Wednesday 23 September 2020

CERPEN : HALOMOAN

Cerpen M. Raudah Jambak HALOMOAN ”Sahur. Sahur...” ”Bang Lomo, Sahur....” Beberapa orang remaja masjid sibuk menggedor pintu rumah Halomoan. Seorang duda yang ditinggal mati anak-istrinya bersebab Tsunami, beberapa waktu yang lalu di pantai Alue Naga, Banda Aceh. Lelaki yang sepanjang hidupnya senang hura-hura. Le laki yang kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya. Tetapi seminggu sebelum Rama dhan penduduk kampung dikejutkan dengan perubahan mendadak dari Halomoan. Ia ikut gotong-royong. Ikut membersihkan selokan dan parit-parit. Semua sapu bersih. Dan dia juga mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk keperluan segala perbaikan, dan kon sumsi naposo nauli bulung, perkumpulan muda-mudi di kampung itu. ”Abang mau marpangir di Bulan!” guraunya spotan. Pagi-pagi sekali Halomoan sudah bangun. Udara masih begitu dinginnya. Hari itu adalah hari yang begitu penting. Sebegitu pentingnya membuat Halomoan tidak begitu menghiraukan udara yang dingin itu. Segera saja ia mengambil sapu dan alat-alat pembersih lainnya. Hari ini harus segera selesai, pikirnya. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, ia segera mulai dari bagian dapur. Membersihkan piring-piring kotor, kompor minyak, dan seluruh dapur tanpa kecuali. Setelah menyelesaikan bagian dapur, segera ia bersihkan bagian tengah, sampai berlanjut sampai ruang tamu. Semua ia bersihkan, misalnya alas lantai. Amak sebuah tikar yang terbuat dari anyaman bayuaon (tanaman air yang dipipihkan dan dikeringkan) yang dikombinasikan dengan pandan berduri (pandan pudak), diambil pelepahnya dipotong-potong dan dijemur hingga kering, tak luput dari perhatiannya untuk dibersihkan. Pekerjaan yang dimulai setelah selesai shalat subuh itu berakhir juga pada pukul sem bilan pagi. Tidak hanya rumahnya, tetapi juga di lingkungan kampung itu. Halomoan ke mudian segera bergegas ke sungai. Hari ini Halomoan hendak marpangir. Segalanya juga sudah dia siapkan mulai dari limau atau jeruk purut, daun pandan, ampas kelapa, bunga mawar, bunga kenanga atau akar wangi yang dipergunakan untuk mandi. ”Bang, mau ke mana?” ”Ke Tanggal.” ”Pagi kali, Bang?” Halomoan mengangguk. Dia berjalan terus. Sepanjang perjalanan, semua mata memandangnya dengan penafsiran yang berbeda. Ada yang mengangguk-angguk. Dan tak sedikit yang geleng-geleng kepala. Ada yang simpati, juga menahan geli. Halomoan tidak perduli. Dia justru merasa sangat berbahagia. Inilah mungkin kesempatan satu-satunya. Memang, diakuinya selama ini tak pernah terpikirkan olehnya untuk melakukan hal-hal seperti ini. Sejak dari dulu, sampai istri dan anak-anaknya direngut Tsunami. Dan baru Ramadhan inilah ia membulatkan tekad untuk membersih kan dirinya luar dan dalam. Menyambut Ramadhan Halomoan aktif membantu membersihkan lingkungan warga. Mulai dari membersihkan jalanan, langgar, surau, atau masjid. Membantu membersihkan areal pemakaman, bagi para penziarah yang datang. Membabat semakbelukar yang menu tupi kuburan. Termasuk selokan-selokan yang dipenuhi timbunan sampah-sampah. Halomoan sudah bertekad usahanya kali ini membuahkan hasil. Ia ingin menghapus segala dosa-dosa yang sudah dilakukannya selama ini. Tidak perduli dengan lingkungan. Tidak peduli dengan keluarga dan saudara. Sehingga orang-orang yang paling mencintai nyapun akhirnya satu persatu menjauh meninggalkannya. Ada yang pergi begitu saja. Ada yang pergi dipanggil Yang Kuasa, termasuk anak dan istrinya. Pernah satu kali ia melakukan tindakan bunuh diri, menusuk perutnya dengan sebilah pisau dapur. Orang-orang yang mengetahui segera membawanya ke rumah sakit. Begitu di rumah sakit, ia cabut selangnya berkali-kali. Orang-orang bosan. Orang-orang muak. Orang-orang satu persatu meninggalkannya. Sampai kini. Sepanjang perjalanan Halomoan terus menerus berdo’a. Ia berharap dengan cara Marpangir ini, bersih segala dosa-dosanya. Ia juga berharap Ramadhan kali ini ibadahnya lancar dan mendapatkan Ridho Allah. Walaupun orang-orang masih tetap menjauhinya, ia terus berusaha. Dalam hatinya ia hanya berharap semoga Allah tak pernah pergi dari sisinya. Setibanya di Tanggal, sebuah sungai di Padangmatinggi dekat kebun Batutippul, Sadabuan di utara, Halomoan turun. Bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dari rumah, dikeluarkan. Halomoan termenung beberapa saat. Melihat sungai, dia teringat anak-istrinya. Alue Naga terpampang lagi. Angannya melompat. Dulu, begitu sering Halomoan, Uli, dan anak-anaknya menikmati malam di beranda. Mereka suka memandang rembulan. Terlebih jika ia purnama. Mereka ngobrol apa saja. Bahkan suka melantur kemana-mana. Termasuk membicarakan rembulan yang sedang menggantung di langit malam. "Apakah warna rembulan?" Uli pernah bertanya. "Kuning emas!" jawab anak mereka yakin dan mantap. "Kuning agak jingga," sangkal Halomoan kalem. "Menurutku, bulan berwarna merah jambu," ujar Uli disambut penolakan dari Halomoan dan anak-anak. Bagaimana mungkin bulan berwarna merah jambu. Halomoan menunjuk pohon jambu di seberang jalan yang kebetulan sedang berbuah. Warnanya merah. Dan bulan tak sewarna dengan warna merah buah itu. Namun Uli justru bersenandung: bulan merah jambu, luruh di kotamu, kuayun sendiri langkah-langkah sepi, menikmati angin, menabuh daun-daun, mencari gambaranmu di waktu lalu, sisi ruang batinku hampa rindukan pagi, tercipta nelangsa, merengkuh sukma.*) Selanjutnya, berkali-kali mereka di beranda. Dan tetap saja Uli katakan bahwa bulan berwarna merah jambu meski Halomoan dan anak-anak selalu menolaknya. Agh, Uli, anak-anakku. Sedang apa kalian malam ini? Apakah di sana juga sedang terlihat rembulan? Dan apakah akan kalian katakan pada orang-orang bahwa warnanya merah jambu? Bukan kuning emas atau kuning agak jingga? Sudah marpangirnya kalian di sana? Selesai marpangir, Halomoan segera pulang kali ini agak tergesa. Dalam pikirannya, ia ingin marpangir di bulan. Bersama Uli. Bersama anak-anaknya. ”Dari mana, Bang?” ”Dari Tanggal.” ”Oihdah, marpangirnya, Abang?” ”Ya.” jawabnya tersenyum,”Abang juga mau marpangir di bulan. Ikut kalian?” Demi mendengar itu, tak pelak ledak tawa merebak. Halomoan terdiam. Halomoan mempercepat langkah, menjauh. Sayup-sayup masih didengarnya sindiran-sindiran yang menyakitkan. Kalau sudah kotor, ya kotor. Air paret, ya paret ha ha ha. Halomoan terus melangkah mendekap diam. *** ”Sahur..” ”Bang Lomo, Sahur...” Berkali-kali dipanggil tak juga ada sahutan. Beberapa orang remaja masjid penasar an. Berhati-hati mereka masuk ke dalam rumah Halomoan. Suasana di dalam rumah ma sih temaram. Mereka telusuri mulai dari ruang tamu, ruang tidur, sampai ruang belakang. Sejak ditinggal sendiri memang Halomoan jarang mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Sehingga membuat siapa saja bisa saja masuk. Dan seandainya ada yang berkeinginan malingpun sangat mudah dilakukan. “Hei, Lihat. Bukankah itu Bang Lomo?” Kampung geger. Kampung gempar. Tubuh Halomoan ditemukan sedang bersujud di atas sajadah. Tak bergerak. Tubuh itu kaku. Beberapa orang remaja masjid sebelumnya menggedor pintunya. Beberapakali teriakan sahur tidak disahuti. Lantas mereka membe ranikan diri masuk. Awalnya mereka tak menyangka, sebab ketika masuk mereka mene mukan Halomoan tengah bersujud di atas sajadah. Berkendara menuju semesta dan mendapatkannya tengah marpangir di bulan. *) Potongan lirik lagu Tak Bisa ke Lain Hati Kla Project. BIODATA M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Pernah bersinggungan di Komunitas Forum Kreasi Sastra, Komunitas Seni Medan, Komunitas Garis Lurus, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, Komunitas Sastra Indonesia, Seniman Indonesia Anti Narkoba,dll. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK, Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan. Alamat tugas : Jalan Jenderal Gatot Subroto km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Alamat Rumah: Jalan Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E-10 Medan, Sumatera Utara. Hp. 085830805157. Kontak Person TBSU- Jl. Perintis Kemerdekaan, no. 33 Medan. Saat ini sebagai Direktur Komunitas Home Poetry. Kegiatan terakhir mengikuti Temu Sastrawan III di Tanjung Pinang. Cukup banyak kegiatan yang digeluti sejak SD yang berkaitan dengan seni, sastra dan budaya. Lokal, nasional, maupun Asia Tenggara. Secara nasional dimulai pada event PEKSIMINAS di Jakarta (Teater, 1995), LMCP_LMKS di Bogor (sampai 2008), MMAS Guru-guru se-Indonesia di Bogor (200&), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta , TSI 1-3, Juara Unggulan 1 Tarung Penyair Se-Asia Tenggara di Tanjung Pinang, Nominasi cipta Puisi nasional Bentara, Bali, dll. No. Rek BNI : 0208306885. a.n. MUHAMMAD RAUDAH JAMBAK. Kancab. USU MEDAN

No comments: