang seolah-olah ringan dan sepele. Claude Monet menernukan impresi dalam lukisannya berupa katedral yang hilang dalam kekaburan pagi buta. Demikian pula impresi sebuah jembatan dalam senja berkabut di London. Cahaya, cuaca, kabut, waktu yang merangkak dalam hari, dan warna lokal sangat penting dalam impresionisme. Latar depan lenyap, yang muncul adalah latar belakang.

Drama impresionistik menawarkan konflik yang tersamar dan berupa persoalan-persoalan yang sepele. Kecenderungan ini menjadikan karakter tokohnya terkesan tidak mengalami perubahan watak yang jelas. Alur yang menunjang drama ini juga tidak pernah menunjukkan eksposisi dan progresi yang jelas serta klimaks yang menentukan. Ini sangat berbeda dengan drama naturalis yang tokoh, alur, konflik dan persoalannya jelas. Contoh yang cukup representatif dari kecenderungan impresionistik terdapat pada karya Anton Chekov.

Drama-drama Chekov diilhami dari kehidupan masyarakat Rusia jaman ia hidup. Tokoh-tokohnya memimpikan hidup yang berguna dan berbahagia, tetapi selalu terbentur oleh lingkungan, kepribadian dirinya dan keinginan-keinginan tokoh lain. Kejadian-kejadian yang diciptakan Chekov seakan-akan tak menentu arahnya, seperti karakter tokoh-tokohnya yang juga tak menentu. Nampaknya drama-dramanya memberi kesan murung tetapi di dalamnya banyak mengandung humor. Kemurungan dan humor muncul secara simultan dalam drama-dramanya. Ini bisa dilihat misalnya pada The Cherry Orchad (Kebun Chery, 1904).

The Cherry Orchad merupakan drama Chekov yang terkesan sangat impresionistik. Drama ini berkisah tentang sekelompok tokoh yang mencoba bertahan pada makna sebidang tanah perkebunan bangsawan. Mereka masih meyakini status kebangsawanannya karena m»sih tinggal di sebuah tanah dengan berdirinya tumbuhan Chery yang merupakan pohon simbol kebangsawanan di Rusia. Keberadaan mereka dalam realita sebenarnya telah digeser oleh hadirnya orang kaya baru dari kalangan pedagang. Kekalahan mereka akhirnya ditandai dengan ditumbangkannya pohon Chery oleh pemilik baru dari tanah bangsawan tersebut.

The Moscow Art Theatre di bawah arahan sutradara Stanislavsky mementaskan drama tersebut dengan penuh melankoli dan impresi yang mendalam. Tetapi Chekov ketika itu meminta dengan tegas bahwa drama itu adalah komedi. Ternyata aktor-aktor yang memerankan tokoh-tokoh dalam drama tersebut berhasil menciptakan karakter-karakter unik yang menggelikan, tokoh-tokoh yang bodoh tetapi lucu, tanpa harus kehilangan simpati mendalam atas penderitaan yang dialami tokoh-tokoh tersebut. Kombinasi tragik-komik memang senantiasa menjadi ciri-ciri yang menonjol dalam drama impresionistik. Begitu banyak persoalan yang ditimbulkan manusia karena ketamakannya, kerakusan, khayalan yang merusak diri sendiri, serta kepicikannya. Oleh karena itu yang muncul kemudian adalah sebentuk drama kehidupan yang penuh ironi.

Realisme Sosial

Aliran realisme tidak sepenuhnya diterima dalam abad XX Pemberontakan terhadap realisme timbul, antara lain oleh Symbolisme, Ekspresionisme dan Teater Epik. Konsepsi seni aliran di atas menentang realisme konvensional secara mendesar. Kaum symbolis beranggapan bahwa intuisi meruapakan dasar yang tepat untuk memahami realitas. Keyakinan tersebut berangkat dari suatu anggapan bahwa kenyataan tak bisa dipahami secara logis, maka kebenaran juga tak mungkin diungkapkan secara logis. Oleh karena itu kenyataan harus diperlihatkan dengan simbol-simbol. Sebuah drama symbolis cenderung bersifat samar, misterius dan membingungkan.

Sementara ekspresionisme, mendasarkan kebenaran bukan pada kenyataan-kenyataan luar seperti dalam realisme. Menurut kaum ekpresioms, kebenaran harus dicari dalam visi pribadi. Kebenaran terletak dalam jiwa, pikiran dan batin. Apa yang dianggap seseorang benar menurut batinnya harus diekspresikan meskipun tidak bersesuaian dengan dunia nyata di luarnya. Pandangan ini terasa sangat subyektif, bertentangan dengan realisme yang berusaha untuk selalu obyektif.

Sedang teater epik, meski dipertimbangkan sebagai gaya yang memberontak realisme, namun bentuk dramanya jika dicermati justru memperluas konsep realisme. Pemrakarsa teater epik ialah Bertolt Brecht (1898-1956). la mulai aktif dalam teater ketika Jerman tengah berada dalam puncak jaman ekspresionisme. Narnun jika kita melihat beberapa karya dramanya terlihat adanya kecenderungan menampilkan realita secara obyektif.

Realita yang ditampilkan oleh Brecht tidak sejalan dengan realisme konvensional. Pandangan Brecht pada fenomena sosial tidak bisa dipisah-kan dari sikap ideologinya sebagai penganut Marxisme. Brecht adalah seorang pengecam kapitalisme. Seperti telah dipaparkan di atas, realisme konvensional di antaranya tumbuh dan berkembang berkat pertumbuhan dan perkembangan masyarakat burjuasi. Sementara Brecht sebagai seorang Marxis beranggapan bahwa kelas pekerja membutuhkan gaya teater yang lain, yaitu yang menyampaikan pesan-pesan yang politis. Karena pesan-pesan politisnya inilah teater Brecht bisa digolongkan ke dalam Arealisme sosialisa. Di samping itu karena bertujuan mengajar masyarakat untuk melihat realitas sesuai dengan pandangan yang marxistis itu, maka teater Brecht adalah juga bersifat didaktis.

Walaupun seorang marxis, Brecht tidaklah menulis lakon-lakon murahan. Sebagai seorang jenius ia dapat mengatasi kegagalan-kegagalan di bidang artistik. la kemudian tampil dengan karya-karya yang cemerlang, baik dalam bidang pemikiran, penulisan sastra lakon maupun penyutradaraan.Karena kejeniusannya dan kemampuannya di bidang artistik, ada yang beranggapan bahwa teater epik Brecht bukanlah Arealisme sosialis tapi lebih tepat digolongkan sebagai Arealisme sosial A. Ada perbedaan yang hakiki di antara ke duanya.

Realisme Sosialis, pada awalnya muncul tahun 1932 sesudah Konferensi Partai Komunis Uni Sovyet pada tanggal 30 Januari - 4 Februari 1932. Josep Stalin mengadakan perombakan besar-besaran pada seluruh aspek kehidupan, yakni perombakan dari watak proletar menuju watak sosialis. Perombakan itu termasuk dalam aktivitas budaya dan sastra yang harus memainkan peranan sebagai corong propaganda fase sosialis dalam segala bidang.

Sementara itu yang disebut dengan realisme sosial sama sekali tidak ada hubungannya dengan realisme sosialis. Pada prinsipnya realisme sosial merupakan suatu pandangan atau suatu keyakinan pengarang yang tertuang ke dalam prosa yang cermat, teliti, rinci, jujur dan obyektif dalam menampilkan seluruh kejadian kehidupan, termasuk kebobrokan yang terjadi dan dialami oleh pengarang. Dalam realisme sosial seorang pengarang dengan sadar melakukan kritik dengan tujuan penonton menjadi kritis. Aliran ini dikenal pula dengan sebutan realisme kritikal, suatu realisme sosial yang mengandung kritikan sekaligus membangkitkan reaksi kritis penonton.

Kalau diperhatikan secara teliti, realisme sosial bukanlah bagian dari struktur partai seperti dalam realisme sosialis. Aliran realisme sosial hanya menyajikan sebuah penilaian terhadap kenyataan sosial, tidak mempunyai ambisi lain kecuali menyodorkan suatu gambaran nyata yang terjadi di tengah masyarakat. Karya seni realisme sosial lebih cenderung sebagai gagasan pribadi yang mewakili golongan intelektual.

Munculnya sebutan teater epik sebetulnya untuk tujuan membedakan bentuk dan teori teateroya dengan realisme konvensional. Gaya teater epik menginginkan terjadinyajarak antara penonton, pemain dan pentas sehingga tercipta suasana kritis. Untuk menciptakan jarak ini, Brecht menciptakan prinsip V-Effect (VerfremdungsefTekt), yaitu efek pengasingan atau alienasi. Melalui efek alienasi ini baik penonton maupun pemain harus tetap mengambil jarak kritis terhadap masalah yang disajikan pengarang Penonton maupun pemain harus tetap sadar bahwa apa yang sedang mereka lihat dan alami bukanlah kehidupan, melainkan teater.

Teater Brecht bukanlah teater illusionos seperti teater realisme konvensional. Untuk itu dalam drama Brecht tidak diternukan pola penokohan yang bisa menimbulkan efek identifikasi. Sangat dihindari proses yang menjadikan penonton larut pada tokoh yang ada di panggung. Pemahaman pemeranan dalam teater epik tidaklah menuntut aktor untuk menjiwai tokoh dalam cerita yang diperankan, seperti halnya yang dianjurkan oleh Stanislavsky dalam realisme konvensional. Pemeran dalam teater epik hadir dengan sadar untuk mendemontrasikan pikiran, perasaan dan hasrat, cita-cita dan sebagainya. Walau di dalam praktek pemeranan tidaklah mudah menernukan batas-batas yang tegas antara pelaksanaan teori Stanislavsky dan teori Brecht, tapi ciri-ciri pemeranan Brecht cukup kentara. Dalam pemeranan teater epik para pemain lebih banyak mempergunakan daya ungkap gerak-gerik (gestikulasi). Pementasan sandiwara-sandiwara Brecht dan para pengikutnya biasanya ditandai dengan pemandangan pentas yang sibuk (sering ada nyanyian dan tarian) untuk tujuan alienasi.

Sastra lakon Brecht juga berbeda dengan sastra lakon realisme konvensional yang menganut faham Aristotelian. Brecht menyebut gaya lakonnya non-Aristotelian. Peristiwa-peristiwa dalam lakon Brecht tidak secara ketat dihubungkan oleh hukum sebab-akibat. Adegan demi adegan dalam lakon teater epik lebih berupa tempelan-tempelan (montage) Kesatuan lakon diciptakan dengan mengaitkan adegan satu dan yang lainya dengan menjaga keutuhan tema. Adegan- adegan tersebut biasanya disambung dengan suatu narasi yang dalam pertunjukan dilakukan oleh narator (pembawa acara).

Tata-pentas, tata-busana dan tata-perlengkapan (properties) diusahakan untuk berbeda dengan apa yang ada dalam kehidupan Sebagai contoh, kalau dalam pementasan diperlukan perlengkapan yang dibuat dari kotak-kotak bekas pembungkus sabun, maka perlengkapan itu dibiarkan seperti apa adanya. Jika kotak tersebut digunakan sebagai kursi, maka kotak tersebut tak perlu dicat. Papan-papan kotak sabun diperlihatkan seperti apa adanya agar penonton tetap sadar bahwa itu kotak sabun yang digunakan sebagai kursi.

Realisme sosial Brecht tidak muncul begitu saja. Upaya mencari gaya teater yang tidak illusionis sebagai altematif terhadap realisme konvensional telah dilakukan orang sebelumnya. Simbolisme dan Ekspresionisme yang dirintis oleh Stindberg dan tokoh-tokoh di Jerman tahun 1920-an adalah bagian dari upaya itu. Meski demikian, upaya mereka masih memberi peluang bagi keterlibatan emosional dan identifikasi penonton terhadap tokoh-tokoh yang ada di atas pentas. Hal ini sangat berbeda dengan gaya teater Brecht yang menginginkan terjadinya jarak antara penonton, pemeran dan pentas, hingga penonton bisa tetap kritis.

Dalam hubungan ini pengaruh Erwin Piscator yang bekerjasama dengan Brecht pada awal perkembangan Brecht sendiri, terasa sangat penting. Piscator yang juga seorang marxis, adalah orang pertama yang mempergunakan istilah teater epik di samping istilah sastra langsung (direct literarure). Baik teater epik maupun sastra langsung ialah sastra yang membahas masalah-masalah politik dan ekonomi secara langsung, menuntut sikap kritis pembaca dan penonton. Tuntutan ini pada gilirannya meminta bentuk dan gaya pentas, pemeranan dan sastra lakon yang berbeda dengan realisme konvensional. Demi kepentingan itu Piscator memadukan poster, slide, film dengan tata-pentas, mamadukan pemeranan dengan demagogi dan memadukan sastra, diskusi dan reportase. Pada awalnya eksperimentasi ini dianggap gagal oleh banyak kritikus tapi kemudian menjadi bentuk yang solid karena kejeniusan Brecht.

Realisme di Indonesia

Telah disinggung di depan bahwa realisme lahir dari dinamika sejarah masyarakat Barat dan berhasil mencapai taraf proses konvensionalisasi yang mantap dan mapan. Realisme menyebar ke Timur termasuk ke Indonesia sebagai gelombang pemikiran dan ilmu. Sehingga cukup logis jika pendukung faham realisme tumbuh di kalangan cendikiawan. Mereka bukan para burjuasi tetapi pribadi-pribadi yang mengenyam pendidikan Barat yang dipandang modern. Para pemrakarsa realisme dalam sastra, seni rupa, dan teater adalah mereka dari golongan berpendidikan Eropa.

Untuk memahami perkembangan teater modern di Indonesia, perlu kiranya kita memahami situasi sosial pada zaman penjajahan Belanda, saat di mana teater modern Indonesia mulai tumbuh. Zaman itu masyarakat Indonesia masih terbagi-bagi dalam golongan-golongan sosial. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa ada golongan Belanda yang mempergunakan bahasa Belanda, golongan feodal dan priyayi yang menggunakan sebagian bahasa daerah dan bahasa Belanda serta bahasa Melayu-rendah. Kemudian golongan Timur-Asing yang nota bene golongan terbesarnya adalah Cina-peranakan yang menggunakan bahasa Melayu-Rendah dalam keseharian.Dengan menyadari adanya pembagian sosial, maka perkembangan teater modern Indonesia zaman itu tidaklah berada dalam satu garis lurus Terdapat perkembangan pergolongan yang ternyata pada proses selanjutnya sering terjadi persilangan.

Pada awalnya teater modern Indonesia justru berkembang dari lingkungan kurang terpelajar, yakni jenis teater bangsawan dan stamboel yang banyak mendapatkan pengaruh dari gaya teater Persia atau India di Penang, Malaysia. Rombongan pertama dari teater jenis ini muncul sekitar tahun 1891 dengan nama Komedi Stamboel. Pendiri kelompok ini adalah August Mahieu, seorang Indo-Perancis kelahiran Surabaya (1860-1906). Sedang penyedia modal untuk Komedi Stamboel ialah seorang Cina-peranakan bernama Yap Goan Tay dan Cassim, pembantunya.

Repertoir yang dipilih Komedi stamboel mula-mula berasal dari Cerita 1001 Malam, seperti Aladin dengan Lampu Wasiatnya, Ali Baba dengan 40 Penyarnun dan lain sebagainya. Juga dipentaskan Jula Juli Bintang tiga yang merupakan kegemaran teater bangsawan. Mengapa cerita-cerita Arab, Turki dan Parsi amat digemari penonton? Hal ini dimungkinkan karena daya tarik spectacle-nya yang berupa kostum yang bersulam fantasi gilang-gemilang. Penonton bisa melihat raja, pangeran dan bidadari, puteri serta Jin dengan pakaian rupa-warna yang sangat menarik. Kecenderungan semacam ini diteruskan oleh rombongan-rombongan sejenis seperti Komedi Opera Stamboel, Wilhelmina, Sinar Bintang Hindia dal lain sebagainya.

Pada tahun 1908 di kalangan masyarakat Cina muncul kegiatan teater yang disebut Opera-derma atau Tjoe Tee Hie. Yang menank dari kegiatan ini adalah mulai dipakainya naskah tertulis dalam bentuk dialog. Para pendukung opera tersebut bukanlah orang-orang profesional yang terbiasa bermain improvisasi. Mereka adalah para amatir yang mengantungkan dialog dari naskah.Ternyata naskah yang mereka tulis tidak hanya mengenai cerita lama Cina, tetapi justru bersifat realisme, yakni menggambarkan keadaannya masyarakat Cina-peranakan pada jaman itu untuk diambil suri-tauladannya. Narnun dalam segi pemanggungan, mereka masih mengikuti gaya komedi stamboel. Oleh karena itu timbul kemudian kecaman atas opera tersebut dari Lauw Giok Lan dan Kwee Tek Hoay Lauw Giok Lan dari golongan Cina terpelajar. Pertunjukan mereka dianggap sebagai bukan seni atau tooneelkunst.

Giok Lan justru menaruh hormat terhadap kegiatan teater yang dilakukan oleh kaum terpelajar yang tergabung dalam kelompok amatir siswa Asekola dokter Djawa, sekola menak dan sekola calon. Tujuan dari Giok Lan dan Kwee Tek Hoay jelas, yakni ingin menaikkan mutu teater semacam opera derma menjadi teater yang agak terpelajar, yakni main berdasarkan naskah, sehingga permainan lebih teratur, terencana dan rapi.Inilah sebabnya mereka berdua bertindak menulis naskah drama yang betul-betui baik . Lauw Giok Lan pada tahun 1913 menerjemahkan naskah Victor Ido, Karma-Adinda, sedangkan Kwee Tek Hoay pada tahun 1919 menyadur cerita pendek Oppenheim, The False Good, menjadi Allah yang Palsu.

Pada dasarnya kedua pengeritik di atas bertolak dari idiom teater Barat yang mereka baca dari buku-buku sastranya. Lebih jauh mereka berdua juga mengisi kekurangan dengan menulis naskah terjemahan, maka sejak saat itu teater Indonesia mendapatkan pengaruh dari unsur-unsur teater Barat. Pengaruh idiom teater Barat ini (baik dilihat dari naskah maupun pementasannya) mulai masuk ke dalam bentuk teater baru di Indonesia secara nyata pada tahun 1925. Ini ditandai dengan berdirinya rombongan Orion yang diprakarsai oleh pemilik modal yang sekaligus seorang terpelajar, yakni T.D. Tio Jr. atau Tio Tik Djien. la kemudian bersama Nyoo Cheong Seng (seorang wartawan peranakan Cina) mengembangkan Orion dengan lakon-lakon buatan sendiri yang cukup realistis.

Tonggak selanjutnya dalam perjalanan teater modern Indonesia ditandai dengan berdirinya Maya. Teater komersial ini tidak hanya dipertunjukan sebagai sarana hiburan, tetapi sudah menjadi alat kebudayaan. Kegiatan teater menjadi kegiatan intelektual karena para penggeraknya adalah golongan terpelajar. Mereka yang tergabung dalam Maya diantaranya: Usmar Ismail,D. Djajakusuma, Surjo Sumanto, Rosihan Anwar dan Abu Hanifah. Untuk mengembangkan Maya, mereka mempelajari teater secara teoritik. Kegiatan ini dilakukan secara intensif dan memicu mereka untuk mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) setelah kemerdekaan.

ATNI berdiri di Jakarta pada pertengahan 1950-an dengan pencetusnya Usmar Ismail, D. Djajakusuma dan Asrul Sani. Bersamaan dengan itu berdiri juga ASDRAFI (Akademi seni Drama dan Film) di Yogyakarta. Narnun dari dua akademi teater ini, ATNI dipandang lebih menonjol. Bukan saja karena ATNI telah mengentaskan tokoh-tokoh teater yang cukup berpengaruh seperti: Steve Lim (Teguh Karya), Wahyu Sihombing, Sukamo M. Noor, Galib Husain dan sebagainya, tetapi juga karena banyaknya pementasan (23 kali) yang paling dibicarakan kaum terpelajar pada jamannya (1957-1963).

Kiblat kepada seni dan ilmu teater Barat tentu saja sebuah kenyataan yang tak mungkin dielakkan. Jika kegiatan teater sebelumnya adalah teater profesional yang komersial dengan tujuan menghibur, maka seni teater menduduki masanya sebagai kajian ilmu dan penjelajahan artistik. Buku-buku seni peran karangan Richard Boleslavsky dan Stanislavsky diterjemahkan untuk dijadikan pegangan. Ini berarti para siswa ATNI mempelajari teori peran realisme konvensional. Realisme secara konseptual diterapkan dalam teater modern Indonesia.Pengaruh ATNI cukup besar dalam kehidupan teater waktu itu ini dilihat dari pengaruh gaya realisme dengan permainan dalam cara Stanislavsky dan Boleslavsky (yang bukunya diterjemahkan oleh Asrul Sani) yang banyak dianut oleh group-group lain. Meskipun demikian nampak juga adanya reaksi terhadap realisme ATNI, misalnya gaya Brechtian dari Studikiub Teater Bandung (STB).

Dari paparan di atas terlihat adanya tranformasi gaya realis yang diambil dari kebudayaan Barat ke Indonesia. Kecenderungan yang dilakukan oleh para pernuka teater modern Indonesia hanyalah sebatas pada pengungkapan gaya. Secara ideologis mereka bukanlah para kaum realis. Mereka memahami realisme lewat pemikiran-pemikiran yang diserap dari sejarah dan teori-teori Barat.

Pada suatu masa faham realisme sosialis juga pernah diterapkan di Indonesia. Kesenian dalam kasus ini digunakan sebagai alat partai, untuk kepentingan propaganda 1960-1965). Dalam bidang teater, mereka berhasil menarik tokoh besar tahun 1950-an dan 1960-an, yaitu Utuy Tatang Sontani. Drama Utuy, Sayang Ada Orang lain yang ditulisnya sebelum masuk Lekra, diberi penekanan anti-haji. Drama-daramanya setelah itu. Si Kampeng dan Si Sapar adalah bermisikan anti-ulama. Lebih jauh lagi Lekra memasuki organisasi-organisasi teater rakyat, seperti Ludruk dan Ketoprak yang banyak mementaskan lakon-lakon anti agama dan antheistis. Sebuah pementasan yang paling sensasional pada waktu itu bei-judul Matinya Tiihan

Dalam “Sebuah Pembelaan Untuk Teater Indonesia Mutakhir” Goenawan Mohamad menanggapi ceramah Rustandi Kartakusumah yang menilai teater mutakhir sebagai kebarat-baratan dan sok absurd. Tulisan ini menjadi penting karena Gunawan berusaha mendudukkan proses teater modern Indonesia berlangsung dalam suasana dialektik antara hal-hal yang diharapkan dan yang tak disangka-sangka.Menurut Gunawan, beberapa ciri teater mutakhir adalah: berambisi menuju teater puisi yang utuh, unsur humor yang menonjol, masuknya unsur-unsur teater rakyat, serta banyak mengambil latar belakang kehidupan kaum gelandangan atau underdog yang diperlakukan secara intelektual, kemudian munculnya teater-sutradara yang berciri khas pada kepribadian sutradara.

Dari tulisan Gunawan tersirat bahwa teater modern (mutakhir) Indonesia merupakan perternuan dari berbagai gagasan. Hal ini cukup beralasan karena teater modern Indonesia adalah teater kota yang menurut istilah Umar kayam merupakan teater yang unik karena kedudukan dan fungsinya sebagai teater yang belum selesai. Teater Indonesia tumbuh dalam masyarakat yang tengah digiring menuju kepada suatu acuan budaya kota dan industri. Di sisi yang lain, mereka para pendukung teater modern juga belum sepenuhnya tercerabut dari budaya asalnya yang bermuatan tradisional. Hal inilah yang menjadikan teater modern Indonesia berwajah seperti mozaik.

Karena itu sangatlah sulit untuk memberi ciri atau nama pada bentuk teater modern Indonesia seperti yang kita kenal di dunia Barat. Tidak mudah kita mengatakan bahwa presentasi drama Kapai-Kapai Arifin C. Noer sebagai pertunjukan bergaya surealistik. Lakon tersebut memang bukan sekedar lakon verbal. Narnun dalam pemanggungannya ada terselip warna Lenong. Sedang para aktornya mengembangkan teori berperan secara psikologis dari Stanislavsky. Demikian juga pada pementasan Teater Mandiri arahan Putu Wijaya yang dikatakan oleh para kritisi sebagai tetaer mutakhir dengan roh Barong atau Rangda.

Pentas-pentas Riantiarno (Teater Koma) terlihat sekali terpengaruh bentuk teater epik Bertolt Brecht. Sastra lakon dan pemanggungan Teater Koma, seperti misalnya dalam Opera Burisrawa, Opera Primadona, Semar Gugat dan yang lainnya, terlihat ada usaha untuk mengasingkan penonton, pemain dan pentas. V-Effect betul-betui diterapkan oleh Riantiarno. Tetapi kita juga memangkap ada muatan tradisional di dalamnya, seperti memakai pantun-pantun Melayu-Rendah.

Kasus ini tidak berbeda pada Teater Gandrik atau Teater Gapit. Kedua teater ini sangat kental mengambil nuansa budaya Jawa, bahkan untuk Gapit dialognya menggunakan bahasa Jawa. Tetapi tema yang mereka sampaikan adalah realisme sosial. Sedang dekorasi panggung Gandrik pada pementasan Proyek memberi kesan simbolik. Untuk Gapit lebih sering menggunakan setting naturalistik. Lebih kesulitan lagi jika menganalisa metode pemeranan aktor-aktornya. Mereka bermain sangat spontan seperti pemain-pemain Srimulat, Ludruk ataupun Kethoprak. Narnun mereka sangat ceradas dalam menyampaikan dialog-dialog seperti tokoh-tokoh dalam drama Brecht. Pada kenyataannya pendukung kedua teater tersebut memang mendalami teater modern (Barat).

Bagaimana dengan realisme di Indonesia? Lakon Moesoenya Orang Banyak hasil terjemahan Jan-Goan dari lakon Ibsen menurut Bakdi Soemanto (2001:295) secara formal konsep realisme telah menyusup ke dalam jagat teater Indonesia. Hal itu dapat dilihat dalam lakon era Poedjangga Baru yang menunjukkan sikap tanggap kepada jiwa zaman baru. Lakon Manoesia Baroe (1940) karya Sanoesi Pane menurut Hirwan Kwardhani (1991:10) dipandang sebagai penjelmaan Faust dengan Arjuna melalui tokoh Suredranath Das-nya. Hal ini memang menarik sebagai rumusan akan tetapi yang lebih penting adanya “loncatan” dari jagat pikir mitis ke jagat pikir analitis (Bakdi Soemanto, 2001:301). Karya ini lahir sesudah Sandyakala Ning Majapahit (1933) gubahan Sanoesi Pane yang dikritik pedas oleh Sutan Takdir Alisyahbana melalui tokoh Tutty dalam Roman Layar Terkembang (1988:81-90). Dalam roman ini bagaimana Tutty, Maria dan Yusuf mengulas lakon Sendyakala Ning Majapahit dianggap tidak memuaskan. Lakon ini bernada pesimistik bagi seorang aktivis.

Jagat pikir realisme Indonesia pun semakin kuat ketika budaya tulis dibawanya. Zaman Jepang (1942-1945) yang membentuk Pusat Kebudayaan Jepang dengan salah satu badannya Poesat Sandiwara mendorong kegiatan teater sekaligus menyensor karya seni dengan ketat memberi makna penting bagi perkembangan teater. Itu semua tampak dalam lakon yang bertemakan masalah hidup sehari-hari denga tokoh-tokoh orang biasa. Masa ini Dr. Aboe Hanifah menulis lakon Taufan di atas Asia, Intelek Istimewa, Dewi Reni, Insan Kamil, Rogaya, Bambang Laut. Oesmar Ismail menulis lakon Tjitra, Liburan Seniman, Api, dll.(Boen S. Oemarjati, 1971:41-43). Kemudian Sri Murtono (1916-1986) salah seorang seniman teater Indonesia, pendiri ASDRAFI Yogyakarta telah menulis sekitar 52 lakon, dalam masa penjajahan Jepang (1943-1945) menulis lakon: Jasa Keibodan, Hotel Nusantara, dan Ditepinya Bengawan Solo (Nur Iswantara, 2001:96-103). Sri Murtono memegang teguh jiwa nasionalis, ia bergabung sebagai sutradara dalam Pusat Kebudayaan Jepang (Sendenbu) dan menyembunyikan semangat nasionalisnya dibalik kegiatan-kegiatan teater. Kerjasama ini kadang-kadang menyulitkan, dan nasionalismenya yang sangat menonjol banyak kendala baginya (Farida Soemargono, 1979:92-93).

Menurut Bakdi Soemanto (2001:305-306) titik kulminasi faham realisme di Indonesia terjadi di dua kota, yakni di Yogyakarta pada tahun 1948 berdiri Cine Drama Institute atas prakarsa Menteri Penerangan. Kemudian tahun 1949 berdirilah Institut Kebudayaan Indonesia (IKI) Jogyakarta yang diprakarsai oleh Prof. Ir. S. Purbodiningrat, Dr. Abu Hanifah, Ny. Suryadarma, Mr. Kuntjoro Purbopranoto, Ny. Ali Sastroamidjojo, King Notowijono, Mtahar, Tubir, dan Sri Murtono. Dari institusi IKI Jogyakarta pada tanggal 1 Nopember 1951 lahirlah Sekolah Seni Drama dan Film (SSDRAF) dengan pimpinannya Sri Murtono. Kemudian sekolah ini pada tanggal 5 Mei 1955 berubah status menjadi Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) Yogyakarta, dengan direktur pertamanya Sri Murtono (Nur Iswantara,2001:172-211). Dan di Jakarta pada tanggal 5 September 1955 berdiri Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI).

Di dua akademi ini , seni teaterdipelajari secara keilmuan, artinya di studi dengan pengamatan kritis, didukung teori dan data serta direfleksikan secar cendekia. Studi akademik seperti ini merupakan pola proses kesadaran teatrawan akan lingkungan, yang kemudian ditiru di sanggar-sanggar (Bakdi Soemanto,2001:306). Tentunya terrmasuk dalam menstudi seni berperan memutuhkan bahasa drama yang mudah dipahami.

DAFTAR PUSTAKA

* Gunawan Mohamad, Seks, Sastra, Kita, Sinar Harapan, Jakarta, 1980. Jakob Sumardjo, lkhtisar Sejarah Teater Barat, Angkasa, Bandung, 1986.

* Djakob Soemardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

* Jassin, H.B., Tifa Penyair dan Derahnya, PT Gunung Agung, Jakarta, 1977.

* Kernodle, George R., Invitation to The Theatre, Harcourt Brace and World, Inc., New York, 1967.

* Mac Graw, Hill, Ensyclopedia of World Drama Vol. 2, Mytield Publishing and Co., California, 1963.

* Soedarso Sp., Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern, Saku Dayar Sana, Yogyakarta, 1990.

* Soedarsono, ed., Pengantar Apresiasi Seni, Balai Pustaka, Jakarta, 1992.Tomy F. Awuy, Romantisme, Schiller, dan Rampok Horison, TahunXXVIII, Jakarta, 1993, pp. 50-54.

* Tuti Indra Malaon, et al., Menengok Tradisi Sebuah Alternatif Bagi Teater Modern, Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta, 1986.


Oleh:Nu Iswantara

Diposkan oleh Teungku Fachroe di 12:03 0 komentar Link ke posting ini

Label: Artikel

Selasa, 19 Mei 2009
Asyiknya Menonton Teater

TONTONAN teater sekarang ini, memang sudah menjadi tontonan langka. Beda dengan menonton film atau senetron. Nonton film? Datang saja ke bioskop. Senetron? Cukup tekan tombol televisi di rumah masing-masing.Sajian senetron pasti akan terhidang di depan mata. Tidak dengan pertunjukan teater. Untuk dapat menonton tontonan y ang bergengsi itu, penggemarseni teater di Medan, Jakarta, Bandung atau kota lainnya di Indonesia, harus menunggu sampai ada grup teater yang akan mementaskan reportoar yang akan dimainkan. Tidak heran kalau sekarang ini tontonan teater adalah tontonan ‘mahal’ dan tontonan bergengsi.

Medan punya banyak kelompok teater. Diantaranya Teater Nasional Medan (Tena), Teater Imago Medan pimpinan D. RifaiHarahap, Teater Kita pimpinan Dahri Uhum Nasution, Teater Anak Negeri pimpinan Idris Pasaribu, Teater Generasi pimpinan Suyadi San, D’Lick Teater Team pimpinan Yondik Tanto, Siklus Teater Hafits Taadi, Teater Merdeka pimpinan YS. Rat dan Teater Kartupat Medan pimpinan Alm. Raswin Hasibuan.

Untuk ukuran kota besar seperti Medan, nama-nama kelompok teater yang kita sebutkan di atas cukup banyak memang. Untuk dapat menyaksikan tontonan yang bernama ‘teater’ dari kelompok yang ada itu, sulit untuk dapat kita nikmati, dikarenakan untuk dapat mewujutkan sebuah pertunjukan, tiap grup harus menyediakan dana yang jumlahnya tidak sedikit. Bila Zulhasni dalam tulisannya beberapa waktu lalu menulis teater di Medan kehabisan bensin. Bensin banyak, tapi tak ada yang menyuntikkan bensin itu ke grup-grup teater yang ada di kota Medan. Tanpa dana, memang sulit untuk mewujudkan pagelaran teater. Barangkali itulah yang menyebabkan pertunjukan teater, menjadi pertunjukan seni yang sangat mahal.

Malam rabu, 31 Maret 2009 lalu, di pentas utama auditorium Taman Budaya Medan, penulis berkesempatan menonton pertunjukan teater yang di gelar oleh Lakon Kesenian Kampus Unimed Medan. Tontonan langka dan bergengsi itu, dinikmati lebih dari 400 penonton. Pertunjukan seni teater di Medan yang dulunya di dominasi grup-grup yang ada di Medan, tapi belakangan ini, pertunjukan teater sepertinya diambil alih oleh grup-grup teater yang adadi kampus-kampus.

Oleh : D.Rifai Harahap

No comments: