Tuesday 22 September 2020

CERPEN : SURAU DI SEBELAH MESJID

Cerpen M. Raudah Jambak Surau di Sebelah Mesjid Lelaki yang berdiri antara rumah dan mimbarnya pada taman, di antara taman-taman di surga. Berdiri atas gundukan tanah bersandar pada sebatang pohon kurma yang menangis menyaksikannya naik ke atas mimbar dari kayu. Laksana unta yang menangis kehilangan anaknya. Lalu lelaki itu memeluknya dan berkata,"mana yang kau pilih, hidup subur dan rimbun atau menjadi pohonan surga?" Lelaki itu lalu me-nguburnya di bawah mimbar empat tingkat yang kemudian menjadi puing di peti mati. Hanya tercium aroma wewangi. * * * Malam ini surau begitu sepi. Cuma diterangi sebatang lilin yang hampir padam dihembus angin malam. Jam di dinding menunjukkan pukul tiga. Subuh masih lama. Lelaki itu baru saja mengambil wudhu. Sebelumnya, ia tersentak bangun. Mimpi itu datang lagi. Tentang seorang lelaki berwajah suci yang tengah memeluk sebatang pohon kurma. Segera ia berdiri lurus ke arah kiblat, sambil mengangkat tinggi kedua tangannya. Setelah itu, ia telah tenggelam dalam kekhusukkannya. Raka’at demi raka’at telah dilewatinya. Di sujud terakhir, ia begitu lama mengangkat kepala. Sementara angin masih mempermainkan lilin yang terombang-ambing. Suara jangkrik mulai sayup-sayup kedengaran. Sesekali terdengar suara kucing berkelahi memecah sunyi. Angin mulai gelisah, ia bangunkan lelaki itu bersama derit pintu dan jendela. Nyala lilin mengecil. Ia seakan mengigil. Suara kucing sayup-sayup dikejauhan. Lelaki itu masih dalam sujud panjangnya, seperti tak berkesudahan. Pelan-pelan terdengar takbir, lelaki itu lalu menyelesaikan ruku’ paling akhir, menutup dengan salam. Dengan kekhusukan yang dalam, lelaki itu menumpahkan lautan zikir. Bersama sampan sajadahnya, ia tebarkan benih-benih do’a. Seketika berubah tunas, lalu menjadi pohon raksasa. Pucuk-pucuknya mulai meraih semesta. Lelaki itu pun dengan tertatih-tatih merih pucuknya. Ia tergesa hendak menyampaikan halnya, kepada Sang Pencipta. Entah apa hal yang disampaikan, lelaki itu seketika itu pula terisak, di atas sajadah yang mulai membasah. Begitu menyentuh, menyambut subuh. Sudah beratus subuh yang dilalui, bersama zuhur, ashar, maghrib dan isya. Surau hanya dipadati kesunyian. Lelaki itulah imam dan makmumnya. Lelaki itulah nazir dan jama’ah yang paling setia. Dia tetap bertahan pada hatinya. Selesai merangkai raka’at, ia lanjutkan dengan tugis rutin yang bertahun-tahun telah dilewatinya. Ia bersihkan halaman surau dengan sapu lidi yang baru dibuatnya kemarin. Kali ini ia tidak meraba-raba. Ia menyapu dengan leluasa. Halaman surau cukup terang dengan pantulan cahaya dari sebuah masjid megah yang baru selesai dibangun dan sudah dioperasikan. Senandung baris-baris ayat masih terdengar berkumandang dipuncaknya yang menjulang. Beberapa orang jamaah, masih terlihat di sana, berba-ring di teras mesjid. "Assalamua’laikum, Angku!" begitu sapa yang kerap dilontarkan kepadanya ketika orang-orang melintas di depannya. "Wa ‘alaikum salam, Sahabat," dengan senyum khasnya, ia menjawab sekaligus bertanya,"Sudah sho-lat?" "Oh, sudah di Mesjid itu!" Angku Saba, si lelaki itu hanya mengucapkan hamdallah sambil memperhatikan o-rang-orang yang menyapanya, menghilang ditikungan jalan. Perlahan ia kemasi peralatannya dan memasukkannya ke gudang. Dengan usia yang sudah tidak muda lagi, ia melangkah menuju kamar mandi tepas dengan peralat an wudhu’ seadanya. Ia bersihkan dirinya dari kotoran tanah yang sempat menempel ketika membersihkan lingkungan surau. Aliran air yang begitu kecil hanya mampu membersihkan tubuh alakadarnya. Setelah itu, Angku Saba menuju ke kamar yang menempel di samping surau. Ia ke-nakan baju gunting cina hasil sedekah dari anak satu-satunya, yang kini menetap ber-sama suaminya di Jakarta. Istrinya telah lama berpulang, enam bulan sebelum perni-kahan anaknya dengan Hasan, teman Nurul, anaknya, yang sekarang menjadi pengu-saha pakaian jadi di Jakarta. Angku Saba mengaso sejenak di teras surau yang sudah mulai reot. Bertemankan segelas kopi pahit setengah matang dan rokok daun kegemarannya, ia nikmati hasil kerjanya. Tersenyum-senyum bibirnya, ketika seorang anak tanpa sengaja memasuki areal surau yang sudah dibersihkannya. Seketika itu pula wajahnya berubah merah, ketika sebuah suara menghentak memanggil anak itu. Lebih memerah lagi, ketika suara raungan tangis anak itu membahana bersamaan dengan suara hardikan dan um-patan. "Di situ banyak penunggunya tahu! Banyak hantunya! Mau kesambet apa?!?!?" Angku Saba tercenung,"Kalau mau main jangan sembarangan tempat, ngerti?!?!" Angku Saba hanya mengelus dada, menarik nafas panjang. Dalam minggu-minggu terakhir ini, ia lebih banyak istighfar. Tiap malam tahajjud tak pernah ia lewatkan. Sholat sunat sudah beratus kali ia kerjakan. Sudah begitu banyak do’a yang ia panjatkan. Berkali-kali pula kaji ia khatamkan. Ayat kursipun selalu ia lantunkan, hantu mana yang berani berdiam? Segera ia kemasi peralatan sholat termasuk pengeras suara sederhana, sedekah dari hamba Allah dua puluh tahun yang lalu. Ia pasang kaset yang melantunkan ayat-ayat suci ke dalam radio tua. Lalu ia melaksanakan sholat sunat. Tidak berapa setelahnya suara azan terbata-bata, suara azan terpatah-patah, menandakan sholat zuhur tiba. Suara azan itu semakin terbata, ketika suara azan masjid sebelah menimpanya. Lebih ter bata lagi ketika menggema suara azan dari puluhan mesjid di sekitarnya. Angku menunggu, berpuluh menit berlalu. Angku Saba berdiri, dia kembali sendiri. Ia tegakkan sholat, sekilas dari sudut matanya terlihat para jama’ah datang. Segera mengambil posisi shaf. Dengan berbinar dan bersemangat, ia angkat kedua le-ngannya sambil melantunkan takbir. Raka’at demi raka’at telah dilewati, dan berakhir pada salam. Begitu khusuknya Angku Saba sehingga ia langsung memimpin zikir dan do’a. Setelah menutup do’a Angku Saba selanjutnya mengarahkan salamnya ke jama’ah. Wajahnya berubah pucat. Mulutnya hanya bisa menganga. Segera ia berdiri setengah berlari menuju pintu surau dan tidak mendapati siapa-siapa. Lama ia berdiri di pintu surau, setelah akhirnya ia putuskan untuk mencari. Angku Saba segera melangkahkan kaki setelah semua pintu surau ia kunci. Sudah lama ia tidak pergi sekedar melangkahkan kaki bersilaturahmi. Itu dikarenakan karena selama ia pergi tidak ada yang menjaga surau. Ia tidak takut ada pencuri atau pen-dengki. Ia hanya khawatir kalau seandainya ada tamu yang datang mencari. Paling ti-dak ada yang duduk menunggu untuk mengabari. Tidak sampai satu jam ia meninggalkan surau, sayup-sayup terdengar suara gaduh dari arah surau. Betapa terkejutnya Angku Saba demi melihat orang-orang berlarian membawa air. Lebih terkejutnya ia ketika ada asap yang mengepul, yang bersumber dari api yang tengah menjilat surau. Sontak saja Angku Saba berlari ke arah surau. Entah kekuatan dari mana yang men dorongnya sehingga ia begitu cepat berlari. Tidak melihat lagi ke kiri dan ke kanan. Menembus kerimunan orang-orang yang sibuk memadamkan api agar tidak melebar, menyambar mesjid yang tidak begitu jauh dari surau. Orang-orang terkesima melihat Angku Saba yang tengah melakukan aksi penyela-matan. Peralatan sholat tua yang pernah disedekahkan. Dan lebih terkesima lagi, ketika sebuah balok kayu yang terbakar tumbang, kemudian jatuh tepat menimpa Angku. Orang-orang segera menolongnya. Membopongnya ke tempat yang lebih aman, memberi pengobatan sederhana dari alat pengobatan sederhana yang terakhir diselamatkan Angku Saba sebelum ditimpa balok yang terbakar. Angku seketika pingsan. * * * Angku Saba siuman. Pelan-pelan ia buka matanya. Ia menatapkan ke sekelilingnya. Semua kelihatan putih-putih. Termasuk pakaian yang membalut tubuhnya. Ia mencoba-coba mengingat-ingat. Butiran air matanya menitik. Sejuta penyesalan menyeli-muti pikirannya. Dalam keadaan terisak, ia tutupi wajahnya sambil memohon berjuta pengampunan. "Ayah sudah bangun?" seorang perempuan muda masuk. Ia duduk di samping Angku, sambil mengaduk-aduk bubur yang dibawanya,"makanlah dulu. Istrahat saja. Dokter mengatakan kondisi ayah akan pulih, jika banyak-banyak beristirahat." Angku hanya diam. "Setelah sembuh Nurul mohon ayah mau tinggal dengan kami di Jakarta. Ayah maukan?" "Bagaimana dengan surau?" "Ayah, sudahlah tidak usah pikirkan lagi surau itu. Lagi pula surau itu sudah rata dengan tanah sekarang." "Apa?!?!" Angku Saba meronta, segera berdiri, ia berlari. "Ayah tunggu!" Angku Saba terus berlari, ia tidak perduli dengan teriakan-teriakan yang mengejar-nya. Ia berlari dengan sangat kencang. Entah kekuatan dari mana yang datang sehing-ga orang-orang tidak mampu meraihnya. Beberapa meter lagi ia sudah hampir sampai Jika saja ia tidak menabrak sepeda yang melintas di depannya. Angku Saba terjungkal. Ia terjatuh bergulung-gulung, dan terhenti ketika kepalanya membentur dinding pembatas jalan halaman mesjid. Jama’ah yang masih berada di mesjid segera memburunya. "Ayah?!?!" Hasan,menantunya yang lebih dahulu tiba meraihnya,"Ayah?!?!, Ayah, Ayah?!?!" Orang-orang berkerumun mengeliling Angku Saba yang terkulai lemah. Matanya tak terbuka. Mulutnya terkatup begitu saja, seketika ia terdiam seribu bahasa. Nurul, anaknya memeluknya erat-erat seketika. Jeritannya membahana. * * * Lelaki yang berdiri antara rumah dan mimbarnya pada taman, di antara taman-taman di surga. Berdiri atas gundukan tanah. Bersandar pada sebatang pohon kurma yang menangis menyaksikannya naik ke atas mimbar dari kayu. Laksana unta yang menangis kehilangan anaknya. Lalu lelaki itu memeluknya dan berkata,"mana yang kau pilih, hidup subur dan rimbun atau menjadi pohonan surga?" Lelaki itu lalu me-nguburnya di bawah mimbar empat tingkat yang kemudian menjadi puing di peti mati. Hanya tercium aroma wewangi. Medan, 04-13 M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Beberapa kegiatan yang pernah di kuti PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar RAKYAT MERDE KA Jakarta dan Majalah SIASAH Malaysia,Majalah Horison Jakarta,Majalah Gong Jogja, BEN Jogja, Radio Nederland, Cyber sastra, Komunitas Sekolah Sumatera, RRI I Nusantara Medan, RRI Pro 2 FM, Bianglala dan surat kabar di Medan. Sering menjuarai lomba baca/cipta puisi, cerpen, dongeng, proklamasi dan juga Teater di Medan. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED,serta anggota HISKI Sumut (2005-2008) .Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 081533214263.E-Mail:mraudahjambak@plasa.com, mraudahjambak@yahoo.com Selain itu beberapa buku yang memuat karyanya jugasudahterbit,misalanya:MUARATIGA (antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malaysia,1999), 50 Botol Infus (Teater LKK IKIP Medan,2000), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK,2001), TENGOK (antologi puisipenyair Medan,2001), SERATUS UNTAI BIJI TASBIH (antologi puisi bersama A.Parmonangan,2002), OMONG-OMONG SASTRA 25 TAHUN (antologi esay2000), MEDITASI (antologi puisi tunggal,20003), AMUK GELOMBANG (sejumlah puisi elegi penyair Sumatera Utara, Ragam Sunyi Tsunami (kumpulan puisi, Balai bahasa Sumut,2004)dan Perempuan berhati gerimis(antologi puisi bersama M.Iqbal Irawan, Medan,2005), Jogjakarta 5,9 SR (antologi puisi 100 penyair, 2006), Dari Pemburu Ke Terapeutik (antologi cerpen Nusantara Pusat bahasa,2004) . Sekarang ini aktif di Sanggar GENERASI Medan.

No comments: