Wednesday 23 September 2020

CERPEN : SUBUH

cerpen SUATU KETIKA DI SUBUH YANG GADUH OLEH : M. RAUDAH JAMBAK Subuh baru saja jatuh. Senandung ayat suci mengaduk-aduk malasku. Suara azan setelah itu, membimbing aku mengambil wudhu,. Setelah itu, aku bersiap-siap ke Masjid. Biasanya, aku masih sempat melaksanakan tahajjud. Tapi, entah mengapa lelahku menghipnotis nyalang mataku. Aku hanya bisa bersyukur masih sempat menunaikan subuh. Biasanya istri dan anakku turut serta, tapi kali ini tidak. Dia sedang marah. “Papa telah mempermalukan aku, dengan menolak penjualan rumah yang sudah kusetujui. Juga orang-orang di Gang ini. Brengsek!” “Papa bukannya menentang, tapi kepentingannya apa?” “Ah, sudahlah tak perlu beralasan. Aku pergi. Anak-anak kubawa ke rumah Ibu!” Ah, isteriku. Aku hanya berdo’a semoga Allah menyadarkan segala kekeliruannya. Dia tidak sadar, kalau dia sudah diperalat. Ah, semoga ada hikmah yang dapat diambil, pikirku. Segera kulangkahkan kaki. Biasanya di Masjid tak banyak orang. Kalau tidak Pak Abu, si nazir Masjid yang sudah renta itu. Paling juga Amin, anak yatim yang diizinkan menempati sebuah ruangan Mesjid, sebagai tempat tinggal sementara. Gelap masih terasa. Dingin menusuk tulang. Kulangkahkan kaki setapak demi setapak. Listrik satu setengah jam yang lalu mengulah. Lampu jalan hanya satu yang menyala, tepat tiga rumah dari rumahku. Gang kami masih begitu sepi. Orang-orang mungkin sedang menggelar sajadah di rumahnya masing-masing. Sebab, rumah-rumah masih terlihat menutup diri. Hanya aku sendiri terlihat di gang ini. Gang kami bernama gang baru. Aku sendiri heran, mengapa disebut dengan nama seperti itu. Padahal menurutku tidak pantas disebut begitu. Sepanjang jalan aku hanya menemukan jalan yang becek dan berlumpur yang tidak surut dari sisa-sisa hujan. Gang ini pun panjangnya tidak lebih dari lima ratus meter. Hanya dihuni tidak lebih dari sepuluh rumah yang saling merapat. Istimewanya, gang ini tembus ke sebuah perumahan elit. Tepat di depan maupun di belakang gang. Serta sebuah Masjid tua yang hampir dirubuhkan karena dianggap mengganggu areal perumahan. Syukurnya niat merubuhkan Masjid itu tidak kesampaian sampai sekarang, sebab masyarakat yang tinggal di gang itu mempertahankannya dengan ancaman akan merusuhi kompleks yang didirikan di dekat gang mereka. ”Assalamu`alaikum, Bang.” Aku terkejut lamunanku buyar. Seorang lelaki melintas dengan cepat. Lelaki itu berpakaian hitam, kepalanyapun dibungkus kain hitam yang diikat. Aku tak sempat mengamatinya dengan seksama, sebab secepat itu pula tubuhnya ditelan temaram di tikungan gang. Belum sempat tuntas keherananku, sebuah suara terdengar berteriak. Di ujung gang belakang. Beberapa orang terlihat menuju arah lelaki yang baru saja melintasiku. ”Maaf, Bang., Orang yang melintas dari gang ini berbelok ke arah mana?” Aku terpaku, hanya tanganku saja yang bergerak menuju arah kiri tempat lelaki itu berbelok. Udara semakin menusuk tulang. Bersamaan hembusan angin orang-orang itu telah menghilang menuju kelokan. Ah, entah apa yang terjadi aku tidak tahu pasti. Segera saja aku menuju ke Masjid tanpa menoleh ke mana-mana lagi. Di Masjid, seperti biasa Pak Abu, Aku dan Amin melaksanakan subuh dengan suasana yang aduh. ***** ”Permisi, Pak, Assalamu`alaikum.” Seorang perempuan tua, menggendong bayi dalam pengkuannya, bediri di depan pagar rumahku. Aku memperhatikannya dengan seksama dari tirai jendela. Dengan mengenakan penutup kepala yang diikat seadanya dan warna yang sangat buram. Begitu pula dengan baju dan rok yang dikenakannya. Beralaskan sendal jepit dan wajah yang memelas, perempuan tua itu memanggil-manggil. Di gendongannya, bayi itu menangis-nangis. Perih. ”Pak, Bu, Assalamu`alaikum.” Ini sudah kesepuluh kali untuk hari ini. Ada yang menjual buku-buku agama. Ada yang minta sumbangan. Ada yang kehabisan ongkos hendak pulang ke kampung. Ada yang mengaku belum makan lima hari. Ada yang mengatasnamakan keamanan. Ada yang, ah, banyak lagi. Semuanya kuberikan dengan seikhlas hati. Mungkin melalui aku, rezeki mereka di titipkan Allah, pikirku. Segera kubukakan pintu. ”Pak, Assalamu`alaikum. Kasihan...”perempuan tua itu lebih terisak dari sebelumnya, ”Anak saya sakit, Pak. Ingin ke dokter uangnya kurang.” ”Kurang berapa, Nek. Eh, Bu ?” ”Klinik bilang tiga ratus lagi, tapi terserah Bapak mau kasih saya berapa saja.” Ah, pikirku. Kalau dengan logika, maka banyak sekali hal-hal yang tidak logika yang kurasakan saat ini. Tapi, Allah selalu hadir dalam hal yang tidak hanya logika tapi juga dengan hal-hal diluar logika berpikir kita juga. Sedahlah. Bagiku ikhlas saja. Rezeki hanya Allah yang mengaturnya. Terlalu banyak perhitungan bisa-bisa jadi kikir. Segera kurogoh sejumlah uang dari sakuku. Jumlahnya pun aku tidak tahu berapa. Lalu kuserahkan kepada perempuan tua itu. ”Nih, Bu. Sekedarnya saja. Maaf.” Entahlah, sejak isteriku dengan si kecil yang masih berusia lima tahun ke rumah mertuaku sejak seminggu yang lalu, selalu saja rumahku di datangi orang yang tidak dikenal. Melintas begitu saja di sepanjang gang kami. ”Om !” teriak seorang gadis kecil, tetangga sebelah rumah kami, ”Nenek itu sudah pergi ya?” “Iya. Ada apa rupanya, Susi ?” “Iya, Om. Semalam nenek itu datang ke rumah Susi.” “Oh iya?” “Katanya semalam dia nggak punya ongkos pulang ke Stabat.” “Terus dikasih?” “Nggak, Om. Kata mamak, itu penipu,” Lalu dia berteriak, “Om kasih nenek itu?” Aku menganguk. Gadis kecil itu ternganga, dengan perasaan kecewa dia lalu masuk ke dalam rumah. Akupun segera masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang entah. Berbagai peristiwa begitu saja hilir mudik. Ah, ya waktu zuhur telah tiba, tapi azan belum berkumandang. Belum sempat aku menyelesaikan wudhu, sayup-sayup kudengar orang-orang berteriak dan tidak berapa lama setelahnya terdengar ledakan. Dhuaaar ! “Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran! Selamatkan anak-anak dan keluarga. Ayo. Cepat!” Aku tersentak. Suara itu jelas terdengar dari arah Masjid. Orang-orang menyahut berteriak-teriak. Suasana panik memenuhi gang kami. ”Om! Om! Cepat! Apinya mulai membakar rumah Om!” Suara itu. Ah, bukan hanya suara Susi. Aku segera keluar dari kamar anakku. Terlambat. Asap sudah memenuhi ruangan. Aku terjebak. Pandanganku mengabur, asap terhirup. Aku terjatuh. Tidak bisa bergerak. Seseorang sepertinya menyeretku. Ah, nenek.. Bayanganku, perempuan tua itu meraihku. Menjauhkan aku dari api yang mulai menjilati dapur rumahku. Kurasakan tenaganya begitu kuat. Bayinya masih dalam gendongan. Begitu nyaman. Betapa peristiwa demi peristiwa mengalir dalam gang pikiranku. Jelas terlintas. Lelaki tak dikenal dikejar kelompok orang juga tidak dikenal. Masjid yang selalu senyap dalam setiap gelaran shalat. Para peminta-minta yang datangnya entah dari mana. Sampai istriku yang pergi ke rumah mertuaku membawa anak kami. Persoalannya sebenarnya sangat sederhana, aku tidak setuju istriku menjual rumah kami tanpa persetujuanku. Nah, ketika si pembeli datang membawa sejumlah uang yang sudah disepakati dengan isteriku, aku menolak. Mungkin karena malu atau apa, aku tidak tahu pasti. Jelasnya rumah itu tidak jadi di jual. Belakangan, ternyata tidak hanya aku yang menolak menjual rumah. Rumah-rumah di sepanjang gang kami juga menolak. Aku menolak, alasannya sangat jelas. Rumah itu adalah satu-satunya warisan orangtuaku untukku, anaknya satu-satunya. Kurasa penolakan yang kulakukan sangat wajar dan beralasan. ”Om, Bangun!” Ah, itu suara Susi. Suaranya sangat jelas terdengar di telingaku. Kali ini suaranya serak bercampur tangis. Perlahan mataku kubuka. Sudah malam. Aku tersentak, teringat belum salat. ”Om, Bangun !” ”Susi ? Ada apa ?” belum sempat ia menjawab, air matanya sudah berderai. Aku pun terkejut setelah melihat sepanjang gang kami, “Masyaallah. Rumah-rumah kita ? Ibumu ? Ayahmu ?” Gang kami rata. Tidak hanya kehilangan harta juga nyawa. Beberapa orang tidak berhasil diselamatkan, termasuk ayah dan ibu Susi. Sedangkan aku mereka temukan sedang tertelungkup di atas sajadah. Orang-orang hanya bisa menangis pasrah. Susi telah tertidur lelah menahan isak di pahaku. Betul-betul tidak ada lagi yang tersisa. Selain suara sirene dan blitz lampu kamera, serta orang-orang kompleks yang ingin menyaksikan kebakaran dari dekat. Di Masjid pengumuman orang-orang yang nyawa tidak terselamatkan. ”Maaf, Pak.” seseorang yang pernah aku kenal bertanya. ”Bapak rumahnya yang ikut terbakar?” Aku mengangguk ”Eh, begini, Pak. Kami bermaksud mendata warga yang rumahnya ikut terbakar. Maaf, Pak. Jangan tersinggung. Besok Bapak bisa datng ke kantor Kepala Desa. Pukul sepuluh. Di sana kami akan memberikan sumbangan ala kadarnya kepada warga yang ikut terkena musibah. Ya, kami hanya bisa membantu ala kadarnya saja.” Aku terdiam, lelaki itu segera beranjak. “Oh,ya, Pak. Nama Bapak Abdullah kan ? jangan lupa besok bawa juga KTP dan Kartu Keluarga serta surat keterangan dari kepolisian semacam SKBB-lah. Ah, hanya formalitas, kok. Mencegah adanya penipuan dari oknum yang tidak bertangung jawab. Sudah ya, Pak.” “Astagfirullah. Ah, orang itukan. Duh, istriku.” Subuh baru saja jatuh. Senandung ayat suci terlantun dari mulut Susi. Sebentar lagi aku akan menyuarakan azan, setelah puas menunaikan tahajjud. Do`a ku hanya satu ketika itu. Alhamdulillah, ya Allah, masih engkau berikan kesempatan padaku mengagungkan nama-Mu. Amin. Medan,07-11

No comments: