Wednesday 23 September 2020

SAJAK : MENZIKIRKAN ZIKIR

Sajak Raudah Jambak ZIKIR SENDAWA GUNUNG masih juga kita tak mampu membaca getar tanah yang diam-diam menjalar menanam segala resah masih juga kita tak bisa melihat gerak angin yang liar menebar pongah dalam gigil dingin masih juga kita tak faham pada geliat air yang memberi tanda paada setiap bibir getir masih juga kita tak merasakan sengat bara api yang menghunus lalu membakar segala nurani masih belumkah terbaca isyarat tanah, angin, air dan api sehingga kita harus bergumul pada segala muntahan dari mulut bumi ZIKIR MERIANG HUTAN kabut yang perlahan menanak cemas kita adalah gulali yang kehilangan segala manisnya dedaunan yang tiba-tiba berwarna senja adalah gadis jelita yang raib alas bedak wajahnya para lelaki yang berteriak menghunus senjata adalah pelukis yang tak jua menemukan kuasnya maka, dadapun rapuh rasapun rubuh ZIKIR ASAP aku akan pergi bertandang membawa segala pulang aku akan permainkan kabut membungkus segala jeput aku akan datang padamu memulangkan segala tetamu padamu, aku selalu mendendam rindu ZIKIR MAWAR apakah yang dapat kukatakan selain mengungkapkannya dengan seikat kembang atau setangkai zikir mawar, Kekasih atau apakah cukup rasa cinta dengan kata-kata berbaur ucapan penghambur bermakna kabur ah, dengan seikat bunga ini kau akan mengerti penanda hati apakah yang dapat kulakukan selain menyusun butir-butir rindu menjadi segunung mengharu-membiru, Kekasih entahlah warna cinta yang bagaimana lagi yang patut kutorehkan di kanvas hati ah, dengan seikat bunga ini kau akan mengerti pecinta sejati ZIKIR BATU Pada sajadah batu menempel lukisan dahiku Dengan zikir beribu waktu Rabbi, Telah meretas air mataku satu satu Namun rindu begitu kelu Pada sajadah batu kuukir ayat ayat cinta Dari waktu ke waktu ZIKIR KAYU Walau rayap rayap mengerat gigil tulang Sujudku pada-Mu Tapi takkan pernah lapuk sajadah kayu Yang menjelma perahu Mengarungi lautan do’a-do’a menuju Dermaga rindu Ah, akukah itu Si penebang kayu yang dahaga Akan embun rahmat-Mu ZIKIR API Ibrahimlah itu yang dikuyupi api api rindu Menganyam tembikar murka Abrahah si pengumpul kayu “Patung besar itulah yang memenggal leher Tuhan-tuhan mu,” ujarnya berseru Amuk Abrahah menyulut deru Dan Ibrahimlah itu yang meng-Imami Sujud pada sajadah api membiru ZIKIR TANAH Sunan Kalijaga membentangkan sajadah Tanah membasah, menggetarkan dada Syekh Siti Jenar “Telah menyatu aku dengan Tuhanku!” Mengutil rimah-rimah amarahnya yang berdarah darah O, siapakah yang memautkan Zikir cacing pada bebal leher terpenggal Di bujur sujud yang tersungkur? ZIKIR AIR Digelembung zikir sajadah air, Musa Menjambangi Khaidir sebelum menyeberangi Laut senja, lalu kata-kata dipecah dalam Bilah bilah Dan perahu itu Dan anak itu Dan rumah itu Pada sujud air sajadahpun air Mengalir, membulir ZIKIR UDARA Menapaki Haram menuju Aqsa adalah Hijaiyah bagi hati yang resah Lalu, memebentanglah sajadah Pada sujud udara menjemput cinta-Nya Telah ku salatkan dunia merantai jahiliyah Yang tak sudah sudah Ya, Rabbi ZIKIR SAJADAH Mungkin zikirku zikir kayu hanyut yang terombang-ambing Di permainkan laut. Kadang terdampar di pasir, kadang tenggelam dalam air. Tak seperti perahu walau senantiasa basah, senantiasa pula ia belayar Tapi tahu kemana harus terdampar mengenyahkan segala gigil Menghalau segala debar Amboi, adakah do’a ku kan sampai padamu Tuhanku Seperti Nuh yang memutuskan tali-tali kufur dari tonggak-tonggak rapuh Seperti Ibrahim yang mendinginkan bara-bara angkara api Seperti Muhammad yang menebar maklumat sepenuh hikmat Mungkin zikirku zikir debu dari rapuh kayu-kayu yang dihembuskan Angin bisu. Semacam lagu-lagu rindu, semacam pilu kelu Dan kemudian tersangkut entah kemana, entah dimana pula berimba. Padahal syair-syairku adalah syair-syair sajadah Syair-syair basah Amboi, adakah zikirku zikir rindu atau zikir-zikir ragu padamu Tuhanku Seperti kabil yang menghilangkan jejak-jejak habil Seperti zulaikha yang menyusupkan syahwat di dada Yusuf Seperti Syekh Sibli yang merampungkan cinta Al-Halaj dengan bunga Mungkin zikirku zikir airmata yang mengalirkan Syair-syair sajadah basah yang bermuara pada entah MENJARING TASBIH AIR MATA Telah pun kujaring tasbih air matamu Pada kedalaman laut yang paling haru Gemuruh di dadamu mengundang cemasku Demi menahan terjangan-terjangan gelombang Langit sekadar membagi nasihat Bagaimana cara membaca gerak cuaca Awan adalah musafir yang mencatat angin Sepanjang rahasia kesunyian sebuah perjalanan PELAYARAN SAJADAH Lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah Ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa Malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak Pernah lupa dengan segala riwayat cerita segala derita! DALAM DIAM KU TASBIHKAN CINTA mungkin ini hari dan minggu yang kesekian ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal telah disiapkan perahu mengarungi do’a-do’a adakah luka yang begitu menganga sehingga tercipta jurang diantara perbedaan menganga atau aku yang kurang pandai membaca perjalanan cuaca? mungkin ini pasir atau kerikil yang kesekian ku tasbihkan cinta dalam diam, padahal telah sama berjanji-sama mendaki adakah dendam yang begitu membatu sehingga terpahat lereng terjal dilangkah menganga atau aku yang tak jeli melangkahkan kaki dalam perjalanan hati? M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Direktur Komunitas Home Poetry kegiatan seni digeluti sejak SD yang berkaitan dengan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Juara Unggulan 1 Tarung Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang, Nominasi cipta Puisi nasional Bentara, Bali, dll email: mraudahjambak@yahoo.com – mraudahjambak@gmail.com

No comments: