Wednesday 23 September 2020

CERPEN : PAGAR

Cerpen M. Raudah Jambak PAGAR Rumah baru. Aku, istriku, dan kedua anak kami, baru saja menempati rumah baru. Bukan baru beli, tapi baru disewa. Istriku yang paling berbahagia. Sudah begitu lama ia mendambakan rumah yang khusus untuk kami tempati bersama. Tidak perlu mewah tetapi asri. Rencana ini dua tahun lamanya kami rancang. Kami kumpulkan sedikit demi sedikit uang untuk ditabung. Aku berusaha untuk banyak-banyak menulis. Setelah itu aku cari tambahan dengan bisnis kecil-kecilan, menjual pakaian bekas. Sebelumnya kami tinggal di rumah orang tua istriku. Sejak aku dan istriku menikah, kami sudah menetap di sana sampai anak pertama kami berumur empat tahun. Mertuaku tidak ingin istriku jauh dari mereka, apalagi istriku anak bungsu. Awalnya persoalan hanya biasa-biasa. Namun, ketika anak pertama lahir riak-riak kecil pun bermunculan. Selanjutnya ombak pun mulai bergelombang. Sebenarnya sudah sekian ratus kalinya beberapa kawan sejawat memberi saran. Ada yang menyarankan pindah rumah, beli rumah, kontrak rumah. Dasar pemikiran sama, tinggal di rumah mertua atau orang tua sama tidak enaknya. Banyak faktor yang menjadi sebab. Segan, tidak enak, kurang bebas atau berbagai alasan yang tidak lagi alasan. Dari awal sebenarnya aku tidak ingin, tapi kesan memaksa mertua itu yang membuat aku terharu. Dan rasa takut istriku untuk menyinggung perasaan orang tuanya yang membuat aku bangga. Namun, ya itu tadi sesayang-sayangnya orang tua masih anak yang terjauh dari sisinya yang paling harum namanya. Di rumah baru, istriku membuka jasa pesanan kue. Mulai dari black forest, africana, bolu, tar, kue lapis dan sebagainya. Untung saja istriku memiliki keahlian membuat kue. Kami tidak bisa hanya mengharap penghasilanku yang kecil dari profesiku sebagai guru swasta. Rumah yang kami tempati hanya memiliki dua kamar. Ada aliran listrik dan air PAM-nya. Halamannya tidak begitu luas, tapi cukup sebagai tempat bermain anak-anak, kecuali satu pagar. Persoalan pagar sebenarnya tidak begitu mengganggu. Bulan demi bulan telah kami lewati ini. Persoalan yang mendasar tidak muncul ke permukaan. Anak-anak kami masing-masing berumur empat dan dua tahun bermain seperti biasa. Masalah muncul ketika tetangga sebelah kami memelihara seekor anjing pudel. Anjing itu sebenarnya lucu. Tetangga kami memasang rantai pada lehernya supaya anjing itu tidak kemana-mana. Anak-anakku selalu melompat-lompat jika melihat tingkah lucu anjing itu. Tapi persoalannya lantas jadi lain, ketika kudengar anakku yang paling tua berteriak menjerit. Dan kudengar lagi ada suara tangisan. “Pa…Papa. Adik dikejar anjing!” Segera saja aku dan istriku keluar melihat apa yang terjadi. “Pa…Papa. Cepat!” Aku segera berlari, istriku menjerit. Kulihat anakku yang terkecil berlari tak terarah sambil berteriak menangis. Segera kuraih anakku. Secara spontan kaki kananku menendang ke arah anjing pudel yang mengejar anakku. Anjing itu terkaing-kaing. Istriku segera meraih si kecil dariku sambil mengeluarkan sumpah serapahnya. Memaki-maki anjing itu. Memaki si empunya anjing. Aku hanya bisu menenangkan. Mencoba dengan segala kesabaran untuk menyabarkannya. “Apa sabar-sabar! Abang mau anak Abang cacat seumur hidup? Lumayan jika dengan kecacatannya ia jadi orang besar. Jika tidak, bagaimana?” “Anjing itu lepas sendirikan? Lagi pula dia bukannya menggigit, tapi hanya ingin bermain-main dengan si adik.” “Iya. Itu karena kita cepat datang. Kalau tidak…” istriku terdiam, ”Pokoknya Abang harus segera membuat pagar rumah kita.” Aku hanya terdiam. Persoalan pagar memang sudah lama kupikirkan. Sudah lama aku hendak membangunnya kalau saja yang punya rumah. Seminggu berlalu. Aku masih belum memenuhi keinginan istriku untuk membuat pagar rumah, agar anak-anak kami bebas bermain di halaman sendiri. Setelah kejadian itu, selama seminggu itu pula anak-anak kami tidak pernah bermain di halaman lagi. Anak-anak hanya bermain di dalam rumah. Ditambah lagi si kecil yang sempat demam selama dua hari. Aku bingung. Perasaanku gundah. Sendiri duduk di teras depan. Istriku menemani anak-anakku di dalam. Kulihat anjing pudel itu telah diikat oleh pemiliknya. Anjing itu sudah mulai menebarkan keresahan. Mengganggu ketentraman tetangga. Aku merasa sedikit lega karena istriku tidak terlalu mengomel lagi tentang pembangunan pagar rumah. Seorang laki-laki, tegap dan sedikit brewok datang membuyarkan lamunanku. Minta sumbangan, tapi kutampik dengan alasan bulan tua. Laki-laki yang mengatasnamakan sebuah organisasi pemuda itu segera pergi setelah gagal. “Apa kubilang? Makanya buat pagar!” Istriku tiba-tiba keluar dari dalam rumah meninggalkan anak kami yang masih asyik bermain. “Sudah lima kali dia datang kemari, ketika Abang sedang mengajar. Untung saja pintu tidak kubuka, kalau tidak…?” Kembali bibirku terkatup rapat. Aku berpikir darimana uang dapat kuperoleh untuk membuat pagar. Mungkin dari bambu. Besok aku akan coba meminjam uang dari Haji Hasan. -o0o- Bangun pagi segera saja aku mandi. Berpakaian. Lalu sarapan. Belum sempat sarapanku habis, dari luar kembali kudengar istriku mengumpat berteriak, mengomel. Segera kudatangi. Kulihat istriku sedang mengepel lantai teras, sambil memaki. “Tengoklah, Bang. Hari ini teras dan kursi yang ada disini yang diberaki ayam. Besok…kepala kita!” “Kenapa rupanya…?” “Ya… malah nanya. Ayam-ayam Haji Hasan kemari cari makannya. Kotor lantai rumah kita. Habis diberakinya. Tengoklah. Kalau tidak kumaki Haji Hasan nanti, jangan sebut namaku Ijah. Awas…!” Kembali aku diam, menelan sisa sarapan yang menyelip di gigi. Rencana meminjam uang Haji Hasan terpaksa kuurungkan. Kupikir aku harus meminjam di koperasi sekolah, tapi aku malu karena tiga kali pinjaman sampai hari ini belum kulunasi untuk biaya tambahan untuk menyewa rumah. Hilang selera makanku. Hilang seleraku berangkat kerja. Hilang seleraku meminjam uang Haji Hasan. Hilang seleraku mengutuk si pemilik anjing pudel yang selalu mengikat anjingnya. Satu hari penuh aku hanya diam. Dalam diam telah kurangkai mimpi sebagai pagar penghalau intervensi dalam hatiku, istriku.

No comments: