Wednesday 23 September 2020

PUISI : SAJAK RAUDAH JAMBAK

Sajak-sajak M. Raudah Jambak INDONESIA, MERAH-PUTIHKU Indonesia, Indonesia di negeri ini aku dilahirkan di negeri ini aku dibesarkan di negeri ini aku menggapai segala impian segala harapan segala cita dan cinta Indonesia, Indonesia engkau adalah taman terindah ibu yang paling ramah, penuh kasih dan sayang dalam suka maupun duka Indonesia, Indonesia adalah do’a-do’a hikmat sebelum tidur, adalah gula dalam setiap makanan maupun manisan adalah cahaya penerang segala terang maupun yang kabur adalah puncak segala warna dalam lukisan dan racik tenunan Indonesia, Indonesia laksana obat penghilang perih luka-luka tilam paling nyaman setiap ketentraman berdiam danau tempat membasuh tumpukan-tumpukan duka dan senyuman dalam mata paling nyalang atau sebenam pejam Indonesia, Indonesia barisan semangat sepanjang carnaval anak-anak yang berlari riang sepanjang jermal kekasih segala pujaan, membenam segala gombal Indonesia, Indonesia merah darahku putih tulangku di tubuhku kita menyatu padu medan, 10-12 MENJAGA INDONESIA Mungkin tak pernah terpikirkan entah berapa helai daun yang gugur di halaman rumah kita dan membusuk, atau hangus begitu saja di gunungan sampah yang berhari-hari kita biarkan. Pun, ketika ia terseret di arus banjir dan terdampar di kehilangan pandangan kita Adakah terbaca setumpukan debu yang menebal di datar kaca jendela, bersebab kemarau dan bising lalulalang jalan raya. Padahal tanpa sadar ia selalu menari di hadapan kita, ketika kita berpatut-patut diri sebelum berangkat kerja Lalu sempatkah terhitung berapa usia ruang depan rumah kita yang membiarkan tetamu datang dan pergi, serta gelas yang terjatuh dikarenakan keriangan anak-anak berkejaran di seputar meja. Termasuk perempuan yang kemudian dikatakan istri, dikatakan ibu, berebut kisah laksana setrika, selalu berpindah dari kasur, dapur dan sumur. Juga lelaki yang tercatat sebagai suami, tercatat sebagai bapak memungut kisah dari rumah sampai rumah begitulah Indonesia ia menyediakan diri sebagai apa saja dan mungkin tak pernah terpikirkan, terbaca, atau terhitung tentang daun-daun, debu atau justru sebagai rumah, tempat orang-orang memungut istrirah Indonesia adalah rumah kita yang penuh dengan sesak sampah yang penuh dengan riuh debu-debu yang penuh dengan tamu-tamu datang dan pergi Indonesia adalah rumah kita yang berpagar, yang berubah-ubah warna dindingnya yang bagian-bagiannya dihancurkan kemudian dibangun kembali Indonesia adalah rumah kita yang menyimpan begitu banyak cerita dan sepatutnyalah kita jaga medan, mei 2012 MASIH MERDEKAKAH KAU INDONESIA? Masih merdekakah kau Indonesia setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya dalam kaleng rombeng recehan angka milik pengemis belia yang mendendangkan kidung lara bersama hembusan dupa dari opelet tua masih merdekakah kau Indonesia ketika musyawarah berubah dari mufakat menjadi siasat ketika wakil rakyat lebih mewakili penjahat ketika gedung dewan lebih mirip kandang hewan dan ketika pejabat negara tega menjadi pengkhianat bangsa Masih merdekakah kau Indonesia dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham maknanya karena matamu telah dibutakan dan mulutmu disekat rapat-rapat serta telinga cuma sekedar bunga tanpa rupa Masih merdekakah kau Indonesia padahal telah banyak disumbangkan darah dan air mata dan berjuta nyawa yang akhirnya cuma sekedar wana luka Masih merdekakah kau Indonesia? Komunitas HP, 2002 INDONESIA BERKACA telah lama indonesia terjebak dalam buramnya kotak kaca, mulai dari wajah yang berdebu, sampai tiga dimensi yang kaku, parabola tak lagi berguna dikalahkan kecanggihan batok kelapa- kejahatan, penipuan, kemunafikan-berlomba menjadi pelaku utama-sementara kejujuran, keikhlasan,dan kesabaran-cukup puas sebagai figuran biasa telah lama indonesia terjebak dalam kumuhnya media masa, mulai dari wajah yang penuh darah, sampai bibir merah penuh gairah, headline kemanusiaan tak lagi berguna, politik haus kekuasaan di atas segalanya-korupsi, prostitusi, anti ideologi-menjadi berita terkini-sementara harkat, martabat, dan nurani-hanya penghias demi investasi telah lama indonesia terjebak di atas panggung sandiwara, yang selalu kehilangan penonton setia mulai dari fans tiba-tiba, sampai kelas utama tiket pertunjukan tidak lagi berguna, sebab undangan gagal membawa marwah cerita-pemain, penata, dan sutradara-saling curiga dengan honor yang diterima-sementara proyek, eksebisi, dan pertunjukan dalam rangka-menjadi penentu final dalam berkarya lihatlah aceh, ambon dan papua lihatlah korupsi, prostitusi dan manipulasi negri lihatlah segala amoral dan asusila anak-anak bangsa apa khabar munir yang menunggang garuda apa khabar harry roesli dengan drs. arief-nya apa khabar peter white dan sepakbola indonesia apa khabar sby bersama seratus harinya apa khabar hamid jabbar yang selalu menzikirkan puisinya, selalu tertawa gembira-walau dalam tangis indonesia apa khabar tsunami yang selalu meneteskan air mata do'a takjim buat saudara-saudaraku, yang mengawang di bukit lawang, menanam pusara badan di kuningan, menyerah di bandara adi sumarmo yang gelisah, ambruk mengurusi nyamuk-nyamuk, menggigil digetarnya gempa tsunami dan yang tiba-tiba pergi ke negeri entah (tuhan mengarahkan langkah kalian menuju taman di dalamnya mengalir sungai susu, tumbuh bunga-bunga indah, dan ranumnya beragam buah) telah lama indonesia terjebak dalam lusuhnya cermin kaca, tapi yakinlah kami masih mampu membaca makna-membersihkan wajah indonesia indonesia bercermin indonesia berkaca dalam derita kami akan terus berjuang untukmu dalam bahagia kami akan senantiasa mengharumkan namamu, indonesia berkaca-anak-anak bangsa berusaha terangkai do'a, senantiasa Medan, 2001 SEBAB PAHLAWAN NAMAKU Di dalam negeri yang penuh rahasia, aku terlahir Dari seorang ibu yang tak henti mengumpulkan Segala tetes air mata di pualam pipinya Tumbuh besar sampai sekarang menjaga usia Setua misteri yang beralis segala teka teki Dan memberi namaku Pahlawan Bukan aku yang meminta nama segagah itu Bukan aku yang memaksa untuk ditabalkan Bukan aku yang terpaksa atau bahkan rela Merengek-rengek agar semua orang tahu Tidak ada Pahlawan selain aku Aku tidak harus mati dulu Apalagi mengumpulkan kartu tanda penduduk Atau mengumpulkan kartu keluarga sekian ribu Bahkan harus PEMILU agar ibu menuliskan Kata Pahlawan di keningku Ooi, Aku bangun jiwa raga ini Aku bangun cita-cita ini Aku bangun negeri ini Dengan nurani sebab pahlawan namaku Ooi, Tak harus kutempuh cara yang sama Tak harus kutempuh jalan membabi buta Tak harus kutempuh menikung suka-suka Tapi kususuri cara yang sesederhana jiwa sebab pahlawan namaku Ooi, Sebab aku terlahir di dalam negeri penuh rahasia dari seorang ibu yang tak henti mengumpulkan segala tetes air mata di pualam pipinya, Maka pahlawan namaku Bogor, 2008 AKULAH WAKTU, KAULAH MASA, KITA CATAT SEJARAH /1/ Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya sesungging senyum Tongging Akulah Waktu yang kehilangan makna beban Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan Sebab ia adalah cermin buat berdandan Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah. Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak /2/ Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi. perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara. mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta! Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari di seputar wajah danau toba Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut. Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa yang berburu zikir bersama Khaidir lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa! Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad! Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah! /3/ Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian. di aliran waktu di aliran rindu di aliran cemburu sederas sipiso-piso sedingin sidompak Komunitas Home Poetry, 2008-2010 SEBAB AKU PEREMPUAN Gerai rambutku Binar mataku Mancung hidungku Tipis bibirku Maka, Membara kelelakianmu Tunduk kepalaku Terbungkus tubuhku Terbata mulutku Perlahan langkahku Maka, Surut perasaanmu Selalu Hawa yang dipersalahkan Ketika Adam mencicipi buah keabadian Sebagai penyebab sebuah ketelanjangan Bibit huruhara persengketaan Yang memabukkan Selalu Cleopatra menjadi cibiran Ketika lelaki harus menghunus senjata Membunuh saudara sendiri Demi sebuah pengakuan Dan cinta Selalu aku merelakan pengorbanan Untuk sebuah ketidakpastian Dari janjijanji bersayap cumbu Bagi kumbang Penghisap madu Sebab aku perempuan Maka, perasaanku Kau permainkan BUKAN KARENA, TETAPI Bukan karena hiba Dan tetes air mata melukis pilu segala warna duka Menggores di kanvas segala luka penuh amarah yang memerah atau pedih segala perih memudarkan rona memudarkan rasa Bukan karena apatis hingga hasrat harus teriris Meninggalkan catatan Sebuah kenangan Di buku harian Pada halaman-halaman tertinggal Tetapi, karena aku perempuan Yang merawat segala cinta Dan kasih sayang Di hatimu MEMBACA POTRET KARTINI Membacamu adalah menerjemahkan makna Alis yang bertengger di atas bening binar matamu Yang mengisyaratkan cita-cita Dan cinta Membacamu adalah mencatat patahan Pada sketsa hidungmu yang membaui Aroma segar nurani Murni Membacamu adalah menafsirkan hakikat Keperempuanan yang disalahartikan Tentang kesamaan Dan kesetaraan PORTIBI sesekali kutelusuri bilik sempit sudut kusam, cagar sejarah dan relief dingin memaknai kediamanmu yang berdebu dan gosong pengetahuan tak ada catatan yang tertinggal selain kegalauan merubung dada dan kanak berebut benang putus layang serta sorak kegembiraan yang menyusup di dinding-dinding senyap komunitas home poetry, 2012 MENGHITUNG LANGKAH sepanjang trotoar usang peradaban kuhitung langkahmu sampai ke ujung jalan kuhirup aroma tubuhmu yang melayang dan terbang bersama debu jalanan komunitas home poetry, 2012 SAJAK KEDIAMAN rasuk aku pada kata-kata usang pada baris-baris puisimu yang sungsang goresan rindu dendam telah kusyairkan pada lirik-lirik kalimat lantam ia menyelinap disela-sela pesan baris syair tentang matahari dan bulan membawa ingatan pada catatan-catatan terakhir tentang siang dan malam komunitas home poetry, 2012 MEMBACA BIAS SILAU MATAHARI membaca bias silau matahari seperti melangkah di gurun padang pasir tetabuh kegalauan meraung di pucuk gunung menancapkan tegak siang yang gersang komunitas home poetry, 2012 MEMBACA SERIMBUNAN AKAR membaca serimbunan akar yang menembus kedalaman bumi menusuk di jengah ceruk-ceruk tanah mengundang sedak dan terdesak komunitas home poetry, 2012 MEMBACA ASPAL Mungkin banyak yang belum mengerti Mengapa aspal selalu memaknai kerebahannya Ada yang datang dan pergi Ada yang disambang dan terbuang Ada yang menjelang dan menghilang Ah, andai saja ia bercerita tentang kita, tentu Kau dapat menebak ke mana arahnya Tetapi, ia lebih memilih kebungkaman Baginya hal itu lebih indah ketika menikmati Segala kebisingan dan kecemasan kita Serta kerahasiaan yang sampai saat ini Belum dapat kita pecahkan, walaupun Sesekali waktu kita mencoba membongkarnya Lalu menutupnya kembali sambil membawa Rasa kecewa sekaligus rasa lega dan bagi kita Pun tidak faham ke mana muaranya (tentang sebuah kelemahan adalah kekuatan) MEMBACA USIA mungkin aku yang terlalu bernafsu mencumbui waktu padahal jalanan ini masih seperti yang kemarin, tempat kita selalu menghitung jumlah tapak kaki yang kita jejakkan dan cuaca selalu bercanda dengan kita membiarkan kita blingsatan membaca usia, lalu ia tertawa diam-diam sambil melangkah pergi tapi, hari ini aku hanya bisa mengutuki uban yang tak pernah pergi walaupun sesaat PIRING Bukan karena piring itu kosong atau berisi lalu kau merasa bahagia atau sedih. Tetapi, ia juga mampu menjerumuskanmu ke penjara. Bersebab karena perutmu yang kosong, atau malah kekenyangan. “Jangan buang. Jual saja,” ujar istrimu yang tengah hamil tua. Entah mengapa, ia tak pernah berhenti mengidam. Padahal niatmu hendak memberikan piring usang itu ke tetangga dan ingin menggantikannya dengan yang baru. Dan ketika makan malam bersama wajah istri dan anakmu berbunga-bunga melihat kilau piring baru. Mereka bersorak persis disaat siaran televisi menyiarkan sekumpulan bocah di penampungan mengangkat tinggi-tinggi piring kaleng di tangannya. ....perutmu mual bersama suara sirene di kepalamu. MEJA MAKAN Betapa luka perasaannya, seandainya kau tahu tidak ada apa-apa yang terhidang di sana. Pun, termasuk ketika kau selesai menikmati hidangan penuh selera. Tetesan sambal, serpihan tulang-tulang, ataupun tumpahan jus anggur yang tak kau sadari memerihkan hatinya. Walau kau lapis wajahnya dengan beludru merah jambu. Untung saja pembantu setiamu segera menyadari itu, sambil sesekali mengutil rimah-rimah semur kambing kemudian diam-diam dibungkusnya dalam kantong plastik yang memang sudah dipersiapkan dari rumah, untuk suami dan anak-anaknya. Dan menghidangkannya kembali di atas meja makan dengan keropos-lapuk di kakinya. TELUR REBUS Anak-anakmu berebut telur rebus terakhir yang sebenarnya sengaja kau sisakan untuk sarapan pembantu setiamu. Padahal sebelumnya pembantumu sengaja menghadiahkan untukmu karena rasa bahagia, sebab seekor ayam betina yang tersesat di dapurnya diam-diam bertelur di atas bantal tempat tidurnya yang beralaskan jerami penuh rayap. Entah mengapa kau begitu murka, begitu tahu ada setengah kehidupan yang menyembul di serpihan telur rebus yang jatuh berantakan dari tangan anak-anakmu. SAMBAL TERASI Pembantumu begitu gembira begitu sambal terasi asli buatannya kau lahap begitu saja. Padahal bau busuk yang enggan singgah dari mulut dan tanganmu membuat anak-anakmu kehilangan selera. Sayang kau tak menyadari makna hakiki sebenarnya dari bau busuk dan pedasnya. LOTUS Mungkin setelah lotus bertunas pada hati kita Tak ada ketakutan selain cinta berwarna merah muda Yang terus membawa harumnya kemana-mana Ia menjadi sebuah kekuatan yang mengagumkan Ia menjadi keberuntungan yang menyadarkan Dan ia menjadi hidup di setiap kematian kita Maka, setelah lotus lahir dari hati kita Kemanapun melangkah tak ada lagi jarak Ruang maupun waktu yang berdetak Sedegup jantung. Selalu berbinar Seterang matahari, seindah bulan TERATAI MERAH Lalu, apa arti cinta sesungguhnya bagimu Apakah ia laksana kuda jantan yang terengah-engah, Ataukah ia seindah kelopak teratai merah yang terbuka? MAWAR MERAH Dengan segenap keyakinan, aku bertandang Kuharap kau sedang menungguku di ruang tamu Tempat biasa kita berbagi cerita dan cinta Jangan lagi kau sulam amarah, dari sisa kebencian Sehabis hujan deras semalam. Sebab, aku sendiri Gamang apakah itu yang dinamakan cinta Aduh. Getar dada ini semakin debar. Tetapi, Dengan setangkai mawar ini kita akan raup Aroma rindu di taman hatimu yang penuh warna SYAIR SAJADAH Mungkin zikirku zikir kayu hanyut yang terombang-ambing Di permainkan laut. Kadang terdampar di pasir, kadang tenggelam dalam air. Tak seperti perahu walau senantiasa basah, senantiasa pula ia belayar Tapi tahu kemana harus terdampar mengenyahkan segala gigil Menghalau segala debar Amboi, adakah do’a ku kan sampai padamu Tuhanku Seperti Nuh yang memutuskan tali-tali kufur dari tonggak-tonggak rapuh Seperti Ibrahim yang mendinginkan bara-bara angkara api Seperti Muhammad yang menebar maklumat sepenuh hikmat Mungkin zikirku zikir debu dari rapuh kayu-kayu yang dihembuskan Angin bisu. Semacam lagu-lagu rindu, semacam pilu kelu Dan kemudian tersangkut entah kemana, entah dimana pula berimba. Padahal syair-syairku adalah syair-syair sajadah Syair-syair basah Amboi, adakah zikirku zikir rindu atau zikir-zikir ragu padamu Tuhanku Seperti kabil yang menghilangkan jejak-jejak habil Seperti zulaikha yang menyusupkan syahwat di dada Yusuf Seperti Syekh Sibli yang merampungkan cinta Al-Halaj dengan bunga Mungkin zikirku zikir airmata yang mengalirkan Syair-syair sajadah basah yang bermuara pada entah KOMUNITAS HOME POETRY, 2012 M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Pernah bersinggungan di Komunitas Forum Kreasi Sastra, Komunitas Seni Medan, Komunitas Garis Lurus, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Komunitas Sastra Indonesia, Seniman Indonesia Anti Narkoba,dll. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK, Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan. Alamat tugas : Jalan Jenderal Gatot Subroto km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Alamat Rumah: Jalan Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E-10 Medan, Sumatera Utara. Hp. 085830805157. Kontak Person TBSU- Jl. Perintis Kemerdekaan, no. 33 Medan. Saat ini sebagai Direktur Komunitas Home Poetry. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pinang. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan dengan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se-Indonesia di Bogor (200&), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta , TSI 1-3, Juara Unggulan 1 Tarung Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang, Nominasi cipta Puisi nasional Bentara, Bali, dll.email: mraudahjambak@yahoo.com

No comments: