Tuesday 27 May 2008

Herman KS Dalam Puisi

PADA 2-9 Desember 2007, kita telah membicarakan kumpulan sajak Herman Ks dalam ‘’ Sepi Yang Menyekap Dingin Kian Mengendap’’, dalam ruangan ini, terutama sajak-sajaknya yang bertutur secara langsung dan yang menggunakan metafor dan konvensi khazanah sastra.

Tetapi, ada satu dimensi lagi dari pola bertutur yang tampak rumit digunakan oleh Herman Ks dalam menyampaikan visi dan misinya sebagai penyair, yaitu sajak-sajaknya yang membangun suasana dengan menghadirkan kondisi dan situasi untuk mendukung tema sentral. Dalam hal ini penyair secara real tampak merekam suasana alam sebagai lanskap padahal di balik itu ada suatu kesan tersembunyi bahwa suasana demi suasana alam yang ia goreskan, yang tak jarang terasa sebagai pengulangan demi pengulangan, adalah sebenarnya untuk pendukung tema pokok dalam sajak-sajaknya yang tampak ia balut dan sembunyikan.

Ada satu peristiwa yang terjadi, peristiwa atau tepatnya tragedi yang begitu dahsyat melanda negeri ini, yang ditatap bahkan dialami dan dirasakan sendiri oleh anak bangsa ini, di mana penyair sendiri saat itu berada di tengah-tengahnya. Peristiwa banjir darah yang orang bahkan anak-anak sekolah tak sulit menemukan mayat atau kepala yang telah terpenggal di jalan-jalan, semak-semak, selokan dan sungai. Dalam tragedi Gerakan 30 September yang mengerikan itu, diperkirakan sekitar enam ratus ribu hingga dua juta orang tewas dalam amuk massa.

Tapi mengapa ia tidak merekam subjek atau masalah itu secara transparan, sebagaimana yang telah kita baca dalam sajak-sajaknya terhadap warga kota yang merisaukan hatinya dengan statemen dan keberpihakan yang nyata. Ada beberapa alasan. Komitmennya terhadap “orang-orang kecil” atau “wong cilik” dalam masalah ini menjadi terhambat atau mendapat kesulitan oleh alasan keamanan. Sebagaimana diketahui dalam era pergolakan itu begitu sensitip sehingga seseorang yang diteriaki atau dibisikkan sebagai seorang yang memihak atau terlibat sudah cukup untuk diamankan tanpa perlu pengusutan atau pengadilan.

Keadaan semacam ini terus berlanjut selama belasan atau bahkan puluhan tahun. Musuh bersama adalah ideologi dan siapa saja yang terlibat dalam ideologi haram itu akan dibantai atau diamankan. Sementara keberpihakan penyair tetap kepada manusianya, teristimewa terhadap mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Alasan lain, sebagai penyair kemungkinan ia merasa mual melihat pembantaian terhadap sesama yang dilakukan tanpa sembunyi bahkan vulgar. Rasa kemenangan yang dipertontonkan atau euforia yang berlebihan berupa sorak-sorai adalah kejadian sehari-hari, padahal seseorang yang diciduk atau dibantai masih belum tentu berada pihak yang salah.

Penyair kelihatannya sudah sulit melukiskan fenomena itu dengan gaya yang ia rekamkan selama ini, sebagaimana kita baca dalam sajak Orang-orang Malang di atas, yang bahkan dalam situasi dan kondisi yang normal saja pilihan katanya sudah sedemikian rupa. Kosakata yang telah optimal seperti sajak itu untuk mendeskripsikan makna penderitaan manusia “hanya” dalam kondisi dan situasi kota yang masih normal, akan betapa pula pelukisan yang harus digoreskan untuk tragedi kemanusiaan seperti kita sebutkan tadi. Kalau dia meneruskan cara dan gayanya seperti selama ini, tentu penyair akan terjebak ke dalam ungkapan yang verbiage!

Tema-tema itu tentu tak akan hilang dalam sanubari penyair. Namun harus ada pengendapan dan lompatan gaya dari yang selama ini telah biasa dipergunakan. Dan ini tentu saja butuh waktu meskipun menggelisahkan dan menunggu begitu membosankan. Manusia, walau bagaimanapun, memang menghadapi keterbatasan ruang dan waktu yang seolah menyekat keterbatasan eksistensinya. Tapi apa boleh buat, dia harus menerimanya, meskipun tidak harus menyerah. Harus menunggu keadaan dan saat yang tepat. Berdamai dengan ruang dan waktu.

Dan angin pun berdesir
tatkala hujan reda. Engkau berbisik
di tepi hari. Dalam bayang waktu. Dalam menunggu
dan jam yang tak letihnya berdetik
(Dan Angin pun Berdesir, hal. 7)

Meskipun penyair tampak begitu gelisah dalam menunggu waktu, tapi dia optimis “angin pun berdesir” yaitu “tatkala hujan reda”. Meskipun menunggu hujan amukan massa butuh penantian yang lama sehingga angin kreatifitas dapat kembali pulih, namun tampaknya hal itu tidak sia-sia. Dalam banyak sajaknya kemudian, seperti Sajak Sehabis Hujan (hal.25), Selintas Angin di Tengah Padang (hal. 26), Selintas Angin Siang (hal. 27), Menyeru di Tengat Lengang (hal. 28), Senja. Gerimis di Luar (hal. 29), dan Sebuah Perigi Tua (hal. 30)

penyair menemukan style dengan melakukan inovasi dalam bentuk dan isi. Ia sama sekali telah mengubah caranya bersajak. Kalau selama ini pengucapannya begitu lugas dengan larik dan bait yang panjang sehingga mirip kalimat serta makna sajak yang transparan dan menjelasterangkan, dalam arti kata lain, kita masih bisa membedakan dengan jelas antara bentuk dan isi, gaya dan makna, atau bentuk begitu jelas sebagai pembungkus isi, maka dalam sajak di atas, kita hampir tak dapat lagi memilah yang mana bentuk yang mana isi. Diksi dan idiomnya begitu ringkas, padat, dan ekonomis. Ada enjambemen yang selama ini tak dikenalnya. Kita berhadapan dengan suasana demi suasana yang langsung menjadi imaji-imaji dari apa yang mau dia utarakan.

Style atau gaya adalah faktor pembeda antara seorang penyair dengan penyair lainnya, dengan kata lain apabila style atau gaya keduanya mirip akan cenderung dikatakan salah satu di antaranya sebagai pengikut atau lebih ekstremnya plagiator. Namun kalau terjadi terhadap diri seorang penyair, perbedaan style yang dilakukannya dapat dikatakan sebagai satu bentuk pencarian yang meningkatkan kualitas dan pengukuhannya sebagai penyair, dengan catatan, style yang dicapainya atau yang diperolehnya kemudian lebih memenuhi harmonisasi sesama unsur perpuisian.

Penyair tidak lagi memberikan keberpihakan sosial secara jelas sebagaimana yang kita baca dalam sajak-sajaknya terdahulu, meskipun masih terasa nada simpati, namun lebih terasa samar-samar dan begitu menyimpan misteri tentang siapa sebenarnya sosok kau itu. Inilah menurut hemat kita salah satu harga atau nilai sebuah sajak di mana imajinasi kita sebagai pembaca ikut berperan aktif dalam menyiasati dan menentukannya; hal yang sama sekali tidak ditemukan dalam sajak Orang-orang Malang dan sejenisnya, di mana semuanya sudah terhidang dan kita dibujuk bahkan digiring ke arah makna yang dikehendaki penyair, meskipun memang kita belum tentu menyetujuinya.

Imajinasi kita dengan bebas bermain dan mengembara dalam menyiasati sajak Ketika Angin Berdesauan ini. Siapakah kau yang berdiri mematung di tengah-tengah kota yang sedang dilanda topan dan amuk badai itu. Mengapa dia tidak menyingkir dalam huru-hara yang begitu dahsyat sehingga bukan saja daun-daun, bahkan “hari-hari luruh”. Kita tidak tahu persis siapa kau, tetapi mengapa kita seakan mencemaskan nasibnya, menyuruhnya lekas-lekas menyingkir dari sana, meskipun anehnya saran itu pun mencemaskan kita oleh karena suasana kota yang begitu tak memberi pengharapan lagi.

Fungsi kau sangat menentukan dalam sajak ini. Seandainya dia tidak ada jadilah sajak ini semata-mata sebuah impresi penyair terhadap suasana kota yang dilihatnya, semata panorama alam. Tapi dengan hadirnya kau di sana, apa yang divisualkan dalam sajak itu tentulah berupa imaji atau bayang-bayang batin penyair yang mengembara terhadap sesuatu peristiwa yang sangat berkesan; yang tampak begitu kelam dan menakutkan; sehingga untuk menyebutkan identitas kau saja.

No comments: