Tuesday 22 September 2020

SAJAK : ROMANTISME KATA ROMANTISME RASA

SAJAK M. RAUDAH JAMBAK MAKA BATU SEHINGGA LUBANG pada lorong ini kata-kata berlumut di dinding-dinding gua suara-suara beradu teriak di gendang telinga entah mengapa desing peluru itu tak juga enyah ia menyusup terus pada kisi-kisi pikir pendatang yang datang dan pergi pada lorong ini saudara tua pernah mencatat kuasa di dinding-dinding gua ada sejarah yang mengering tapi kemanakah halaman lembar-lembar yang terkoyak dari buku pelajaran sekolah? Ah, mungkin ia sekadar singgah di negeri entah pada lorong ini batu-batu mengeraskan kata-kata saudara tua di dinding-dinding gua mewartakan sejarah dan kisah-kisah lama adakah luka tercatat pada peta atau lubang yang semakin meruang? Lalu kemana pendatang yang datang dan pergi? Mungkinkah mereka sekadar singgah di negeri entah, ah 2013 Lelaki Tua Di Tengah Danau O, Batara Guru…. Telah kubuat tuah ni gondang Dengan tujuh kali putaran Dari gondang mula-mula Somba-somba maupun liat-liat Angin mengelus, air mengalir Pada danau segala desau Adakah rahasia pada segala Atau hati sembunyikan misteri Padamu, padaku, atau pada kita O, Batara Guru…. Telah kulakukan mangase homban Agar senang si Boru Saniang Naga Agar senang si Boru Deak Parujar Agar terjaga tanah negeri kami Riak-riak menciptakan irama Para bocah yang berebut mencapai dasar Ah, adakah rindu masih terpaut Atau dendam masih tersudut Padamu, padaku, atau pada kita O, Batara Guru…. Sampaikan kepada Ompu Mulajadi Nabolon Jagalah Bona Ni Pasa segala suka Jagalah Bona Pasogit segala cita Jagalah hati kami dari segala angkara Menarilah dengan penuh sukacita Bernyanyilah dengan segala keindahan nada Angin akan membawa kabar berita Air akan menyatukan segala cinta Padamu, padaku, atau pada kita 2013 Membaca Awan Menghitung Rintik Hujan Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Bukan karena rintik itu berderai atau pecah maka kau mengundang pesta ke dendam hatimu yang sewarna pinggul kuali. Aku memahami irama didih hujan di bilik panci-panci. Atau awan wedang panas yang mengepul pada puncak gelas. Alahai, bukankah kau sendiri yang menciptakan dansa caca pada sepasang sendok dan garpu? Jangan pernah merasa bahagia atau sedih, karena ia semacam sarapan pagi yang menggigilkan dingin. Pun, barangkali matahari yang dihanguskan bara api. Bekunya kau pahat menjadi patung para peri, abunya kau jadikan kaligrafi. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur “Jangan buang. Jual saja,” ujar kekasihmu yang tengah mengunyah desau angin. Entah mengapa, ia tak pernah berhenti mengidam. Padahal niatmu hendak memilah hujan, lalu menyematkannya di sudut matamu Dan ketika kau meninabobokkan malam, gerimis meringis. Tanpa kau sadari, ia berkali-kali mengetuk jendela kamarmu. Ia menggigil melihat kau menyetubuhi mimpi. Sementara di sudut kelam dapurmu ada yang diam-diam menyulut dendam. Gelas-gelas panas. Piring-piring sinting. Sendok-sendok sengok. Kompor-kompor menjelma provokator. Mereka sepakat mengobarkan perang dengan kesaksian kucing renta yang tak henti mengibaskan ekornya. Mereka bersorak persis disaat siaran televisi kehilangan imajinasi. Ah, katanya, baru saja perutnya mual, lalu mulutnya memuntahkan telenovela bersama suara sirene di kepalamu. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Betapa luka perasaannya, seandainya kau tahu tidak ada apa-apa yang terhidang di sana. Pun, termasuk ketika kau selesai menikmati hidangan awan penuh selera. Tetesan sambal, serpihan tulang-tulang, ataupun tumpahan jus anggur yang tak kau sadari memerihkan hatinya. Walau kau lapis wajahnya dengan beludru merah jambu. Seperti geliat rayap di lendir banjir, seekor tikus mendengus. Ia mengutil rimah-rimah semur kambing, kemudian diam-diam membungkusnya dalam kantong plastik untuk orang-orang tercinta. Dan menghidangkannya kembali pada seriuh meja dapur dengan keropos-lapuk di kakinya. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Anak-anak hujan berebut telur rebus terakhir yang sebenarnya sengaja kau sisakan untuk sarapan kucing setiamu. Padahal sebelumnya awan sengaja menghadiahkan mendung untukmu, sebab seekor ayam betina yang tersesat di dapur diam-diam bertelur di ujung garpu. Entah mengapa kelebatan meteor di matamu, menjelma setengah kehidupan yang menyembul di serpihan telur rebus yang jatuh berantakan terinjak tapak-tapak kaki hujan. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Persis siang ini, ketika hujan perlahan beranjak pergi. Kau biarkan sunyi diam-diam menghitung rintiknya. Mungkin yang tertinggal hanya gelisah barang pecahbelah. Yang tertinggal aroma rindu terasi ibu. Yang tertinggal cerita masa kanak. Yang tertinggal kesumat keringat para lelaki.Yang tertinggal sesak dada senja. Yang tertinggal tentang kisah kucing renta yang tak henti mengibaskan ekornya. Ah, semoga ia tak lupa mengirimkan surat-surat kerinduan tanpa baris-baris kecemasan. Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur Tengtengces, tiktiktak, tengtengces, tiktik pyur 2013 Menatap Wajah Danau Ada yang beriak di bola matamu pada setiap sudutnya mengalirkan rindu mengenang hasrat boru deak parujar di bawah pohon hariara Ada yang tergenang di sudut matamu melihat ihan yang menari di dasarnya bukan bersebab tambak-tambak yang membelukar atau kiambang yang membenam segala kenang Ada yang terbaca di kornea matamu mencatat partoba menuliskan setiap harap di antara klutuk-klutuk mengutuk batuk pada sepanjang erang boru saniang naga 2013 Dan Danaulah Itu Dan danaulah itu yang telah lama mengisyaratkan Warna cinta di bola matamu ketika matahari tenggelam di ufuk yang mengantuk Lalu orang-orang masih meruwat riak-riak air yang telah lama kehilangan alir. Mencari tanda pada gumpalan debu-debu diantara kiambang mengambang Kitapun hampir kehilangan peta singgah tempat biasa berbenah. Catatlah sejarah pada jiwa-jiwa gelisah, pada lak-lak membasah. Dan seperti malam-malam sebelumnya, gelap hanya mengantar subuh yang selalu membasuh dahaga para pemburu nasuha, yang menundukkan kepala pada setiap sujud semesta yang melentikkan setiap jentik zikir para pencari surga, Di setiap iring-iringan takbir sepanjang semilir. Berharap harap yang sebatas kerinduan yang mengawan dalam penantian Merindu rindu yang sebatas harap yang mengerjap dalam degap Dan danaulah itu yang telah lama mengisyaratkan Irama kasih di setiap gendang telingamu ketika matahari merekam dendang di debar fajar Lalu orang-orang masih meruwat desau danau yang hendak menghantarkan parompa Suka-cita. Menitip kisah pada catatan riwayat diantara debat hakikat 2013 Lelaki Tua Di Simpang Raya Seorang lelaki tua terduduk sendiri di simpang sepi Tubuhnya mematung membeku detik-detik pagi Menyimpan dingin embun-embun tiang besi Sementara lampu merah, kuning, hijau Terus berganti Orang-orang masih bergelut mimpi Di kamar-kamar yang menyelipkan lemari besi Pada sudut-sudut tersembunyi diawasi CCTV Memerdekakan diri, memanjakan hati Lelaki tua itu pernah membingkai cita-cita Membangun tangga sejahtera untuk keluarga Berbahagia di dunia, sejati di surga Mencatat euphoria masa ke masa Receh itukah suara riangnya Menahan loncatan kosa kata-kata Berhamburan dari jendela mobil Yang tak jua terbuka Atau deru knalpot memekakkan Rasa merdeka entah di mana Seorang lelaki tua terduduk sendiri di simpang hati Do’anya seakan habis kehilangan cahaya matahari Mengarahkan sepanjang perjalanan menuju Tuhan Di sinilah ia bertahan Menghirup debu jalanan Dan hujan kehilangan pesan 2013 Medan Putri Dan kepadamu aku bercerita kepadamu segalanya kukisahkan akulah si Guru Patimpus itu mewariskan si Kolok bermatapencaharian si Sepuluh dua kuta bertani dan menanam lada akulah si Guru Patimpus itu mewariskan si Kecik menenun ilmu berguru ke Datuk kota bangun maka, kepadamu aku serahkan kepadamu sebuah kota didirikan antara sungai Deli sampai sungai Babura sebuah benteng bersisa dinding lapis bentuk bundaran, cikal bakal si kampung medan Oooi, Akulah si Guru Patimpus semua duri kubuat hambus semua onak kubuat mampus dan kepadamu aku bercerita di tanah deli ini medan putri berdiri maka, kepadamu aku serahkan sebagai catatan dalam ingatan 2013 Portibi sesekali kutelusuri bilik sempit sudut kusam, cagar sejarah dan relief dingin memaknai kediamanmu yang berdebu dan gosong pengetahuan tak ada catatan yang tertinggal selain kegalauan merubung dada dan kanak berebut benang putus layang serta sorak kegembiraan yang menyusup di dinding-dinding senyap 2013 Hobar Namora Alunan sordam berlayar bersama kesiur angin Menelusuri persawahan di antara padi-padi Sepanjang hamparan sigalangan membakar dingin Dan burung-burung yang sibuk memetiki hasapi “oi, sahala na mar tondi dan para penguasa huta ni humang aku kawini si jelita dari lubu yang menitiskan si langkitang yang menitiskan si baitang” beribu pustaha memerciki ceracau kemarau meratapi pepohonan yang hibuk menghitung usia huta-huta daun-daun berguguran di atas hamparan surat tulak-tulak dan ruas-ruas bambu yang melantunkan andung-andung “oi, tondi na marsahala aku penuhi janjian di sopo sio rancang magodang aku nikahi nan tuan layan bulan yang melahirkan sutan borayun yang melahirkan sutan bugis” tetabuh gondang mengaduh bersama hentakan ogung menggebuki langit yang menahan beribu jerit “oi begu na mar sahala dohot mar tondi akulah namora pande bosi yang kehilangan makam sendiri “ 2013 Syair Perang Sunggal Bismillah itu permulaan kalam dengan nama Allah Kholikul Alam di permulaan kitab diperbuat nazam supaya diingat sejarah yang tersulam Tahun 1872 dalam kitab dicatatkan sejarah perang Sunggal mulai dimulakan tahun 1895 Batak Oorlog lain sebutan akhir perang besar memakan banyak korban Datuk Kecil pahlawan yang disebutkan mempertahankan prinsip dan keyakinan Datuk Jalil dan Sulong Barat menyambut sahutan menjaga Sunggal dari kejahatan dan keserakahan Datuk Kecil menyerang menerjang bersama Datuk Jalil dan Sulong Barat berjuang rakyat kecil menjadi semakin senang jaga Serbanyaman dari amukan perang Sultan Deli penyebab pertama Tuanku Mahmud Perkasa Alam namanya berhubungan dengan pemerintah Belanda menyerahkan tanah sebagai cinderamata Maka, perangpun telah dimulai Korps ekspedisi lalu dipersenjatai tiga kali pengiriman Sunggal dibantai khianat Van Stuwe, pahlawan kita terkulai Perjuangan tidaklah sampai di situ Datuk Sri Diraja ikut menjadi pemersatu bersama adiknya, Datuk Alang, terus menyerbu menghancurkan Belanda, menjadikannya abu Perlawanan rakyat semakin berapi-api gerilya Langkat di Gunung Tinggi, jadilah bukti perang Tuan Rondahain, di Bedagai, semakin berani gerilya Pak Netek, di Asahan, juga menjadi saksi Seperti Datuk Kecil dan Datuk Jalil sebelumnya Datuk Sri Diraja dan Datuk Alang bernasib sama di bawah rongrongan Belanda dan antek-anteknya akhirnya, wilayah Datuk Sunggal porak-poranda Bersungut dawai, berkapan cindai sifat pahlawan Datuk Kecil telah tersemai Datuk Sri Diraja Sunggal kemenakan pandai ikut bersungut dawai, berkapan cindai Semangat juang pahlawan Sunggal mari dikenang tidak hanya di mulut tapi ikut berjuang membangun bangsa yang bercabang-cabang akibat korupsi yang terus berkembang Alhamdulillah kami haturkan puji kepada Allah kami sertakan segala khilaf dan salah mohon maafkan niat baik dari kami tolong fahamkan 2013 Tugu Guru Patimpus ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan yang terlepas hurup-hurupnya dari paragraf-paragraf usang sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan perjalanan, mengekalkan peradaban urban di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya diam-diam pada bulan ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari menghibur para petualang yang sejenak datang mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain membenam teriak segala pongah, mencampak derak suara ke langit terbelah di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara percik riwayat kisah-kisah semangat juang di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula pemancakan gedung-gedung nan gagah dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang, yang entah kapan pergi 2013 Tentang Pohon yang Melahirkan Daun-daun :siboru deakparujar Dari pohon kehidupan di lapis langit tertinggi takdir telah ditetapkan. bermula dari akar sampai pada pucuk-pucuk dedaunan. tentang pelajaran yang harus kau fahamkan. mencari dan memberi, bukan tersulur apalagi terkubur. Awal dan akhir. Sebuah kebijaksanaan Manuk Hulambujati, yang melahirkan Batara Guru, bapak Siboru Deakparujar, berkali-kali berkisah di bawah rindang Tumburjati. Tentang cahaya bintang-bintang yang berkejaran. Tentang pelayan si penyampai pesan. Pada setiap lembaran kisah selalu ada warna, putih dan hitam. Menghindar dan bertahan adalah pilihan yang harus ditetapkan. Seperti Siraja Odap-odap yang rela lebur demi menjeput cintanya sepanjang gulungan benang tenun sampai memulai tenunan baru. Meskipun berhari-hari, berbulan-bulan, ataupun hitungan tahun. O, dari langit teratas, tengah, maupun yang paling bawah kisah seperti tak pernah selesai. Laiknya aliran dari cabang sungai yang memeluk muaranya. Menumpuk dan berbagi cerita. Pun bibit-bibit tumbuhan dan hewan yang dimasukkan ke dalam sebuah lodong poting, potongan batang bambu, berisi benih seperti sebuah pancuran yang menebar bibit di rimbun tetumbuhan. Dan pohon kehidupan itu terus bercabang. Serimbun daun. Tempat burung-burung bertukar kisah tentang langit dan bumi. Dari langit menuju bumi dan kembali ke langit. Kisah yang terus berkembang tentang langkah, rezeki, pertemuan, dan maut. Tentang sebuah kebijaksanaan. Begitu hakiki. Begitu abadi. 2013 Pada Langit, Pada Bumi, dan Pada Segala Pada langit. Pada bumi Pada pucuk-pucuk daun hariara Tenunan selesai digelar sepanjang selendang Deak Parujar merengkuh banua ginjang menancap banua tonga mengakar banua toru Pada langit. Pada bumi Pada sayap-sayap hulambujati Kisah telah menjadi hobar Tentang Odap-odap memburu Deak Parujar menyesap dalam darah menembus rongga-rongga menyembul dari mulut dan mata Bakkara, O, Bakkara di timur aku tertancap di segala penjuru aku disergap mulut dibekap, suara disadap Pada langit. Pada bumi Pada titah Ompu Mulajadi Deak Parujar menitipkan benihnya Tuan Mulana mencapai orgasmaya Naga Padoha menggaruk punggungnya 2013 Balada Si Boru Deak Parujar pohon tumburjati, pohon kehidupan, pohon rindang bagi penghuni banua ginjang tidaklah sesunyi porlak sisoding, taman tersembunyi yang menyimpan rahasia abadi. pohon tumburjati, pohon kehidupan, pohon membelai seramai ranting dan daunnya. mendapat amanat sepanjang hayat, laklak segala kitab mengungkap segala wasiat pohon tumburjati, pohon kehidupan, pohon berdaun menyemai gugur, daun-daunnya yang menangkup ke lapis langit pertama memanjatkan do’a mengharap cinta di setiap lembarnya, melepas gairah bersama ranting-ranting patah. di puncak hariara sundung di langit, beringin membuka hobarna, bermula kisah manuk hulambujati, induk tiga telur besar yang mengandung batara guru mengandung debata sori dan mangalabulan. di puncak hariara sundung di langit, beringin membuka torsa, berlanjut kisah manuk hulambujati mengeramkan tiga telur lagi; mengandung siboru parmeme, siboru parorot, dan siboru panuturi. siboru deak parujar, putri bungsu batara guru dan siboru parmeme, berkali-kali pergi ke bawah rindang tumburjati, mendengar cerita manuk hulambujati yang bertengger di puncak tertinggi. ia seperti cahaya bintang-bintang yang berkejaran. moncongnya berpalang besi, kukunya bergelang kuningan, dan sosoknya sebesar kupu-kupu raksasa nan berkilau bersahabat dengan leang-leang mandi, leang-leang nagurasta, dan untung-untung nabolon, sebagai pelayan dan penyampai pesan “Wahai, Manuk Hulambujati, untung-untung Nabolon. Mengapa engkau tak mau turun untuk bersamaku di sini? ” siboru deak parujar tak lagi memaksa diri. setiap kali kembali ke bawah rindang tumburjati, diam-diam mengajak siboru sorbajati. tak lupa merapikan letak hulhulan, penggulungan besar untuk benang tenunan. “Kita semua di lapis kedua kahyangan ini keturunan dewa. Siapapun yang menjadi pasanganku nanti, lebih baik daripada tidak ada. Seandainya ayah kita berkenan juga menjodohkan aku dengan Siraja Odap-odap, aku akan turut juga,” ujar siboru sorbajati, si kakak tercinta memancing cerita. keturunan laki-laki batara guru mendapat pasangan dari putri debata sori. anak laki-laki debata sori dari putri mangalabulan. anak mangalabulan mendapatkan pasangan dari putri batara guru, memilih antara siboru deak parujar dan siboru sorbajati. “Ah, berpapasan saja aku tidak akan mau dengan anak Mangalabulan itu! Lebih baik melompat dari puncak rumah dan ingin menjadi batang enau daripada melihat wajah Siraja Odap-odap.” mereka pun meneruskan gulungan benang tenun sampai memulai tenunan baru. berhari-hari, berbulan-bulan. batara guru dari bagian biliknya nampak tidak sabar lagi untuk mendesak salah satu putrinya dipersunting siraja odap-odap. “Kemarilah kalian berdua,” panggil Batara Guru. siboru sorbajati akhirnya melangkah sendiri memenuhi panggilan ayah, mendengar suara-suara yang menanti di halaman rumah. benar-benar melakukan niatnya dengan melompat dari puncak rumah sambil menyumpahi diri agar menjadi batang enau saja. “Siboru Sorbajati lebih suka mengutuk dirinya daripada patuh kepada ajar. Satu lagi putri kakanda yang sangat turut pada ajar, pastilah itu Siboru Deak Parujar.” “Tidak, ayahanda. Lagi pula tenunanku belum selesai.” sampai menjelang pagi dia mengeluarkan bunyi alat tenunnya itu sambil menikmati. dan terpikir melemparkan hasoli, masih tergulung benang yang dipindah dari hulhulan. semalaman batara guru tetap berjaga agar putrinya tidak melarikan diri. bunyi alat tenun siboru deak parujar didengarnya mulai berhenti. “putriku, deak parujar!” siboru deak parujar menyahut panggilan batara guru sekali, selebihnya dia sudah bergayut pada benang yang menjulur entah sampai ke mana. semakin turun, nampaknya dunia bawah tidak jelas dan sangat gelap. angin kencang dan lebih dahsyat kacaunya dari sebelum penciptaan kahyangan. “Leang-leang Mandi, Untung-untung Nabolon…! Kumohonkan agar engkau meminta sekepul tanah untuk tempatku berpijak di bawah! Aku tak mau kembali ke Banua Ginjang.” sekepul tanah yang dikirimkan, ditekuk siboru deak parujar, langsung menghampar tempat berpijak menjadi awal banua tonga. naga padoha menggoyang guncangan. dari bawah tanah menyulam amarah. sebab frustrasi dengan nai rudang ulubegu. “Ompung Mulajadi Nabolon, mohon kirimkan kembali sekepul tanah lewat pesuruhmu Leang-leang Mandi, si burung layang-layang!” permohonannya sampai untuk ditekuk kembali, lengkap dengan sebilah pedang dan tutup kepala. menghindari terik delapan matahari mengeringkan banjir air di banua tonga. menghunus pedang menaklukkan naga padoha yang berang. naga padoha masih menyimpan dendam mengguncang dari banua toru, tempat segala kegelapan, kejahatan, dan kematian. “Suhul! Suhul!” mulajadi nabolon mengirimkan bibit-bibit tumbuhan dan hewan, memasukkan ke dalam sebuah lodong poting, potongan batang bambu, berisi benih bercampur jasad siraja odap-odap, menghampiri siboru deak parujar di sebuah pancuran yang dihalangi rimbun tetumbuhan. “Boru Deak-Parujar, tenunlah sehelai ulos ragidup, kemudian lilitkan ulos itu pada lodong itu lalu bukalah tutupnya.” pertemuan siboru deak parujar dengan siraja odap-odap, sebagai tuan mulana di banua tonga tak bisa lagi ditolak. mulajadi nabolon memberkati mereka hingga melahirkan, raja ihat manusia dan pasangannya bernama itam manusia, manusia pertama. siboru deak parujar dan siraja odap-odap kembali ke banua ginjang, melalui seutas benang. “Kalau kalian rindu kepadaku, terawanglah purnama bulan. Di situlah aku kelihatan kembali bertenun dan menyulam.” 2013 Akulah Waktu, Kaulah Masa, Kita Catat Sejarah /1/ Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya sesungging senyum Tongging Akulah Waktu yang kehilangan makna beban Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan Sebab ia adalah cermin buat berdandan Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah. Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak /2/ Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi. perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara. mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta! Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari di seputar wajah danau toba Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut. Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa yang berburu zikir bersama Khaidir lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa! Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad! Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah! /3/ Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian. di aliran waktu di aliran rindu di aliran cemburu sederas sipiso-piso sedingin sidompak 2013 Langit Menangis Langit menangis, Sigumbang meradang rumah-rumah dan jiwa-jiwa berpeluk lumpur Langit menangis, Sikodon-kodon, Paropo, Silalahi hampir kehilangan segala tondi, kehilangan nyali sejak kelam malam, hingga sunyi pagi Langit menangis, bukan menangisi para pengungsi yang mengais ke dataran yang lebih tinggi atau menyusuri rumah-rumah setelah air surut menuju Silalahi menuju Sikodon-kodon. Langit menangis, sederas tangis si bawang merah Segelisah mas dan nila (ketika itu aku entah berumah dimana) 2013 Dari Tongging Ke Parapat Dari Tongging, menyusuri sisi utara Danau Toba Dari Tongging, menelisik di kebun teh Sidamanik Dari Tongging, merasa panorama di Tanjung Unta Dari Tongging, melintasi siring Sibaganding, tempat banyak kera hidup bebas di hutan di lereng danau. Dari Tongging, menikmati matahari terbenam di kedai-kedai pinggir jalan Dari Tongging, lalu merapat ke Parapat. 2013 Tetabuh di Huta Tinggi Laguboti Ku-tabuh gondang Ku-tabuh ogung Pepohonan manortor pada hamparan bumi Menyanyikan turi-turian sebuah kelahiran Angin yang berhembus pertanda pergantian Musim-ke-musim, membawaku ke masa lalu. Hembusannya begitu melenakan, menghantar Pada boru Deak Parujar Dan di sinilah bermula hobarna Berasal dari bumi kembali ke bumi Di Hutatinggi Laguboti, tetabuh gondang-tetabuh Ogung terdengar gaduh mengitari alam menembus Hutan sunyi, tempat persemayaman Sisingamangaraja Yang menjelma Raja Nasiak Bagi, lalu terdengar pula Ruji-ruji dari seorang pangido-ido menuju jabu Dengan cacat kaki Ku-tabuh gondang Ku-tabuh ogung Parmalim marende di Hutatinggi Laguboti Raja Uti melafalkan ruji-ruji 2013 Membaca Tongging Acapkali rasaku menjelma siluet pepohonan, yang berdiri kokoh, berharap sekelebat bayangmu menjejakkan aroma wewangian dupa di antara bisik daun-daun: Bias langkahmu semakin temaram di sela peluh rerumputan. Gumpalan awan berebut menggantungi matahari ketika kau hibuk menancapkan tapak-tapak kaki, lalu kuraut wajahmu sehalus guci: Laiknya seniman yang mengabadikan karya seni sejati. Lalu kuhadirkan pelangi di kanvas hati, melintas batas-menembus dimensi tempat kau terbiasa menari Abadikan harum aroma tubuhmu: Entahlah, debur jantungku berdegap berkali-kali. Lalu, akupun menjelma terompa di tapak kakimu yang lembut, bergesekan bilah kaca atau hunus duri mereguk alir peluhmu: Mewaspada tubuhmu yang memaku dan bias matahari yang beringsut memohon diri Dan senja membawamu mengajakku menuju malam, mengurai kembali segala kenangan di pinggir Toba: Persis dibebatuan-di kawalan rerumputan, kau terdiam, menikmati remang cahaya matahari yang perlahan terbenam, aroma tuak melintas sekilas dari lapo Amang yang setengah tumbang di belakang kita. Laksana perwira yang berjaga di perbatasan alis tipismu, di perbukitan mancung hidungmu, di seputar telaga matamu. Di ranum senyummu, kau aromakan beragam hidangan dongeng dan legenda Di depan kita berloncatan riak-riak kata, berlatar sibuk kunyahan kacang sihobuk. Sebuah nostalgia menari-nari di layar mata tentang temaram Tongging yang sejuk-yang bersahaja di jumpa pertama: Sebungkus ombus-ombus kau tawarkan sekadar hambarkan gemetar lapar pada ceritamu tentang beban yang terjejak sepanjang perjalanan dari kampung halaman, keluarga yang ditinggalkan. Ruap asap jagung bakar, yang mengisahkan persawahan, ladang dan hutan-hutan Awan hitam membuka lembaran laklak pada barisan kata yang berjatuhan Adat seolah memperkenan pemberian marga antara kepentingan dan kebanggaan Hidup sekarang hanya memenuhi kebutuhan antara perut dan mulut, ujarmu Siang dan malam seolah tak pernah ada sebab derita yang tak jelas ujungnya Malam mencapai puncak kelam, kita perlahan mencari hangat dalam diam Pada bahuku yang aduh, engkau pun luruh. Adakah isyarat yang dapat terbaca dalam kelam, bisikmu bergetar. Jika aksara lahir dari hati, maka biarkan ia mengalir laksana air. Dan seandainya kata hadir dari segala tipu daya, maka enyahkanlah segera sebelum kita terjerat di dalamnya. Malam bukanlah kanvas kebimbangan, tetapi ia adalah keyakinan dan harapan tentang sebuah kepastian. Dan engkau pasti sudah membaca aksara jiwaku: Mendengar debur ombak di dadaku. Membariskan irama beribu bintang tentang senandung rembulan. Aku adalah matahari di hujan dadamu yang melahirkan pelangi, bukan sekadar melukis mimpi-mimpi, tetapi aku ingin kau terus menjadi seorang penari dengan irama paling setia: Embun lalu luruh dari dedaunan dan gigil beban Pada bentangan langit paling luas kuajak kau terbang sambil menyanyikan semesta. menggugurkan berjuta irama dengan sempurna: belahan rasaku yang akan memberikanmu sayap berjuta warna, dan kita arungi semesta, bersama 2013 SAJAK SAYANG NA SIPUANG Tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri Tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki Kami gualkan Kami tarikan Untukmu kekasih hati O, Na sipuang, Na sipuang (Sonaha...i huda-hudai do namatei....) Engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan kasih Engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan sayang Melalui kibasan enggang doa-doa dilayangkan Melalui hembusan angin harapan diterbangkan Adakah yang lebih indah dari cinta seorang ibu Sejak kandungan harapan ditasbihkan Setelah lahir kasih mengalir seperti air Ketika dewasa menggudang segala cita O, Na sipuang, Na sipuang (Sonaha...i toping-toping do namatei....) Ditalun-talun kisahmu tersiar Ditalun-talun kisahmu terkabar Di tanah ini kami mengobar mandillo tonduy Di tanah ini kami senandungkan urdo-urdo i Adakah yang lebih sedih dari tetes tangis ibu Yang tak sempat tasbihkan harapan Yang tak sempat mengalirkan kasih Yang tak sempat membaca cita-cita O, Na sipuang, na sipuang Kami tabuh gonrang Demi menjeput Segala riang Tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri Tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki Kami gualkan Kami tarikan Untukmu kekasih hati 2013 Kololi Kie Mengelilingi Gamalama adalah menyulam sebuah kelahiran Berhenti dari satu jagoru lamo ke jere lain seolah ziarah Ke makam nabi-nabi Mengelilingi Gamalama adalah menghirup nafas kehidupan Memberangus satu bencana menjeput gairah-gairah seolah Melontar jumrah Mengelilingi Gamalama adalah mewariskan kasihsayang Menikmati kelembutan toma nyolo, mendekap kehangatan Toma nyiha Mengelilingi Gamalama Aku dodoki ali Aku dodoki mari Negeri Kepompong Kali ini ia tidak melahirkan kupu-kupu, tetapi ular bersayap kupu-kupu. Kali ini ia tidak menghisap madu, tetapi darah semanis madu-madu Kali ini ia ia tidak menghadirkan warna-warna, tetapi memuntahkan hitam sepenuh kelam 2013 Mantra Pelaut Sampan kayu, dayung kayu, kayu segala kayu Janganlah kayu segala tangkapanku Laut asin, keringat asin, asin segala asin Janganlah asin segala tangkapanku Sampan laut, dayung keringat, kayu segala asin Janganlah asin segala kayuku Puah, puah, puah .... 2013 Sungai Siak Dari jembatan letong kukunyah riak air menitip intip patin-patin. Entahlah, mungkin muntah pasar bawah mungkin batuk tanjung datuk dari jembatan letong kuhapus tetes air merayap jatuh di pipinya yang keruh. Entahlah, mungkin gertak tongkang Mungkin gerah limbah Dari jembatan letong kusaksikan peluh air terkenang sejarah sirih yang pedih. Entahlah, mungkin sejarah pohon-pohon batu mungkin rerak sendi tanah-tanah retak dari jembatan letong siak begitu kepompong Menikmati Pempek Dan Secangkir Kopi menikmati pempek dan secangkir kopi di warung perahu aku rindu, Ibu. Rindu pada kecemasan yang berdiri di depan pintu membayang di atas hamparan sungai musi sepanjang senja ini adakah kata yang salah dieja, atau rindu terlalu tajam sisinya sehingga ia harus menggores hati, lalu menjejakkan sisa kepedihan menikmati pempek dan secangkir kopi di warung perahu aku tersadar, Tuhan sedari tadi telah mengundangku ke rumah-Nya. Ia mengingatkanku pada ibu yang tak pernah lepas mengasah doa Di atas sajadah basah. Berkilau sekilau pemandangan Benteng Kuto Besak yang enggan membekaskan segala retak menikmati pempek dan secangkir kopi menikmati kecemasan ibu menikmati panggilan Tuhan aku datang! 2013 Mengecup Tanjung Karang Pada wajah tanjung karang bias senja menyambut rindu Yang sempat terhanyut di gulungan ombak-ombak awan Raden inten seperti dermaga kapal-kapal yang menghantar tetamu Membagi cerita tentang sebuah kisah pengharapan yang mengharukan Entah angin mana yang mengisahkan ceruk teluk merak belantung merindu Seperti keinginan laut yang menggantungkan harap pantai berpasir putih kenangan Bagus dan sapenan tak kalah gairahnya sebagai rumah kedua dituju Dari kenangan sebuah kelahiran yang juga kembali kepada kenangan Tangkil terlahir dari rahim mutun dengan sejuta gairah yang raru Ah, rindu itu menggumul gairah padang savana dan kembang-kembang setaman Segelas kopi menunggu sepasang bibir, dirimu yang datang menghirup segala kesumat, kerinduan 2013 Ternate Menjelang Senja bukan karena pedagang asongan yang enggan pulang, yang membuat perempuan itu tak beranjak dari bangku batu bukan karena para nelayan yang terlambat menambatkan sampan, maka perempuan itu tak juga beranjak menuju pulang bukan karena hujan yang mengguyur sepanjang jalan, sehingga perempuan itu menyulam catatan diam bukan karena pedagang asongan, nelayan atau hujan lalu perempuan itu menyimpan penyesalan, tapi tuhan telah berbisik pelan-pelan ketika ia berada tepat di persimpangan 2013 Sajadah Batu Pada sajadah batu menempel lukisan dahiku Dengan zikir beribu waktu Rabbi, Telah meretas air mataku satu satu Namun rindu begitu kelu Pada sajadah batu kuukir ayat ayat cinta Dari waktu ke waktu 2007-09-15 Sajadah Kayu Walau rayap rayap mengerat gigil tulang Sujudku pada-Mu Tapi takkan pernah lapuk sajadah kayu Yang menjelma perahu Mengarungi lautan do'a-do'a menuju Dermaga rindu Ah, akukah itu Si penebang kayu yang dahaga Akan embun rahmat-Mu 2007-09-15 Sajadah Api Ibrahimlah itu yang dikuyupi api api rindu Menganyam tembikar murka Abrahah si pengumpul kayu "Patung besar itulah yang memenggal leher Tuhan-tuhan mu," ujarnya berseru Amuk Abrahah menyulut deru Dan Ibrahimlah itu yang meng-Imami Sujud pada sajadah api membiru 2007 Sajadah Tanah Sunan Kalijaga membentangkan sajadah Tanah membasah, menggetarkan dada Syekh Siti Jenar "Telah menyatu aku dengan Tuhanku!" Mengutil rimah-rimah amarahnya yang berdarah darah O, siapakah yang memautkan Zikir cacing pada bebal leher terpenggal Di bujur sujud yang tersungkur? 2007 Sajadah Air Digelembung zikir sajadah air, Musa Menjambangi Khaidir sebelum menyeberangi Laut senja, lalu kata-kata dipecah dalam Bilah bilah Dan perahu itu Dan anak itu Dan rumah itu Pada sujud air sajadahpun air Mengalir, membulir 2007 Sajadah Udara Menapaki Haram menuju Aqsa adalah Hijaiyah bagi hati yang resah Lalu, membentanglah sajadah Pada sujud udara menjemput cinta-Nya Telah ku salatkan dunia merantai jahiliyah Yang tak sudah sudah Ya, Rabbi 2007 Tsaisheng Kaulah itu yang menebar benih rezeki Pada setiap langkah-langkah pasrah Yang menuai segala gerah, dan Tikus-tikus siap mengintai di setiap lengah 7 Februari 2008 Chenzhou Di kota ini, para migran menembus Gunung-gunung salju dari sejarah Yang paling dingin Di kota ini, cahaya temaram dalam diam Orang-orang kerontang berebut air Sampai tetes paling akhir Di kota ini, tahun bersambut pada Suasana yang paling haru, rumah-rumah Merapat mencari hangat 2008 Di Tianjin Di Tianjin para tikus membangun kerajaannya Orang-orang cemas, orang-orang gemas, sebab Emas-emas raib dari brankas 2008 Kembang Kertas Kurayakan lunar tanpa barongsai Dan tarian naga. Kembang kertas berjajar Pada rumah yang merapat berbanjar Kurayakan lunar menghempang babi tanah Yang menyeberang gunung, menghadang Tikus api yang menembus gudang Dan langit, dan bumi dan manusia Tercatat pada kelopak kembang Begitu memesona Hong bao Merah warna yang penuh pada gairah Di setiap hati para bocah Genggam tangan dengan erat, maka Akan kau genggam mata uang berwarna coklat Dan beberapa potong permen pengikat 2008 Ling Ling Namaku Lama sudah kita menjaring cerita Tentang budaya dan perbedaan warna Tapi, tahukah kau hanya hati yang mampu Menyatukan segala-menyatukan rasa Ah, apalah artinya sebuah nama katamu Dengan canda. Tapi, bagiku nama penting adanya Tentang sebuah harkat maupun pembuktian Kesungguhan sebuah cinta. Jangan ragu Aku terlahir di negeri ini Ling Ling namaku 2008-02-07 Ada Beda Antara Kita Usah resah maupun gundah tentang sebuah Perbedaan antara kita. Apa itu salah? Justru itulah kebanggaan adanya kesungguhan Bukan topeng dari cinta yang dipaksakan Kita memang lahir dari keluarga yang berbeda Kita memang lahir dengan warna kulit yang berbeda Kita memang lahir pada lingkungan budaya yang berbeda Tapi, tahukah kau bahwa kita masih punya hati Yang menyatukan segala beda antara kita Dengan cinta 2008 Tahun Tikus Setelah kemakmuran di tahun babi tanah pergi Tikus-tikus apipun kembali menebar rezeki Berharap mendapatkan sebuah kursi Untuk memimpin negeri ini Gunung-gunungpun berubah gudang-gudang Tanah, air dan api menyatu Angin tergugu menunggu Setelah tahun babi tanah pergi, maka berkuasalah Para tikus api menebar rezeki atau korupsi Bertubi-tubi 2008-02-07 Happy Lunar New Year Gong Xi Fa cai, Mari samakan langkah Membangun negeri tempat Kita lahir dan dibesarkan Satukan hati, singkirkan perbedaan 7 Februari 2008 Berilah Air Dari Tangan Keikhlasan berilah air dari tangan keikhlasan,maka kita akan selalu dicurahkan kemudahan sebab, kasih tanpa syarat adalah hidup yang penuh kedamaian pada manusia juga Tuhan medan,06 Aku Hanya Menitipkan Bunga Ini Untukmu, Sahabat Sahabat, hanya setangkai bunga inilah yang dapat kutitipkan padamu. tanamlah ia pada vas hatimu yang bersemu biru sebab, hanya ia yang mampu mewarnai hidup agar lebih indah dan merona Sahabat, hanya setangkai bunga inilah yang dapat kutitipkan padamu. rawatlah ia dengan segenap kasih sayangmu sebab, hanya ia yang mampu memberi kesegaran bagi hidup yang mengharu biru Sahabat, hanya setangkai bunga inilah yang dapat kutitipkan padamu, ya setangkai bunga cinta berwarna kedamaian medan,06 Masa Depan Manusia masa depan manusia adalah pucuk dedaunan di puncak pepohonan yang menghijau sebab energi pupuk kebersamaan bersih dari racun curiga dan satwasangka masa depan manusia adalah buah ranum di reranting pepohonan yang rimbun sebab siraman segar air kebersamaan mengalir dari mata air yang bersih dan bening masa depan manusia adalah angin sejuk berhembus pada pepohonan hati kita, makhluk penjaga sah kelestarian hidup dan kehidupan medan,06 Ku Anyam Sebaris Do'a Dengan Hiasan Tahlil Sederhana Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana, di awal Ramadhan, pada november luka bagi saudara-saudara yang tertimpa bencana dan air mata membersihkan sisa-sisa cinta yang sempat mengembang di Bukit Lawang Pada derai air mata, aku rangkai berbagai aneka bunga do'a, yang sempat mengangkasa terbang di taman sajadahku bersama untaian tasbih yang merindu Ku anyam sebaris do'a dengan hiasan tahlil sederhana bagi saudara-saudara yang mengeram di antara gelondongan bersama sungai bukit lawang dalam sujud panjang yang tak berkesudahan Medan,03-04 Musa Yang Membelah Gelombang kemana lagi Musa pergi, selain membelah gelombang dengan tongkat sakti-di sini tsunami angkuh berdiri menebar duri, bersama angin yang memburu mengekalkan seringainya-dalam bayang-bayang kabutserombongan gagak memburu camar yang terbang gontai, perlahan mengintai-sementara pepohonan tafakkur, mengucap syukur - lalu membanjir derai zikir : telah menjadi suratan fir'aun terkubur takabburmenafikkan takdir di tengah laut yang terbelahsehabis ketukan do'a Musa bersama takbir yang menggema kemana lagi Musa pergi,selain membelah gelombang bersama para syuhada-di sini laut berubah raksasamelahap apa saja, bagai sihir yang menumpahkan muntahan air-menghantam beratus ribu pasir dalam sir-sementara tenggorokan tersekat bersama waktu yang sekarat :telah menjadi suratan gelombang bukanlah hujjahpara syuhada hanya hijrah, berjalan diantara pecahan resah, membius darah-dan tsunami hanyalahistilah, pintu hijrah menuju tempat yang lebih indah maka,bangunlah wahai kekasih Sang Kekasih, sebab resah adalah miliknya orang-orang kalah, sebab kecewa adalah miliknya para pendosa, orang-orang yang tak mengerti arti mencinta, sebab nada kutuk adalah miliknya orang-orang yang pintu hatinya tak terketuk maka,kemana lagi Musa pergi, bersama umi-bersama abah,bersama inong-bersama agam, bersama geuchik-bersama teungku meunasah, bersama para syuhada yang tak mengenal arti lelah-arti menyerah, selain membelah gelombang,menuju Allah 2004 Menerawang Patung-Patung Berbaju Alangkah indahnya menerawang patung-patung berbaju Berdiri terpaku menjelma tugu-tugu yang disekitarnya Menjadi taman bermain-anak cucu Alangkah anehnya orang-orang dewasa yang memandang Takjub anak-anak berusia belia tak berbaju, lalu menghardik Anak sendiri yang memang tidak perduli Lantas apakah kita seperti patung-patung yang termenung Anak-anak berusia belia tak hendak berteriak Memandang sebuah ketelanjangan yang memang Sebatas kebiasaan Lantas apa bedanya kita dengan hewan Yang berpakaian dianggap sekedar hiasan Lalu dijadikan gurauan Dan alangkah anehnya sebuah keindahan kesopanan Tak mampu diukur dengan batasan Tak mampu dicerna dalam pikiran Atau karena memang sudah menjelma Kebiasaan menjadi kebisaan Medan,06 Angan-Angan Diguyur Hujan Debu Mengendus Batu-Batu :mengelus uncen,memapah abepura Entah mengapa sore ini para semut memenuhi sepanjang Badan jalan merambat tak beraturan.rambu-rambu Berdahan rendah ditebas tanpa balas terseret pada trotoar Kebisuan,ketika itu angin berwarna kusam diguyur hujan debudebu Entah mengapa sore ini para semut memadati sepanjang Badan jalan menyeruak tak beraturan menambah pecah Pusat-pusat kebisingan.slogan kata-kata yang tiarap direranting Pohon, merayap ditetiang listrik hanya mampu terpaku –membisu, Ketika itu angin bersayap buram mengendus batu-batu Entah mengapa sore ini para semut pasrah sepanjang Badan jalan terkapar dengan desah tertahan ditembus deru peluru, Memperjuangkan angan-angan yang mengawan Tak berkesudahan, diguyur hujan debudebu-mengendus batubatu Medan,06 Telah Terukir Ranting Daun Sampai Sejarah Paling Akhir Telah terukir ranting daun pada kelopak mataku Akarnya meranggas menembus sampai ke kulit paling akhir Mencari celah-menyusuri darah, dan merambat Ke puncak otak setelah melewati danau hati Aku tak sempat menarik napas , ketika daun-daunnya Merimbun pada kornea yang menjingga. Butiran-butiran embun Menyeruak di sudut-sudut daun, Membasah resah, membaca segala Rahimnya membuahkan berjuta aksara dari kulit paling akhir Merenangi sungai darah, dan hanyut di hulu otak menembus batu hati Aku tak sempat menahan isak, ketika gemuruh jantung menghentak. Membobol waduk air mata-membanjir luka, mengugurkan daun-daun- Membusukkan segala Gemulai dihembus angin yang mengerang garang Akarnya meranggas menembus kulit paling akhir Rahimnya membuahkan berjuta aksara duka dari kulit paling akhir, Lukanya menganga pada pedih memerah, di kulit paling akhir, sampai Sejarah perdaban yang paling akhir Medan,06 Tangis Gerimis Adalah Tangis gerimis adalah air mata gadis yang perih Ketika menanak luka, mengalir di sungai-sungai nestapa, Menderas arusnya Tangis gerimis adalah air mata gadis yang menjelma Butiran-butiran mutiara kaca, menggores di ruang-ruang batin Tanpa jiwa, mendarah lukanya Tangis gerimis adalah musik-musik jiwa yang memenuhi gua hampa, Menggema tanpa alunan nada, yang memanah aura pesona Tangis gerimis adalah Luka di sungai-sungai nestapa, butiran-butiran mutiara kaca Tanpa jiwa, atau gua hampa tanpa alunan nada Medan,06 Aku Menjadi Angin Aku menjadi angin Yang bebas lepas menari kesanakemari Mencium harum-mengelus daun-daun Di taman hatimu Medan,06 Kepompong Hujanku Meneteskan Kupu-Kupu Kepompong hujanku meneteskan kupu-kupu Ulat-ulat menguap dari setiap sudut sejarah lelah Meliuk-liuk diantara pori-pori tanah Membasah di akar desah Lalu, kubasuh wajah matahari Kerontangkan rumput sepanjang savana Membakar borok liang birahi, diantara Kapas-kapas yang berbaring di paha Menggeliatkan para wanita penyulam awan Kepompong hujanku Meneteskan kupu-kupu Memburu bunga sepanjang savana Menyedot madu Medan,05 Sehabis Khatam Hujan Sehabis khatam hujan pada ayat terakhir perjalanan Debudebu kota telahlama membatu, melafazkan Gemertak almanak yang melangkah kaku sepanjang Alif ba ta cinta Lalu sepenuh daun kering menguning menyesakkan keranda Luka di bawah deraknya pohon kamboja, dan kita bertanya Kembali pada cuaca,”adakah kita tuliskan catatan-catatan Surga?” Medan,05 Bau Anyir Yang Menguap Bau anyir yang menguap dari liang ketiak dan selangkang Mulai dari modul bayi berusia hari ini sampai labi-labi Riwayat akhir nanti. Sekali menyulam dengkur-berdebur Sekian rupiah. Ada yang diam-diam buang nafas Diantara rimbunan ampas Seorang lelaki berumah buncit bersetubuh Dengan lubang senggama mimpinya Dengan mulut berbusa-menganga Sementara seekor ayam betina mengacak-acak rambut Kemaluanku, sebelum memberi cinderamata luka Pada seperampat perjalanan menuju kota.aku menghitung Ketukan nada aroma disetiap tarikan nafasku, disetiap Tetes keringatku Bau anyir menguap Diantara nafas kotoran Berubah sayap pada jendela Bogor,04 Bidadari Yang Menari Aku bermimpi tentang bidadari yang sedang menari Di antara arak awan yang menawan, dan diantara Pelangi yang menyemai seni sari-sari Aku bermimpi tentang bidadari yang sedang menari Lalu mengajakku membakar birahi Jakarta,05 Berita Terkini Hari Ini Berita pengumuman pegawai negeri Yang terkini hari ini masih saja ribuan tikus menjelma Bidadari, mengunyah-kunyah nomor uji, seperti menjerat Kursi sidang komisi di setiap ruang rapat fraksi Giginya yang tajam menghunjam dalam-dalam serat saraf Menghamburkan cairan dan kotoran yang memabukkan Berita pengumuman pegawai negeri Yang terkini hari inimasih saja ribuan tikus menjelma Bidadari, sementara seekor kucing hanya bisa menganga Menjelma kuda Medan,06 Purnama Telah Lama Pecah Dalam Kepala Entahlah mungkin cuaca telah belang warnanya, sebab Kita tak mampu menghitung berapa jumlah titik rintik Yang mengetik tuts bumi, padahal telah berkali-kali Do’a di enter, lalu di save as secara buas Lalu seketika saja layar monitor menebar kemarau Dan mengutip rimah purnama yang telah lama pecah Dalam kepala Amboi, kita masih saja sulit membaca cuaca yang telah belang Warnanya, membawa suara menghiba direrimbunan do’a-do’a Dan purnama memang telah lama pecah dalam kepala. Medan,2007 Sunyi Luka malam mengetuk-ketuk pintu dan jendela pada ruang yang lengang, angin melahirkan sunyi dari lorong-lorong tak bernama rahimmnya berderak menerjang celah jendela kaca purnama nyalang mata di rerimbunan pohon mangga cahayanya menembus segala lara di malam siaga, mengenang siang tak lama berpulang. angin masih menimang-timang sunyi dalam gendongan bermotif bunga-bunga ah, waktu hanya menghitung-hitung rindu di kalender cuaca lalu satu persatu tanggal usia, angin pun semakin tua pada pertumbuhan sunyi yang beranjak dewasa sepanjang perjalanan do’a-do’a medan, 2007 Searah Pergi Begitu Pula Kembali searah pergi begitu pula kembali tidak ada yang berubah selain sepi aroma luka setua usia dari stasiun yang tak pernah sunyi masih juga terdengar nyanyian jalanan masih juga terdengar rintihan lapar tertahan masih juga terdengar muslihat dan akal-akalan searah pergi begitu pula kembali tubuh renta itu berganti bayi tawarkan aroma peluh dari jepitan hidup yang kisruh mengaduh-aduh o, adakah yang lebih sakit selain dari jerit yang dibungkam? Komunitas home poetry, 2009 Apalagi Guna Hujan Tangis Apalagi guna hujan tangis pada tubuh penuh bara sudahlah simpan saja segala rayuan yang selalu kau hidangkan di atas meja bersama aroma pembusukkan komunitas home poetry, 2010 Seperti Angin Yang Menyisir seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra rasanya terlalu cepat, terlalu ringkas perjumpaan ini padahal dada ini masih penuh dengan ungkapan rindu masih penuh pesan-pesan harap untuk-Mu berapa gunung yang didaki, berapa lembah yang dituruni berapa samudra yang direnangi, rasanya baru inilah perjumpaan kita yang pertama kali seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra sampai juga percakapan kita, walau seperti meneguk embun dari gelas sebesar angan yang telah lama terletak di atas meja perjamuan sekian lama sempat tertinggal komunitas home poetry, 2010 Seperti Perjumpaan Laut Pada Pantai seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku sedetikpun tak melupakan-Mu, walau terkadang angin menghempaskanku ke samudera luas, tersangkut di sela-sela karang seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah harapku tak ada waktu melalaikan perintah-Mu, walau terkadang riak menggelombang ciutkan nyali yang sempat mengombak seperti perjumpaan laut pada pantai begitulah rinduku, begitulah harapku pada-Mu, walau terkadang melambai di tepi pantai yang landai komunitas home poetry, 2010 Daun-Daun Berguguran di tepi jalan daun-daun berguguran terhimpit debu pada langkah-langkah kaki yang berseliweran, warnanya coklat kekuningan melukiskan kegetiran di atas tanah yang bungkam aku memandang geram mengunyah napsu tertahan alamat nurani semakin mengabur, semakin terkubur di tepi jalan daun-daun berguguran, debu-debu bertumbangan tertikam tapak kaki yang menghunjam tajam aku terpaku pada alamat dedaunan yang terbenam pada tanah yang bungkam dan angin yang menampar diam-diam komunitas home poetry, 2010 Pantai Yang Menyimpan Rahasia Badai begitulah pantai yang menyimpan rahasia badai kita tak pernah jua jera berlayar pun mengumbar setiap pulau selalu disinggahi tebarkan bau tubuh dan tanamkan peluh-peluh membiarkan segala penantian yang tidak pernah usai pada dermaga kita titipkan kapal yang merumput pada istirah lelah dan laut menari-nari pada kediaman pulau-pulau dimana tubuh kita siap direbahkan ah, ternyata diam-diam kita pahami juga rahasia badai dari bibir pantai pada pulau-pulau yang terkulai bau tubuh dan peluh-peluh pun telah tertanam jauh lalu laut yang menari pun perlahan menawarkan aroma nisan komunitas home poetry, 2008 Resah Daun Jendela Pada resah daun jendela Wajahmu bergambar duka Sedari pagi matamu menikam langit Sampai matahari lari bersembunyi Yang tertinggal hanya senyap Yang tertinggal hanya gelap Sekadar hanya menyisakan kenangan Tertutup debu tertahan Pada resah daun jendela Ada gairah yang tak kunjung Nyala rindu bocah yang menangis Manja Mdn,2007 Rinduku Mengering Ah, kau lagi tak bosan-bosannya menanam pikiranku dengan bunga-bunga Padahal sudah kukatakan padamu Rinduku telah lama mengering Tersengat matahari Baranya menyalakan kesumat Dengan apa hendak kau suburkan? Dengan sungai abu atau laut nafsu? Biarkan bumiku mengadopsi taman-taman Yang menyegarkan Yang menentramkan Ah, kau lagi…! Lelaki yang senang menghidang berang Yang Mengetuk Daun Pintu Selalu ada saja yang mengetuk-ketuk daun pintu Tapi nyatanya hanya angin yang mengelus wajahku perlahan Dan malam sekadar meninggalkan rimah-rimah kalam Dengan setengah butir bulan Di sebelah rumah Anak tetangga mengaji Merapal doa sepanjang magrib tiba Selalu saja ada yang mengetuk-ketuk pintu Kaukah itu atau Jantungku yang Bertalu-talu Menggemuruhkan irama rindu? Ibu… Komunitas home poetry, 2008 Tahun Kenangan tahun-tahun hanya menjaring kenangan dalam bualan angan-angan pagi-pagi sekali kita tidurkan mimpi pergi menjaring matahari, berharap sepotong bintang tak lari sembunyi tahun-tahun hanya menjaring kenangan dalam bius kotak meracun pikiran enggan rasanya meninggalkan hidup yang dirasuk mabuk , mungkin sepotong selimut akan memeluk hangat tahun-tahun hanya mengunyah bulan meracun pikiran, melupakan Tuhan Komunitas home poetry, 209 Pikiran Yang Gersang Dalam pikiran yang gersang Pepohonan apa yang hendak ditanam Tak ada bunga Apalagi buah Kutebar bibit di bulan sabit Kutabur harap dalam makrifat Jerit hati yang sakit Berharap menjaring semangat Wahai, Tuhan ada Dalam adaku Dalam tiadaku Dalam pikiran yang gersang Rintik membawa berkah ketenangan Segala kesentosaan Komunitas home poetry, 2009 Pencarian Hilang Jejak Hilang Langkah Mencari-Mu Dalam setiap nafasku Temu Jejak Temu Langkah Mencari-Mu Maka, aku mdn, 2007 Pada Perjalanan Matahari dalam perjalanan pagi hari matahari menyulam kepak peristiwa yang terkadang liar terbang ke sana kemari ahai, ia singgah ternyata sekadar mereguk hangatnya segelas kopi beranjak terang matahari menggiring gemawan yang meretas waktu perlahan oho, ia sempatkan pula mengunyah sepotong daging di atas meja malam pun pelan-pelan meninabobokkannya di pembaringan sambil menikmati dongeng sebelum tidur lalu mendekap mimpi yang penuh warna warni Dengan Seikat Bunga Ini apakah yang dapat kukatakan selain mengungkapkannya dengan seikat kembang atau setangkai mawar, Kekasih atau apakah cukup rasa cinta dengan kata-kata berbaur ucapan penghambur bermakna kabur ah, dengan seikat bunga ini kau akan mengerti penanda hati apakah yang dapat kulakukan selain menyusun butir-butir rindu menjadi segunung mengharu-membiru, Kekasih entahlah warna cinta yang bagaimana lagi yang patut kutorehkan di kanvas hati ah, dengan seikat bunga ini kau akan mengerti pecinta sejati Dalam Diam Kau Pendam Cinta mungkin ini hari dan minggu yang kesekian kau pandam cinta dalam diam, padahal kita telah berjanji sehidup-semati adakah luka yang begitu menganga sehingga kau ciptakan jurang diantara kita atau aku yang kurang pandai membaca perjalanan cuaca? mungkin ini pasir atau kerikil yang kesekian kau gelincirkan cinta dalam diam, padahal kita telah sama berjanji-sama mendaki adakah dendam yang begitu membatu sehingga kau pahat lereng terjal dilangkah kita atau aku yang tak jeli melangkahkan kaki dalam perjalanan hati? Medan,08 Aku Cinta Kau Bukan Sesiapa usah kau sulam segala ragu, sebab aku cinta kau bukan sesiapa kita bukanlah sepasang kekasih seperti Caesar dan Cleopatra tetapi kita adalah sepasang burung dara yang bebas terbang kemana suka aha, aku yakin kau hanya menimbun cemburu di lumbung kasih-sayang yang menggelora, sebab aku hanya cinta kau bukan sesiapa dan kau akan menjadi ibu dari anak-anak kita yang kelak akan menggantikan kita menjadi pangeran dan putri dari segala kerajaan cinta sudahlah, Kekasih walau aku seorang pecinta, tetapi tetap aku cinta kau bukan sesiapa medan, 08 Tatap Mataku Dengan Segala Cinta jangan tunduk tatap mataku dengan segala cinta ada rahasia ada segala suka-cita, dan hanya kaulah yang dapat membaca atau mengeja segala makna hapus beribu ragu dengan riasan rasa jangan menghindar tatap mataku dengan segala cinta ada taman yang penuh dengan segala bunga berbagai warna dan hanyalah kaulah yang dapat menikmati-memetiknya hapus segala bau dengan berjuta aroma medan, 2008 Pelayaran Sajadah Lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah Ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa Malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak Pernah lupa dengan segala riwayat cerita segala derita! Medan, 2008 M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Beberapa karyanya masuk dalam beberapa antologi, seperti Tanah Pilih (antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi) dan Jalan Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen Temu Sastrawan Indonesia II, Bangkabelitung), Pulau Marwah (TSI Tanjung Pinang), Akulah Musi (Temu Penyair Nusantara, Palembang). Sinetron, Film, maupun IKLAN. Kegiatan yang di kuti selain di Medan-Sumatera Utara, PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif Gedung Kesenian Jakarta Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki, Panggung Idrus Tintin, Riau, Taman Budaya Banda Aceh, Taman Budaya Lampung, Solo, Panggung Penyair Se-Asia Tenggara, Tanjung Pinang,dll. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar/Majalah Nasional/buku di Malaysia, Radio Nederland, Cyber sastra,dll. Sering menjuarai berbagai lomba selain lomba baca/cipta puisi, cerpen, lawak, dongeng, proklamasi dan juga Teater lokal, nasional maupun Asia tenggara. Tarung Penyair Asia Tenggara dinobatkan sebagai unggulan I. Termasuk lima besar Lomba Cipta Puisi Nasional, Bentara Bali Post. Selain masuk sebagai pengurus di beberapa organisasi seni, sastra dan budaya, ia aktif juga dalam kegiatan lainnya termasuk dunia politik. Sering didaulat sebagai Sutradara, juri dan pembicara, atau narasumber terkait. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED, juga sebagai Koordinator Omong-Omong Sastra Sumatera Utara dan Direktur di Komunitas Home Poetry. Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 085830805157 Mail:mraudahjambak@gmail.com, mraudahjambak@yahoo.com

No comments: