Wednesday 23 September 2020

TAMAN BUDAYA DIJUAL TAMAN BUDAYA MATI TAMAN BUDAYA TAK LAGI DALAM KENANGAN

M. RAUDAH JAMBAK TAMAN BUDAYA SUMATERA UTARA JADI PERON TERAKHIR KANTUNG KESENIAN KITA, PERJUANGKAN! “Taman Budaya mau dijual!” Demikian isu yang berkembang dan mampu menjadi tranding topic di Taman Budaya (beberapa waktu lalu) khususnya. Taman Budaya sebagai wadah seni bagi para seniman untuk berkarya. Sehingga Forum Seniman Peduli Taman Budaya pun segera bertindak cepat audiensi ke DPRD Sumut berdialog dengan komisi C dan di dukung enam fraksi. PKS, PDI P, PAN, DEMOKRAT, PPP, PDS yang langsung diterima oleh Ketua Fraksi komisi C DPRD Sumut. Laskar-laskar seperti Afrion, Darma Lubis, Irma Karyono, Jones Goeltom, Jali Kendi, Ojax Manalu, dan Yulhasni, meluncur ke sana. Memang bicara budaya dan seni, kembali kita diarahkan pada kemajemukan pandangan. Biasa, jika dalam sebuah pembicaraan seni kita (terlalu) kritis ketika mengemukakan pendapat. Tunggu dulu. Kritis dalam pembicaraan atau kritis dalam perbuatan? Seperti yang pernah tercatat, dalam revolusi kemerdekaan kesadaran geo-politik tumbuh di kalangan cendekiawan dan seniman yang berjuang di lapangan kebudayaan, seperti Soedjatmoko, Sjahrir, Sitor Situmorang, Chairil Anwar, dan lain-lain. Kesadaran geo-politik tidak tumbuh begitu saja. Hasil dari revolusi dan konsensus nasional dari anasir-anasir dalam masyarakat. Tarik-menarik kekuatan politik dan ekonomi menjelma gelombang separatisme yang dihadapi dengan perlawanan berdarah. Sering terjadi perpecahan di tubuh militer dan muncul sikap kritis masyarakat tentang pembagian anggaran belanja daerah. Daerah diperas untuk menopang anggaran belanja negara. Kekayaan dari eksploitasi alam hanya dinikmati oleh kalangan dan kantung-kantung kepentingan tertentu. Belum lagi terjangan Perang Dingin, konflik laten Kapitalis versus Komunisme. Para sastrawan (baca: pengarang) pada awal revolusi dan dalam periode revolusi belum selesai (sampai tahun enam puluhan, ditandai dengan era Konfrontasi dengan Malaysia) menyadari, karya seni, sastra dan budaya sebagai sebuah produk kebudayaan dalam arti luas, yang menanamkan rasa kebangsaan, dan harga diri di tengah pergaulan bangsa-bangsa. Rakyat Indonesia kini sebagian besar buta geografi Indonesia. Bagaimana hendak mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) apabila tidak mengetahui secara persis geografi bangsanya. Masih ratusan pulau di Indonesia belum mempunyai nama. Menurut Pramoedya Ananta Toer, angkatan muda semestinya mengumpulkan data di daerah masing-masing, suatu saat pasti berguna. "Tulis! Suatu saat berguna," kata Bung Pram dengan suara tinggi bergetar. Saya kira kata-kata itu sering diucapkan kepada angkatan muda dan menjadi kerja pengarang yang tidak habis-habisnya. Pramoedya Ananta Toer tekun mengumpulkan data tentang Indonesia. Dokumentasi sejarah bangsa Indonesia yang berton-ton itu berada di lantai atas kamar kerjanya. Kehadiran seni sebagai sebuah karya ataupun kepengarangan adalah kerja besar. Bayangkan apabila angkatan muda pengarang Indonesia menulis tentang daerah masing-masing atau bekerja sama dengan pihak lain, menulis monografi daerah masing-masing. Menulis segala potensi di daerah. Dari hasil kekayaan alam, industri, kesenian dan kekayaan sumber daya manusia. Para seniman, budayawan maupun sastrawan menulis dengan latar belakang budaya masing-masing. Kita mengenal Umar Kayam menulis "Seribu Kunang-kunang di Manhattan". Menceritakan Marno yang kesepian di apartemennya bersama Jean, teringat seribu kunang-kunang di persawahan desanya di Jawa saat melihat kemerlap-kemerlip lampu-lampu di Manhattan. Atau Olenka (1983) karya Budi Darma yang mengeksplorasi arus bawah kesadaran semata. Sebagai novel saya kira berhasil. Tapi rapuh kesadaran geo-politik. Atau Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, yang hanya mengeksploitasi fatalisme wanita Jawa, puisi lirik itu seperti suara gamelan yang lirih di tengah perang kode di zaman kita. Masih dibutuhkan esai, prosa atau puisi tentang kehidupan manusia Indonesia, dengan segala problematikanya, dengan topografi daerahnya masing-masing. Karya ini kelak menjadi ilham generasi berikutnya. Segala potensi dan masalah mendasar yang timbul di permukaan muncul dalam bentuk artikel, cerpen, novel, maupun puisi. Sebuah karya seni tidak hanya sebagai sebuah ekspresi individual, namun juga sebagai agen perubahan, dengan cara menuliskan kondisi objektif di tengah rakyat. Kerja seniman, budayawan dan sastrawan adalah kerja besar, dengan berbagai risikonya. Apa yang dinamakan turun ke bawah (Turba) melihat kondisi masyarakat adalah bentuk amalan para pekerja seni untuk mencatatkan kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Hasilnya, sebuah karya sastra, misalnya yang tidak klangenan, atau pemuas pembaca semata. Sebuah ekspresi dan perjuangan yang mendasar bagi eksistensi manusia. Kritikus sastra HB Jassin, misalnya, dengan tekun mencatat perkembangan sastra yang muncul dari daerah-daerah terpencil di Indonesia. Sebagai editor di beberapa majalah dan berkala sastra, dia memuat karya-karya sastra dari (calon) pengarang dari berbagai pelosok daerah. Dengan majalah/berkala sastra yang diterbitkannya, HB Jassin mencatat atau mengomentari, dan memberi ruang bagi potensi sastrawan di daerah. Kita masih ingat buku Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), antologi puisi dari sastrawan dari seluruh Indonesia. Dari hasil karya, tentunya telah banyak yang diperbuat oleh budayawan ataupun seniman. Walaupun, masih perlu kita pertanyakan kembali jiwa kesenimannya. Terlalu sederhana mungkin pemikiran saya, seniman dengan kata dasar seni, yang identik dengan keindahan atau (mungkin) harmonisasi, tentu jauh dari sifat iri, sombong, merasa lebih baik dari orang lain, terlalu mengelu-elukan (berlebihan) dengan apa yang telah diperbuat, sehingga mengecilkan malah menghilangkan apa yang telah diperbuat orang lain. Seniman, sastrawan maupun budayawan tentu juga memiliki tingkat kesadaran tinggi. Apa yang telah diperbuat nya adalah hadiah kemanusiaan. Artinya, seorang seniman (seperti yang diungkapkan Togu Sinambela), misalnya seniman lukis merasa berdosa jika tidak melukis. Begitu juga seniman yang lain merasa miris dengan perekembangan seni yang berjalan di tempat, tetapi begitu ada keinginan untuk melakukan perobahan, jalan mereka menjadi buntu. Pemerintah, Tokoh, Lembaga, dan lain-lain, selalu menjadi sasaran, ketika kegiatan seni mandeg. Ditambah lagi kantung-kantung kesenian, semacam Taman Budayasampai hendak dijual. Sementara gedung-gedung kesenian yang lain sudah lebih dahulu menjadi sasaran penghancuran. Pertanda apa ini? Memang persoalannya tidak sesedserhana yang kita pikirkan seperti persoalan eksternal yang perlu kita perbincangkan. Akan tetapi juga persoalan internal harus kita tanggulangi secara lebih serius. Selalu mengemukaka persoalan, bahwa seniman tidak perduli. Selalu muncul pertanyaan, mana seniman? Seniman apa dia? Seniman pasif atau kreatif? Seniman menghantam seniman? Perlu dipertanyakan siapa yang memper tanyakan itu? Seniman? Kegelisahan Seniman Sumatera Utara (Sumut) tetap khawatir atas isu yang mengatakan bahwa Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) akan dijual ke pihak pengembang, memang cukup beralasan, meskipun berulang kali telah dibantah oleh pejabat terkait, para pekerja seni itu tetap menggelar aksi guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. "Para seniman harus bersatu, bersama bekerja keras untuk menolak pemindahan TBSU sebagai pusat kesenian. Meski soal kepemilikan TBSU urusan Pemprovsu dan Pemko Medan, tapi keberadaan pekerja seni yang biasa berkreatifitas di TBSU harus juga dipertimbangkan," ujar Yulhasni berapi-api. Yanga dikuatirkan para seniman adalah apabila TBSU jatuh ke tangan Pemko Medan akan ada ruislag (tukar guling) menjadi hotel, perumahan, berobah fungsi bisnis dan lain sebagainya. . Seniman yang dekat dengan pemerintahan, yang menggunakan uang rakyat untuk kebutuhan keluarganya, secara tidak langsung kita ikut membantu keberlangsungan hidup mereka, tidak perlu menjadi pembahasan lagi. Berkaryalah. Biarkan karya yang bicara. Bukan demo. Bukan demonstrasi, karena toh di Sumatera Utara hal-hal seperti itu juga masih berbau kepentingan. Introspeksi kejelekan kita, pelajari kelebihan orang lain. Lebih baik berkarya daripada mencela. Seniman berkarya, Taman Budaya tetap ada. Mari kita perjuangkan Taman Budaya peron terakhir kantung kesenian tetap dengan geliatnya. Bukankah begitu? Demikian. Penulis; Direktu Komunitas Home Poetry

No comments: