Wednesday 23 September 2020

KATA : KATA

Kaum Melata dalam Sastra Oleh : M.Raudah Jambak Di mana moncong senapan itu?/ Aku pengin meledak sekaligus jadi peluru/ Mencari jidatmu mengarah mampusmu/akan kulihat nyawamu yang terbang/dan kukejar-kejar dengan nyawaku sendiri/agar tahu rumahmu/aku rela bunuh diri/tentu saja setelah tahu kemana pulangmu. Tetapi peluru yang mencari jidatmu itu/hanya ketemu matamu yang menyihir/sim salabim/ kembalikan pada wujudmu asli!/dan memang tidak akan pernah ada yang akan/membawakan/ senapan/untukku/apalagi/jidat/mimpi indah ini/mengapa kekal? (W. Tukul,Balada Peluru,Hal:87) Salah satu obsesi Wiji Tukul tertuang dalam puisi di atas keinginanannya untuk menjadi "peluru" sebagai wahana "meledakkan" keinginan dan harapan dalam merepresentasikan fenomena kehidupan masyarakat yang paling bawah. Fenomenanya masyarakat gembel, miskin dan diidentikan dengsn kaum melata serta serba ketidak berdayaan dalam pemenuhan kehidupan dalam potret yang senyata-nyatanya terpampang di depan mata kita. Jika kita kaitkan dalam perebutan kekuasaan, maka mengangkat harkat dan martabat masyarakat miskin ini merupakan menu pamungkas yang paling jitu untuk mengobral janji pada masya-rakat yang lemah tak berdaya. Pemimpin yang bijaksana tentunya akan menjadikan hal ini sebagai inspirasi yang mendedah nurani, lalu kemudian diterapkan ke kawasan lingkungan masyarakat prasejah-tera ini menuju masyarakat yang sejahtera. Sementara para penyair hanya mampu mengangkat realitas ini ke dalam wadah bahasa, sebagai se-buah pilihan ketika ia tidak mempunyai kekuatan dalam strata penentu kebijakan. Sekaligus sebagai jawaban yang mesti dilakukan. Juga terapi dalam melakukan aktivitas untuk memperjuangkan nasib mereka sebagai warga juga sebagai manusia. Hanya saja hal ini menjadi pengganjal bagi para penguasa yang telah mencapai puncak kekuasaan. Janji-janji-pun jadi angin "buritan" yang hilang ditiup angin. Kepedihan masyarakat miskin menjadi semakin menyedihkan ketika TaufiQ Ismail, menggambarkan kesaksiannya lewat untaian puisi Bayi Lahir Bulan Mei 1998: Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga/Suaranya keras, menangis berhiba-hiba/Begitu lahir ditating tangan bidannya/Belum kering darah dan air ketubannya/Langsung dia memikul hutang di bahunya/Rupiah sepuluh juta Kalau dia jadi petani di desa/Dia akan mensubsidi harga beras orang kota/Kalau dia jadi orang kota / Dia akan mensubsidi bisinis pengusaha kaya/Kalau dia bayar pajak/Pajak itu mungkin jadi peluru run-cing/Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga/Mulutmu belum selesai bicara/Kau pasti dikencinginya (MAJOI, Hal: 4) Barangkali, logika bahasa yang tertuang disebabkan potret buram itu semakin riuh memenuhi pusat- pusat kota (pemerintahan) yang menumpuk kebahagiaan di atas penderitaan-penderitaan rakyat ter-tindas. Ingin menyuarakan ketidakberdayaan , kemiskinan, dan mungkin sedikit menuntut haknya di tengah percaturan hegemoni kekuasaan. Dan ternyata, keinginan lewat logika bahasanya itu justru ha-rus berbenturan dengan wilayah "rahasia" yang sering mengedepankan eufemisme bahasa. Acap hadir dalam setiap orasi para pemimpin ’jujur’ dan berakhir nonsense. Maka, terjadi kontradiksi penafsiran dengan dalih-dalih politis yang "menggugah" menghipnotis harapan kaum-kaum miskin sebagai wilayah tak berdaya. Bahkan sekali waktu acap juga dianggap sebagai "penentang" atas nama pembangunan, akhirnya. Sementara L.K. Ara yang ikut menyoroti peristiwa ini hanya bisa berdo'a, lewat Doa Pengatar Koran, bait 4, Ya Tuhan/berilah kekuatan hati kepada pembuat berita/untuk jujur berkata/menyampaikan pesan dari atas/dan berani pula/ menulis keluh orang yang menderita Prototipe, penyair yang dituangkan lewat baris-baris puisi, mengabarkan keterwakilan kaum masya-rakat miskin dengan kesadaran yang penuh bahwa ekspresi kebebasan yang dimiliki bukanlah bahasa samar. Apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami adalah ekspresi bahasa itu sendiri, bukan bahasa reka-yasa. Ekspresi kelugasan merupakan indikasi kepolosan, sekaligus merupakan karakter yang tumbuh berkembang di kelas sosialnya. Informasi dalam potret sosial masih dalam kawasan realita. Para penyair adalah pewarta informasi ini kepada masyarakat luas dari berbagai lapisan, termasuk para pemegang teguh kekuasaan. Juga sebagai juru bicara tentang suara masyarakat kebanyakan yang hidup dalam ketidak- berdayaan. Informasi yang disampaikan-pun tanpa ada penyamaran dan rekayasa. Investigatif seporting dengan sungguh-sunguh telah dilakukan, sehingga kadar akurasi berita tidak perlu diragukan, baru dan actual. Berita tentang kemiskinan, bukan hanya pemaparan kondisi budaya penyair dan kepenyairannya yang terlanjur identik dengan kehidupan kaum grassroot, namun telah mengglobal. Ketika kemiskinan men-jadi tema-tema actual, menjadi bahan diskusi, menjadi materi proyek pembangunan, bahkan menjadi harga diri suatu bangsa. Dan penyair pun mencoba berpartisipasi dengan membangun komunitas bahasa puisi kemiskinan dan ketidakberdayaan dengan inspirasi realitas keseharian. Sayangnya, mayoritas orang awam mengatakan bahwa puisi hanya menawarkan secawan mimpi-mimpi penuh dusta. Sejak Plato, selalu saja anggapan itu menyatakan bahwa kegiatan menciptakan puisi melulu sebagai keisengan yang akan menjauhkan manusia dari kenyataan (Dahana,2001). Apa yang sebenarnya dapat dilakukan oleh sebuah (karya sastra)? Sebuah jawaban yang optimis barangkali juga hadir sejumput harapan dan realitas yang mendudukan puisi sebagai karya sastra penggerak. Bahkan, sastra juga dianggap sebagai sesuatu yang memiliki peran tertentu; sebagai agen perubahan (agent of change). Padahal puisi hadir tidak akan terlepas dari realitas yang telah melingkupi kehidupan dan latar belakang yang menyebabkan kelahirannya dari sastra yang diciptakan oleh seorang penyair. Di sinilah kemudian muncul sebuah pretense yang kemudian menempatkan puisi sebagai sebuah media untuk memasukkan segala sesuatu yang menyebabkan puisi sarat dengan kepentingan. Padahal tidaklah demikian adanya. Meskipun puisi tidak akan pernah terlepas dari realitas kehidupan dan latar belakang serta kondisi-kondisi cultural pengarangnya, namun dalam kerangka yang lebih konkret, ia hadir dengan dua sisi: kenikmatan dan pendidikan (Mahayana dalam Isdriani, 2003). Dalam arti lain bahwa estetika tetap menempati posisi yang amat signifikan di dalamnya. Ia tidak bisa terlepas dan melepaskan diri begitu saja dari sastra (puisi). Akhirnya, Antonius Silalahi seorang penyair tunanetra, ikut terlibat dan melibatkan diri pada kumuhnya daya hidup kaum grassroot yang hadir di tengah-tengah manusia-manusia metrosexual, atau kaum bagsawan. Dalam petikan puisi berjudul Mata dan Hati Batu Antonius menulis : harus dengan apakah kukatakan padamu//keinginanku mencicipi lezatnya hidangan zaman//muncrat air liurklu tak gemingkan batu hatimu// Sebagai alat perjuangan tak berdarah, puisi hanya berusaha dan berupaya menyentuh atau "membu-nuh" hati yang paling dalam. Sebab kemiskinan memang hal yang menjadi persoalan dasar bangsa kita. Angka kemiskinan tiap tahun kian meningkat, sehingga perlu jarak renung dengan mencerna realitas untuk meraih keutuhan kemanusian bahwa kemiskinan yang menimpa masyarakat sudah sedemikian akut. Pada bagian inilah sebenarnya tugas penyair, terus menerus secara sukarela memperjuangkan nasib kaum grassroot. Ikhlas dalam menuangkan pemikiran-pemikirannya lewat karya-karya yang fenomenal. Jika memang hanya itu yang dapat dilakukan. Paling tidak memberikan semacam kesadaran, sumbang pikiran secara terus menerus kepada pihak penguasa yang sedang memegang tampuk kekuasaan. Firman Allah: "Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (manusia), kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya". Mengapa kamu tidak mau berfikir? *Penulis adalah Direktur Komunitas Home Poetry

No comments: