Wednesday 14 May 2008

MaknaSahabat

Yudi berlari-lari kecil. Ia berusaha mengejar seseorang yang sedang duduk-duduk di taman. Setelah dekat dengan lelaku tersebut, yudi bertanya.
“Pak…. Semir, Pak?”
Bapak itu tidaklah tua sekali. Ia mengenakan pakaian putih dipadu dengan celana berwarna biru. Sore-sore begini, sudah menjadi kebiasaan di Kota Yudi, orang-orang pada menikmati senja di taman. Taman tersebut memang asri dan indah dipandang, dengan aneka ragam buang, serta rerumputan yang hijau menyejukkan pandangan. Ada beberapa kolam ikan buatan yang tak bisan-bosannya kita melihat sang ikan berkejaran di dalamnya. Tak kalah pentingnya lagi, di sudut taman beberapa pedagang makanan yang sudah diatur tempatnya.
Lelaki itu menggelengkan kepada.
Yudi yang tadinya bersemangat mengejar lelaki itu, jadinya lemas setelah tahu lelaki itu tidak bersedia sepatunya disemir. Sudah sore begini, baru tiga orang yang menerima jasanya untuk disemirkan sepatunya.
Capek keliling taman, Yudi duduk tidak berapa jauh dari Bapak tadi. Teringat ia dengan keadaan keluarganya. Bapaknya hanya sebagai buruh kasah di pelabuhan. Ibunya mengambil upahan mencucui dna menyeterika pakaian tetangga. Yudi, sebagai anak tertua dari tiga bersaudara merasa berkewajiban untuk meringankan kehidupan keluarga. Apalagi kini ia sudah kelas enam Sekolah Dasar. Ia berharap dengan pekerjaan sambilannya ini dapat menambah-nambah uang sakunya.
Tanpa terasa sudah enam bulan ia melakukan pekerjaan itu. Tetapi, baru hari inilah, ada pengalaman baru yang sedang berlangsung, takkala lelaki yang tidak jauh darinya beranjak pergi, tanpa sadar domptenya terjatuh. Yudi dengan mata kepala sendiri menyaksikan hal itu.
Yudi ingin segera bangkit untuk memberitahukan lelaki itu tentang domptenya yang terjatuh. Tapi, terasa berat langkahnya. Baru, setelah lelaki itu manghilang di keramaian pengunjung taman. Yudi memberanikan diri memungut dompet itu.
Dengan perasaan dag dig dug, Yudi menuju kamar mandi yang berada di taman itu. Di sana ia buka pelan-pelan dompet itu. Wow! Betapa kagetnya ia melihat isi dompet itu yang berisikan dua lembaran limapuluh ribuan, dua lembar yang sepuluh ribuan dan beberapa lembar seribu. Ada juga SIM, STNK, KTP dan Surat-surat penting lainnya.
Yudi keluar dari mandi. Ia berusaha menghindari pertemuan kembali dengan lelaki itu. Tapi, seseorang memanggilnya berkali-kali. Mau tak mau ia berhenti juga.
“Ada apa, Bud?” tanyanya agak kesal pada Budi.
Budi yang kerjanya juga seperti Yudi, menawarkan jasa menyemir sepatu, menjawab : “Ah, nggakapa-apa. Kelihatannya kau mau pulang?”
“Iya, aku sakit,” jawab Yudi berbohong.
“Sakit apa, Yud?”
“Nggak tau, perutku mulas tiba-tiba. Barangkali diare?!” jawab Yudi sembari memegang-megang perutnya.
“Tadi aku jumpa lekaki setengah tua. Makdudku tidak begitu tualah! Dia kehilangan dompetnya. Ia bingung, Yud. Kami sudah mencari-cari di sekitar tempat ia duduk tadi tapi tak ketemu. Lalu ia katakan bahwa tidak berapa jauh dari ia duduk ada juga seorang anak yang berada di sana. Ciri-ciri yang ia berikan sama seperti kamu, Yud.”
“Jadi, kau menuduhku yang mengambil dompet itu?” Yudi mulai emosi.
“Aku tidak menuduh. Cuman nanya saja. Kalau enggak ada kamu ambil ya enggak apa-apa. Tai, ibu gurukan pernah menasehati kita, kita harus menolong orang yang berada dalam kesusahan. Dan, kita jangan sekali-kali mengambil milik orang lain, walau pun barang tersebut barang yang tercecer. Lebih baik kita beritahu orang yang berwenang jika kita menemukan sesuatu yang tidak diketahui siapa pemiliknya.”
“Yudi tercenung. Niatnya semula memang mengambil dompte itu. Namun, perang batin yang sedang berlangsung di perasannya, akhirnya memenangkan kebenaran. Ia sadar, bahwa apa yang dilakukannya baruasan hanya menimbulkan dosa.”
“Dompet itu aku yang temukan, Bud.” Ucap Yudi lemah,
“Kalau begitu, ayo kita temukan lelaki itu. Siapa tau ia masih berada di sekitar sini.”
“Kalau pun tak ada, kita bisa mengantarkannya ke rumah nya. Di dalam dompet ini ada kok alamat rumahnya.” Ujar Yudi tegas.
Mereka pun berjalan menyusuri taman yang cukup luas itu. Di tengah-tengah perjalanan, Yudi mengeluarkan kata-kata itu
“Kau teman yang baik, Bud”
“Mengapa, Yud?”
“Kau mengingatkan aku agar jangan berlaku gegabah. Memang aku bisa dapatkan uang itu. Tetapi sesaat saja. Sementara dosanya? Apalagi kalau ketahuan bisa ditangkap oleh yang berwajib karena dituduh mencuri.”
“Sahabat yang baik adalah sabahat yang bahagia bila melihat temannya sukses, dan membantu temannya jika berada didalam kesultan. Aku kira kau mengalami kesulitan untuk memutuskan untuk berbuat baik. Makanya aku ingkatkan kau!”
“Hei, lihat, Bud itu lelaki tadi!” suara Yudi setengah berteriak.
Mereka pun berlari kecil. Lelaki itu telah melihat mereka dari kejauhan. Ia merasakan bahwa dompet itu berada pada anak-anak itu, terlebih lagi ketika, Yudi menunjukkan dompet itu saat mereka berlari menuju lelaki itu.

No comments: