Tuesday 27 May 2008

Chairil Anwar Dan Bahasa Rahasia Medan

CHAIRIL Anwar lahir, dewasa, dan menentukan sikap hidup berkesenian di Medan. Ia lahir pada 26 Juli 1922, dan meninggal dunia di Jakarta, 28 April 1949. Ia mengaku bahwa pada usianya yang ke15, dalam suratnya kepada H.B. Jassin, telah memilih berkesenian secara bersungguh-sungguh. Ini berarti, Chairil pada waktu itu masih belum pernah pergi ke mana-mana, tetap bergelimang di Medan. Bersekolah, bergaul, dan mengisi lahir dan batinnya dengan segala apa yang dapat diserapnya di tengah-tengah pusat kebudayaan Melayu pada waktu itu.

Tak dapat disangkal pada periode Chairil di Medan (1922—1941, atau Keith Foulcher berpendapat 1922-1942), kota itu masih sangat kental budaya Melayunya. Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsjah, Sultan Deli, yang bertahta di Medan, masih berkuasa, baik sebagai Kepala Adat maupun sebagai Kepala Pemerintahan. Para penelaah Chairil Anwar jarang sekali, kalau tak mau dikatakan sama sekali tak pernah, mengaitkan karya-karyanya dengan kebudayaan Melayu yang hidup dan berkembang di Medan. Padahal bahasa dan sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kebudayaan. Salah satu bukti dapat diperlihatkan tentang bagaimana para penelaah itu selalu merasakan kesulitan memahamkan beberapa diksi atau idiom dalam sajak-sajak Chairil Anwar sehingga mereka menarik kesimpulan yang keliru.

Di sini kita ingin membicarakan beberapa sajak Chairil Anwar dengan pertama-tama menganalis beberapa kata yang ada di dalamnya yang berkaitan dengan bahasa percakapan dan kebudayaan di Medan. Setelah itu baru ditarik suatu kesimpulan akan makna apa yang terkandung di dalamnya. Marilah kita terlebih dahulu memperhatikan konstruksi dan pilihan kata dalam sajak-sajak Chairil Anwar yang tampak sangat bervariasi, eksperimental dan inovatif serta memberikan berbagai makna. Dalam Penghidupan Chairil berkata:

Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji tenaga pematang kita
mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahagia
kecil setumpuk,
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk. Desember 1942

Lautan maha dalam sudah lazim, bahkan cederung klise. Tapi tiba-tiba kita dikejutkan oleh mukul dentur selama, konstruksi kalimatnya sungguh luar biasa meskipun untuk sebuah ragam percakapan. “Mukul kau, ya? Kuhajar nanti, berdentur kepalamu ke dinding!” Atau “Bunyi apa kudengar berdentur-dentur, tu!” Untuk kata “selama”, misalnya: “Beginilah piilmu selama, ha?! Tak tahanlah aku!” Jadi, pilihan kata “mukul”, “dentur”, “selama” memang dikenal dalam bahasa percakapan di Medan, tapi kata-kata dari ragam percakapan itu telah digiring Chairil ke gaya personalnya! Konstruksi kalimat mukul dentur selama memang khas Chairil untuk pengertian yang dimaksudkannya: “Lautan yang maha dalam itu gelombangnya memukul-mukul pantai atau tebing, bendentur-dentur bunyinya setiap masa, gunanya untuk menguji seberapa kuat tenaga pematang kita.” Konstruksi kalimat dengan penempatan “selama” seperti itu, tampak begitu khas. Ia memang lazim dalam BMM (Bahasa Melayu Medan) tapi tidak dalam BI. Dalam BMM “selama” bisa berfungsi sebagai ajektiva, sedang dalam BI lebih sebagai partikel atau kata sambung saja.

Jelas, Chairil faham betul menempatkan bahasa percakapan itu dalam sajaknya yang liris dan untuk apa dia melakukan, padahal resikonya terlalu besar. Salah-salah bisa dituduh “membuat kekacauan baru”, “memperkosa bahasa”, “bahasa yang sangat buruk” dan sebagainya. Dalam sajak Penghidupan ini Chairil memulai dengan ungkapan yang sudah sangat dikenal bahkan cederung klise, Lautan maha dalam. Semua orang tahu itu. Tak ada anehnya. Dan kita cenderung mengabaikannya atau tidak memperhatikannya. Tapi tatkala membaca larik kedua, mukul dentur selama, kita mulai dan betul-betul tertegun. Kalimat itu tak biasa. Kita mulai menguras kuriositas kita, keingintahuan kita. Apa maknanya itu, dan untuk apa “kata-kata yang kacau” atau “kata-kata yang tak dikenal” tiba-tiba muncul setelah pernyataan yang begitu biasa. Inilah sebuah terapi bahasa dari seorang penyair.

Ia seperti sangat minta perhatian atas sesuatu yang sudah mapan, yang sudah karatan, yang sudah kuno, yang sudah membosankan, yang sudah basi, lautan maha dalam. Kita cenderung melecehkan, menyepelekan, apanya yang aneh. Tak ada! Tapi penyair tahu betul itu. Ia lalu membuat kejutan, mukul dentur selama, Apa artinya itu?! Kita penasaran. Kata-kata itu mengusik keigintahuan kita. Mungkin membolak-balik kamus. Atau bertanya ke sanake mari. Apa arti mukul atau kenapa ia mengatakan mukul. Dentur itu apa. Kalau berdentur mungkin kita tahu. Dan selama, ah! Selama. Ini tidak biasa. Apa yang tak biasa. Kata-katanya? Bukan! Penempatannya. Kenapa ditempatkan di akhir kalimat?

Jika saja Chairil melanjutkan dengan gaya yang kuno seperti larik pertama, misalnya dengan “ombaknya memukul-mukul tebing dan pasir pantai bergemuruh setiap saat”, kita akan menampik sajak itu dengan kesal. Tetapi karena larik kedua itu tidak bicara seperti itu, malah berhasil menarik minat kita dengan caranya yang tidak biasa tadi, setelah memahami artinya, hati-hati dia melanjutkan nguji tenaga pematang kita. Rupanya kelakuan lautan maha dalam itu, yang sudah karatan itu, ada hubungannya dengan “kita”.

Ternyata lautan maha dalam adanya dalam diri kita, hati, perasaan, pikiran, yang senantiasa memukul-mukul, yang setiap saat berdentur-dentur dalam darah dan daging kita. Hati manusia, pusat emosi dan intelektual manusia, segumpal darah, segumpal daging yang ada dalam setiap batang tubuh manusia, adalah lautan maha dalam. Namun “sedalam-dalam lautan boleh diduga, dalam hati siapa tahu”.

Inilah yang ingin diungkapkan Chairil. Hati manusia, meskipun telah bekerja secara rutin dan klise, telah kuno, namun dia tetap setiap saat memukul-mukul darah dan daging kita, mempengaruhi kita, menjebak kita. Setiap saat dari masa ke masa, ia selalu dapat mempebaharui gaya pukulannya, teknik denturnya terhadap darah daging kita, nguji tenaga pematang kita. Disesuaikannya bahan ujiannya dengan tingkat dan kadar emosi dan intelektual kita, lebih jauh orang per orang. Dahulu, seseorang yang ingin mengambil hak orang lain, harus mengandalkan tenaga dan kekuatan, sekarang cukup dengan online di internet, mengklik salah satu situs, tak lama kemudian akan datang “rejeki tak terduga” ke tempat kita.

Seorang kuli di pelabuhan perlu “bersimbah peluh” untuk melakukan “korupsi” mengutipi ceceran bahan-bahan yang tak laku dijual, seorang presiden cukup dengan sekilas pandang, atau hanya seungkap kata sindir, dan para ajudan akan cukup maklum ke mana arahnya, tak menunggu lama “isi hati” Sang Tuan Presiden akan menjadi kenyataan.Dengan begitu tema sajak ini bisa begitu besar. Mau mukul dentur kezaliman demi kezaliman yang melanda negerinya hingga hancur remuk redam.

Demikianlah sebuah sajak yang pendek seperti Penghidupan itu, maknanya dapat diulur panjang dan up to date hingga sekarang padahal ditulis lebih setengah abad yang lalu. Ia seperti tembus pandang melihat problema bangsanya. Kata-kata hingga hancur remuk redam yang tampak dituliskan atau diucapkan secara klise dan terus terang di tengah-tengah kata-kata “baru”, juga tampaknya mempunyai sindiran tertentu.

Penyair sekaliber Chairil Anwar yang sangat dikenal usil dalam pilihan kata, yang tahan mengantongi sebuah sajak berbulan-bulan sebelum diumumkan, suka mengubah dan mencoret kata-kata bahkan dalam sebuah sajak yang sudah jadi, tak mungkin tak memperhitungkan kata yang begitu klise hingga hancur remuk redam dapat masuk ke dalam sajaknya begitu saja. Chairil sangat memahami bahwa apresiasi masyarakat terhadap sastra Indonesia modern masih terbatas dan baru mulai tumbuh. Masyarakat masih terbiasa dengan bentuk-bentuk konvesional dan masih ingin meneruskannya karena terasa enak dan dapat dipakai sebagai media hiburan meskipun selalu diulang-ulang sehingga misinya menjadi klise.

Padahal sastra bukanlah semata media hiburan belaka tapi juga harus berisi hikmah-hikmah hidup, memuat persoalan bangsa dan pemecahannya. Sementara kondisi dan situasi zaman terus berkembang dan berubah. Dan tentu saja sastra sebagai salah satu media ekspresi mesti mengambil peran dan peduli terhadap nasib dan problema bangsa dan negaranya. Karya sastra tak harus berindah-indah saja, menekankan pada keenakan dan pengisi waktu luang belaka tapi juga sekaligus harus bermanfaat dan menyugukan misinya secara segar dan mengamati perkembangan.

Selanjutnya, Chairil sebagai pembaharu pada satu sisi ingin menuntaskan mencabut akar tradisi sehabis-habisnya baru dengan demikian lahan dapat diolah dengan semangat dan penuh kesegaran. Tapi kemudian dia sadar bahwa hal ini tidak mudah dilakukan. Sebagaimana dikatakan oleh Jassin, “Chairil mau membikin perhitungan habis-habisan dengan tradisi dalam seni masyarakat, tapi tradisi lebih kuat daripadanya. Kelihatan dia kadang kembali pada tradisi, tapi lebih kaya, lebih berisi dari semula.” (Jassin, 1985: 29).

Dari tindakan dan prilaku serta karya-karyanya, kelihatan bahwa Chairil menginsyafi sesungguhnya tidak mungkin “membikin perhitungan habis-habisan dengan tradisi” karena seorang manusia walau bagaimana pun tidak dapat hidup dari nol tapi sedikit banyaknya harus memulai dan melanjutkan yang sudah ada. Paling-paling dia memilih, memilah, memperbaharui yang telah ada dan itulah sesungguhnya yang dilakukannya.

Dalam kehidupannya sendiri, Chairil punya ayah yang menyekolahkan dan memanjakannya, punya ibu sangat disayanginya, punya Oom Syahrir yang memotivasinya, punya agama yang diyakininya, punya lingkungan budaya yang menimang dan membesarkanya. Walau bagaimana pun semua itu ikut membentuk diri dan kepribadiannya, suka atau tidak suka. Dengan perasaan dan kesadarannya, dia harus meneruskan semua itu dengan caranya. Dia meninggalkan ayahnya karena berpihak kepada ibunya, tapi bagaimana pun bekas-bekas yang telah digariskan ayahnya tak mungkin hilang. Dia mengikuti ibunya tapi tak semua pribadi ibunya bisa diturutinya.

Chairil punya Oom Syahrir yang sangat dibanggakannya, tapi sebatas motivasi kebudayaan dan bahan bacaan yang digandrunginya. Tidak berkecimpung dalam politik kebangsaan sebagaimana yang diperjuangkan Sang Politikus dan Negarawan itu. Chairil pun meninggalkan kantong budaya yang melahirkan dan mendewasakannya, namun tidak berarti dan tidak mungkin sama sekali menghapuskan darah daging dan kepribadian yang telah membentuknya walau bagaimana pun pengaruh budaya yang diperolehnya di tempatnya yang baru.

Secara intrinsik Chairil ingin mengubah pola persajakan dan kebiasaan para pujangga sebelumnya, seperti Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang sangat gemar menggunakan kata-kata klise. Dalam sajak yang begitu pendek, ia sengaja meyempatkan menyelang-seling kata-kata klise dengan kata-kata dan bentuk yang justru baru atau belum dikenal. Dengan demikian Chairil ingin mukul dentur kata-kata klise itu hingga hancur remuk redam selama-lamanya. Sehingga muncullah kata-kata baru yang segar sebagaimana yang telah dilakukannya dengan berbagai eksprimen dan inovasi.

Chairil memang tampak tidak menyembunyikan kebosanannya terhadap kata-kata usang yang selalu dipakai para penyair pendahulunya yang itu-itu saja, seperti yang ia sebut dalam sajak Kenangan. Ada satu kata yang tampak istimewa yaitu mereksmi. Kata itu sepintas diambil dari perbendaharaan kitab Hindu. Sanusi Pane pernah mengambil kata laksmi untuk sajaknya Teratai. Kata laksmi jelas ada sosoknya, nama dewi, istri Dewa Wisnu. Dan kita tahu bahwa Sanusi Pane orientasinya memang ke filsafat dan mistik Timur, terutama India. Chairil tak pernah menampakkan indikasi ke arah itu. Tak tertarik ke dunia filsafat klasik dan mistik. Dan tampaknya tak pernah tertarik kepada Sanusi Pane sebagai pendahulunya. Kata mereksmi bukanlah kembaran laksmi. Bukan nama dewi atau nama siapa-siapa. Isi sajak Kenangan itu pun tampak mengarah ke ketidaksenangan terhadap dunia lama itu.

Kadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah1 Tercebar rasanya diri
Membubung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia. 19 April 1943


Apa yang dimaksud Chairil dengan jeriji itu-itu saja, sehingga membosankannya? Padahal di lain pihak mereksmi begitu memberi warna terhadap benda usang yang sudah dilupa. Kata mereksmi menjadi menarik perhatian karena mirip laksmi. Laksmi, menyimak ke sajak Sanusi Pane di atas adalah simbol dunia lama, dunia itu-itu saja. Jadi sementara dapat disimpulkan mereksmi berasal dari atau yang menyenangi laksmi.

Di Medan, sekitar tahun 1930-1950-an, pernah hidup berbagai “bahasa rahasia” di kalangan para pemuda. Kata-kata dipelesetkan seolah-olah seperti bahasa Belanda. Setidaknya ada dua pola yang dikenal. Misalnya ka van ul artinya kau; ka ver pan artinya kapan Yang lebih praktis adalah pada kata-kata tertentu di huruf akhirnya ditambah dengan sye atau se, misalnya Apsye kau bilse? maksudnya Apa kau bilang? HB Jassin dalam bukunya “Analisa” ketika mengulas sebuah cerita pendek mengakui adanya “bahasa rahasia” ini dan banyak hidup di berbagai tempat di daerah. Ia menyayangkan berbagai “bahasa rahasia” itu kurang dipelihara sehingga dikhawatirkannya akan musnah.

Tentu Chairil, ketika masih berada di Medan, mengetahui adanya berbagai “bahasa rahasia” ini. Dan kata yang sebiji ini: mereksmi, adalah salah satu kata dari “bahasa rahasia” itu. Artinya: mereka. Sebagai penyair, Chairil tidak mengikuti ragam yang sudah ada, misalnya menuliskannya menjadi merverkan atau merekse, “bahasa rahasia” di Medan itu, tapi mereksmi, lagi pula ia punya maksud supaya sebunyi dengan laksmi. Dalam Teratai Sanusi Pane menulis: Daun berseri Laksmi mengarang. Lalu Chairil menyergah: Mereksmi memberi warna/Benda usang dilupa. Mereka mengarang hanya dengan tak bosan-bosan memberi warna terhadap benda usang yang sudah dilupa. Artinya: hanya “melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat” seperti yang tertulis dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, “tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat”. Sebagaimana renung Chairil dalam larik sajak itu juga:

Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Ya, begitu banyak buah atau masalah hidup yang masih segar untuk diolah dan dirasakan, mengapa harus Kembali di itu-itu saja?

Hal ini dapat pula kita lihat dengan jelas dan lebih blak-blakan pada sajaknya 1943, sekaligus angka tahun yang sangat subur dalam kepenulisan Chairil. Di sini Chairil tak melakukan inovasi dan eksperimen tentang kata sebagaimana dilakukannya dalam sajak terdahulu Penghidupan dan Kenangan itu. Sajak 1943 itu diksi dan idiomnya boleh dikatakan memenuhi standar “bahasa yang baik dan benar” dan masih kental dengan gaya Medan. Racun berada di reguk pertama/Membusuk rabu terasa di dada/Tenggelam darah dalam nanah/Malam kelam-membelam.

Tapi di sini ia melakukan inovasi bentukan bait dan larik yang begitu revolusioner sehingga tak ada satu penyair pun sebelumnya, pada masanya, dan sesudahnya melakukan hal seperti itu, kecuali lebih dari tiga puluh tahun kemudian sebagaimana yang dilakukan oleh Sutardji Calzoum Bachri.
1943
Racun berada direguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam membelam
Jalan kaku lurus. Putus
Candu.
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh.
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh
Menentang. Menyerang
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku. 1943

Kalau diteliti tampak dengan nyata Chairil ingin mengubah dan mendobrak sesuatu yang hanya menyediakan racun baginya dan bagi generasi selanjutnya. Sehingga membusuk rabu dan tenggelam dalam darah dan nanah. Mengikut kebosanan Chairil terhadap karya yang kembali ke itu-itu saja maka di sini Chairil mengumumkan kredonya secara blak-blakan. Karya-karya mereka tak lebih seperti malam kelam membelam atau seperti jalan kaku lurus. Sehingga harus diputus. Karya-karya seperti itu hanya semaca candu bagi masyarakat, sehinga harus ditumbangkan, meski oleh karenanya Tanganku menadah patah atau luluh, atau terbenam atau sekalipun hilang atau lumpuh. Supaya generasi baru yang memberikan udara penyegaran akan lahir, tegak, meski apapun halangannya untuk membuatnya berderak, rubuh, runtuh.

Ia harus melawan, Mengaum. Mengguruh, bukan itu saja tetapi harus menentang. Menyerang, supaya terjadi pembaharuan dan mengalami proses kuning, merah, hitam, sehingga karya-karya model mereka yang telah usang itu menjadi kering, tandus, rata-rata sehingga Dunia melihat jelas bahwa kau pujangga lama di depan aku jadi terpaku. Sehingga hancur remuk redam. Mengapa sajak itu diberinya judul 1943, sedangkan tak ada kena mengena dengan isi sajak ialah bahwa pada tahun itu Chairil telah merasa cukup kuat dengan puluhan sajaknya.Harus dicatat bahwa tahun itu saja ia telah menulis lebih tiga puluh sajak, atau tepatnya 32 sajak.Satu hal yang tak pernah terulang dalam masa kreativitasnya selama 7 tahun itu dengan total keseluruhan hanya 70 sajak.

Kalau saja Rosihan Anwar atau H.B. Jassin awas akan hal ini, dan tidak terlalu mengaitkan kebangkitan sastra dengan kebangkitan politik, maka angkatan di mana Chairil jadi pelopornya seharusnya bernama Angkatan 43 di mana sajak 1943 dapat dijadikan sebagai tonggak! Sebagian besar sajak Chairil justru memadu tradisi lama dengan segala yang baru mempengaruhinya dan yang dipungutnya dalam perjalanan hidup dan pengembaraan batinnya. Ia dengan berani membuat eksperimen dan inovasi sehingga seolah kita berada dalam ruangan “pas bebas”, seperti yang terkesan pada sajak 1943 itu. Di sana, dalam proses pemaduan itu dia bisa membentangkan segala macam ironi dan tragedi kehidupan.Yang paling penting pendedahan sikap, wawasan, cita, gagasan yang digeluti dan diperjuangkannya.

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Chairil sadar betul memakai ungkapanungkapan konvensional, dan memadunya dengan diksi dan idiom baru yang dibentuknya dari hasil eksperimen dan inovasinya/Semua ini tidak terlepas dari akar kata yang berasal dari budaya yang mendewasakanya. Diksi dan idiom yang digunakanya sudah dikenalnya betul dan sudah menjadi naluri dan darah dagingnya. Dengan kematangannya itu, ia menyesuaikannya menjadi simbol yang khas miliknya sehingga tampak menyatu.


damiri mahmud

No comments: