Wednesday 23 September 2020

CERPEN : MENGGUGAT TUHAN

GUGAT Oleh : M. Raudah Jambak Pada resah daun jendela.. Wajahmu bergambar duka.. Sedari pagi matamu menikam. langit Sampai matahari lari bersembunyi. Yang tertinggal hanya senyap. Yang tertinggal hanya gelap. Sekadar hanya menyisakan kenangan. Tertutup debu tertahan. Ada gairah yang tak kunjung nyala, rindu pada sebuah kerinduan yang nyata. Selalu ada saja yang mengetuk-ketuk daun pintu. Tapi nyatanya hanya angin yang mengelus wajahmu perlahan. Dan malam sekadar meninggalkan rimah-rimah kalam Dengan setengah butir bulan. Di sebelah rumah, anak tetangga mengaji. Merapal doa sepanjang magrib tiba menyusun isya. Selalu saja ada yang mengetuk-ketuk pintu. Kau-kah itu atau jantungku yang bertalu-talu. Menggemuruhkan irama rindu? Datuk kembali terkesiap. Irama dadanya berdegap matanya menebar pandang ke undangan. Seorang anak muda sambil menyeruput kopi dan menghisap sebatang rokok telah menggugah raganya. Alunan saluang mulai gagap. Pikirannya menguap. “Ah, kaukah itu? Atau aku yang terlalu menggunung rindu?” *** “Mari kita gugat Tuhan!” hentak geraham berdentam dari mulut Gambing yang sedikit sumbing. Malam satu menit lagi mencapai nol- nol-we-i-be. Hadirin yang hadir terhe-nyak pada pikiran yang semakin mengonak “Sudah saatnya kita menggugat Tuhan!” teriak Gambing sekali lagi dengan kepalan mulut yang semakin meruncing,”Bagaimana Datuk?” Datuk terkesiap. Dia belum siap mengatur napas. Sepuluh jam yang lalu Gambing meneleponnya dengan tanpa pretensi apa-apa. Ketika itu ia sedang mengatur rasa di beranda. Sebuah saluang di tangan lengkap dengan baju hitam dan celana galembong. Senandung laruik sanjo kerap dilantunkannya bersama saluang. “Kalau tidak ada acara penutup malam saya undang Datuk bertandang ke rumah,” suara Gambing menggebu deru,” sebaskom kerang rebus dan ikan bakar sudah me-nunggu. Angin menampar-tampar menusuk ke celah-calah pintu. Pikiran Datuk bermain-main di halaman masa lalu, ketika pertama kali menapakkan kaki di Medan. Kebaradaannya di Medan pun bersebab, ia dianggap manusia tak ber-“Tuhan”, di kampungnya, Tamtaman, orang Tanjung Batang Damar di Minang Kabau, sebuah desa kecil di lereng bukit. Ia kenangkan kembali peristiwa pemberontakan sarikat sekerja Sawah Lunto di akhir tahun 20-an itu. Siapa yang tak mengenal? Di kampung itu dia adalah Parewa yang cukup disegani. Senang bergaul dan suka bergurau. Ahli bermain saluang, mahir berdendang, lincah berpencak apalagi berandai, dan jagonya bermain tonel. Di beranda ini ia lisankan Kaba Magekmanandin, berlanjut dengan si untuang sudah, Malin Deman, Rancak di Labuah dan sebagainya. “Mungkin ada sedikit renungan budaya!” kobar Gambing lagi sepedih api. Ah, ia hanyalah seorang Parewa, manusia aneh yang kebiasaannya tidak sama dengan orang-orang disekitarnya. Sejak usia anak-anak dia sudah menguasai berbagai hal petatah-petitih adat, bertutur, berpantun, bersyair. Ia kuasai sejarah Bundo Kanduang, Cindua Mato, maupun Tuanku Nan Renceh yang membawa budaya Timur Tengah lalu diteruskan oleh Haji Rasul, Sheik Arasuli dan Jamil Jambek. Karena keserbatahuannya itu ia menjadi lebih “berani” dalam segala hal termasuk mempertanyakan keberadaan Tuhan. Orang-orang pun yang selama ini mengaguminya mulai menjauhi, termasuk Sidi Jambak, sahabatnya. Ibarat pepatah di mana ada gula di situ ada semut. Begitulah mereka selalu bersama kemana dan dimana saja. “Awaklah Tuhan nansabananyo!” ujar Datuk sehabis melantunkan si untuang sudah. Duduk bersila dengan Galembongnya yang kedodoran di depan Sidi Jambak. “Di mana Tuhan ketika kita membutuhkan?” ujar Datuk melanjutkan,” Kata-Nya Ia Maha Pengasih dan Penyayang. Ayo, Sidi, kecek-an di ma Tuhan?” Sidi Jambak hanya terdiam. Ia menyibuki dirinya dengan melinting rokok daun, di tempat mereka terduduk melepas gundah. Sebuah balai-balai beralaskan tikar pandan. Kemudian menghidupkan rokok daun dengan sebatang korek api, kemudian menghisap-nya dalam-dalam. Wajahnya mengabut dengan kening berkerut. Biji matanya-pun ikut mengerucut. “Katanya Tuhan telah mengutus manusia sebagai perwakilan dirinya di dunia. Ah, densangko kitokolah Tuhan itu nan sabana-bananyo!” Hari semakin melarut. Saluang Datuk mulai ditingkahi irama jangkrik dan juga acapella katak. Angin hanya bersiul perlahan mengiringi tarian pepohonan. Rancak dilabuah-pun terasa menggugah. “Kenapa diam, Sidi? Padahal diammu itu tidak benar sama sekali…” ujar Datuk mengutip baris kalimat sebuah naskah drama. Sidi Jambak menarik rokoknya dalam-dalam. Matanya yang tajam memandang dalam ke pusaran mata Datuk.Tersenyum sebentar. Ia lanjutkan baris kalimat Datuk. “Adenko bisanya marah ka sia? Setiap manusia selalu memelihara kebinatangan pada dirinya masing-masing. Selalu saja kita sesalkan Tuhan dalam setiap kekalahan kita. Kita salahkan Tuhan dalam setiap kelemahan kita. Kita pojokkan Tuhan, disetiap kebodohan kita. Ah, aku bisanya marah sama siapa?” Datuk terdiam. Dia hentikan senandung Malin Deman. Ada rasa enggan dalam anggukan. “Selalu saja kita menanyakan dimana Tuhan disetiap kegagalan, tapi selalu juga kita melupakan Tuhan disetiap keberhasilan kita,” urai Sidi Jambak melanjutkan,” Terlalu tinggi bahasan kita menanyakan keberadaan Tuhan. Itu urusan iman dan keyakinan jangan dicampur adukkan. Datuk percaya bagus. Datuk tidak percaya itu juga hak Datuk. Tapi jangan ajak orang lain, jangan pengaruhi orang lain, jangan himpun orang lain untuk mengikuti jejak Datuk!” “Ya, tetapi Tuhan itu terlalu sombong!” “Wajar! Dan itu memang sudah pantas,” ujar Sidi securam tebing, “ Anak cantik wajar sombong karena cantik, orang kaya masih pantas sombong bersebab kaya, apalagi Sang pencipta bumi wajar sombong sebab Ia telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Termasuk kita dari setetes air hina.” “Aku menolak!” “Aku tidak melarang!” “Mana bukti kalau memang Tuhan itu ada!” Sidi Jambak hanya menarik naps. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dalam hati sebenarnya ia sangat mengagumi kepintaran sahabatnya ini. Tidak hanya seni dan budaya, tetapi sahabatnya ini juga menguasai tafsir dan hadits. Juga filsafat. Tetapi ketinggian pemikiran menyebabkan ia lupa pada hakikat yang paling dasar. “Datuk melihat Tuhan dengan apa?” “Dengan mata tentu juga pikiran. Dan sampai sekarang aku tidak pernah melihatnya setitik pun!” “Kalau begitu coba jelaskan dengan rinci, dengan, hati apakah Datuk pernah melihat mata, lubang hidung, telinga atau mungkin isi kepala Datuk dengan mata sendiri. Jangan-jangan awak tak memiliki semua itu, jika tidak melihat dengan alat Bantu. Atau jelaskan padaku, bagaimana bentuk lubang kotoranmu sendiri!” Datuk terdiam. Sidi Jambak berdiri. Ia perlahan pergi. Ketika pagi mulai mengintip hari. Sejak itu Datuk tak jua menjaring sua. Kabar terakhir ia dengar Sidi Jambak merajut dakwah ke daerah-daerah. Lalu membangun jamaah di Medan. Sedangkan Datuk gerilya dengan nuansa pikirannya. Ia sulam kekuatan dengan pemikiran bersama referensi yang tajam, sampai terdampar di Medan. Selama di Medan Datuk menjadi penarik becak sekadar berbagi kalam. Hingga suatu ketika akhirnya berjumpa dengan Gambing yang punya cita-cita masih berbanding. “Mari kita gugat Tuhan” hentak geraham berdentam dari mulut Gambing yang sedikit sumbing,” Sudah satnya kita menggugat, Tuhan!” Datuk terkesiap. Ia alunkan saluang. Senandung laruik sanjo terlantun kembali. Kali ini lebih menyayat mengiris hati. Malam hampir mencapai titik nol we-i-be ketika salah seorang undangan menjawab dengan sangat biasa diwarnai aura memesona. “Jelaskan dulu padaku bentuk lubang kotoranmu, sebelum kita menggugat Tuhan!” Datuk kembali terkesiap. Irama dadanya berdegap matanya menebar pandang ke undangan. Seorang anak muda sambil menyeruput kopi dan menghisap sebatang rokok telah menggugah raganya. Alunan saluang mulai gagap. Pikirannya menguap. Dalam pikiran yang gersang. Pepohonan apa yang hendak ditanam. Tak ada bunga. Apalagi buah. Bertebar bibit di bulan sabit. Bertabur harap dalam makrifat. Jerit hati yang sakit. Berharap menjaring semangat. Wahai, apakah Tuhan ada dalam ada dan tiada? Bayangan Sidi Jambak melintas-pintas. Dengan lintingan tasbihnyanya, di tempat mereka biasa terduduk melepas gundah. Sebuah balai-balai beralaskan tikar pandan. Me-rapalkan zikir, lalu mengurai do’a-do’a. Wajahnya membening dengan dahi semakin bersih. Bola matanya-pun kini seperti membiaskan cahaya. “Ah, kaukah itu? Atau aku yang terlalu menggunung rindu?” Medan,07-13 BIODATA M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Pernah bersinggungan di Komunitas Forum Kreasi Sastra, Komunitas Seni Medan, Komunitas Garis Lurus, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Komunitas Sastra Indonesia, Seniman Indonesia Anti Narkoba,dll. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK, Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan. Alamat tugas : Jalan Jenderal Gatot Subroto km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Alamat Rumah: Jalan Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E-10 Medan, Sumatera Utara. Hp. 085830805157. Kontak Person TBSU- Jl. Perintis Kemerdekaan, no. 33 Medan. Saat ini sebagai Direktur Komunitas Home Poetry. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pinang. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan dengan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se-Indonesia di Bogor (200&), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta , TSI 1-3, Juara Unggulan 1 Tarung Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang, Nominasi cipta Puisi nasional Bentara, Bali, dll.

No comments: