Wednesday 23 September 2020

POLITIK TELUR (BUSUK)

POLITIK, SENIMAN dan TELUR Oleh : M. Raudah jambak Bicara seni, kembali kita diarahkan pada kemajemukan pandangan. Biasa, jika dalam sebuah pembicaraan seni kita (terlalu) kritis ketika mengemukakan pendapat. Tetapi, tunggu dulu. Kritis dalam pembicaraan, atau kritis dalam perbuatan? Demikian yang tercatat, ketika diskusi dengan Saut Situmorang dan Katherine bandel, di Galeri Payung Teduh bekerja sama dengan Komunitas Sastra Indonesia Sumatera Utara (Selasa, 14/06), yang dimoderatori oleh Idris Pasaribu. Seperti yang pernah tercatat, bahwa dalam revolusi kemerdekaan kesadaran geo-politik tumbuh di kalangan cendekiawan dan seniman yang berjuang di lapangan kebudayaan, seperti Soedjatmoko, Sjahrir, Sitor Situmorang, Chairil Anwar, dll. Kesadaran geo-politik tidak tumbuh begitu saja. Tetapi hasil dari revolusi dan konsensus nasional dari anasir-anasir dalam masyarakat. Tarik-menarik kekuatan politik dan ekonomi menjelma gelombang separatisme yang dihadapi dengan perlawanan berdarah. Sering terjadi perpecahan di tubuh militer dan muncul sikap kritis masyarakat tentang pembagian anggaran belanja daerah. Daerah diperas untuk menopang anggaran belanja negara. Kekayaan dari eksploitasi alam hanya dinikmati oleh Jakarta (sentralisasi). Belum lagi terjangan Perang Dingin, konflik laten Kapitalis versus Komunisme. Para sastrawan (baca: pengarang) pada awal revolusi dan dalam periode revolusi belum selesai (sampai tahun enam puluhan, ditandai dengan era Konfrontasi dengan Malaysia) menyadari bahwa karya sastra sebagai sebuah produk kebudayaan dalam arti luas, yang menanamkan rasa kebangsaan, dan harga diri di tengah pergaulan bangsa-bangsa. Rakyat Indonesia kini sebagian besar buta geografi Indonesia. Bagaimana hendak mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) apabila tidak mengetahui secara persis geografi bangsanya. Masih ratusan pulau di Indonesia belum mempunyai nama. Menurut Pramoedya Ananta Toer, angkatan muda semestinya mengumpulkan data di daerah masing-masing, suatu saat pasti berguna. ”Tulis! Suatu saat berguna,” kata Bung Pram dengan suara tinggi bergetar. Saya kira kata-kata itu sering diucapkan kepada angkatan muda dan menjadi kerja pengarang yang tidak habis-habisnya. Sampai saat ini, Pramoedya Ananta Toer tekun mengumpulkan data tentang Indonesia. Dokumentasi sejarah bangsa Indonesia yang berton-ton itu berada di lantai atas kamar kerjanya. Kepengarangan adalah kerja besar. Bayangkan apabila angkatan muda pengarang Indonesia menulis tentang daerah masing-masing atau bekerja sama dengan pihak lain, menulis monografi daerah masing-masing. Menulis segala potensi di daerah. Dari hasil kekayaan alam, industri, kesenian dan kekayaan sumber daya manusia. Para sastrawan menulis dengan latar belakang budaya masing-masing. Kita mengenal Umar Kayam menulis ”Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Menceritakan Marno yang kesepian di apartemennya bersama Jean, teringat seribu kunang-kunang di persawahan desanya di Jawa saat melihat kemerlap-kemerlip lampu-lampu di Manhattan. Atau Olenka (1983) karya Budi Darma yang mengeksplorasi arus bawah kesadaran semata. Sebagai novel saya kira berhasil. Tapi rapuh kesadaran geo-politik. Atau Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, yang hanya mengeksploitasi fatalisme wanita Jawa, puisi lirik itu seperti suara gamelan yang lirih di tengah perang kode di zaman kita. Masih dibutuhkan prosa atau puisi tentang kehidupan manusia Indonesia, dengan segala problematikanya, dengan topografi daerahnya masing-masing. Karya ini kelak menjadi ilham generasi berikutnya. Segala potensi dan masalah mendasar yang timbul di permukaan muncul dalam bentuk cerpen, novel, maupun puisi. Karya sastra tidak hanya sebagai sebuah ekspresi individual, namun juga sebagai agen perubahan, dengan cara menuliskan kondisi objektif di tengah rakyat. Kerja pengarang adalah kerja besar, dengan berbagai risikonya. Apa yang dinamakan turun ke bawah (Turba) melihat kondisi masyarakat adalah bentuk amalan para pengarang untuk menuliskan kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Hasilnya, sebuah karya sastra yang tidak klangenan, atau pemuas pembaca semata. Tapi sebuah ekspresi dan perjuangan yang mendasar bagi eksistensi manusia. Kritikus sastra HB Jassin, misalnya, dengan tekun mencatat perkembangan sastra yang muncul dari daerah-daerah terpencil di Indonesia. Sebagai editor di beberapa majalah dan berkala sastra, ia memuat karya-karya sastra dari (calon) pengarang dari berbagai pelosok daerah. Dengan majalah/berkala sastra yang diterbitkannya, HB Jassin mencatat atau mengomentari, dan memberi ruang bagi potensi sastrawan di daerah. Kita masih ingat buku Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), antologi puisi dari sastrawan dari seluruh Indonesia. Dari hasil karya, tentunya telah banyak yang diperbuat oleh budayawan ataupun seniman. Walaupun, masih perlu kita pertanyakan kembali jiwa kesenimannya. Terlalu sederhana mungkin pemikiran saya, bahwa seniman dengan kata dasar seni, yang identik dengan keindahan atau (mungkin) harmonisasi, tentu jauh dari sifat iri, sombong, merasa lebih baik dari orang lain, terlalu mengelu-elukan (berlebihan) dengan apa yang telah diperbuat, sehingga mengecilkan malah menghilangkan apa yang telah diperbuat orang lain. Seniman tentu juga memiliki tingkat kesadaran tinggi, bahwa apa yang telah diperbuat nya adalah hadiah kemanusiaan. Artinya, seorang seniman (seperti yang diungkapkan Togu Sinambela), misalnya seniman lukis merasa berdosa jika tidak melukis. Begitu juga seniman yang lain merasa miris dengan perekembangan seni yang berjalan di tempat, tetapi begitu ada keinginan untuk melakukan perobahan, jalan mereka menjadi buntu. Pemerintah, Tokoh, Lembaga, dll, selalu menjadi sasaran, ketika kegiatan seni man deg. Pertanda apa ini? Saya setuju seperti yang dikemukakan Saut, bahwa sebenarnya bukan persoalan eksternal yang perlu kita perbincangkan. Tetapi, persoalan internal yang harus kita tanggulangi secara lebih serius. Selalu mengemukaka persoalan, bahwa seniman tidak peduli. Selalu muncul pertanyaan, mana seniman? Yang perlu dipertanyakan siapa yang memper tanyakan itu? Seniman? Saya jadi teringat dengan ayam betina yang baru saja bertelur. Satu butir telurnya, tetapi hebohnya cukup memekakkan telinga satu kampung. Bayangkan, jika telur yang dihasil kan banyak. Berapa besar suara yang dihasilkan. Begitupun seniman telur itu masih jauh lebih berarti dibandingkan seniman bunglon. Jika seniman angkat telur, jelas yang diangkatnya. Seniman pegang telur, jelas yang dipe gangnya. Seniman selentik ataupun remas telur juga jelas. Tetapi, seniman bunglon? Kita selalu ragu terkadang apakah dia seniman apa tidak. Karena setiap pergerakannya selalu dalam wilayah kepentingan. Seniman dalam rangka. Nah, cukup arif saya kira Idris Pasaribu dalam menutup diskusi sore itu. Biarkanlah mereka begini dan begitu asal jangan kita. Seniman yang dekat dengan pemerintahan, yang menggunakan uang rakyat untuk kebutuhan keluarganya, secara tidaka langsung kita ikut membantu keberlangsungan hidup mereka. Berkaryalah. Biarkan karya yang bicara. Bukan demo. Bukan demonstrasi, karena toh di Sumatera Utara hal-hal seperti itu juga masih berbau kepentingan. Introspeksi kejelekan kita, pelajari kelebihan orang lain. Lebih baik berkarya daripada mencela. Bukankah begitu? Demikian. *Penulis adalah Direktu Komunitas Home Poetry

No comments: