Wednesday 23 September 2020

CERPEN : JERAHAP SEBAROK

M. RAUDAH JAMBAK JERAHAP SEBAROK Siang itu udara begitu gerah. Angin bertiup gelisah. Reranting patah, menimpa daun-daun gugur yang menguning di sekitar pohon mahoni yang berdiri pongah. Beberapa helai daun yang gugur itu diseret angin dan terkulai di samping warung setengah batu yang berdinding buram. Di depan warung, di sekeliling meja kayu yang tersusun sembarang itu, beberapa orang asyik di mejanya masing-masing. Ada yang sedang asyik menerjemahkan langkah catur. Ada yang hibuk menyusun strategi kartu domino. Ada pula yang membagi kerat-kerat serat urat leher dengan berbagai tema. Selebihnya menyibukkan diri dengan suasana hati yang berbeda, termasuk Bang Jerahap. Bang Jerahap, seperti kata penghuni tetap warung itu, lelaki capung cebok. Ia acap datang dan pergi sesuka hati. Sasaran utamanya sebatang rokok. Makanya, orang-orang di sana juga sering menyebutnya Jerahap sebarok, Jerahap sebatang rokok. Modusnya sudah begitu dihafal. Datang, melirik ke arah meja, menyambanginya, bicara sebentar (lucu maupun serius), ambil sebatang rokok, setelah itu pergi. Begitu seterusnya. Pernah beberapa kali Jerahap gagal, tetapi segera ia beralasan kebiasaannya menghirup aroma kotak rokok yang kosong. Duduk sebentar, lalu pergi. Terkadang tak sungkan-sungkan ia memesan sesuatu ke tukang warung, minuman atau makanan, kemudian pergi begitu saja setelah menikmatinya. Alhasil yang membayar orang yang sebelumnya duduk semeja dengannya. Tanpa hitungan menit dia kembali seolah tidak terjadi apa-apa. Syukurnya orang-orang maklum. Siang itu Bang Jerahap membungkus situasi yang berbeda. Ia terlihat duduk sendiri. Bernyanyi sendiri dengan irama petikan gitar kopong pemilik warung. Orang-orang di warung begitu menikmatinya. Sungguh. Tetapi mereka tidak berani mendatangi. Bang Jerahap tetap tidak peduli. Ia tetap melantunkan lagu-lagunya, lagu-lagu ciptaanya. Sesekali berhenti untuk sekadar menjawab atau membalas sms dari handphonenya yang acap kali berdering. Sebenarnya orang-orang di warung itu senang dengan Bang Jerahap. Ia termasuk lelaki serba bisa, seniman serba bisa. Di dunia seni pertunjukan, ia termasuk orang yang handal dan tidak diragukan lagi kemampuannya. Beberapa kali menjadi utusan ke luar negeri. Diminta untuk menjadi juri. Termasuk di daulat sebagai pembicara. Proyek-proyek kesenian tak pernah luput dari tangannya. Persoalannya adalah Bang Jerahap orang yang boros. Suka minum-minuman keras, berganja dan berjudi. Sehingga semua uang yang didapatnya seberapapun besarnya, lenyap begitu saja. Untungnya dia belum berumahtangga. Menjadi lajang karam cukup lama. “Dasar, Pelacur!” Umpat Bang Jerahap tiba-tiba memaki-maki hp yang tengah digenggamnya. Orang-orang terkejut. Hening beberapa saat. Semua mata tertuju kepada Bang Jerahap. Menggeleng-gelengkan kepala sejenak, lalu kembali melakukan kegiatan seperti biasa. Ada senyum yang tersisa. Senyum manyun. “Binatang! Tak tau diri. Setan....!” Gedubrak! Bang Jerahap menghantam meja di depannya dengan gitar kopong di tangannya. Orang-orang tersentak. Wajah mereka tampak pucat, cemas, marah, dan kasihan, silih berganti. “Wah, actingnya nyata...” komentar Dadik. “Ini serius...” timpal yang lain. “Biasa itu. Namanya orang gila.” “Ah, masak pakai acara banting gitar ke meja?” Orang-orang berkomentar. Berbisik. Tak ada yang berani mendekat. Malah aktivitas terhenti. Sebab ada yang tak bersemangat. Ada juga yang pergi diam-diam. Tak perduli dengan Bang Jerahap yang masih ngomel-ngomel sendiri. Termasuk aku. Sebenarnya bagiku itu adalah hal yang biasa. Begitu juga bagi yang sudah mengenal betul Bang Jerahap. Aku jadi teringat ketika pertama sekali berjumpa, sekaligus mengenalnya. Bang Jerahap berteriak dan menjerit seperti orang kesurupan. Orang-orang di sekitarnya hanya tersenyum, geli. Demi melihat itu, aku segera berlari. Aku berlari menuju Bang Jerahap, sambil berteriak mengajak yang lain untuk ikut membantu. Apa lacur! Bukannya ikut membantu, aku malah ditertawakan. Hal yang sama juga kualami sebanyak tiga kali. Dan hampir kena lagi untuk yang ke sekian kali. Hanya acting! *** Aku segera bergegas ke luar rumah. Meskipun hujan masih tercurah, aku tetap harus berangkat. Hari ini ada pertemuan penting yang harus kuhadiri. Setelah menghidupkan mesin sepeda motor dan mengenakan mantel hujan, akupun meluncur. Angin kencang langsung menampar-tampar wajahku. Desaunya memanen jerit di pucuk-pucuk rumah. Ditingkahi rintikrimbun hujan, mengguncang-guncang atap-atap rumah. Jalanan mulai tergenang. Air tertumpah dari selokan sampai menutupi jalanan. Aku terus saja meluncur. Menembus tirai-tirai hujan. Hujan sepertinya kurang begitu bersahabat, semakin lebat. Untungnya posisiku tidak jauh dari warung tempat aku biasa mangkal. Tempat Bang Jerahap menganyam binal. Siang itu udara menghembus beku. Angin mengundang gigil. Reranting basah. Daun-daun lembab yang berubah coklat kehitaman di sekitar pohon mahoni yang berdiri kuyup. Beberapa helai daun yang lembab itu diseret air dan terdampar di samping warung setengah batu yang berdinding buram. Di depan warung, di sekeliling meja kayu yang tersusun sembarang itu, beberapa orang biasanya asyik di mejanya masing-masing. Ada yang sedang asyik menerjemahkan langkah catur. Ada yang hibuk menyusun strategi kartu domino. Ada pula yang membagi kerat-kerat serat urat leher dengan berbagai tema. Selebihnya menyibukkan diri dengan suasana hati yang berbeda, termasuk Bang Jerahap. Tetapi kali ini tidak seperti biasanya, hanya ada aku dan istri pemilik warung. Wajahnya murung. Aku segera memesan kopi panas. Kemudian mengambil tempat duduk yang aman dari tempias hujan. Tak banyak kata. Diam saja sambil membaca koran yang tak lengkap halamannya. Medan-Satuan Narkoba Polresta Medan mengamankan 80 kg ganja kering yang dibungkus di dalam 63 bal, 90 gram sabu-sabu dan 1 unit mobil Toyota Avanza dari enam komplotan pemasok asal Aceh, dari berbagai lokasi di Kota Medan, beberapa hari lalu. Keenam tersangka dikenakan pasal 114 ayat (2) subsider Pasal 112 ayat (2) subsider pasal 111 ayat (2) jo pasal 132 UU RI No 35 tahun 2009, tentang narkotika dengan ancaman hukuman kurungan penjara maksimal 20 tahun dan denda sebesar Rp 10 miliar. “Kok sunyi, Kak?” Senyap. Pertanyaanku mungkin ikut melayang bersama kepulan asap kopi panas dari gelas, yang baru saja terhidang di atas meja. Mungkin tidak dengar, pikirku. “Abang kemana, Kak!?” Gerimis. Aku cemas. Aku kuatir mungkin karena suaraku terlalu kuat. Mungkin suaraku terdengar membentak. “Maaf, Kak.” Menggeleng. Air matanya menetes, semakin deras. Segera berlalu dari hadapanku. Tangannya berkali-kali menghapus air mata yang jatuh. Ada perasaan bersalah. Angin masih menderu-deru. Hujan masih menghunjam jalanan. Aku masih tertahan. Niatku untuk menghadiri pertemuan penting itu, kuurungkan. Perasaanku gulana. Masih kubaca koran dengan perasaan hati yang tak karuan. “Kopi kelat, Kak!” Seseorang datang. Ia seperti tergopoh. Duduk dengan penuh cemas. Tubuhnya gemetar. Ah, Dadik, desisku. Belum sempat aku mendekat. Belum sempat aku berpindah meja. Kudengar ada suara memaki-meronta. “Binatang! Kau juga....!” “Bukan aku, Kak...!” Kak Piah, istri Bang Kantin, menghunus pisau dapur mengejar Dadik. Dadik segera menghindar. Aku berusaha melerai. Kejar-kejaran berlanjut ditingkahi irama makian dan pembelaan diri. Aku tak sempat bertanya. Sebilah sabetan baru membuat Kak Piah berhenti. Kak Piah pucat. “Maaf, Dan... Maafkan. Kakak tak sengaja,” Wajahnya gerimis,”Ini gara-gara kau. Cepat! Cepat ambil perban...! “Tak usah, Kak. Tidak apa-apa.” Aku segera mengeluarkan sapu tangan dari saku celana,”hanya goresan kecil kok.” Aku ajak mereka duduk semeja. Perlahan menanyakan persoalan. Dadik diam. Kak Piah mengurai tangisan. “Ini gara-gara kalian!” “Bukan, Kak...Bang Jerahap!” “Kalau tidak, tak mungkin suamiku di penjara. Sudah kubilang berkali-kali jangan dekati perempuan itu. Dia pengedar, Binatang!Ganja. Ganja!” Kak Piah sesenggukan,”Kalau berjumpa kubunuh perempuan itu!” “Dia sudah mati, Kak!” “Mampus dia! Sekarang tinggal si Jerahap!” “Dia di kamar mandi, Kak. Tolong jangan bilang siapa-siapa!” Belum sempat Kak Piah beranjak, Dadik segera berlari ketakutan. Tapi, Kak Piah tak perduli, ia segera berubah menjadi pemburu. Pisau masih terhunus di tangan. Rimbun hujan tak diperdulikan. Aku memburu di belakang, menutup bekas sabetan di dada dengan sapu tangan. Agak tergopoh-gopoh. Angin menderu-deru. Hujan menombak bertalu-talu. Udara menebar beku. Kak Piah terpaku. Bibirku kelu. Orang-orang sudah sedari tadi mengumpul segala bisu. Di langit-langit kamar mandi Bang Jerahap tergantung menyusun sepi. Sebatang rokok terselip di mulutnya. Ada bisik di sana-sini. “Wah, actingnya nyata...” “Ini serius...” “Biasa itu. Namanya orang gila.” “Ah, masak pakai acara menggantung diri juga?” Komunitas Home Poetry, Januari 2013

No comments: